Share

Part 5 : Pernikahan

Hari pernikahan.

"Ingatlah yang kukatakan kemarin baik baik, Laura. Jaga sikapmu. Karena setelah ini kau akan semakin dekat dengan King. Jangan sampai dia mencurigaimu, mengerti?"

Pesan Nyonya Eve tadi pagi terngiang ngiang díkepala Laura. Kini perempuan itu duduk di meja rias. Memakai gaun pengantin berwarna putih.

"Sudah selesai Nona," kata sang perias beberapa menit kemudian.

Laura menengadahkan kepalanya. Melihat pantulan dirinya di kaca oval. Sapuan bedak tipis telah merubah kontur wajahnya.

"Wow ... Kau benar benar cantik, Nona. Kau terlihat seperti putri dari negeri dongeng," puji asisten MUA. Matanya berbinar terkagum kagum menatap Laura. Laura tersenyum tipis dan mengucapkan terimakasih.

"Mari Nona acara akan segera dimulai." Seorang pria tinggi, tua, kepala bagian atasnya botak, mengenakan seragam menghampiri Laura.

Perempuan itu lantas berdiri mengangkat gaunnya. Laura berjalan dengan pelan. Langkah kakinya membawa ia keluar dari ruangan tata rias dan masuk ke dalam gedung utama.

Pintu pun dibuka. Perempuan itu terpana melihat pemandangan di depannya. Lampu lampu berkilau dan menjuntai indah, tanaman tanaman sulur berwarna ungu turut menghiasi di setiap sisinya. Juga altar tempat berjalannya nanti dihiasi tanaman indah di sisi kiri kanannya. Menyisakan jalan yang lantainya terbuat dari batu pualam.

"Mari kita sambut pengantin perempuan."

Laura menarik nafasnya terlebih dahulu. Mengembangkan senyum lalu berjalan diatas Altar sendirian. Sosok Alena sendiri adalah seorang perempuan dari panti asuhan. Alena sudah lama bicara tentang kemandirian. Yang lain pasti berpikir hal ini akan memperlihatkan kekuatannya dalam mempersiapkan diri bergabung ke salah satu keluarga paling terkenal.

Disana King sudah menunggunya. Dia duduk di kursi roda dengan gagah, memakai tuksedo hitam yang terlihat pas di tubuhnya seakan akan pakaian itu hanya diciptakan untuknya. Bahunya terlihat lebar, dadanya bidang, tatapannya tegas syarat karisma. Rambutnya dibelah tengah menampilkan jidat paripurna yang mulus tanpa jerawat. Lalu penampilannya disempurnakan dengan senyuman yang menawan.

Dia tersenyum! Hampir saja Laura kehilangan keseimbangan high heelsnya. Ini kali pertamanya melihat pria dingin itu mengambangkan bibirnya selain seringaian.

King mengulurkan tangan berototnya membawa Laura berjalan untuk mengucapkan janji suci.

"Alena Claudya! apakah kau sudah siap menjadi istriku?"

Deg! Jantung Laura berdesir ngilu. Rasanya hampir pindah ke dasar lambung. Cara dia berbicara, cara dia menatap begitu lembut.

Laura mengangguk dan senyumnya semakin lebar.

"Saya mengambil engkau menjadi istriku untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Dalam suka maupun duka, waktu kaya maupun miskin, waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita."

".... Sampai maut memisahkan kita," Ucap Laura mengakhiri janji suci.

Setelah itu Laura hadap kanan. Begitu pun king. Dia menekan tombol di bawah tangannya membuat kursi roda itu otomatis bergerak. Kini mereka saling berhadapan. Laura berjongkok, mengulurkan tangannya. King memasangkan cincin ke tangan mungil Laura. Sejak tadi senyum dari pria tampan itu tidak pudar. Dia seperti orang paling bahagia saat ini.

Setelah cincin terpasang Laura pun melakukan yang sama. Memasangkan cincin ke jari panjangnya King. Dalam hati perempuan itu bertanya tanya. Melihat King seperti seperti Melihat perpindahan dari musim gugur ke musim semi.

"Inikan yang kau inginkan, Lena?" pria itu tersenyum tipis. Meraih pinggang Laura.

Sementara itu penonton menatap iri sekaligus gregetan. Bagiamana romantisnya hubungan Alena dan King sudah tersebar dikalangan para pembisnis.

Meskipun atas nama Alena nyatanya tidak ada satupun orang terdekat Alena yang diundang. Meskipun seorang model, Alena bukanlah model terkenal. Kematian gadis itu tidak banyak yang tahu. Selain itu kecelakaan King berhasil ditahan dari publik. Setidaknya sampai Eve menemukan pengganti Alena.

"Dia bukan Alena yang asli!!!" teriak seseorang tiba tiba.

Pintu gedung pun terbuka lebar. Semua pasang mata menoleh padanya. Seorang pria usia 30 an menerobos masuk. Nafasnya terengah-engah. Dia memakai sweater abu abu kupluk yang membungkus kepalanya.

Tiba tiba atmosfer berubah jadi hening mencengkam. Sementara itu pandangan Laura terarah pada nyonya Eve. Wajahnya telah pucat pasi. Dia berisik pada bodyguard dibelakangnya. "Sudah ku bilang jangan biarkan satu orang pun kenalan dekat Alena untuk masuk. Kenapa kau tidak becus, hah?"

"Kendalikan dirimu, Eve. Atau semua orang akan menatapmu curiga," peringat sang suami.

Melihat kekacauan ini. Jantung Laura bertalu talu. "Sebentar ...," ucapnya melepaskan tangan king dari pinggangnya.

Dia memasang wajah setenang mungkin. Tersenyum, lalu menatap pria tinggi yang berada disana.

"Apa maksudmu berkata demikian?"

"Dia bukan Alena. Jangan percaya perempuan munafik itu Alejandro King. Karena Alena yang asli sudah meninggal beberapa bulan lalu. Dia adalah orang lain yang dibayar untuk berpura pura menjadi kekasihmu." Pandangannya yang semula menatap King. Kini beralih pada Alena.

"Katakan! Mereka membayarmu berapa untuk melakukan sandiwara ini, hah?"

Teriakan pria itu sukses membuat kolega bisnis King berbisik bisik di kursi tamu. Sementara itu King mengepalkan tangannya. Menatap Alena dengan tajam seperti siap membunuh.

Perempuan itu mengangkat kakinya satu langkah ke depan. Urat urat di lehernya tercetak jelas, seperti biasa saat dia emosi.

"Berhenti omong kosong Marcus! Aku masih hidup. Lihat aku berdiri disini bersama pria yang ku pacari dua tahun ini. Teganya kau mengatakan hal tadi padaku. Padahal kita sudah kenal lebih dari sepuluh tahun dan hidup bersama di panti asuhan. Saat itu kau menangis di sudut ruangan karena orang tuamu tiba tiba meninggalkanmu ketika kalian pergi ke pusat kota," ungkapnya panjang lebar. Semua yang hadir bahkan sampai menganga.

"Al--ena. Bagaimana bisa?" kakinya mundur selangkah. Tidak menyangka yang dikatakan perempuan itu semuanya benar.

"Ya aku masih hidup. Kau melihatku sekarang bukan?"

"Itu tidak mungkin!" Marcus menggeleng. Ia sendiri yang mengkremasi Alena saat itu. Kepergian Alena menyisakan luka berat untuknya.

"Kau mungkin melihatku meninggal dalam mimpimu. Ku akui aku bersalah. Aku minta maaf karena tidak mengunjungimu beberapa bulan terakhir."

Marcus menelan salivanya kasar. Matanya membulat menatap Laura. Disana nyonya Eve menghembuskan nafas lega.

Diam diam Laura mengembangkan senyum tipisnya. Sebelumnya nyonya Eve memberikan daftar biodata orang orang terdekat Alena untuk berjaga jaga. Beruntung Laura punya ingatan tajam. Jadi dia dapat menghafalnya dalam semalam.

"Kalau begitu jawab dulu pertanyaanku. Kalau jawabanmu salah maka kau bukan Alena," tegas Marcus.

Jantung Laura kian bertalu. Raut wajah Eve yang semula tenang kembali kusut. Dari semua teman temannya, Marcus adalah orang paling dekat dengan Alena.

"Kalau begitu ceritakan siapa aku."

"Kau Marcus Stephen. Teman laki laki pertama yang kumiliki. Tinggal di backstreet avenue no.12. Suka merokok tapi Alergi alkohol. Pernah punya pacar selama 5 tahun, tapi akhirnya kandas karena pacarmu berselingkuh dengan seorang perempuan. Oh dan kau jua seorang pianis."

Pria itu mengerjapkan mata. Entah berapa puluh ribu dollar nyonya Eve mengeluarkan uang untuk mencari informasi sampai sedetail itu.

"Apa rahasiaku?"

Laura terdiam, menatap pria itu dari atas sampai ke bawah, kemudian melangkah dengan elegan. Laura tersenyum miring.

"Rahasiamu? kau tidak punya rahasia karena kau tidak pernah berbagi rahasiamu denganku."

Pria itu melangkah mundur, merasa kalah. Jawaban Laura benar. Dalam kondisi genting seperti itu, untung saja Laura melihat tangan pria itu baik baik. Pria itu mempunyai bekas sayatan di tangan kirinya yang terlihat samar, hampir tertutupi lengan sweater. Dia menyimpan semua bebannya sendirian.

"Maafkan temanku atas semua keributan ini." Laura menundukkan kepalanya sejenak, sembari tersenyum lembut. Dia totalitas menjadi Alena.

"Kalau begitu mari kita lanjutkan doa pemberkatan," kata pendeta diujung sana.

Laura mengangguk dan nyonya Eve menghembuskan nafas lega di kursi duduknya, menggenggam tangan suaminya.

Akhirnya pernikahan berjalan dengan semestinya.

***

"King siapa yang akan mandi lebih dulu. Kau dulu atau aku?"

Laura duduk di pinggir ranjang melepas manik manik dan menyimpannya di nakas. Kini mereka di kamar khusus yang disiapkan nyonya Eve.

"King apa yang kau lakukan?" tiba tiba King mendorongnya.

Menyudutkan Laura díkepala ranjang. Entah sejak kapan pria itu keluar dari kursi roda dan duduk di kasur. Tapi yang pasti matanya kini menyala nyala.

"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan suara berat dan dalam. Kedua tangannya mengungkit Laura.

"Tentu saja Alena." Perempuan itu berkali kali merapalkan mantra agar tetap menjaga ketenangan. Kini dia memasang wajah pura pura tersinggung.

"Heoll, apakah kau juga meragukanku?" Laura mengibaskan rambutnya. Namun, King semakin menekan bahunya.

"Buktikan!"

"Apa?"

"Buktikan kalau kau adalah Alena."

"Baiklah .." Laura berdehem.

"Kau ingat saat kita pertama bertemu? Kau menjadikanku model pakaian yang diproduksi perusahaanmu. Kau dingin sekali saat itu." Sebenarnya Nyonya Eve tidak menceritakan detailnya bagaimana ekspresi King saat itu. Laura hanya menebak. Tapi sepertinya tebakan dia benar, King menganggukkan kepalanya.

"Namun aku justru menyukaimu. Tidak tahu kenapa kenapa saat bagaimanapun kau selalu terlihat keren. Tapi bukan itu yang membuatku tergila gila padamu. Pertama kalinya aku menyukaimu saat kau datang ke panti beberapa tahun silam. Kau berdiri disamping ayahmu menjadi donasi. Sejak saat itulah aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Ya ampun siapa pria dengan jas kecil itu yang membawa robot iron man? Kemudian beberapa tahun setelahnya kau juga datang. Saat itulah aku tahu namamu. Tapi sayangnya aku tidak bisa mendekat--"

"Kiss me."

"What?" Laura mengerutkan kening.

"Kenapa?" King memiringkan kepalanya. Pria itu tersenyum miring.

"Jika benar kau Alena, kau pasti tahu bagaimana cara memainkan bibirmu, bukan? Kau tahu, itu keahlian privasi kita." King berbisik tepat ditelinga.

Laura mengigit bibirnya, gelagapan. Dia mungkin bisa menghafal ribuan teks yang diberikan nyonya Eve. Tapi untuk yang satu ini, bibirnya tidak punya pengalaman kiss.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status