Kamar pengantin itu indah—terlalu indah hingga terasa palsu. Meski megah dengan lampu kristal, ranjang besar, dan seprai sutra, bagiku ruangan ini lebih mirip penjara emas.
Aku duduk di tepi ranjang dengan gaun putih masih melekat di tubuh, menggenggam kain seolah itu satu-satunya pegangan. Tubuhku lelah, pikiranku hanya berputar pada satu hal: bagaimana caranya lari dari pernikahan ini? Pintu terbuka. Aku mendongak refleks. Arkana masuk dengan langkah tenang, gerakannya terukur seolah ia menguasai setiap sudut ruangan. Jas hitamnya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang digulung di lengan. Aura dinginnya semakin menekan ruangan yang sudah sesak. “Kau tampak tegang,” ucapnya datar sambil meletakkan jas di kursi. Aku menelan ludah, lalu mengalihkan pandangan. “Bagaimana aku bisa tenang kalau aku dipaksa menikah dengan pria asing?” Arkana berhenti di dekat meja, lalu menoleh. Tatapannya tajam menusukku, membuatku ingin mundur. “Asing? Aku sekarang suamimu, Nayla. Kau sebaiknya mulai menerima kenyataan itu.” Aku bangkit, mencoba menjaga jarak. “Suami?” aku mendengus getir. “Jangan bercanda. Ini hanya pernikahan kontrak. Aku tidak mencintaimu, dan aku tidak akan pernah.” Ia melangkah mendekat perlahan. Aku mundur sampai punggungku menempel di dinding. Nafasku tercekat ketika wajahnya hanya sejengkal dari wajahku. “Dengar baik-baik,” bisiknya, rendah namun tajam. “Aku tidak peduli kau mencintaiku atau tidak. Yang perlu kau tahu hanya satu hal: kau istriku. Dan aku tidak suka istri yang melawan.” Tubuhku menegang. Ada rasa takut, tapi juga amarah yang mendidih. “Kau boleh berpikir kau bisa mengendalikanku, Arkana,” jawabku dengan suara bergetar. “Tapi aku bukan boneka.” Ia tersenyum tipis. Senyum yang tidak hangat, justru membuat bulu kudukku merinding. “Keras kepala rupanya. Menarik.” Aku tetap menatapnya, menolak untuk terlihat lemah. “Kalau kau mengira aku akan tunduk, kau salah besar.” Arkana akhirnya melangkah mundur. Ia duduk di kursi dengan sikap santai, mengambil segelas air seolah percakapan barusan hanyalah permainan kecil. “Baiklah,” katanya tenang. “Kita lihat saja seberapa lama kau bisa bertahan.” Aku kembali duduk di tepi ranjang. Gaun pengantin yang berat terasa makin menyesakkan. Jantungku masih berdetak cepat, tapi aku berusaha mengatur napas. Untuk beberapa saat, ruangan itu hening. Hanya terdengar detak jam dinding dan suara samar mobil di luar. Arkana sibuk dengan ponselnya, sementara aku menatap lantai kosong, tenggelam dalam pikiranku sendiri. “Aku tidak mengerti,” kataku akhirnya, suaraku lirih. “Kenapa harus aku? Ada banyak wanita yang rela menjadi istrimu, kenapa kau memilihku yang jelas menolak?” Arkana menutup ponselnya perlahan, lalu menatapku lurus. “Karena aku butuh sesuatu yang tidak bisa mereka berikan.” “Kau butuh perusahaan ayahku,” jawabku getir. Senyumnya tipis, dingin. “Tepat sekali. Setidaknya kau cukup pintar untuk menyadarinya.” Dadaku sesak. Jadi benar, aku hanyalah pion di papan catur bisnisnya. Aku menggenggam erat kain gaunku, menahan air mata. “Aku muak dengan semua ini.” Arkana berdiri, lalu kembali mendekat. Tatapannya menekan, membuatku hampir tidak bisa bernapas. “Kau boleh muak, Nayla. Tapi kau tidak bisa lari. Ingat itu.” Aku menahan tatapannya, mencoba menunjukkan bahwa aku tidak takut. Padahal di dalam, hatiku gemetar. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Akhirnya ia beranjak ke ranjang, membuka kancing kemejanya, lalu duduk santai bersandar pada bantal. Seolah-olah aku tidak lebih dari hiasan di kamar itu. Aku menoleh cepat. “Jangan kira aku akan tidur di sampingmu.” Arkana mengangkat alis, menatapku tanpa ekspresi. “Tidurlah di mana pun kau mau. Tapi tetap di ruangan ini.” Aku mendengus, lalu berbaring di sisi ranjang paling ujung dengan punggung menghadapnya. Aku tidak berani menutup mata terlalu cepat, takut ia mendekat. Tapi justru itulah yang membuatku sadar—aku bisa merasakan tatapannya, meski aku tidak menoleh. Malam semakin larut. Sunyi menelan kamar. Aku pura-pura tidur, menahan napas. Kata-kata Arkana tadi masih menggema di kepalaku, menusuk seperti rantai yang melilit leherku. Dalam hati, aku bersumpah lagi: aku akan menemukan cara keluar dari belenggu ini. Apa pun taruhannya. Lalu suara rendah itu terdengar, begitu dekat hingga membuatku membeku. “Kau akan berterima kasih padaku suatu hari nanti, Nayla… karena aku tidak akan pernah melepaskanmu.”Tanganku terangkat, menutupi bibir yang bergetar. Suara hujan deras di luar semakin membuat dunia terasa kacau, menampar wajahku dengan dingin yang menusuk. Nafasku berat, dada sesak, dan setiap detik terasa seperti diseret oleh ketegangan yang tak tertahankan. Aku menunduk, mencoba menembus kegelapan, mencari tanda-tanda keberadaan Adam. Suara langkah kaki samar terdengar lagi—lebih dekat, lebih pasti—membuat bulu kudukku berdiri. Setiap gerakan terasa seperti perangkap, dan aku tahu aku harus tetap waspada. Sosok pria bertopeng muncul dari bayang-bayang semak-semak. Tubuhnya tegap, gerakannya tenang tapi penuh ancaman. Di tangannya, sebuah senjata panjang berkilat diterpa cahaya bulan. Aku menelan ludah, jantungku berdegup begitu kencang hingga rasanya ingin meledak. Aku mundur selangkah, dan kedinginan dari hujan membuat kakiku terpeleset. Air hujan bercampur air mataku. Rasanya seperti dunia runtuh di sekitarku. “Berhenti!” teriakku, suara pecah, hampir hilang ditelan hujan. “
Adam berdiri kaku di tengah ruangan, tubuhnya tegang, matanya menajam meneliti setiap sudut. Nafasnya berat, seperti berusaha menahan amarah sekaligus rasa takut yang membuncah. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, begitu keras seakan memenuhi seluruh ruangan. “Duduk di belakangku,” katanya singkat, tegas, tanpa menoleh. Tanganku gemetar, tapi aku menuruti ucapannya. Aku merayap perlahan ke arah belakang punggungnya, mencoba mencari sedikit perlindungan dari sosok Adam yang kini tampak lebih seperti perisai hidup. Adam meraih vas bunga pecah di lantai, mencengkeram pecahan porselen tajam yang bisa digunakan sebagai senjata. Cahaya lampu yang berkelip-kelip memantulkan kilau dingin di permukaan pecahan itu. Aku menelan ludah, tenggorokanku kering. “Mereka… mereka benar-benar sudah masuk ke rumah ini?” suaraku bergetar. Adam tidak menjawab langsung. Matanya fokus, tubuhnya sedikit merunduk. Ia mendengar sesuatu—langkah kaki samar, gesekan halus di lantai kayu. “Ya,” katanya
"Nayla… apa maksudnya? Siapa sebenarnya kau?”Suara Adam memecah keheningan, terdengar berat sekaligus terluka. Tatapannya menusukku, seolah ingin membongkar seluruh lapisan diriku. Aku ingin bicara, tapi mulutku terkunci, tubuhku gemetar.Aku menunduk, kedua tanganku saling meremas. “Aku… aku tidak bermaksud menipumu, Adam. Aku hanya… tidak bisa mengatakan semuanya.”“Tidak bisa? Atau tidak mau?” Adam mendekat, suaranya meninggi. “Kau tahu kita sudah melewati begitu banyak hal, Nayla! Aku berdiri di sisimu, meski aku tidak tahu siapa yang mengejarmu, kenapa mereka melakukannya. Dan sekarang aku baru tahu—bahwa mungkin aku bahkan tidak mengenalmu sama sekali.”Dadaku terasa sesak. Air mataku kembali jatuh. “Aku takut. Kalau kau tahu kebenarannya, kau mungkin akan meninggalkanku.”Adam memalingkan wajah, berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang kacau. Pintu hancur, serpihan kayu berserakan, angin malam masuk membawa bau debu bercampur dingin. Lampu gantung di atas kepala bergoyang per
Tubuhku membeku. Kata-kata itu masih menggema di udara, menusuk lebih tajam daripada retakan pintu yang baru saja jebol. “Akhirnya… aku menemukanmu.” Bayangan tinggi itu melangkah masuk. Gerakannya pelan, sengaja dibuat panjang, seakan ingin menunda penyiksaan. Setiap langkah kakinya menghantam lantai kayu, menimbulkan gema yang menusuk telinga. Cahaya dari koridor menyorot sebagian wajahnya—garis rahang tegas, pipi cekung, dan sorot mata hitam pekat yang berkilat penuh ancaman. Adam berdiri di depanku. Bahunya tegang, napasnya kasar, tapi aku bisa melihat jelas tangannya sedikit gemetar. Meski begitu, ia tetap merentangkan tubuhnya, menghadang sosok itu dengan berani. “Siapa kau?!” suaranya keras, mencoba tegas, tapi tidak sepenuhnya kokoh. Lelaki itu menoleh sebentar ke arah Adam, lalu tertawa rendah. Suara tawanya berat, menekan, membuat bulu kudukku berdiri. “Pertanyaan yang salah.” Tatapannya kembali padaku, menembus hingga ke sumsum tulangku. “Yang benar adalah: siapa dia se
Ponselku jatuh ke lantai, layar masih menyala. Pesan itu terpampang jelas, huruf-hurufnya sederhana namun menghantam dadaku seperti palu. “Kami sudah tahu.” Aku membeku. Dunia seakan runtuh, suaraku hilang. Tangan dan kakiku dingin, darah seolah berhenti mengalir. Seluruh tubuhku gemetar, tidak mampu menerima kenyataan yang seharusnya masih jauh dari jangkauan. Adam cepat-cepat meraih ponsel itu. Matanya menatap layar, lalu wajahnya berubah pucat. “Apa ini?” suaranya serak, lalu meninggi, penuh amarah. “Nayla, siapa yang mengirim pesan ini?!” Aku menggeleng keras, air mata jatuh. “Aku… aku tidak tahu.” Suaraku pecah, nyaris tak terdengar. Tapi hatiku tahu persis. Aku tahu siapa mereka. Aku hanya tidak pernah menyangka mereka akan bergerak secepat ini. Adam melangkah maju, mencengkeram bahuku. “Jangan bohong!” teriaknya. Matanya berkobar, antara marah dan takut. “Kau tahu sesuatu! Katakan padaku, Nayla!” Aku mundur, punggungku menabrak dinding. “Aku tidak bisa… tolong, Adam, aku
“Aku…” suaraku pecah di udara. Hanya satu kata itu yang berhasil keluar, namun sudah cukup untuk membuat ruangan ini terasa menegang. Arkana memiringkan kepala, menatapku dengan sorot mata yang membuat tubuhku membeku. “Kau… apa, Nayla?” suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi tekanan di baliknya begitu kuat. Tanganku masih digenggam Adam. Ia menatapku dengan penuh harap, seolah menunggu kalimat yang bisa menyelamatkan kami berdua dari neraka ini. “Nayla, jangan takut. Katakan saja. Katakan padaku yang sebenarnya.” Dadaku naik turun, napas terasa berat. Aku ingin melarikan diri, tapi tidak ada tempat yang cukup jauh untuk kabur dari kenyataan ini. Air mata akhirnya jatuh, mengalir deras di pipiku. “Aku… tidak bahagia,” ucapku, suaraku gemetar namun jelas. “Aku merasa… terjebak.” Adam memelukku singkat, hangat, seakan berusaha melindungiku dari semua luka. Untuk sesaat, aku ingin tenggelam di pelukannya, berpura-pura semua baik-baik saja. Tapi kebahagiaan itu hanya bertahan sebe