Gara-gara nama Abdilla yang tercetus tadi, aku pun sukses tak bisa tidur malam ini. Karena apa? Tentu saja karena aku penasaran tentang pemilik nama itu sebenarnya. Apa seperti dugaanku? Atau bukan? Pokoknya, hal itu benar-benar menggangguku sekali.
Bukan apa-apa. Masalahnya, Mama Sulis juga punya nama belakang yang sama, dan aku benar-benar khawatir pada nenek dari bayiku itu.
Terlepas dari kelakuan anaknya yang sudah membuatku hancur sedemikian rupa. Mama Sulis tetaplah orang baik, yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri.
Tentu saja, aku tak ingin sampai terjadi sesuatu pada Mama Sulis. Akan tetapi, bagaimana caraku mengetahui info tersebut.
Atau ... apa aku telepon Mama Sulis aja? Pura-pura tanya kabar atau apa gitu, gak papa, kan? Tapi .... Gimana kalau ternyata ya
“Okeh! Mulai hari ini saya bakal serius naklukin hati kamu!”Eh? Maksudnya?Plok!“Ih, bukan itu maksud saya!”Aku pun refleks menabok lengan Ken, saat mendengar ucapannya itu. Namun, tak lama setelahnya, aku juga langsung kikuk sendiri, saat menyadari kelancangan sikapku terhadap pria itu. Duh! Kok, aku malah jadi sok akrab gini, sih? Aku pun jadi merasa malu sendiri dengan kelancanganku pada Ken tersebut.Namun, seperti yang sudah-sudah. Ken malah menanggapiku dengan kekehan renyah khas pria itu. Sepertinya dia sama sekali tidak terganggu dengan sikap lancangku. Malah setelah terkekeh renyah, dia seenaknya mengacak puncak kepalaku hingga rambutku sediki
Sebenarnya, aku tidak terlalu menganggap serius ucapan Ken malam itu. Karena aku kira dia hanya bercanda saja seperti biasanya. Lagi pula, saat itu aku dalam kondisi yang memang tidak mau memikirkan sebuah hubungan serius lagi. Aku masih trauma dengan pernikahan sebelumnya. Aku masih ingin sendiri dan memfokuskan diri pada apa yang lebih penting saat itu.Anakku yang paling utama. Karena dia adalah satu-satunya hal yang berharga yang masih aku miliki. Nomor duanya ialah perusahaan Papi, yang masih harus ku coba selamatkan. Jadi, aku hanya menganggap ucapan Ken itu seperti angin lalu. Atau ... sebut saja hanya sebagai penghibur dan penyemangat. Lebih dari itu, aku sendiri sadar siapa aku? Sekarang aku janda beranak satu. Tentu saja, statusku itu membuatku insecure jika harus mendampingi seorang Kenneth yang ... terlalu se
Keandra Mateen Prameswari. Jagoanku! Putra pertamaku yang lahir dua tahun lalu, melalui proses kelahiran normal. Dia adalah berkah terindah dalam hidupku.“Mama ....”“Hey, Jagoan!”Aku berbalik dengan cepat dan langsung merendahkan tubuh demi menyambut jagoanku, yang kini tengah berlari dengan riang ke arahku. Baby boy yang selalu menggemaskan di mataku.Hap!Aku pun menangkap tubuh gempal bocah itu dengan sigap, dan langsung merengkuhnya dalam gendonganku.“Ugh ... anak Mama makin berat aja, ya? Udah maem nih pasti, iya, kan?”
Aku sebenarnya sudah tidak mau peduli lagi dengan keadaan Keluarga Abdillah. Bagiku mereka hanya orang-orang dari masa lalu, yang tidak harus aku ingat-ingat lagi. Kecuali Mama Sulis tentunya, Karena aku bukan orang yang tidak tahu berterima kasih. Namun, cukup sampai di sana saja. Aku tak ingin berinteraksi, mencari tahu kabar mereka, apalagi berhubungan dengan mereka lagi.Tidak, aku tidak mau. Hanya saja, kalian tahu dunia ini, kadang seperti selebar daun kelor, kan? Meski luas, tapi pada beberapa orang terasa sempit. Itulah yang aku rasakan.Kenapa? Ya ... karena meski aku sangat ingin menjauh, dan tak ingin berurusan dengan keluarga itu. Semesta malah menghubungkan aku dengan orang yang terhubung dengan mereka.Dokter Kenneth Putra Setiawan. Alias Ken, pria yang sedang dekat denganku, ternyata adalah Dokter kan
Jantungku seperti baru saja melompat ke perut, saat melihat pemandang yang mampu membuat aku langsung tercekat di tempatku, dengan ketakutan yang luar biasa.Sean menggendong Kean! Kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa pria itu bisa menggendong putraku senyaman itu? Tidak, Tuhan! Tolong ... jangan sampai terjadi. Aku tidak mau pria itu menyentuh putraku. Aku tidak mau!Pemandangan itu sontak saja membuat aku ketakutan dan terancam jadi campur aduk. Karena, bagaimana jika pria itu mengambil Kean dariku, dan menjauhkanya. Oh, Tuhan. Lebih baik aku mati!Tak ingin terjadi hal yang tak aku inginkan. Aku pun segera berlari ke arah pria itu, berniat menjauhkan Kean darinya dengan cepat. Kean hanya putraku. Hanya putraku. Tidak ada yang boleh mengambilnya dariku!Aku sudah berusaha
Kukira, aku sudah sepenuhnya move on, dan sembuh dari lukaku. Nyatanya, mengetahui aku masih tak ada artinya dalam hidup pria itu, tetap saja masih sesakit ini. Entah ada apa dengan hatiku. Aku juga tidak mengerti. Yang jelas, rasanya sedih dan kembali terpukul dengan kenyataan ini. Apa yang aku harapkan sebenarnya?Bukankah harusnya aku senang. Karena dengan begitu, dia tidak akan pernah mengusik hidupku dan Kean. Lalu ... kenapa? Apa yang sebenarnya kamu inginkan wahai hati? Seingin itukah kau diakui pria itu? Atau ... ini hanya bagian dari egomu? tapi ... kenapa? Kenapa ucapannya begitu membekas padaku seperti ini? Tuhan ... sebenarnya apa yang terjadi padaku?“Sayang, Bunda benar-benar minta maaf, ya? Bunda beneran gak tahu kalau tadi itu—”
“Aduh, maaf, aku gak--loh, Rara?!”Deg!Tuhan ... kenapa dari banyaknya manusia yang kukenal, aku harus bertemu dengan wanita ini, sih? Audy!“Rara, kamu apa kabar?” sapanya riang. Sambil tersenyum manis seperti biasanya.“Baik, Kak,” jawabku singkat, juga tanpa minat.Duh! Kenapa, sih, aku harus ketemu wanita ini di sini? Demi apapun, aku malas sekali bicara lagi dengannya. Sekalipun hanya untuk sekedar basa basi. Aku tak—“Sayang, aku udah dapet titipan Mama, nih!”Seakan kurang kejutanku hari ini. Aku pun kembali mendapat kejutan la
Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu, sejak mereka mengetahui keberadaan Kean, mereka pasti akan mulai mengusikku kembali. Bahkan salah satu dari mereka pasti akan menemuiku secara pribadi.Bukannya aku sok PD, atau merasa sok penting sekarang. Namun, mengetahui kenyataan sampai sekarang mereka masih belum juga dikarunia anak, meski sudah sudah hampir lima tahun berumah tangga.Prasangka buruk pun tak urung mulai menghantuiku, seiring dengan pertumbuhan Kean yang semakin mirip ayah kandungnya itu. Karenanya, berbohong tentang kenyataan ayah biologis anak itu makin sulit aku hindari semakin harinya.Ugh ... kenapa pula anakku harus mirip pria galak itu, sih? Apa itu karena saat hamil aku sangat membenci pria itu? Atau, karena anakku ingin mematahkan tuduhan ayahnya tempo dulu.