Share

Episode 4

***  

Disaat pintu kamar tidur terbuka, Adnan mengalihkan pandangan, Melihat perempuan disana berjalan mendekati meja rias. Melucuti jilbab bermotif dari merk tertentu.

Adnan memberi senyum kepada istrinya, sambil melangkah kearah tempat tidur. Terdengar helaan napas kasar dari sisi meja rias, Hana sedang gugup rupanya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan pada Adnan. Sedangkan pria itu masih terduduk pada sisi kasur, memainkan ponsel sebelum ia tidur.

Hana mendekat “Mas. Ada yang ingin aku bahas denganmu. Tapi sebelumnya aku memiliki alasan kuat untuk ini” Adnan beralih menatap istrinya dengan raut penuh tanya.

Perempuan yang sudah tak berpenutup kepala lagi terdiam sesaat. Kembali mencerna sesuatu yang dituju. Benarkah keputusannya? Yang pasti, Hana harus mencoba terlebih dahulu. Bisa saja spekulasinya salah -  berupa penolakan dari Adnan.

“Apa perlu… aku mencarikan perempuan baik untukmu?” cicit Hana, tidak berani mengangkat wajah, apalagi menatap netra hitam Adnan.

Lelaki didepannya termenung, memikirkan kata ‘perempuan baik’ yang barusan ia dengar.

“Perempuan, untukku?” Adnan memperjelas. “Maksud kamu?”

Hana memberanikan diri mengangkat pandangan.

“Sepertinya aku tidak bisa merawat anak-anak sampai dewasa, Mas. Kamu pun tidak mungkin dirumah terus-menerus, kamu seharian bekerja-”

“Han. Kamu bicara apa sih! Siapa yang mengataimu tidak bisa merawat anak-anak? Paman? Iya?” Adnan meninggikan suara. Menuduh sembarang orang. Ia tahu kemana arah pembicaraan Hana. Perempuan itu sedikit bergidik. Tak pernah ia melihat suaminya semarah ini.

“Mas. Bukan begitu-”

“Mungkin kamu kelelahan. Aku mau tidur.” Pria itu beranjak. Mengalihkan pembicaraan. Tepatnya tidak ingin membahas hal yang tidak akan terjadi.

Adnan telah bergelung di balik selimut, memunggungi istrinya. Ucapan kosong belaka ketika ia ingin tertidur. Laki-laki tersebut masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Apakah yang ia pahami selaras dengan maksud perkataan Hana tadi?

Dalam ruangan besar itu terdapat dua orang saling diam. Pula Hana kekeh pada pendiriannya. Benak nya bertanya-tanya, bagaimana meluluhkan hati seorang Adnan. Mungkin kalau membutuhkan waktu lebih lama, tubuh lemahnya tak bisa melakukan apapun. Membayangkan dua gadis mungilnya tanpa perawatan dan kasih sayang sosok ibu. Begitu sakit jika hal itu benar-benar terjadi.

Lelah dengan pikiran mereka masing-masing, akhirnya Adnan dan Hana mengalah seusai melawan kantuk, memejamkan mata. Dalam jam berikutnya, satu suara mengusik pria itu. membuatnya terjaga.

“Mas” gumam perempuan di samping.

Berulang kali kata itu terlontar. Membuat Adnan memangkas jarak dengan cepat, mendekati sang istri. Dahi Hana yang di hiasi rambut halus berkeringat, menambah kecemasan seorang Adnan Wijaya.

“Panas” Adnan bergumam pelan setelah memegang dahi Hana.

Bergegas ia mengambil obat yang tersedia dalam laci paling atas sebuah nakas terdekat. Mencomot plester modern penurun panas dewasa, untuk penanganan darurat. Jiwa yang dipenuhi rasa takut sekaligus khawatir, Adnan menyambar ponsel disamping. Menelepon Suryo.

Tanpa pikir panjang, pria itu menggendong Hana menuju mobil. Membangunkan pekerja rumah, dengan raungannya. Meminta untuk memegangi Hana di kursi penumpang bagian belakang. Mereka akan segera ke rumah sakit. Hana tentu sangat membutuhkan penanganan khusus. Terlihat dari tubuh putih Hana yang menggigil.

Selama satu bulan, istri Adnan sudah dua kali terbaring lemah dalam ruangan intensif.

.

.

Tengah malam Adnan kembali di suguhkan ruangan ber-dominan warna putih. Pikirannya kalut, tak bisa memikirkan apapun selain Hana didalam sana. Netra hitam itu tak di biarkannya terpejam.

‘Hebat sekali, Han. Kamu berhasil menutupi penyakit ini dariku. Atau aku saja yang bodoh!’ menatap kosong sambil meremas ke dua tangannya.

Selama ini, keseharian Hana baik-baik saja, membuat Adnan menepiskan kekhawatiran. Pikirnya pengobatan yang dilakukan Suryo berhasil, sehingga kondisi Hana berangsur membaik.

Jika kondisi tersebut di alami pasien dengan penyakit biasa, Adnan tak akan se-gila ini.

Usaha yang dilakukan seorang dokter onkologi terasa sia-sia. Hana tetap pada ego-nya. Kondisi emosi pasien berperan penting pada setiap langkah pengobatan yang di laksanakan.

Suryo berdiri di depan Adnan, menatap sedih pria itu. Biasanya keponakan nakal ini menjadi penyelamat bagi orang lain karena perannya sebagai dokter bedah. Sekarang berbeda, Adnan seolah tak memiliki gairah. Sesekali air matanya turun ketika membayangkan hal buruk pada sang istri.

“Nan. Paman bukan ingin merubah rencana tuhan ataupun takdir. Untuk penyembuhan Hana sangat sulit. Ditambah istrimu tak mau melakukan perawatan lainnya. Dengan alasan-” paman Suryo tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

“Paman. Aku mengerti” Adnan membalas tanpa melihat lawan bicara. Ia tetap menunduk melihat lantai.

“Ketika Hana datang menemui paman. Dia sepertinya memiliki keinginan. Tapi paman tidak tahu…” sontak ponakannya mendongak. Laki-laki yang mengenakan white coat pun menepuk bahu Adnan.

“Pikirkan baik-baik.” Ungkapan terakhir dari Suryo.

***

Tiada bulan tanpa berganti dengan matahari, begitu juga malam yang berganti dengan siang. Serta manusia mengalami perubahan dalam hidupnya – dan itu pasti.

Ternyata sudah satu minggu lamanya, Hana telah kembali ke rumah, selepas pertengkaran kecil bersama sang paman. Perihal menjaga kondisi tubuhnya, yang menjadi langganan rumah sakit.

Perempuan itu tengah duduk sendirian di ruang keluarga, membiarkan dua gadis kecil bermain piano mini mereka.

Terdengar bunyi notifikasi pesan dari ponsel. Sontak Hana menyambar benda pintar di sebelahnya.

_Ada apa, Hana? Pakde ada dirumah sekarang_

Seulas senyum menghiasi wajah ayu Hana. Keinginannya mungkin akan tercapai dengan segera. Melangkah sedikit cepat ia menuju kamar tidur, berganti pakaian yang lebih layak dan sopan.

Sedangkan bibi pekerja rumah ini ikut tergesa-gesa setelah mendengar namanya dipanggil sang majikan.

“Bi. Jaga Ayanna dan Anthea sebentar ya.” Kata Hana.

“Tapi, ibu mau kemana?” bibi tak ingin dijanjikan cepat pulang seperti saat itu. kali ini ia harus bertanya. Meski Adnan tidak marah, tetapi raut pria pemilik rumah kentara sekali menekuk.

“Hana mau ke rumah pakde di desa, bi. Mas Adnan pulang cepat hari ini. Nanti bibi beritahu saja.”

Tanpa beban istri Adnan berjalan melewati batas pintu. Kali ini ia harus mewujudkannya. Dari sudut pandang orang diluaran sana, mungkin yang ia lakukan terlihat begitu bodoh. Bahkan gunjingan dari keluarga bisa saja terjadi.

Masa bodoh dengan hal-hal tersebut, Hana enggan memikirkannya. Terpenting dua gadis mungilnya dipenuhi kasih sayang dari sosok ibu selain dia. Egois? Benar. Hana egois, tidak memikirkan bagaimana perasaan seorang gadis bernama Arum.

Hana mengunjungi rumah pak Pramono, dalam kondisi tubuh tak terlalu baik, ia menyiapkan senyum terhangat. Ketika Hana membuka pintu mobil, gadis berjilbab lebih muda darinya menyambut. Menampakkan gingsul manisnya.

“Mbak Hana” tegur gadis bernama Arum. “Saya anak pak Pramono. Tadi di minta menjemput mbak. Takutnya salah alamat.”

‘Cantik sekali’ benak Hana.

“Apa perlu saya bantu mbak kesana dengan kursi roda agar tidak terlalu lelah?” Arum menawarkan. Berdasarkan info dari ayahnya, Hana tidak begitu sehat.

Hana pun menggeleng “Enggak usah, Rum. Mbak tidak apa-apa.”

“Mbak tahu nama saya?” ia sedikit terkejut.

“Tentu saja. ayah kamu sudah memberitahu” istri Adnan terkekeh.

Dua perempuan itu lebih cepat akrab dari yang di perkirakan, Hana berkali-kali mengucap syukur dalam hati. Gadis pilihannya memang benar-benar baik. Apalagi perilaku dan keramahan Arum membuat Hana bahagia.

Jarak jalan dan rumah pak Pramono lumayan menguras tenaga. Bagi kondisi tubuh sehat, sebenarnya bukan hal berat. Namun, Hana sampai ngos-ngosan. Arum pun begitu khawatir.

“Mbak saya ambil minum dulu.” Arum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status