Sehari sebelumnya.
"Putriku! Apa yang terjadi?!" seru Marquis yang langsung berlari menghampiriku. Kurasa sia-sia aku meminta mereka tutup mulut.Marquis pasti sangat khawatir, dia memelukku dengan tubuhnya yang bergetar. "Aku baik-baik saja Ayah.""Bagaimana bisa kau bertemu dengannya?""Kami tidak sengaja berpapasan dan ... emm ... itu, sepertinya aku salah mengatakan sesuatu padanya. Tapi Ayah tenang saja. Semuanya sudah selesai dengan baik.""Tidak. Ayah akan membuatnya meminta maaf padamu."Jika kau melakukannya, sepertinya bukan hanya aku yang mati tapi kau juga Marquis. Dia bahkan lebih gila daripada yang dibicarakan rumor."Tidak. Aku baik-baik saja, Duke juga sudah meminta maaf."Mari hentikan semuanya disini dan jangan bertemu lagi dengannya. Aku juga harus mengurus sisa persiapan pesta. Marquis tidak menjawabku dan hanya menatapku sebentar lalu langsung memelukku lagi. "Baiklah, aku cukup senang dengan melihatmu masih hidup, Putriku."Ah, dia pasti takut kehilangan anaknya sekali lagi. Bagaimana bisa ada orang selembut ini. Marquis memintaku untuk istirahat dan mengurus sisa persiapan pesta esok hari saja. Meskipun begitu aku tetap tidak tenang. Aku harus menyelesaikannya hari ini dan memastikan Mario sudah memesan barang yang kuminta.Lorongnya sangat sepi, apa Marquis sudah tidur? tapi lampu ruang kerjanya masih menyala."Ay-""Anda bisa lebih tenang sekarang, Tuan. Dengan meminum obat-obatannya secara teratur dan melakukan terapi. Penyakit itu akan sembuh total."Hah? Apa Marquis benar-benar sakit? Meskipun aku tidak berniat menguping tapi suara mereka cukup keras hingga aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Pria yang berbicara dengannya adalah orang yang ketemui tadi pagi."Baguslah, kau boleh kembali."Gawat! Aku harus sembunyi."Nona?"Sial, kenapa dia cepat sekali membuka pintu. Wajahnya terlihat sangat terkejut begitu juga dengan Marquis dia sampai menggebrakkan meja dan berlari menghampiriku."H-hai," sapaku canggung tapi pria itu tetap terdiam."Cecil! Apa yang kau lakukan disini?" seru Marquis."Ayah, aku ....""Apa kau mendengarnya?!" ujar Marquis dia menggengam erat kedua lenganku. "Sejauh mana kau mendengarnya?!"Dia pasti berusaha menyembunyikan penyakitnya itu tapi kenapa wajahnya sampai pucat?"Ayah sakit?" tanyaku.Mereka hanya diam dan saling pandang lalu sedetik kemudian menghela nafas panjang, Marquis juga melepaskan lenganku. Ternyata sakit juga, dia menggengamnya dengan sangat kuat padahal pundakku saja masih sakit."Masuklah," ujarnya padaku."Kalau begitu saya pamit, Tuan Marquis. Selamat malam Nona Cecil," ujar pria tadi yang langsung meninggalkan kami."I-iya, hati-hati di jalan."Suasananya sangat canggung, tidak biasanya Marquis membuat ekspresi seperti itu. Dia seperti sedih, apa dia sebegitu ingin menyembunyikan penyakitnya? Kami hanya duduk berhadapan dan diam cukup lama tanpa ada yang mulai berbicara."Ayah ....""Maafkan aku Putriku."Ah, dia mulai menangis. Harusnya aku tidak menguping pembicaraannya tadi dan berpura-pura tidak tahu sesuatu saja. Kalau aku diposisinya juga pasti akan sangat kecewa kalau ada yang tahu kelemahanku."Tidak Ayah, aku yang seharusnya minta maaf telah menguping pembicaraan kalian.""Aku benar-benar tidak ingin membuatmu khawatir tapi kau justru mendengarnya sendiri. Aku benar-benar ayah yang tidak berguna.""Tolong jangan katakan itu Ayah."Aku mencoba menenangkannya, dia menangis cukup lama. Bagaimana bisa aku menjadi putri yang sangat tidak tahu malu seperti ini dan justru menghabiskan hartanya. Padahal dia sedang sangat sakit."Ayah adalah orang terbaik yang pernah kutemui. Aku berjanji akan membuat para bangsawan itu tidak mempertanyakan statusku lagi dan membantu ayah. Ayah harus istirahat sekarang."Akhirnya setelah beberapa saat Marquis tertidur, wajahnya nampak sangat lelah. Apa dokter tadi sudah pergi jauh? Aku harus menanyakan kondisi Marquis secara detail padanya."Nona? Kenapa anda keluar sendirian malam-malam begini?" tanya penjaga gerbang kediaman Marquis."Apa kau melihat seorang pria berkacamata dan baju putih keluar?""Maksud anda Tuan William?""Iya.""Beliau sudah pergi dari beberapa jam yang lalu."Aku sangat ingin bertemu dengan pria itu. Ternyata namanya William. "Kemana dia pergi?""Saya tidak tahu Nona.""Nona!" seru seseorang dari balik punggungku. Dari suaranya saja aku tahu itu Tuan Bellsac, pengawal pribadi Marquis dan orang yang paling membenciku di kediaman ini. "Apa yang sedang anda lakukan?""Aku akan pergi sebentar tolong jaga Ayah."Dia bukannya menjawab tapi justru menghadangku dengan tongkat yang dia minta dari penjaga tadi. Wajahnya selalu saja membuatku kesal."Kenapa kau menghalangiku?""Tuan Marquis melarang anda untuk keluar malam hari.""Benarkah? Aku bahkan tidak pernah mendengarnya dari Ayah."Jika tidak segera pergi aku akan kehilangan jejak William. Tapi dia bersikeras untuk menghalangiku. Ayah pasti tidak akan memberitahuku tentang penyakitnya dan aku akan kesulitan bertemu dengan William lagi. Jadi ini satu-satunya kesempatan."Tidak! Anda harus kembali sekarang."Membuang-buang tenaga saja aku berbicara dengannya. Dia tidak akan mendengarkanku, sepertinya aku tidak punya cara lain lagi selain mundur. Dia mengantarku sampai ke kamar dan bahkan berjaga di depan kamarku."Apa kau pikir aku akan menyerah begitu saja?"Aku sudah terbiasa memanjat dinding yang tinggi saat masih kecil karena berulang kali di culik. Untung saja aku selalu berhasil kabur. Turun dari lantai dua seperti ini tidak akan membuatku cedera."Hap!"Bagus, sekarang aku akan membawa Lily dan mengejar William. Meskipun harus memutar jalan akhirnya aku bisa keluar dari kediaman Marquis dan mencari Kereta kuda yang di naiki William. Penjaga tadi bilang dia menggunakan kereta dengan simbol keluarga Magrita."Kemana aku harus mencarinya?""Apa yang sedang Anda lakukan? Nona Magrita?""HAH?!"Sejak kapan pria ini ada di sampingku? Aku tidak mendengar suara tapak kudanya. "A-apa yang anda lakukan disini?"Jangan bilang dia masih memiliki keinginan untuk membunuhku? Apa dia mengikutiku sejak awal?"Saya sudah bertanya lebih dulu, bukannya menjawab Anda malah balik bertanya seperti itu," jawabnya, raut wajahnya sudah terlihat sangat tidak senang."Saya mencari seseorang." Aku malas berurusan dengannya. Pergi saja kau! Kau hanya membuatku merinding."Siapa?""Apa saya wajib menjawab semua rasa penasaran anda?" jawabku entahlah aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang dia buat, tapi kenapa anginnya jadi makin dingin?"Saya suka keberanian anda untuk mati," ujarnya.Eh, Jangan bilang ..."Kurasa sekarang waktu yang tepat untuk anda mati." Sejak kapan dia mengeluarkan pedangnya?!"WAAA! APA-APAAN! MASUKKAN PEDANGMU!" Gila, dia sudah gila! Aku harus pergi. "Ayo Lily! Hiat!""Anda mau kemana?!" serunya sembari menyusulku. Apa-apaan pria ini?! Seharusnya dari awal aku tahu kalau dia itu gila. Kenapa sih harus bertemu sekarang. Masa bodoh dengan William, aku harus selamat dari dia.Kenapa cepat sekali sih dia menyusul. "Tolong jangan kejar saya. Saya salah! Uwaaaa!"Kenapa dia terus mengejarku dan tertawa dengan wajah seperti itu. Ini pasti karma karena melanggar perintah ayah. Siapapun tolong aku! "Jangan kejar saya!""Saya suka bermain kejar-kejaran seperti ini," jawabnya bahkan suaranya terdengar sangat senang."Saya yang tidak suka! Dasar orang gila!"Matilah aku, sebenarnya apa sih yang ada di otaknya itu. Ayah, aku takut! Ayolah Lily berjalannya lebih cepat! Didepan sudah wilayah mansion Magrita. Dia tidak mungkin mengejarku sampai sana 'kan?"Apa dia masih mengejarku?""Nona!"Waa, matilah aku. Bagaimana dia bisa masuk kesini, apa yang para penjaga itu sebenarnya kerjakan."Apa yang anda lakukan disini?""Bellsac? Bellsac! Syukurlah!"Baru kali ini aku senang melihat wajah Bellsac, meskipun dia terlihat marah tapi itu lebih baik daripada mati di tangan Duke gila itu. "Apa yang anda lakukan?!""Maafkan aku Bellsac, aku tidak akan mengulanginya lagi."Wajah marahnya tadi berubah menjadi kebingungan. "Ba-baiklah, kalau begitu ayo kita masuk.""Iya."Setelah itu Bellsac menambah keamanan di kamarku agar aku tidak kabur lagi. Apa aku harus bersyukur, tadi benar-benar menakutkan. Aku hampir saja mati karena mulutku yang tak bisa ku kontrol."Argh! Apa-apaan sih dia itu?! Kuharap kau segera mati!"Orang bilang, jangan terlalu membenci seseorang karena bisa saja kita akan terus bertemu dengannya."Ayah? Kenapa dia ada disini?" bisikku pada Marquis yang terlihat sangat tenang setelah memperkenalkan pria di hadapanku ini."Selamat siang Nona. Saya Revanov Arcelio."Aku harus menjaga kata-kataku di depannya, dia bisa saja benar-benar membunuhku kali ini."Saya Cecilia Magrita, suatu kehormatan bisa bertemu dengan Anda.""Seperti yang anda dengar dari Marquis, saya kesini untuk meminta maaf secara langsung pada anda."Kumohon jangan tersenyum. Itu membuatku merinding."A-anda tidak perlu memikirkannya. Saya juga bersalah telah membuat anda marah.""Baguslah. Akhirnya semuanya sudah saling memaafkan," celetuk Marquis di tengah suasana mematikan ini. Kenapa dia tidak menyadari ekspresi wajah Duke Revanov? Aku tahu Marquis memang baik tapi bukankah ini termasuk polos juga?"Saya juga senang sudah mendapatkan permintaan maaf dari Nona Magrita," jawab Duke Revanov."Kalau begitu, saya ingin mengusulkan sesuatu."Tolong jangan usulkan sesuatu yang aneh."Bagaimana kalau anda menjadi pendamping Putri saya saat pesta kedewasaannya?""Ayah!""Tentu saja, dengan senang hati saya akan menerimanya."Sudahlah, kurasa mereka tidak akan mendengarkanku. Sepertinya ini akan menjadi pesta kedewasaan yang paling bersejarah karena aku di dampingi oleh orang yang sudah di cap sebagai pembunuh berdarah dingin.Hari ini kepalaku rasanya sangat pusing mengingat pria itu terus saja membuat nyawaku terasa terancam dan Marquis malah menjadikannya pasangan pesta kedewasaanku. Sebenarnya apa yang di pikirkan Marquis? Aku menghela nafas panjang dan menarik perhatian Mario. "Ada yang salah Nona? Apa perlu saja pesankan yang lain?" tanya Mario yang sedang membawa beberapa contoh dekorasi pesta. "Tidak," jawabku. Sepertinya aku harus mencari udara segar sebelum kembali bertemu Duke Arcelio hari ini. Entah kenapa pria itu semakin sering berkunjung. Kurasa dia tidak punya pekerjaan sampai membuang banyak waktu mengancam nyawaku. Apalagi kemarin saat kami selesai makan malam tanpa ada Marquis dia hampir melemparkan pisaunya padaku namun meleset dan justru mengenai pelayan yang berdiri di belakangku. Aku sungguh tidak tahu apa motivasi pria itu hidup. "Mario, aku akan pergi keluar. Tolong sampaikan pada Ayah, aku akan pulang sebelum makan malam bersama Tuan Duke." "Baik, Nona." Hari ini aku pergi b
"Ayah apa maksudnya? Aku bertunangan dengan Tuan Revanov?" Sepertinya bukan hanya aku tapi Revanov pun juga terkejut ketika pertunangan kami di umumkan. Saat kulirik wajahnya terlihat menahan marah. Apa dia benar-benar tidak tahu tentang pertunangan ini? "Ayah akan jelaskan nanti," bisik Marquis padaku. Banyak sekali orang yang memberiku ucapan selamat. Namun tidak satupun dari mereka yang berani berbicara langsung dengan Revanov apalagi dengan wajahnya yang seperti ingin melahap orang hidup-hidup. Bisakah aku hidup dengan orang seperti ini? Membayangkannya saja membuatku merinding. Setelah beberapa saat akhirnya aku bisa keluar dari ruang pesta dengan Revanov, pria itupun sedari tadi hanya diam. Aku jadi penasaran dengan apa yang sedang dia pikirkan. "Apa kau berencana untuk membunuhku?" Aku memberanikan diri untuk mulai berbicara. Kami duduk di tepi air mancur yang ada di taman, ini lebih baik daripada harus menjawab satu persatu pertanyaan para bangsawan di dalam sana. "Kena
Revanov benar-benar membuat keributan dengan ulahnya. Padahal tadi dia terlihat tidak menyukai pertunangan kami, lalu kenapa dia melakukan hal bodoh di depan orang banyak seperti ini. Apa pria juga mengalami perubahan mood yang cepat seperti wanita?Rasanya aku sangat ingin membedah otak gilanya itu."Apa kau melihatnya juga?""Dia benar-benar Duke yang haus darah itu?""Astaga mereka nampak sangat serasi."Dan banyak lagi suara berisik yang mereka buat. Apanya yang serasi? Mereka belum tahu saja bagaimana perlakuan pria ini terhadapanku. Rasanya seperti terombang ambing di lautan kematian. Aku meliriknya yang masih berdiam diri di hadapanku seolah tidak terganggu dengan suara-suara bising itu. "Aku lupa kalau dia tidak normal," gumamku, kali ini gantian aku yang menarik tangannya. "Ikut aku!"Sekuat tenaga aku menariknya dari tengah pesta dan membawanya ke teras. Disini hanya ada sedikit orang yang akan melihat kami. Angin malam yang menerpa membuat rambutku berantakan, aku ingin me
Aku bersyukur kali ini pesta berjalan dengan lancar dan Revanov tidak membuat kekacauan apapun di pesta seperti yang biasa dia lakukan pada pesta-pesta yang lain. Hari ini terasa begitu panjang, aku merebahkan diri di atas ranjang dan menatap langit-langit kamar yang dihiasi dengan berbagai ukiran indah. "Baguslah mereka menerima hadiah itu dengan baik. Sekarang aku hanya perlu menunggu penjelasan dari Marquis, kira-kira apa yang akan dia katakan?" Kumeraih pisau buah yang ada di atas nakas dan menyembunyikannya di balik gaun sebelum beranjak dari tempat tidur menuju depan cermin. Pantulan wajahku di dalamnya benar-benar sangat jelas karena bulan purnama, bahkan bayangan dari dedaunan di luar juga terlihat. Kupikir wajah ini membawa keberuntungan tapi rupanya malah membawaku pada petaka. "Wajah yang cantik, apa aku harus membuat luka pada wajah ini?" gumamku sembari mengelus pantulan diriku sendiri yang ada di dalam cermin. Lalu detik berikutnya bayangan seseorang ikut terpantul
Ketika aku bangun Revanov sudah tidak ada di kamarku begitu pula jasad pembunuh bayaran itu. Semalam aku pasti sudah ikutan gila, bagaimana bisa kami tidur bersama?! "Permisi Nona," ujar seorang pelayan yang baru saja masuk membawa sarapanku dan air untuk mencuci muka. "Letakkan saja disana. Kau boleh pergi sekarang." "Baik." Perlahan aku beranjak dari ranjang dan membasuh wajahku sendiri yang kini terpantul dalam air di baskom. Aku tidak pernah berfikir bahwa akan ada seseorang yang menyewa pembunuh bayaran seperti semalam. Mereka tidak mungkin utusan dari Marquis. "Haah, siapa lagi yang mencari gara-gara denganku sekarang." Hari ini aku akan menerima surat penyerahan tambang batu bara dari Marquis sekaligus penjelasan tentang pertunangan mendadak yang dia umumkan semalam. Ruang kerjanya nampak sepi tanpa ada Mario ataupun Sillia. "Kau sedang mencari siapa Putriku?" tanya Marquis yang baru saja selesai menandatangani berkasnya. "Dimana Mario dan Sillia?" "Oh, mereka kuberi t
"Kyaaaa!""Nona! Apa yang terjadi?!"Para pelayan dan penjaga berbondong-bondong masuk ke dalam kamarku setelah mendengarku berteriak. Beberapa dari mereka langsung membungkus tubuhku dengan selimut dan sebagian lainnya menutup mulut karena mual melihat mayat seseorang tergeletak di lantai kamarku dengan tubuh yang penuh darah."Danis?""Itu Danis! Ba-bagaimana bisa?"Dalam sekejap keributan menjadi lebih parah, mereka membawaku keluar kamar dan kami berpapasan dengan Marquis yang sepertinya langsung mendapatkan laporan. Wajahnya terlihat sangat marah lalu detik berikutnya berubah khawatir saat melihat tubuhku bergetar."Putriku, kau baik-baik saja?" tanyanya dengan memeluk erat tubuhku. "Kau pasti sangat terkejut.""A-ayah, danis ... dia ..." Aku menelan ludah jika mengingat mayat yang ada di dalam."Tidak apa-apa, aku yang akan mengurusnya," ujar Marquis menenangkanku. Dia berbalik untuk memerintahkan beberapa penjaga. "Bawa Putriku ke ruangan yang lain.""Baik, Tuan."Mereka membaw
Beberapa saat sebelum kematian Danis.Saat itu Danis sedang membantu untuk mempersiapkan pertemuan resmi pertamaku dengan Revanov setelah pesta kedewasaan. Yah, meskipun pertemuan kali ini hanya akal-akalan yangkubuat bersama Revanov untuk menipunya."Anda terlihat sangat cantik hari ini Nona, Yang mulia Duke pasti akan menyukai anda," ujar Danis dengan tangan yang masih sibuk menata rambutku. "Benarkah? Tapi, aku tidak ingin menikah dengannya, Danis." Wajah lesuku terpantul jelas di dalam cermin hingga membuatnya Danis yang awalnya ceria jadi memasang wajah bingung, aku memang tidak ingin menikah dengan Revanov kalau bukan karena ingin memanfaatkannya. Kupegang tangannya dengan lembut dan mendongak untuk melihat wajahnya. "Apa kau tahu cara untuk memutuskan pertunangan ini?" Dia terperanjat. "Itu tidak mungkin Nona." "Kenapa, Danis? Apa kalian tega memberikanku kepada Duke gila seperti dia?" Danis menurunkan melepaskan genggaman tanganku dengan pelan dan berbalik untuk mengambi
Entah bagaimana ucapan Revanov masih terngiang di pikiranku, sampai aku tidak bisa fokus dengan apa yang di sampaikan Countess Afrina sekarang. Apa sih yang dia maksud dengan berkata seperti itu. Padahal kami sudah memperjelas hubungan ini untuk saling menguntungkan saja, apa dia pikir aku akan menghianatinya jika kami bercerai? "Nona, apa yang sedang Anda pikirkan?" tanya Countess yang membawaku kembali pada kenyataan. "Ah, maafkan saya Countess. Kepala saya terasa pusing, apa kita bisa tunda kelasnya dulu?" Dia meletakkan bukunya dan menghampiriku, di tepuknya pundakku satu kali seolah memberikan semangat. "Anda pasti sangat terkejut, saya tidak menyangka Danis akan melakukan hal seperti itu. Apa anda mau kelasnya kita liburkan dulu?" ucapnya setengah berbisik. Dari luar ruangan juga terdengar suara para pelayan yang sedang membicarakan kejadian Danis dan rencana pembunuhan yang dilakukannya kepadaku. Sungguh, sebenarnya aku tidak menyangka kalau setelah kejadian itu akan ada ba