Share

Part 4 : Sandiwara

Tidak ada suara lain selain suara mesin kendaraan yang terdengar. Setelah mengucapkan kata kasarnya tadi pria itu membungkam mulutnya rapat.

Laura menoleh ke samping. "Apa aku melakukan kesalahan?" dia memberanikan diri untuk bertanya.

Pria itu tidak menjawab. Pandangannya lurus ke depan. Seolah olah tidak mendengar apapun dan suara Laura hanyalah angin berhembus yang tidak berarti eksistensinya.

"Hey! Aku bertanya padamu," kata Laura sekali lagi.

King menoleh sejenak. Matanya sempat membulat lalu kembali normal dalam beberapa detik. "Menurutmu?" tanyanya.

Kemudian dia memalingkan wajah tampannya yang dingin ke depan seperti sedia kala.

Sementara itu Laura meneguk salivanya kasar. "Dia benar benar mengerikan," ucap batinnya.

Bersamaan dengan itu mobil berhenti. Mereka telah sampai di kediaman orang tua Alejandro. Pria itu turun lebih dulu dibantu Ernino untuk duduk di kursi rodanya.

Sementara Laura masih terdiam di tempat duduknya bersama segala pemikiran yang berkecamuk dalam kepalanya. 'Iya aku mengaku salah karena karena dengan begini sama saja aku merebut posisi Alena.' Seandainya bukan karena terpaksa Laura tidak ingin melakukan ini. Ia memilih untuk menghabiskan hidupnya bersama sang ibu meskipun serba kekurangan.

'Tapi masalahnya kan aku sedang berpura pura jadi Alena sekarang. Sedangkan kata nyonya itu King adalah orang yang sangat mencintai Alena. Tapi pria itu sangat dingin padaku. Seolah olah aku adalah musuh yang harus dimusnahkan. Apakah sebelum kecelakaan Alena melakukan kesalahan atau jangan jangan aku sudah ketahuan? ya ampun bagaimana ini? Jika sampai ketahuan dan aku harus mengembalikan sejumlah uang itu?'

"Kenapa kau masih di sana?" tanyanya. Laura menoleh terkejut tahu tahu pria itu sudah turun. Kini dia ada di luar duduk diatas kursi roda baru saja membukakan pintu mobil untuk Laura.

"Turun !!!" titahnya tegas tidak menerima bantahan.

Tanpa mengucapkan sepatah kata Laura menurunkan kakinya. Memasang wajah setenang mungkin. Memutar langkah ke belakang king. Mengambil alih kursi roda dari Ernino.

"Biar aku saja," pinta Laura.

Pria bermata sipit itu tersenyum, mengangguk, melepaskan tangannya dan mundur sedikit ke belakang. Dengan pelan Laura mendorong kursi rodanya. Melewati barisan taman. Sedangkan yang duduk tanpa seperti patung hidup. Kaku dan datar.

"Selamat datang Tuan dan Nona." Begitu masuk mansion para pelayan berseragam menyambut sambil menundukkan kepala. Laura ikut menundukkan kepalanya sejenak

"Alenaaaa!!!" Dari sang nyonya merentangkan tangannya memeluk Laura. Wajahnya sumringah seakan akan mereka baru saja bertemu setelah sekian lama.

"Selamat datang kembali di rumah ini sayang."

Laura sempat mematung bingung sejenak. Sebelum dia menormalkan kembali ekspresinya. Untungnya ia ingat kemarin pesan sang nyonya. Untuk menjadi istri king Laura harus berpura pura menjadi Alena, mendiang tunangannya.

"Alena! Biarkan aku yang membawa King ke atas. Kalian pasti butuh waktu berdua setelah sekian lama tak bertemu. Sedangkan King harus minum obat sekarang," kata Ernino.

Alena mengangkat alisnya. Pria itu ikut bersandiwara untuknya. Awalnya Alena pikir dia adalah bawahannya King. Namun dari cara memanggilnya yang tidak memakai embel embel tuan hubungan mereka pasti lebih dari sekedar atasan dan bawahan. Ernino menundukkan kepalanya sejenak.

"Ayo King!" Dia mendorong kursi rodanya.

Setelah mereka pergi barulah nyonya besar itu membawa Laura pergi ke sudut ruangan yang sepi pelayan.

"Kau benar benar luar biasa, Laura. Kau benar benar mirip dengan Alena." Dia mengamati penampilan Laura dari atas ke bawah.

"Wah ... Saat datang tadi kau sampai membuatku terkejut. Ku pikir Alena bangkit lagi dari kuburnya. Kalau begini tidak sia sia aku membayarmu, Laura." Eve menggeleng gelengkan kepalanya.

Sebenarnya dia bukanlah perempuan yang suka memuji orang lain. Tapi ia kali tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Gaya rambut, pakaian, cara berdirinya dan bahkan cara berjalannya pun sama.

"Terima kasih Nyonya." Laura membungkuk hormat. Dua tangannya ia simpan di depan dada.

"Ini semua berkat Nyonya. Setelah kemarin nyonya memberitahukan semua tentang Alena saat mengantarku ke rumah sakit. Malamnya, aku membeli dress dan semua yang dibutuhkan seperti yang nyonya perintahkan."

"Kau mempelajarinya dalam satu malam?," Tanya eve terkejut. Alena mengangguk.

"Luar biasa! Kau benar benar luar biasa. Wah bahkan nada bicaramu persis seperti Alena."

"Nyonya sendiri yang memberitahuku bahwa Alena itu berbicara dengan anggun, tertata rapi dan juga tenang. Aku hanya mengikuti saran Nyonya."

"Bagus! Aku suka orang yang penurut." Dia menepuk nepuk bahu Laura yang dibalut dress.

"Kurangmu cuma satu. Panggil aku Mommy. Alena tidak pernah memanggilku Nyonya," tegasnya. "Bisa gawat kalau King mendengarnya. Telinganya cukup tajam. Kau mengerti kan?"

Laura mengangguk. Lalu pandangannya tertahan saat ia mengingat sesuatu.

"Tapi Nyonya ... Maksudku Mommy ada yang ingin kutanyakan mengenai Tuan King, ah maksudnya King."

"Apa itu?"

"Kata nyonya, King sangat mencintai Alena. Tapi saat aku berada didekatnya dia tidak banyak bicara seperti yang kubayangkan. Dia bertindak seolah olah aku baru saja melakukan kesalahan. Apa dia sudah mengetahui kalau aku adalah Alena palsu?"

"Memang sosok seperti apa King dalam bayanganmu Laura?

Bentuk cinta itu ada banyak ada yang suka dengan kata kata manis ada juga yang langsung pada tindakan. Dan king adalah orang di tipe kedua. Dia memang dingin dan irit bicara. Dia akan berbicara seperlunya dan berekspresi juga seperlunya. Bahkan dalam setahun bisa dihitung jari jumlah senyumnya. Sejak kecil sikapnya memang begitu. Saat berhubungan dengan Alena pun seperti itu.

"Dia memang dingin tapi sesekali anak itu akan tersenyum. Tapi itu hanya ketika berlaku di dekat Alena. Tidak untuk kami keluarganya. Sekarang dia menjadi lumpuh dan dia juga harus menerima kenyataan bahwa kekasihnya meninggal dunia. Aku takut hal itu membuatnya terpuruk terlalu dalam. Untuk itulah aku memilihmu dan berpura pura menjadi Alena."

"Aku mengerti, aku akan melakukan yang terbaik menjadi Alena dan juga merawat King."

"Berjanjilah Laura kau tidak akan ketahuan. Kalau sampai ketahuan aku akan mencabut biaya rumah sakit ibumu yang sekarang sedang koma dan juga menyuruhmu mengembalikan uang yang telah ku berikan. Nah Sekarang tandatangani ini, surat perjanjian kita." Eve mendorong map didepannya, Bolpoin sudah siap di atasnya. Laura memandang kerta ditangannya lamat Lamat.

"Cepatlah Laura sebelum King turun dan memergoki kita!"

"Tapi Nyonya aku perlu mem--"

"Aku tidak suka dibantah Laura," Tegasnya dengan tatapan tajam. Tidak ada pilihan lain selain Laura mengikutinya.

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" Sebuah suara bariton menggema.

Laura dan Eve menoleh bersamaan. Tiba tiba King sudah berada disana. Duduk diatas kursi roda. Untungnya dua detik sebelum itu Laura sudah membubuhkan tanda tangan

Eve menarik senyum ramah.

"Kami sedang membicarakan rencana pernikahan kalian. Mom, baru saja memberitahukan Alena bahwa pernikahan yang tertunda sebelumnya akan dilanjutkan besok."

Mata laura membulat, terkejut. 'Besok aku akan menikah?' Dia menatap Eve tak percaya. Laura sadar pelan atau lambat ia akan menjadi isterinya King. Tapi tidak menyangka akan secepat ini pula.

"Lalu apa yang ada di tanganmu, Mom?" tanya King.

Pandangan Eve tertuju pada map bersampul tebal di tangannya.

"Ah ini ... Ini daftar tamu undangan yang akan hadir. Aku bertanya apakah Alena akan menambah daftar tamunya. Takutnya ada yang lupa dan ingin ditambahkan. Tapi dia mengatakan tidak perlu karena semua orang yang ingin diundangnya sudah ditulis saat itu." Eve mengucapkan kebohongan itu begitu mulus seperti sudah terancang dalam kepalanya.

"Ayo Alena kita membeli cincin yang baru. Ku dengar kau tak menghilangkannya saat kecelakaan itu," ajak Eve kemudian Laura mengikutinya dari belakang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status