Hari berganti menjadi gelap. Warna biru yang semula menghias langit, kini berubah menjadi warna merah bersemu orange, menggantikan posisi biru daripadanya.Sekar kali ini nampak termenung diatas sajadah panjangnya. Kedua anaknya sudah tertidur lelap sekali. Mungkin mereka merasa lelah dan capek karena seharian ini mereka habiskan dengan bermain. Selain itu, makanan yang enak yang Sekar bawa kini telah mengisi perut mungil Nida, sehingga anak sulung Sekar kini tertidur begitu lelapnya.Mata lentik Sekar kini tengah memperhatikan kedua malaikat kecil itu dari jarak beberapa meter. Sekar yang barusaja menjalankan sholat Maghrib, kini tengah mengadu pada sang penguasa, tentang langkah yang harus ia ambil.Ia tengadahkan tangannya, dengan mata tertutup, dan seluruh perasaan yang menjadi bebannya, ia ungkapkan lewat lantunan do'a pada Tuhan.Nafasnya terasa berat dan sesak, kala ia kembali mengingat sosok Sandi, lelaki yang sudah meminangnya beberapa tahun yang lalu.Tidak munafik, rasa cint
"Kenapa Mas Sandi selalu saja menggangguku? Aku sudah bertekad untuk meninggalkannya. Aku sudah berusaha untuk berjuang keluar dari semua rasa sakit ini, tapi kenapa seolah dia tak rela jika aku hidup bahagia dengan kedua anakku saja?" Batin Sekar, yang ragu antara membalas pesan Sandi atau hanya mendiamkannya saja.Kembali ponselnya berdering, kali ini ternyata Sandi menghubunginya lewat telepon. "Apa aku harus mengangkatnya?" Lagi-lagi rasa ragu itu menerpa perasaan Sekar. Rasa iba kini menggelayuti perempuan bernama Sekar itu. Tangannya terus mengarah ke arah icon telepon warna merah, namun entah kenapa, jarinya bergeser, dan menerima panggilan dari lelaki yang saat ini masih jadi suaminya."Assalamualaikum Sekar, terimakasih karena sudah mau mengangkat telepon dariku," terdengar suara parau dari balik sambungan telepon miliknya."wa'alaikumsalam Mas. Katakan saja ada perlu apa? Kalau mau bertanya tentang anak-anak, mereka sudah tidur Mas,""Aah bukan, bukan itu. Mas hanya ingin m
Tak butuh waktu yang lama untuk Sandi bisa sampai dirumah Aura. Jika waktu yang seharusnya ditempuh butuh 20-25 menit saja, ternyata benar sesuai dengan perkiraan Sandi, hanya dalam 15 menit saja kini ia sudah sampai dirumah Aura.Sesampainya dirumah Aura, Sandi lekas turun dan melepas helm yang dipakainya. Langkah kakinya ia cepat kan, dan kini ia sudah sampai di teras rumah Aura.Nampak rumah itu sangat sepi. Mungkin perempuan itu belum bangun. TOK TOK TOK....Suara ketukan pintu tak membuat si pemilik rumah membuka pintunya. Sampai beberapa kali ia mengetuk pintu rumah Aura, namun hasilnya nihil juga. Lekas Sandi membuka ponselnya dan menghubungi Aura, berharap ia segera membuka pintu rumahnya."Aaakkkh, ada apa Mas pagi-pagi sudah kesini?" tanya Aura, seperti gugup."Aneh kau ini, katanya saya suruh datang ke rumahmu! Cepat buka pintunya, lebih cepat lebih baik bukan?""Tapi kan kita janjinya malam Mas?""Sama saja, saya ingin segera selesai urusan denganmu! Biar gak jadi beban
"Sulit untuk aku percaya pada perempuan sepertimu Aura. Kau saja masih mau berhubungan denganku, padahal kau sendiri tahu kalau aku adalah suami orang kan? Naah, kemungkinan lain kau bisa jadi berhubungan dengan laki-laki lain selama denganku juga kan? jadi bagaimana aku bisa percaya kalau itu adalah anakku?"Suasana menjadi tegang, saat Sandi memfitnah Aura. Perempuan yang tengah berbadan dua itu tak terima dengan tuduhan Sandi. Ia tak habis pikir dengan pemikiran Sandi yang sepicik itu."Hei! Kurang ajar kamu ya! Kalau bukan karena anakku, sudah ku hajar habis-habisan kau ini!" tiba-tiba suara seorang lelaki terdengar berteriak dari kejauhan. Ternyata ayah Aura kini sudah berada didepan rumah Aura. Saat mereka bersitegang, lelaki itu tak terima jika Sandi memfitnah dan memojokkan anaknya seperti itu.Sandi mundur beberapa langkah, dan menghela nafasnya berat. Ia khawatir lelaki setengah baya itu memukulnya karena emosi padanya.Lengan kekar dari ayahnya Aura kini menarik kuat kerah
Sandi mengerdilkan bahunya, dan menggelengkan kepalanya. Ia tak tahu kenapa dia diperlakukan seperti seorang penjahat, yang tak punya pilihan lain selain menuruti apa yang diperintahkan oleh Pak Ardi."Kamu tak apa-apa Mas?" tanya Aura, mencoba melihat wajah Sandi yang merah, dengan beberapa bekas pukulan."Tak usah kasih aku perhatian, aku hanya ingin bebas darimu!" jawab Sandi dengan pelan. Ia masih berusaha menjaga perasaan Cinta, walaupun dia sangat marah terhadap Aura.Sandi mendudukkan dirinya di kursi yang tersedia didekatnya. Ia menjatuhkan kepalanya di kursi tersebut, dan memejamkan matanya. Entah seperti apa lagi kehidupan yang akan dia hadapi setelah ini. Sandi benar-benar berada dalam kebimbangan.***Roda kehidupan memang berputar, dan itu benar adanya. Seperti Sandi yang dulu berada di atas angin, dengan semua keberuntungan dan dewi Fortuna yang berpihak padanya, namun sayang... kesempatan itu Sandi sia-siakan. Kini semua berbalik arah. Sandi sudah tak se gagah dulu, tak
Hanya butuh beberapa menit saja, kini Sekar sudah tiba dirumah Sandi. Rumah yang dulu menjadi tempat ia pulang kala lelah mengajar, rumah yang selalu ia bersihkan kala suami tercintanya bekerja, kini menjadi sebuah rumah yang nampak seperti rumah kosong.Tak ada kehangatan di dalamnya. Semenjak kepergian Sekar dan kedua anaknya, rumah itu menjadi tak terawat dan kehilangan kehidupannya."Eeh Bu Sekar ya? ya Allah bu kemana aja? Sudah seminggu saya enggak lihat ibu. Ibu sehat kan?" tanya seorang ibu yang tak lain adalah tetangga dekatnya.Sekar yang semula menatap dengan berat bangunan yang terpampang didepannya, kini menolah ke arah sumber suara."Eh bu Tono, Alhamdulillah bu saya sehat. Ibu sendiri bagaimana?" tanya Sekar kembali dengan keramahannya."Alhamdulillah saya juga sehat. Anak-anak kok Enggal ikut? Ibu ini sebenarnya kemana saja lo bu, sepi rasanya saya enggak punya tetangga kayak ibu," keluh bu Tono, merasa kehilangan sosok tetangga yang baik hati."Hemm, saya dirumah ibu
"Sudahlah Sekar...Apayang sebenarnya kau pikirkan? Kenapa kau begitu berharap kalau Sansi kembali padamu lagi? Kenapa kau berharap kalau lelaki yang sudah membuatmu patah hati itu bisa memperbaiki sikapnya? Bukankah jauh darinya lebih baik dan lebih tenang untukmu mu?" Sekar menasihati dirinya sendiri, walaupun sebenarnya hatinya masih dilema tentang perasaannya. Perlahan ia balikkan tubuh kurusnya, karena sang pemilik rumah ternyata tak ada disana.Dengan sejuta kecewa, Sekar pergi dari rumah Sandi tanpa membawa hasil apa-apa. Langkah-langkah kaki ramping itu kini membawa tubuhnya berada dipinggir jalan, menunggu kendaraan umum roda empat yang selalu setia menemaninya setiap berangkat berjuang.Pagi ini harusnya menjadi pagi yang indah dan cerah, karena Sekar akan memulai hidup barunya, maju selangkah dari star awal, dengan bertemu sang produser yang akan menaikkan cerita novelnya menjadi sebuh film. "Ya, aku harus fokus pada tujuan ku. Mas Sandi bukan lagi menjadi tujuan ku sekaran
"Ingat ya Sekar, besok jam 8 pagi!" teriak Aura lebih lantang. Sontak Sandi menutup mulut perempuan berambut panjang itu dengan cepat. Ia tak habiskan pikir kalau Aura bisa-bisanya bersikap norak seperti itu."Aura! Apa-apaan sih kamu? Tingkahmu itu memalukan sekali. Kalau kau memang mau mengundang Sekar, kenapa kau tak datang langsung saja ke rumahnya? Bukan berteriak seperti ini?" tanya Sandi kesal, dan lekas kembali berlari mengejar Sekar yang terlibat semakin jauh. Secepat apapun langkah seorang Sekar, tetap Sandi bisa mengejarnya."Sekar, tunggu dulu. Tolong dengarkan penjelasan Mas dulu. Kamu jangan salah paham dulu Sekar," ungkap Sandi, menggenggam tangan Sekar yang terasa dingin karena keringatnya."Lepas tanganmu Mas. Aku sudah bilang, kalau aku sudah tak peduli dengan apapun yang akan kau lakukan. Sebentar lagi juga hubungan kita akan segera berakhir, jadi kamu tak usah khawatir Mas," jawab Sekar, masih membuang muka, enggan memperlihatkan rasa sakit di dadanya."Kamu sudah