“Mulai besok, kau akan menikah dengan Arkana Pratama.”
Kalimat itu menghantamku seperti petir di siang bolong. Suasana ruang tamu yang biasanya hangat mendadak terasa dingin dan menyesakkan. Aku menatap Ayah dengan mata terbelalak. “Apa?” suaraku tercekat. “Ayah, ini pasti lelucon. Aku tidak mengenalnya, apalagi mencintainya!” Ayah tidak berani menatapku. Wajahnya pucat, tangannya gemetar ketika menyentuh kening. “Nayla… dengarkan Ayah. Perusahaan kita di ambang kebangkrutan. Semua investor sudah mundur. Satu-satunya cara bertahan adalah dengan pernikahan ini. Arkana setuju menolong kita, tapi dengan syarat… kau harus menjadi istrinya.” Darahku mendidih. Aku berdiri dengan mata berair. “Jadi aku ini apa? Alat tukar? Barang dagangan untuk menyelamatkan perusahaan?” “Nayla, Ayah tidak bermaksud begitu—” “Kalau bukan begitu, apa namanya?!” teriakku, suara bergetar. “Aku punya mimpi, Ayah! Aku ingin menikah dengan orang yang kucintai, bukan pria asing yang bahkan hanya kutahu dari berita bisnis!” Ayah hanya terdiam. Diamnya lebih menyakitkan daripada penjelasan apa pun. Aku berlari ke kamar, membanting pintu hingga bergetar. Air mata jatuh tanpa henti, dadaku sesak. Dunia yang kukenal hancur dalam sekejap. Bukan hanya mimpiku, tapi juga kepercayaanku pada keluarga sendiri. Dan seolah waktu tidak memberiku kesempatan bernapas, hari pernikahan datang jauh lebih cepat daripada yang kuinginkan. Gaun putih dengan renda mewah menempel di tubuhku, indah bagi siapa pun yang memandang, tapi bagiku terasa seperti belenggu. Setiap lipatannya seperti tali yang mencekik. Aku berdiri di depan pintu besar gereja, tangan gemetar, napas tersengal. Lorong panjang terbentang, penuh bunga putih, lampu kristal, dan tamu-tamu dengan senyum bahagia. Mereka mengira aku pengantin paling beruntung, padahal langkahku terasa seperti menyeret kaki menuju jurang. Musik organ mengalun lembut. Semua kepala menoleh padaku. Aku paksa kakiku maju, satu langkah demi satu, sambil menahan air mata di balik senyum palsu. Di ujung altar, berdiri seorang pria. Arkana Pratama. Setelan jas hitamnya sempurna, tubuhnya tegap, wajahnya tampan namun dingin seperti patung marmer. Tatapannya menusuk, seolah menembus pikiranku yang penuh penolakan. Tidak ada hangat, tidak ada senyum. Hanya dingin dan jarak yang tak bisa ditembus. Aku merinding ketika pandangan kami bertemu. Jantungku berdetak kencang, tapi tubuhku terasa kaku. Pastor mulai membacakan doa pernikahan, suara tamu-tamu terdengar samar. Rasanya aku terjebak dalam mimpi buruk yang nyata. Sampai akhirnya, cincin emas melingkar di jariku. Di saat itulah, suara rendah terdengar begitu dekat. Hanya aku yang bisa mendengarnya. “Mulai hari ini, kau milikku. Ingat itu, Nayla.” Aku menoleh kaget, menatapnya. Wajahnya tetap datar, tapi matanya menyimpan sesuatu—ancaman, klaim kepemilikan, atau mungkin keduanya. Aku menggigit bibir, menahan air mata. Senyum palsu tetap kupaksakan demi semua mata yang tertuju padaku, tapi di dalam hati aku bersumpah: aku tidak akan pernah membiarkan pria ini menguasai seluruh hidupku. Resepsi pernikahan berlangsung megah. Lampu kristal berkilauan, musik klasik mengisi ruangan, dan tamu-tamu berdatangan memberi selamat. Dari luar, aku tampak seperti pengantin bahagia. “Selamat, Nayla. Kau benar-benar beruntung bisa menikah dengan Arkana,” bisik seorang temanku dengan tatapan iri. Aku hanya tersenyum kaku. Jika saja mereka tahu, pernikahan ini bukan hadiah, melainkan jerat yang mengekang. Di seberang ruangan, Arkana sibuk dikerumuni rekan bisnis. Senyumnya tidak pernah muncul. Wajahnya dingin, seperti pernikahan ini hanya kontrak kerja baginya. Tidak ada cinta, tidak ada kebahagiaan. Hatiku semakin sesak. Malam itu, setelah semua tamu pulang dan pesta berakhir, aku berdiri sendirian di kamar pengantin. Ruangan mewah dengan lampu gantung kristal, ranjang besar, dan dekorasi indah seharusnya menjadi awal kehidupan baru yang manis. Tapi bagiku, semua itu hanyalah sangkar emas. Aku menatap bayangan diriku di cermin. Gaun putih masih melekat di tubuh, wajahku pucat, mata sembab. Seorang pengantin baru seharusnya bahagia, tapi aku bahkan tidak bisa mengenali diriku sendiri. Aku tahu, hidupku tidak akan pernah sama lagi. Yang belum kutahu adalah satu hal: seberapa jauh aku bisa bertahan dalam pernikahan yang tak pernah kuinginkan ini?Tanganku terangkat, menutupi bibir yang bergetar. Suara hujan deras di luar semakin membuat dunia terasa kacau, menampar wajahku dengan dingin yang menusuk. Nafasku berat, dada sesak, dan setiap detik terasa seperti diseret oleh ketegangan yang tak tertahankan. Aku menunduk, mencoba menembus kegelapan, mencari tanda-tanda keberadaan Adam. Suara langkah kaki samar terdengar lagi—lebih dekat, lebih pasti—membuat bulu kudukku berdiri. Setiap gerakan terasa seperti perangkap, dan aku tahu aku harus tetap waspada. Sosok pria bertopeng muncul dari bayang-bayang semak-semak. Tubuhnya tegap, gerakannya tenang tapi penuh ancaman. Di tangannya, sebuah senjata panjang berkilat diterpa cahaya bulan. Aku menelan ludah, jantungku berdegup begitu kencang hingga rasanya ingin meledak. Aku mundur selangkah, dan kedinginan dari hujan membuat kakiku terpeleset. Air hujan bercampur air mataku. Rasanya seperti dunia runtuh di sekitarku. “Berhenti!” teriakku, suara pecah, hampir hilang ditelan hujan. “
Adam berdiri kaku di tengah ruangan, tubuhnya tegang, matanya menajam meneliti setiap sudut. Nafasnya berat, seperti berusaha menahan amarah sekaligus rasa takut yang membuncah. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, begitu keras seakan memenuhi seluruh ruangan. “Duduk di belakangku,” katanya singkat, tegas, tanpa menoleh. Tanganku gemetar, tapi aku menuruti ucapannya. Aku merayap perlahan ke arah belakang punggungnya, mencoba mencari sedikit perlindungan dari sosok Adam yang kini tampak lebih seperti perisai hidup. Adam meraih vas bunga pecah di lantai, mencengkeram pecahan porselen tajam yang bisa digunakan sebagai senjata. Cahaya lampu yang berkelip-kelip memantulkan kilau dingin di permukaan pecahan itu. Aku menelan ludah, tenggorokanku kering. “Mereka… mereka benar-benar sudah masuk ke rumah ini?” suaraku bergetar. Adam tidak menjawab langsung. Matanya fokus, tubuhnya sedikit merunduk. Ia mendengar sesuatu—langkah kaki samar, gesekan halus di lantai kayu. “Ya,” katanya
"Nayla… apa maksudnya? Siapa sebenarnya kau?”Suara Adam memecah keheningan, terdengar berat sekaligus terluka. Tatapannya menusukku, seolah ingin membongkar seluruh lapisan diriku. Aku ingin bicara, tapi mulutku terkunci, tubuhku gemetar.Aku menunduk, kedua tanganku saling meremas. “Aku… aku tidak bermaksud menipumu, Adam. Aku hanya… tidak bisa mengatakan semuanya.”“Tidak bisa? Atau tidak mau?” Adam mendekat, suaranya meninggi. “Kau tahu kita sudah melewati begitu banyak hal, Nayla! Aku berdiri di sisimu, meski aku tidak tahu siapa yang mengejarmu, kenapa mereka melakukannya. Dan sekarang aku baru tahu—bahwa mungkin aku bahkan tidak mengenalmu sama sekali.”Dadaku terasa sesak. Air mataku kembali jatuh. “Aku takut. Kalau kau tahu kebenarannya, kau mungkin akan meninggalkanku.”Adam memalingkan wajah, berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang kacau. Pintu hancur, serpihan kayu berserakan, angin malam masuk membawa bau debu bercampur dingin. Lampu gantung di atas kepala bergoyang per
Tubuhku membeku. Kata-kata itu masih menggema di udara, menusuk lebih tajam daripada retakan pintu yang baru saja jebol. “Akhirnya… aku menemukanmu.” Bayangan tinggi itu melangkah masuk. Gerakannya pelan, sengaja dibuat panjang, seakan ingin menunda penyiksaan. Setiap langkah kakinya menghantam lantai kayu, menimbulkan gema yang menusuk telinga. Cahaya dari koridor menyorot sebagian wajahnya—garis rahang tegas, pipi cekung, dan sorot mata hitam pekat yang berkilat penuh ancaman. Adam berdiri di depanku. Bahunya tegang, napasnya kasar, tapi aku bisa melihat jelas tangannya sedikit gemetar. Meski begitu, ia tetap merentangkan tubuhnya, menghadang sosok itu dengan berani. “Siapa kau?!” suaranya keras, mencoba tegas, tapi tidak sepenuhnya kokoh. Lelaki itu menoleh sebentar ke arah Adam, lalu tertawa rendah. Suara tawanya berat, menekan, membuat bulu kudukku berdiri. “Pertanyaan yang salah.” Tatapannya kembali padaku, menembus hingga ke sumsum tulangku. “Yang benar adalah: siapa dia se
Ponselku jatuh ke lantai, layar masih menyala. Pesan itu terpampang jelas, huruf-hurufnya sederhana namun menghantam dadaku seperti palu. “Kami sudah tahu.” Aku membeku. Dunia seakan runtuh, suaraku hilang. Tangan dan kakiku dingin, darah seolah berhenti mengalir. Seluruh tubuhku gemetar, tidak mampu menerima kenyataan yang seharusnya masih jauh dari jangkauan. Adam cepat-cepat meraih ponsel itu. Matanya menatap layar, lalu wajahnya berubah pucat. “Apa ini?” suaranya serak, lalu meninggi, penuh amarah. “Nayla, siapa yang mengirim pesan ini?!” Aku menggeleng keras, air mata jatuh. “Aku… aku tidak tahu.” Suaraku pecah, nyaris tak terdengar. Tapi hatiku tahu persis. Aku tahu siapa mereka. Aku hanya tidak pernah menyangka mereka akan bergerak secepat ini. Adam melangkah maju, mencengkeram bahuku. “Jangan bohong!” teriaknya. Matanya berkobar, antara marah dan takut. “Kau tahu sesuatu! Katakan padaku, Nayla!” Aku mundur, punggungku menabrak dinding. “Aku tidak bisa… tolong, Adam, aku
“Aku…” suaraku pecah di udara. Hanya satu kata itu yang berhasil keluar, namun sudah cukup untuk membuat ruangan ini terasa menegang. Arkana memiringkan kepala, menatapku dengan sorot mata yang membuat tubuhku membeku. “Kau… apa, Nayla?” suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi tekanan di baliknya begitu kuat. Tanganku masih digenggam Adam. Ia menatapku dengan penuh harap, seolah menunggu kalimat yang bisa menyelamatkan kami berdua dari neraka ini. “Nayla, jangan takut. Katakan saja. Katakan padaku yang sebenarnya.” Dadaku naik turun, napas terasa berat. Aku ingin melarikan diri, tapi tidak ada tempat yang cukup jauh untuk kabur dari kenyataan ini. Air mata akhirnya jatuh, mengalir deras di pipiku. “Aku… tidak bahagia,” ucapku, suaraku gemetar namun jelas. “Aku merasa… terjebak.” Adam memelukku singkat, hangat, seakan berusaha melindungiku dari semua luka. Untuk sesaat, aku ingin tenggelam di pelukannya, berpura-pura semua baik-baik saja. Tapi kebahagiaan itu hanya bertahan sebe