Share

Chapter 6 - Permintaan Aira

Aira menatap wajah Bagas dari kejauhan. Pagi ini dia dikejutkan oleh kabar bahwa suaminya telah sadar. Aira sangat senang, langkahnya cepat menyusuri lorong rumah sakit untuk bisa melihat wajah yang dirindukannya.

Namun kebahagiaan hanya sesaat karena wajah itu tak lagi sama. Tatapan hangat yang biasanya terpancar dari binar matanya berubah kosong dan dingin, tidak bersemangat.

'Hidup seolah mati, bagai cangkang tak bertuan.'

Selama dua puluh menit berlalu, pria itu hanya menatap pemandangan dari balik jendela lantai dua. Tanpa ada yang tahu, apa dan dimana tatapannya berlabuh. Bagas tidak menyentuh makanan atau minum setetes pun. Bahkan hingga saat ini, dia hanya mengucapkan satu kata dari bibirnya yaitu Aira—nama istrinya.

"Bagas, apa yang sedang kamu pikirkan?" batin Aira lirih.

"Bagas." Seorang wanita melewati tubuh Aira, langkahnya mengayun indah menghampiri ranjang dimana Bagas duduk.

Bagas meliriknya sekilas lalu kembali melempar pandangan keluar jendela.

"Bagas, kamu harus makan. Supaya kesehatan mu membaik dan bisa segera keluar dari rumah sakit," bujuk Soraya, adik Aira.

"Kak Aira pasti sedih bila melihatmu seperti ini," lanjutnya. Mencoba memancing ekspresi di wajah pria tampan itu.

Benar saja, begitu mendengar nama Aira disebut, Bagas langsung tertarik untuk menatap lawan bicaranya.

"Aira." gumam Bagas. "Seandainya aku tidak memaksa Aira ikut bersamaku. Pasti saat ini dia ada disini, menemaniku. Dia akan tetap hidup." Ratapnya pilu.

Penyesalan di hati Bagas amat sangat besar. Malam itu harusnya menjadi malam indah bagi keduanya. Seandainya saja, Bagas tidak memaksa istrinya untuk ikut ke pesta perjamuan kolega perusahaan dan seandainya saja rem mobilnya tidak tiba-tiba blong, pasti saat ini Aira masih disini, mendampinginya.

Soraya mengelus pundak Bagas. "Jangan terus menyalahkan dirimu. Relakan kepergian Kak Aira, biarkan dia tenang disana."

Bagas melipat tubuhnya, menangkupkan wajahnya di balik lengan. Rasa kehilangan ini sangat sulit untuk diabaikan, sama seperti rasa cintanya.

"Bagas, aku disini. Aku selalu disamping mu. Seandainya kamu bisa melihat atau mendengar suaraku," lirih hati Aira.

***

"Kenapa kalian selalu berkumpul di tempat ini setiap pagi? Apa tidak ada hal lain yang bisa kalian lakukan?" Omel Mardiana begitu melihat Aira dan Rachel berebut masuk ke ruang rawat Aileen.

"Bu Mar, bukankah anda melakukan hal yang sama," protes Rachel. "Kami hanya ingin melihat kondisinya."

"Berhenti berkelit. Aku tahu apa tujuan kalian yang sebenarnya," sergah Mardiana. "Jangan meminta hal-hal aneh padanya. Kalian bisa lihat sendiri, kondisinya tidak baik."

"Tante, apa Ai sangat kesakitan," tanya Aira. Dia bisa melihat kerutan di dahi Aileen setiap kali dia mengerang dalam tidurnya.

"Dia anak yang malang. Setelah semua kesusahan yang dialaminya, tuhan masih memberinya penyakit mengerikan ini."

"Tidak adakah yang menjenguknya?"

"Mana mungkin! Bocah gila ini selalu kasar dan bermulut pedas yang dia pedulikan hanya uang," serobot Rachel sebelum Mardiana sempat membuka mulutnya.

Mardiana menggelengkan kepala melihat tingkah Rachel. Wanita itu memiliki perasaan sentimental karena Aileen selalu menolak permintaannya.

"Dia hidup sebatang kara. Ayah sudah tiada dan Ibu yang tidak pernah peduli padanya. Pemuda yang kemarin menjaganya adalah saudara tiri," jelas Mardiana.

"Tapi harus kuakui. Hidup bocah gila ini sangat menyedihkan. Bahkan aku tidak ingin berdebat dengannya tentang hal itu," ujar Rachel. Dia membuat gerakan mengusap kening Aileen, mencoba untuk menyingkirkan anak rambut yang menusuk masuk ke dalam matanya.

"Kalau hal yang sama terjadi pada ku, bahkan aku tidak ingin hidup selama ini," gumamnya kasihan.

***

Aira melompat keluar dari dalam lift saat pintu kotak besi itu terbuka perlahan. Ia tersenyum tipis begitu melihat sosok yang sedari tadi dicarinya. Sesaat Aira mengangumi wanita berambut sebahu itu. Cerita hidup Aileen yang didengarnya dari Mardiana dan Rachel membuat Aira terharu sekaligus kagum.

Aira telah melihat banyak kemalangan semasa hidupnya tapi sosok tegar seperti Aileen jarang ditemuinya. Aileen lahir tanpa mengenal kasih sayang seorang Ibu. Di usia belia, dia bersekolah sekaligus mencari nafkah dan merawat Ayah yang menderita kanker perut.

Setelah Ayahnya meninggal, Aileen hidup terlunta-lunta di jalanan dan dia masih dihadapkan pada seorang Ibu serta Ayah tiri yang mengalihkan utang judi mereka pada wanita malang itu. Bahkan kini, kegigihan Aileen kembali di uji, dia harus melawan penyakit yang sama seperti yang Ayahnya derita, kanker perut.

"Hai." sapa Aira.

Aileen meliriknya sekilas lalu kembali melempar pandangannya, membelah gelapnya malam. Meski diabaikan, Aira masih bersyukur Aileen tidak mengusirnya.

"Kamu suka sekali dengan tempat ini?"

Aileen mendesah pelan. "Tidak juga."

"Lalu? Kenapa kamu selalu menghilang untuk ke tempat ini?" Aira berpaling cepat. Sekilas ingatan membuatnya takut. "Jangan bilang kamu mau lompat lagi?"

Aileen terkekeh. "Buat apa? Tanpa bunuh diri pun, aku akan segera mati," sahutnya dengan nada riang seolah apa yang dikatakannya sebuah lelucon.

"Bisakah kamu berhenti tertawa seperti itu?"

Aileen berpaling. "Seperti apa?"

"Seperti tidak ingin hidup." Aira menatap bola mata sehitam pualam, mencari kejujuran disana. "Apakah kamu tahu, Ai? Hidup itu hanya sekali dan kamu harus mensyukurinya."

"Bersyukur?" balas Aileen. Ia meluruskan posisi duduknya. "Selama ini, tidak ada sedetik pun dalam hidup ini yang bisa menuntut ku untuk bersyukur," tandasnya.

Aira tahu apa yang di maksud Aileen. "Mungkin waktu yang belum memihak pada mu, Ai."

"Yah, mungkin." Aileen menghela nafas panjang. "Lalu, apa yang terjadi padamu?"

"Aku?" Aira membulatkan matanya. Senang karena Aileen mulai menanggapinya.

"Kenapa kamu mati? Di lihat dari penampilan mu, kamu bukan orang yang kesulitan ekonomi," selidik Aileen.

Dia memperhatikan penampilan Aira, baju yang dikenakannya terkesan mewah. Dress berbahan satin halus kualitas tinggi, membentuk siluet ramping ditubuhnya. Di kakinya, melekat flat shoes berukir lambang dari merek impor yang terkenal mahal dan yang paling menyolok adalah kalung berlian biru, yang menambah kesan elit di penampilan Aira.

"Tidak sulit tapi juga tidak berlebihan," ungkap Aira. Pipinya bersemu merah karena Aileen terus memperhatikan dari kaki hingga ujung rambutnya dengan seksama.

"Katakan itu setelah kamu melepas kalung berlian di lehermu," sindir Aileen.

Aira mendengus pelan. "Apa artinya kekayaan ini kalau aku tidak bisa bersama lagi dengan suamiku," lirihnya kecewa.

"Suamimu mati juga?" Seru Aileen.

Aira mendelik. "Aileen! Tidak bisakah kamu bertanya dengan lebih halus?"

"Untuk apa? Toh, artinya sama saja."

Aira mendesis. "Pantas para hantu lain menyebutmu bocah gila."

"Jadi? Dia masih hidup atau sudah mati?" tanya Aileen mengabaikan cercaan hantu cantik itu.

"Bagas masih hidup dan dia ada di rumah sakit ini."

Aileen mengangguk paham. "Jadi ini alasanmu masih ada di rumah sakit ini?"

"Ya. Aku tidak ingin meninggalkannya." Aira mengusap sudut matanya.

"Siapa namamu?"

Aira mendesis geram. "Dari awal pertemuan, aku sudah mengatakan, namaku A-I-R-A," ejanya.

"Ya, ya. A-I-R-A," ulang Aileen. Sengaja memancing emosi hantu cantik itu.

"Aku tidak berniat mengurusi masalah mu tapi kamu harus tahu, dunia manusia dan hantu itu berbeda. Jadi, meskipun kamu memaksakan diri, kalian tidak akan pernah bisa bersatu lagi."

"Aku tahu." Aira menghapus airmata yang mengalir di pipinya. "Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padanya sebelum pergi dari dunia ini."

"Dia tidak akan bisa mendengar mu. Jadi tidak usah membuang-buang waktu dan tenaga."

Aileen beranjak dari duduknya, menyeret tiang infus bersamanya.

"Tunggu!"

"Apa lagi?" Sergah Aileen. Dia berpaling untuk mendengar apa lagi yang ingin dibicarakan hantu itu.

"Bisakah kamu membantuku?" Aira mengatupkan telapak tangannya, memohon pertolongan.

Aileen menatap tubuh samar itu tajam. "Ini alasanku tidak ingin mendengar apapun. Kalian selalu berharap aku mengabulkan permintaan terakhir yang konyol," hardiknya marah.

"Tidak, tidak!" Aira menggeleng cepat. "Aku tidak akan meminta hal yang aneh atau berbahaya. Aku hanya ingin kamu menyampaikan pesan terakhir ku. Itu saja."

"Aira, apa kamu pikir suamimu akan bahagia dan menangis haru begitu mendengar kata-kata terakhir dari mu?" Nada suara Aileen berubah tajam dan menusuk.

"Tidak Aira! Dia akan menganggap ku gila," lanjutnya.

"Tapi Ai—"

"Seharusnya aku tidak terpengaruh," gumam Aileen.

Walaupun hanya sesaat, dia mulai merasa nyaman bicara dengan hantu itu, meski kembali harus menelan pil pahit karena para hantu selalu mencari cara untuk memanfaatkannya.

Aileen kembali memasang wajah dingin. "Jangan pernah muncul di hadapanku lagi," ucapnya dan berbalik meninggalkan Aira yang masih berlutut dengan wajah berurai airmata.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status