"Ba—Bagas mau lompat dari atap," ucap Aira terbata."Apa?""Ai, kumohon. Tolong Bagas." Ulang Aira, jatuh berlutut di depan ranjang Aileen, memohon pertolongannya."Bangunlah." Paksa Aileen."Kak Ai, kenapa? Kakak ngomong sama siapa sih?"Aileen mengabaikan rasa penasaran Denis yang terus mencercanya dengan pertanyaan. Dia turun dari ranjang dan berlari keluar. Melihat itu, Aira dan Denis segera menyusulnya.'Kumohon, kumohon!' batin Aileen. Ia terus merapal doa yang sama di setiap langkah besarnya. "Hei, berhenti!" Teriaknya begitu pintu lift terbuka. "Jangan melakukan hal bodoh!"Semilir angin mengaburkan pandangan Aileen. Samar-samar terlihat tubuh kurus seorang pria berpakaian seragam pasien rumah sakit, merentangkan tangannya, berdiri di balik pagar pembatas gedung. Aileen menyibak rambutnya yang menghalangi pandangan. Sesaat ia dapat melihat refleksi dirinya saat melakukan hal yang sama."Siapa kamu?""A-aku?" Aileen menggaruk kepalanya, bingung. "A-aku, namaku Aileen."Bagas me
"Kenapa kamu tidak hati-hati? Sebelum menolong orang lain, pikirkan dirimu sendiri dulu."Aileen mengerutkan keningnya hingga berlapis-lapis. Telinganya lelah mendengar rentetan omelan Daren yang di mulai sejak satu jam yang lalu. Pria itu terus mengingatkan tentang kondisi tangannya sambil menjahit serta membalut ulang perban."Berhentilah mengomel. Kalau di hitung, omelan mu sama panjangnya dengan perban ini," keluh Aileen. Dia menunjuk tangannya yang di bebat dengan sangat rapat."Lagipula, jika aku sibuk memikirkan diriku sendiri, kapan aku menolong pria bodoh itu?" bantah Aileen tapi dia buru-buru menutup mulutnya karena Daren mendelik tajam."Oke, aku salah." Aku-nya menyerah."Ke depannya kamu harus lebih berhati-hati," ucap Daren lebih tenang. Ia merapikan peralatan yang digunakannya untuk menjahit ulang luka Aileen lalu meletakkannya kembali ke tempat semula."Kamu mengenal, Kak Bagas?""Kak Bagas? Kalian dekat?" Balas Aileen.Daren mengangguk kecil. "Dia sepupuku," jelasny
"Pak?"Bagas membalikkan badannya begitu mendengar suara Gio—asisten pribadinya. "Kamu menemukan wanita itu?"Pria yang mengenakan jas hitam dengan dasi berwarna senada, menyerahkan sebuah amplop kepada Bagas. "Ini semua informasi tentang wanita bernama Aileen Andita."Bagas mengangguk puas. Membuka amplop coklat itu dan mengeluarkan lembaran kertas berisi informasi pribadi Aileen. Perempuan yang tiba-tiba menghilang setelah mengatakan omong kosong."Kanker perut stadium dua?" Bagas melirik asistennya. "Kamu yakin?""Ya, Pak. Saya sudah mengonfirmasikan data ini dengan rekam medis di rumah sakit."Bagas kembali membaca baris demi baris riwayat hidup Aileen. Keningnya mengerut semakin dalam. 'Di sepanjang hidupnya, perempuan ini membawa nasib buruk bersamanya,' pikir Bagas."Siapkan mobil, Gio. Kita harus segera bertemu dengannya," perintah Bagas pada asistennya yang disambut oleh anggukan cepat."Bagas, apa yang akan kamu lakukan?" Tak jauh dari sana, Aira berdiri menatap suaminya d
"Ai, aku tahu kamu orang yang ketus dan dingin, tapi aku nggak nyangka hati kamu sekeras ini.""Padahal kamu tahu, saat ini Bagas rapuh. Dia butuh pertolongan kamu. Paling tidak, kamu bisa menyemangatinya, menghiburnya."Aileen mengalihkan pandangannya dari bayangan samar yang berdiri di balik tubuhnya.[BRUK ...]"Ai!"Aira menyongsong tubuh Aileen yang luruh ke lantai. "Ai, kamu kenapa?" Buru Aira. Ia melihat Aileen menekan perutnya sambil meringis kesakitan. "Sakit banget ya?"Akh." Rintih Aileen. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, berharap rasa sakit ini segera berlalu. "Apa yang harus aku lakukan?"Aileen melambaikan tangannya lalu menepuk lantai. Meminta Aira untuk tenang. Saat ini ia butuh ketenangan untuk dapat meredam gelombang rasa sakit yang tiba-tiba menyerang seluruh tubuhnya."Aira, ma-maaf," ucap Aileen terbata. "Nggak Ai. Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu, ini juga berat untukmu."Airmata Aira tak terbendung. Ia mengguncang tubuh Aileen, berharap dapat menyentuhn
"Kak Ai, darimana kita bisa mendapatkan uang besok untuk membayar mereka?" Cicit Denis.Aileen menatap Denis sesaat sebelum melempar pandangannya ke luar jendela.'Paman Barito, hanya dia satu-satunya harapan terakhir,' batin Aileen."Denis, bisa antar aku ke suatu tempat?""Mau kemana, Kak?""Nanti juga kamu tahu," ucap Aileen datar.***[Tok ... Tok ...]Pintu terbuka, seorang wanita keluar dari rumah tipe sederhana. Wanita itu terkejut begitu melihat Aileen berdiri di depan rumahnya."Ai?"Aileen tersenyum tipis. "Apa kabar, Tante Mira?" Sapa nya sambil mencium tangan wanita paruh baya itu."Baik, Nak. Kamu apa kabar?""Baik Tante."Mira melirik pemuda yang berdiri di belakang keponakannya. "Siapa? Pacar?""Denis," sahut Aileen sambil meringis lucu.Mira terkekeh. "Udah gede ya?""Ayo masuk, Nak Denis," ajak Mira. "Duh, terakhir kali Tante liat kamu masih merangkak."Denis tersipu malu-malu."Denis, ini istri dari Paman Barito. Kakak Ayahku," jelas Aileen."Ayo duduk, Nak. Pamanmu s
Aileen merintih pelan, menyeret langkahnya tertatih, menyusuri lorong rumah sakit. Pandangannya berpindah dari satu sudut ke sudut lainnya untuk mencari sosok yang sangat dibutuhkannya saat ini."Ai, apa yang kamu cari?" Mardiana menghampiri Aileen yang sedari tadi mengusik rasa penasarannya."Bu Mar, lihat Aira?""Aira?" Mardiana mengernyitkan keningnya, bingung."Semenjak suaminya diperbolehkan pulang, wanita itu tidak pernah lagi muncul disini."Aileen berdiri, menyandarkan tubuhnya ke dinding. 'Kemana aku harus mencari wanita itu?' Pikir Aileen."Kamu mau ketemu sama Aira?"Aileen mengangguk ringan. "Ya, ada sesuatu yang harus aku katakan padanya.""Kamu ke rumah suaminya saja. Aira pasti ada disana," usul Mardiana.'Ya, Aira pasti ada di sekitar suaminya,' batin Aileen membenarkan."Terima kasih, Bu Mar. Aku pergi dulu."Aileen melanjutkan langkahnya, menuju pintu keluar rumah sakit. Begitu mencapai pintu lobi, sebuah tangan menangkap dan menariknya kembali."Apa yang kamu lakuka
'Bagas?!'Aileen membulatkan matanya kaget, terlebih begitu melihat sosok yang berdiri disamping Daren. "Da—dari atap," balas Aileen singkat lalu beralih pada Bagas—pria yang tengah menatapnya melalui sorot mata tajam.Meski dia telah membulatkan tekad untuk menemui Bagas tapi tetap saja hatinya tidak siap bila harus berpapasan langsung dengan pria itu, secepat ini."Bisa kita bicara?" "Bicara apa? Aku tidak berminat mendengar omong kosong mu lagi," sergah Bagas ketus.Aileen menelan amarah yang meluap naik untuk mengontrol emosinya. "Ada hal penting yang harus aku sampaikan." Ia melirik Aira yang sedari tadi ada disampingnya."Kamu udah makan siang, Ai? Gimana kalau kamu ikut kami makan bareng?" Sela Daren begitu melihat ketegangan diantara kedua pasiennya."Tidak," protes Bagas cepat. Namun Daren tak mengindahkannya."Sudah, dok," sahut Aileen lalu kembali beralih pada Bagas. "Bisakah kita bicara sebentar?" Pintanya setengah memohon.Bagas berdecak pelan lalu beralih pada sepupun
"Bagas? Kamu baru pulang, Nak?"Bagas menghampiri sang Ibu yang telah menyambutnya di pintu depan dengan senyum terkembang."Iya, Ma." Ia memeluk dan mengecup sekilas pipi Cintya."Apa Mama menunggu ku?" Bagas mengiring ibunya untuk masuk ke dalam rumah bersamanya."Iya, Sayang. Gio bilang kamu dari rumah sakit, apa kata Daren?""Kondisi ku sudah lebih baik. Daren juga mengamuk dan segera mengusir ku pulang," canda Bagas.Cintya menepuk pelan lengan putra semata wayangnya. "Pasti kamu menggoda adik sepupu lagi.""Hmm. Mama mulai lagi deh. Selalu saja memihak Daren," goda Bagas. Sengaja memasang wajah sedih yang berlebihan."Habisnya kamu suka sekali mengganggunya," kilah Cintya.Bagas terkekeh pelan. "Dia terlalu polos, Ma. Selalu saja gampang dibodohi.""Oh, ya. Mama masak apa? Aku lapar?""Ayo. Mama sengaja menunggumu pulang untuk makan siang bersama. Mama tahu, kamu pasti belum makan apalagi kamu nggak suka makan sendirian 'kan?""Iya, Ma. Semenjak pacaran dan menikah dengan Aira,