Bagian paling menyakitkan dari sebuah pertemuan, adalah perpisahan.
Pernah kah kalian berpikir Allah begitu tak adil? Aku pernah, bahkan sekarang aku sedang merasakan hal itu. Aku tahu ini salah, mengingkari takdir yang telah digariskan adalah dosa. Aku hanya manusia biasa, dan rasa putus asa ini yang membuatku berpikir keliru. Maafkan aku ya Raab.
Rasanya baru kemaren kami mengikat janji suci. Tapi dalam hitungan menit, Allah telah membuat kami dalam keadaan seperti ini.
Belum lagi memikirkan Anakku harus hidup tanpa Ibu, rasanya berat. Apa aku bisa menjaganya? Suatu saat, akan ada hari dimana dia menginginkan memiliki ibu bukan? Lalu, apa yang harus kujelaskan?
Saat pikiranku dipenuhi firasat buruk, dan khawati tentang keadaan Nazwa yang sedang kritis. Suara familiar yang menjadi pemicu pertengkaran kami terdengar. Aku tahu, tak seharusnya aku menyalahkannya. Bagaimanpun juga, dia tak tahu apa-apa. Jika ada yang perlu disalahkan, maka aku lah orangnya.
Kayla berdiri di depanku dengan wajah khawatir. Napasnya memburu karena mungkin dia berlarian menuju ke sini. Setelah kemaren aku menyuruh Gea, sahabatnya, untuk memberi tahu keadaan Nazwa. Aku tahu sekali, Kayla pasti merasakan hal sama sepertiku. Wanita ini begitu menyayangi Nazwa.
"Mas Adit!"
"Kay, kamu pulang?" jawabku dengan suara lmah. Untuk sekedar berbicara saja rasanya sudah tak ada tenaga."Bagaimana kondisi, Nazwa?"
"Nazwa kritis, setelah melahirkan Jovan." Wanita di depanku terlihat syok. Tiba-tiba seorang suster keluar, dan memanggil namaku. Lalu menyuruhku untuk masuk ke ruang ICU.
Aku berjalan menghampiri ranjang Nazwa, bibir pucat itu menyunggingkan senyum lemah. Jantungku terasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Melihat wanita yang selama lima tahun ini menemaniku dalam suka dan duka, kini tengah terbaring tak berdaya.
Aku duduk di sebelah ranjang. Kugenggam tangan kecil yang kini terasa dingin itu. Sesekali kukecup punggung tangannya demi memberi tahu aku di sini masih untuknya. Katakan saja aku cengeng. Tapi melihat keadaannya yang seperti ini, aku tak bisa menahan airmata yang kini menetes.
Berbanding dengan aku, Nazwa justru tetap menyunggingkan senyum kuat.
"Mas, aku titip Jovan," Nazwa berkata lirih.
Ya, bayi mungil itu kami beri nama Jovan. Sesuai kesepakatan kami jauh-jauh hari.
Aku menggeleng, tak menyetujui keinginannya.
"Nggak! Aku mau kamu sembuh, dan kita besarkan Jovan bersama.""Mas, menikahlah dengan Mbak Kayla." Kata-kata yang diucapkannya barusan seolah menamparku. Aku terdiam dan menatap kosong kearahnya. Lelucon macam apa lagi ini?
Apa dia sadar dengan yang di ucapkannya? Mana bisa aku menikah secepat itu, sementara rasa sedih masih membayang.
"Mas, jangan egois, ini semua demi Jovan, pikirkan tentang dia. Jovan butuh ibu yang bisa menyayanginya dengan tulus, dan aku hanya percaya Mbak Kayla."
"Apa yang kamu katakan? Jangan bicara yang tidak-tidak, kamu pasti sembuh. Dan kita akan berkumpul lagi, seperti dulu." Aku berusaha menyakinkan diri, semuanya pasti akan kembali seperti semula.
Tapi Istriku hanya tersenyum, lalu menempelkan telapak tanganku ke pipinya.
"Aku mohon, penuhi wasiat terakhirku. Mas tahu betul, waktuku tak banyak. Terimasih, telah mengijinkanku menjadi istrimu."
Rahangku mengeras, emosi serasa naik keubun-ubun, KAYLA KAYLA! lagi lagi KAYLA! Tak bisakah dia berhenti menyebut nama itu! Apa dia tak sadar, mendengar nama Kayla, semakin menambah beban rasa bersalahku.
Ku pejamkan mata, lalu kuembuskan napas berat.
"Tolong. Berhenti mengatakan ini. Mana bisa aku menikahi Kayla, sementara kamu dalam kondisi seperti ini. Tak bisakah kamu berhenti membuatku semakin merasa bersalah. Tolong, mengerti sedikit perasaanku. Sekarang terserah kamu!" setelah mengatakan itu, aku bergegas keluar dengan menahan emosi.Aku bahkan membuka pintu ICU dengan keras, menarik perhatian beberapa orang yang ada di luar.
Dan disanalah wanita itu, menatapku dengan banyak pertanyaan dalam benak. Aku berjalan kearahnya, rasa bersalah dan juga emosi menguasaiku. Tanpa sadar aku mengepalkan tangan dan menatapnya penuh amarah. Kayla terlihat bingung karena perubahan sikapku.
Mengingat Kayla, juga berarti mengingat kesalahanku. Aku tahu, tak seharusnya aku bersikap dingin padanya. Tapi rasa bersalah ini yang membuat dadaku sesak. Membuatku tak bisa berada didekatnya terlalu lama.
Aku memilih menenangkan diri di taman rumah sakit. Tapi baru beberapa menit duduk, aku melihat beberapa dokter dan suster berlarian keruang ICU. Jantungku berdetak dengan cepat, menyadari keadaan Nazwa mungkin saja tengah keritis.
Buru-buru aku berlari menerobos krumunan keluarga, dan juga dokter yang sedang menanganinya. Tapi semuanya terlambat, Bunyi suara monitor pendeteksi jantung terasa memekakan telinga.
Nyawaku terasa melayang. Ku hampiri tubuh yang telah terbujur kaku itu. Seulas senyum tersungging dibibir pucatnya, tanganku bergetar saat berusaha memegang wajah itu. Aku tahu, dia telah meninggal secara syahid. Tapi bagaimana denganku? Apa selamanya aku akan hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah.
Satu sayapku telah patah, meninggalkan goresan rasa bersalah teramat dalam. Seandainya kami tak bertengkar, seandainya dulu kubuang benda-benda sialan itu. Mungkin Nazwa akan tetap di sisiku.
******
Beberapa hari setelah Nazwa meninggal, keadaanku mengenaskan. Aku lebih sering berada di kantor. Untuk mengurus diri sendiri saja seakan tak mampu, bagaimana dengan Jovan? Aku jarang sekali pulang untuk sekedar melihat Jovan yang sekarang ku titipkan pada Umi.
Sebut saja aku ayah yang bajingan, hingga puncaknya, saat wanita yang paling ku hindari datang menemui.
Aku sedang mengerjakan berkas-berkas penting yang akan di presentasikan di depan dewan dereksi. Tiba-tiba suara pintu yang dibuka kasar mengintrupsi kegiatanku.
Didepanku, berdiri Kayla dengan wajah merah padam, menahan amarah. Wanita itu berjalan dengan langkah lebar dan menghampiriku.
"Berhenti bersikap kekanakan! Jangan jadi pria egois dan tak bertanggung jawab!"
Aku hanya menatapnya sekilas, dan menyunggingkan senyum sinis. Lalu melanjutkan pekerjaanku tanpa mengindahkannya.
"Dengarkan baik-baik! Karena aku, tak akan mengulanginya lagi! Jika Mas ingin menyusul Nazwa, susul saja dia! Karena percuma saja Mas hidup, jika Mas melupakan tanggung jawab Mas pada Jovan! Jangan pernah menyesal jika suati hari, Jovan akan membencimu. Kamu bahkan tak pantas di sebut Ayah!" setelah mengatakan kalimat sinis itu, Kayla melemparkan sebuah amplop, kemudian pergi sambil membanting pintu.
Cih! Dia pikir dia itu siapa, berani memerintahku. Terdorong rasa penasaran, aku membuka amplop coklat yang tergletak di atas meja.
Untukmu Imamku dunia Akhirat
Saat Kau membaca surat ini, mungkin aku telah jauh. Meninggalkanmu dan malaikat kecil kita.
Maaf, karena pergi terlalu cepat.
Maaf, karena aku tak bisa bersama denganmu untuk membesarkan Jovan. Satu hal yang harus kamu ingat.Berhentilah merasa bersalah untuk kematianku. Jangan pernah salahkan dirimu sendiri. Karena aku telah memaafkanmu
Dan maaf untuk kata-kata kasarku tempo hari. Apa yang aku ucapkan hanya bentuk kekecewaan karena ketidak jujuranmu. Seandainya dulu Mas jujur, aku pasti akan lebih bahagia. Tapi sudahlah, apa yang terjadi tak bisa diulang lagi bukan?
Aku akan menunggumu di tempat yang jauh lebih indah dari ini, tapi aku mohon, berikan Jovan keluarga yang utuh. Mbak Kay wanita yang baik, Mas pasti akan mencintai dia lebih besar dari Mas mencintai aku. Bukankah Mas dulu pernah menyebutkan dia dalam do'a? Dan anggap saja, do'a Mas terkabul sekarang, karena Allah memberikan jalan ini untuk Kalian.
Mas percaya? jodoh tak akan tertukar. Sama seperti takdir Mas dan Mbak Kayla. Dari awal bertemu, Mbak Kayla adalah jodoh yang di siapkan Allah untukmu. Sementara aku, hanya seorang prantara. Yang diberikan oleh-Nya kesempatan untuk bisa berada disisimu.
Aku bahagia, walau kesempatan itu datang untuk sesaat. Setidaknya, aku telah memberimu satu kenangan tentang aku. Kenangan yang akan membuat kalian selalu mengingatku, bahwa aku, pernah ada dan jadi bagian dari hidup kalian. Dan kenangan itu adalah JOVAN.
Jovan butuh seorang ibu, aku tahu pasti, mas tak akaan bisa menjaga Jovan. Dan kalau itu terjadi. Aku tak akan memafkanmu.
Jadi aku mohon, menikahlah dengannya demi Jovan, dan hiduplah dengan bahagia. Setidaknya aku telah mengembalikan apa yang seharusnya menjadi takdirmu.
Teruslah hidup bahagia
Dariku, KenanganmuAku menangis terisak setelah membaca surat dari Nazwa. Jika memang ini jalan yang terbaik, aku tak bisa menolak kehendak-Mu
*******
Selamat pagiii ketemu lagi denganku. Sedih banget nggak sih, liat Adit, aku sampai nangis masa nulisnya hiksss.
Jangan lupa tinggalkan jejak!
Sudah satu bulan aku menyandang setatus baru sebagai Nyonya Kaffi. Tapi hubunganku dan Mas Adit seakan tanpa setatus. Laki-laki itu selalu bicara seperlunya padaku. Itu pun mengenai Jovan. Hanya saat hari libur Adit ada di rumah. Selebihnya sering dihabiskan di kantor.Pagi ini seperti biasa, sebelum Mas Adit bangun dan keluar dari ruang kerja, aku lebih dulu menyiapkan keperluannya, lalu ke kamar Jovan untuk mengecek keadaannya.Hari ini aku ingin mencoba menyiapkan sarapan, karena Bi Inah sudah kembali ke kediaman Umi. Wanita itu sengaja dikirim ke rumah ini agar bisa membantu Nazwa saat dia hamil.Aku memutuskan akan membuat Nasi goreng ala kadarnya. Jujur, ini pertama kalinya aku mencoba memasak sendiri. Selama ini aku hanya mebantu Bi Inah sebisaku. Jadi, apa yang harus kusiapkan lebih dulu, aku pun tak mengerti. Akhirnya aku memilih mengeluarkan semua yang ada di kulkas.Dalam kebingungan, sebuah suara b
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"(Al-Ahzab:59)***************Aku mematut diri di depan cermin. Kutatap wajah yang kini telah berbalut hijab berwarna pech itu. Ada rasa berdebar saat aku mengenakannya. Wanita di depan sana lebih cantik dari yang biasa aku lihat. Lebih terasa terlindungi dan terasa aman. Tapi disatu sisi, aku belum merasa pantas, sementara akhlakku saja masih jauh dari kata sempurna.Tiba-tiba suara panggilan terdengar. Mas Adit menyuruhku untuk cepat turun."Kay, Cepat! Umi sudah lama menunggu!""Ya, sebentar!" jawabku tergesa.
Sabar memang tak ada batas.Tapi perlu diingat, bahwa manusia juga punya titik lelah dan titik jenuh. Dimana sabar tak bisa lagi mengambil alih.************Sore ini rumah terasa begitu sepi. Hanya ada aku dan Jovan, karena tadi pagi Yani ijin pulang ke Bogor, menengok ibunya yang sakit. Aku memilih di rumah saja untuk menjaga Jovan. Anakku sedang terlelap sekarang. Dia terlihat nyaman berada di dekapanku. Tidurnya bahkan tak terusik sama sekali.Dering phonsel terdengar beberapa saat kemudian, aku yang nyaris tertidur terpaksa bangkit walau enggan. Tertera nama Delilah di layar. Aku tersenyum lebar dan buru-buru mengangkatnya."Asalamualaikum, De.""Waalaikumsalam, Kayla! Bagaimane kabar? Kenapa kau tak balik-balik lagi ke sini?" Suara Delilah ter
Bersikaplah sebagai laki-laki sejati. Jaga apa yang sudah Allah amanahkan padamu, sebelum kamu menyesal saat dia pergi. Dan berusahalah menerimanya jadi bagian hidupmu. Jika dia tak sesempurna yang kamu mau, maka tugasmu adalah meluruskan. Bukan menghakimi. Perlu kamu ingat, Allah selalu punya alasan terbaik dari setiap takdir-Nya.**********Dua bulan sudah kami menikah. Tapi aku masih bertahan dengan sikap tak acuh. Bahkan aku jarang sekali berbicara pada Kayla, jika bukan karena masalah Jovan.Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku mengabaikannya hanya karena rasa bersalah. Tapi aku benar-benar tak bisa berada di dekat Kayla terlalu lama. Karena setiap kali melihat wajah itu, yang terbayang dalam ingatanku adalah tangisan Nazwa. Aku bahkan selalu menghabiskan watu di dalam ruang kerja hingga akhirnya tertidur di sana.
Rumah tangga yang kujalani terasa lebih indah setelah hari itu. Dan semuanya berjalan seperti seharusnya. Mas Adit berubah jadi lebih hangat. Dia bersikap sebagai suami yang baik, seperti janjinya.Rasanya tak ada yang lebih indah selain pemandangan ini setiap pagi. Aku melihat dua jagoanku tertidur dengan posisi yang sangat lucu. Jovan dengan kakinya yang menendang wajah Mas Adit. Dan Suamiku malah terlihat tak terganggu dengan tidur Jovan. Ah, bahagianya sudah bisa menyebut dia suami. Rasanya kata sakinah yang dulu aku impikan kini telah terwujud.Dan ngomong-ngoming soal Jovan, aku dan Mas Adit memutuskan Jovan tidur bersama kami. Kalian jangan berpikir macam-macam. Karena hubunganku dan Mas Adit belum sampai tahap 'itu'. Entahlah, baik aku atau dia masih sama-sama gamang dengan perasaan ini. Jadi biar kami jalani apa adanya dulu.Tiba-tiba Jovan menggerak-gerakan tubuhnya. Oh, bayiku sekarang sudah menginjak usia
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Hari ini aku dan Mas Adit akan berlibur ke tempat Ayah, di daerah Jawa Tengah.Setelah sekitar enam jam perjalanan, dikarenakan Mas Adit tak bersedia menggunakan pesawat, dengan alasan agar bisa menikmati waktu berdua. Akhirnya kami sampai di depan rumah Ayah. Kulihat Ayah dan dua adikku sudah menanti kedatangan kami."Asalamualsikum," sapa ku dan Mas Adit bersamaan. Lalu aku memeluk Ayah.Aku sungguh merindukan laki-laki yang membesarkan diriku sepenuh hati ini. Ku tatap Ayah yang terlihat lebih kurus. Tak terasa air mata menetes kala mengingat beberapa tahun terakhir aku tak mengurusnya."Maafkan Kayla, lama nggak jenguk Ayah.""Ck, kamu ini sudah menikah, masih saja cengeng. Ayah tahu kalian sibuk." Ayah memaklumi."Maafkan Adit juga, Yah, baru sempat datang," ujar Mas Adit sambil menyalami Ayah, dan mencium punggung tangannya.
jangan pernah berani mencintai orang lain atau membayangkannya, ketika kamu telah memiliki suami. Karena itu sama saja kamu berzina. ***********Waktu seakan berjalan dengan lambat. Ketika untuk kesekian kalinya aku dihadapkan pada takdir-Nya yang begitu rumit.Aku pikir, aku telah melupakan Dimas semenjak Mas Adit mulai berubah. Tapi nyatanya saat kami dipertemukan lagi, Ada banyak perasaan yang membuat aku tak mengerti dengan diri sendiri.Kulirik Mas Adit yang sedang serius mengendarai mobilnya. Dia tak bergeming sama sekali. Semenjak hari dimana Dimas datang kerumahku, sikap Mas Adit berubah. Laki-laki itu lebih banyak diam. Walau sesekali masih menggodaku.Aku teringat kejadian dua hari lalu. Yang menghancurkan acara liburan kami di rumah Ayah.Dimas berdiri dan menatapku dengan s
Setelah acara pertemuanku dan Dimas, aku memutuskan untuk bergegas pergi. Tapi suara pesan masuk membuatku terpaksa merogoh phonsel di dalam tas dengan susah payah. Pasalnya Jovan tertidur dalam gendongan.Geandra MichaellaKay, aku sudah sampai di Jakarta nih, kamu ke sini yah. Ke apartemenku saja. Aku tunggu! Awas kalau tidak datang.Aku tersenyum membaca chat Gea. Bergegas aku bangkit, setelah lebih dulu menyuruh pak Amin, sopir pribadi ku. Untuk membawakan barang-barang belanjaan.Mobil melaju menembus kemacetan jalan untuk menuju ke kawasan elit Mega Kuningan.Aku memasuki apartemen mewah berlantai Empat puluh. Lebih dulu aku melapor pada loby. Sistem keamanan di apartemen ini sangat ketat. Untuk bertamu pun tak bisa sembarang orang."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya seorang scurity."Ah, saya ingin bertemu Ibu