"Ayah, kenapa diam, ayo kita main lagi!" ajak Nida sambil menarik narik celana Sandi."Oh iya sayang. Ayo kita main lagi. Maaf ya, tadi Ayah istirahat sebentar. Ayah capek," Sandi berbohong. Mata teduh Nida kini menatap Ayahnya. "Ayah mau minum? Ayah haus ya, dari tadi pegangin sepeda Nida?" tanya Nida, dengan nada khas kekanakan nya. Sandi mengusap lembut rambut anaknya."Ayah enggak haus nak, Ayah cuma panas aja,""Panas Ayah?" tanya Nida kembali. Maksud Sandi adalah panas hatinya, bukan panas cuacanya. Nida mana tahu kalau Ayahnya sekarang sedang cemburu melihat Andre yang datang ke rumah dengan disambut baik oleh Ibunya."Ya sudah kalau Ayah panas, kita masuk saja yu yah. Nanti Ayah sakit kalau kepanasan," ajak anak sulungnya kembali. Sandi hanya mengangguk. Ia memang ingin masuk ke rumah itu, ingin bertegur sapa dengan Andre, yang saat ini tengah bersama Sekar."Assalamualaikum," sapa Sandi saat ia masuk ke ruangan tamu, sambil menggendong Nida. Andre yang tadinya tengah melamu
Sekar sedikit mendorong tubuh Sandi dengan lengannya saat ia berlalu meninggalkan Sandi yang mematung. Sandi hanya menelan saliva, kala ia mendapat perlakuan yang tak menyenangkan hatinya dari Sekar.ia kepalkan tangannya, menahan emosi yang hampir mencuat dalam dadanya. Kemudian ia acak rambutnya dengan kasar, lalu kembali merapikannya. ia ingat kalau ada Nida yang sedang menunggunya.langkahnya ia perlambat saat ia mulai memasuki ruangan tamu. Ia tak berani menatap Andre dan Sekar serta anak sulungnya yang kali ini tengah tertawa melihat Nida yang mencoba menaiki mainan motor pemberian Andre."Ibu, aku kayak ibu ya, bisa naik motor sendiri," kata Nida dengan senangnya. Sekar hanya mengulas senyumnya, mendengar perkataan anak perempuannya itu."Kamu suka sayang?" tanya Sekar kembali. Nida tak membalas, ia hanya senyum. Senyum yang seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan bagi seorang Ayah, kini hanya membawa luka bagi Sandi. Ia kini tengah berdiri diambang pintu, ingin berpamitan pada p
"Bu, kamu dandan dong dirumah. Jangan pucet begitu, udah bau, rambut berantakan begitu, pakaiannya lusuh, bikin Ayah gak betah dirumah tahu! Jangankan ingin berhubungan, menyentuh saja Ayah ogah!" celetuk Sandi, berbicara dengan seenak lidahnya, mengungkapkan unek-unek dihatinya.Seketika wajah Sekar berubah memerah, mendengar perkataan Sandi yang mengiris hatinya. Sebuah perkataan yang tentu saja membuat hati setiap istri merasa disayat. Siapa yang tak mau terlihat cantik, wangi, berdandan dan terlihat segar? Jika keadaan ekonomi saja hanya pas untuk makan."Lantas Ibu harus bagaimana pak? Ibu tuh seharian capek ngurus dua anak kita. Jangankan untuk mengurus diri sendiri, sudah bisa mandi saja alhamdulillah," jawab Sekar membela diri. "Halaaah...alasan saja kamu ini. Sana ah jangan deket-deket. Males aku liat kamu!" tambah Sandi, menjauhkan kepala Sekar yang semula bersandar di pahanya. Semenjak kelahiran anak kedua, mereka tak lagi romantis seperti dulu. Bahkan berhubungan halal pu
Keesokan hari, Sekar seperti biasa melakukan kewajibannya melayani suami. Kali ini, ia bangun lebih shubuh dari sebelumnya. Ada hal yang sedang ia rencanakan. Sekar ingin mencari tahu, siapa Aura. Perempuan yang sudah membuat Sandi berpaling darinya. Entah apa saja yang sudah mereka lakukan dibelakangnya, yang jelas, Sekar kini menjalani hari-hari hanya untuk menuntaskan kewajibannya saja. Setelah ia tahu seperti apa hubungan suaminya dan Perempuan itu, maka ia akan melepaskan suaminya. Tak rela rasanya jika ia harus berbagi suami, dengan janda gatal kesayangan Sandi."Bu, tumben sudah mandi?"Masih dengan tatapan lurus pada pakaian yang menumpuk yang sedang ia lipat, kini Sekar sedikit menoleh ke arah Sandi."Mandi pagi salah, enggak mandi salah juga. Aku harus gimana Yah?""Mau kemana sudah mandi?""Hari ini ada jadwal ngajar,""Oh iya lupa. Kamu sudah siapkan sarapan? Ayah mau berangkat agak pagi juga. Soalnya takut jalanan macet. Kamu naik gojek aja ya," Seketika Sekar menyimpan
Sekar terus berjalan, tanpa lagi menoleh ke belakang. Ia berusaha untuk tidak peduli pada Sandi, karena ras sakit yang dihadapinya. sedang Sandi kini sedang merasa kesal, karena Aura tengah menghubunginya, saat ia sedang berusaha membujuk istrinya. Ternyata Sandi takut juga jika Sekar akan meninggalkannya."Ada apa?" tanya Sandi sewot. ia tak semanis seperti biasanya."kamu kenapa sih Mas? Lama sekali angkat teleponnya? Kamu sudah berangkat belum? Aku ini dah nunggu lama, kok kamu enggak datang-datang. Kita jadi berangkat kan?" "Untuk sementara waktu, kamu jangan hubungi aku dulu, istriku sudah tahu hubungan kita. Aku takut kalau dia pergi dari rumah," Aura menyeringai. Dia sangat senang mendengar hal itu."Ya syukurlah kalau begitu. Sekalian aja suruh dia pergi, kita kan bisa nikah Mas," celetuk Aura memanas-manasi Sandi."Omong kosong apa kamu Aura? tidak, tidak! Aku sama sekali tak akan membiarkan istri dan anakku pergi. Aku lebih baik kehilangan kamu, daripada harus kehilangan me
Sandi meletakkan semua belanjaan yang ia bawa disampingnya. Ia sengaja akan menunggu Sekar pulang dari mengajarnya, karena memang biasanya istrinya itu pulang tengah hari begini. Namun setelah hampir setengah jam ia menunggu, belum juga Sekar menampakkan batang hidungnya, sehingga membuat Sandi harus kembali Ke kantor, karena jam istirahat nya sudah habis."Aku balik aja dulu ke kantor, soalnya udah habis juga nih waktu istirahat," kata Sandi yang kembali bangkit dari duduknya, dan melihat jam di tangannya. Baru saja ia bangun dari duduknya, ia melihat kalau sebuah mobil terparkir didepan halaman rumahnya."Siapa itu?" Tanya Sandi penasaran. Ia lekas mendekati pintu dan melihat siapa yang turun dari mobil tersebut. "Sekar? Dia naik mobil siapa? Senyum-senyum begitu, siapa sih yang nganter Sekar pulang?" Tanya Sandi mulai tak nyaman. Segera ia keluar dan berdiri di teras rumahnya, melihat mobil itu melaju dan menatap dengan tak suka pada Sekar. Sedang Sekar yang semakin tersenyum, kin
Setelah membereskan semua barang yang ia gunakan memuaskan, Sekar lantas masuk kedalam kamarnya, dan membereskan semua pakaiannya dan pakaian anak-anaknya. Sepertinya ia sangat terpancing dengan perkataan Aura, yang menyudutkan dirinya. Ia merasa menjadi perempuan yang tak punya harga diri, karena suaminya sendiri ternya suka menghinanya di belakangnya. Dan parahnya, ia menghina istrinya sendiri didepan perempuan pujaannya. Apa Sekar masih punya alasan untuk bertahan jika sudah seperti ini?Tanpa berpikir lagi, Sekar kini sudah berkemas dan tinggal memakaikan kedua anaknya jaket saja. Jika Sandi pulang nanti, ia akan berpamitan dan pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Rumah yang mereka tempati bersama, dari semenjak mereka menikah. Rumah yang begitu banyak kenangan, antara dirinya dan Sandi."Kau bahkan tak pernah berpikir bagaimana perasaanku, andai aku mengetahui semua apa yang kau katakan pada selingkuhanmu itu Mas?.Kamu sudah buta karena cinta yang salah," keluhnya lagi ***Sandi
"Sekar! Kau sudah berani melawanku sekarang ya? Pergi saja sana, pergi kalau kau mau! Aku bisa mencari seribu perempuan yang lebih darimu, sombong kau! Memangnya kau punya apa? Harta? Kecantikan? Semua kau tak punya. Paling yang ada, nanti kau akan menjadi gelandangan, karena sudah berani meninggalkanku!" Teriak Sandi, mencela Sekar dalam amarahnya. Sekar hanya memejamkan matanya, menguatkan langkahnya, tak ingin lagi kembali dengan seseorang yang kali ini benar-benar telah meluluh lantahkan semua rasa cintanya."Kau sudah terlalu sering mengeluarkan kata kotor Mas. Bukan hanya kali ini saja kau menghina ku seperti ini, tapi setiap kali kau marah, maka kau akan menghinaku dengan segala sebutan yang kau mau. Aku tak ingin lagi di rendahkan. Aku juga punya harga diri!" Kata Sekar, sembari mengayunkan langkahnya, menyusuri setiap inci jalan yang ia tapaki. Langkah kecil kaki mungil anak sulungnya terhenti, dan itu membuat Sekar ikut juga menghentikan kakinya."Ada apa nak? Kenapa berhent