Share

Episode 5

“Mbak, saya ambil minum dulu.” Arum meninggalkan istri Adnan sendirian di ruang tamu.

Tampak mata Hana menyapu ruangan rumah pak Pramono. Satu foto zaman dulu berbingkai kayu sederhana, terdapat salah satu pria yang ia kenali. Dalam foto tersebut ada dua laki-laki ber-usia dua puluhan. Setelan celana pendek khas di zaman-nya, sekitar tahun 80-an, dan baju kaos yang terlihat kusam.

“Bagaimana kabarnya, Hana?” sapaan dari pak Pramono. di iringi kedatangan Arum yang membawa air putih.

Hana pun tersenyum, ia bisa merasakan bahwa keluarga ini sangat menghargai orang lain. ayah Arum yang begitu lembut memulai obrolan.

“Baik, Pakde.”

“Maaf, mbak. Cuma air putih. Aku takut kalau minuman lain mbak nggak bisa” Arum khawatir menghidangkan minuman yang salah. Sedikit banyak ia tahu bahwa penyakit Hana tidak boleh sembarang makanan atau pun minuman di konsumsi.

Pak Pramono cukup terkejut dengan kedatangan Hana secara tiba-tiba. Jujur saja, sedari tadi pria tua itu juga menunggu si kembar, Ayanna dan Anthea. Namun, riuh dua gadis kecil pun tidak ada,  kalau memang hanya ingin bermain ke rumah sederhana ini. Hana benar-benar sendirian mengunjunginya.

Ayah Arum sudah tahu tentang Hana, kehidupannya bersama Adnan serta memiliki dua gadis mungil.

Sementara Arum meminta izin sebentar ingin kembali ke toko kue miliknya. Terlalu lama ia meninggalkan para karyawan. Apalagi toko sedang ramai di hari libur.

Perbincangan Hana dan pak Pramono begitu serius. Tak jarang ibu Arum mendegar kata lamaran dan melamar. Untuk siapa lamaran tersebut ia tidak tahu pasti. Pembincang disana belum menyebutkan nama siapa yang dilamar dan akan melamar. Perempuan paruh baya masih sibuk menyiapkan beberapa camilan. Jadi, pendengarannya tidak bisa berfokus pada obrolan diruang tamu.

.

“Kunci motor” Arum baru ingat setelah mengenakan helm. “Pantas saja merasa ada yang kelupaan.” Bergegas ia kembali ke rumah, melewati pintu belakang dekat garasi motor tadi.

“Saya ingin melamar putri pakde untuk suami saya.” Suara istri Adnan.

Tak jauh dari posisi pak Pramono dan Hana, Arum mendengar jelas perkataan tadi. Matanya membola sempurna, tidak mungkin ia salah dengar. Sedangkan putri pak Pramono hanya dia seorang. Siapa lagi kalau bukan dirinya.

Mereka terdiam sesaat hingga ayah Arum menjawab.

“Baiklah. saya terima.”

Hana sangat senang dengan jawaban laki-laki yang selalu ia hormati ini. Dia memang tidak salah memilih Arum.

“Tapi… pakde tanyakan pada Arum dulu, Han. Bagaimanapun dia yang memegang keputusan, pakde tidak ingin ada masalah setelah pernikahan itu terjadi. Dan apa nak Adnan menerima ini?”

Sumringah yang terlihat di wajah Hana menghilang menjadi raut serius. Bagaimana ia bisa melupakan keberadaan Arum dalam keputusan ini. tentu gadis cantik itu turut ambil peran. Dialah pemeran utama untuk pernikahan nanti.

“Mas Adnan itu urusan mudah, pakde. Yang penting Arum menerima.”

***

Keputusan yang di pilih pak Pramono membuat anggota keluarga kecilnya berkumpul setelah kepergian Hana. Memberi hak kepada sang putri, Arum. mata bulat hitam Arum yang berkaca tampak linglung. Seperti memohon untuk membatalkan pernikahan ini.

Selama hidup, putri Pramono selalu menuruti apa yang dikatakan sang ayah. baginya, keputusan itu pastilah yang terbaik. Mana mungkin seorang ayah menjerumuskan putri kecilnya.

“Ayah. bagaimana dengan Reyhan? Minggu depan dia akan datang menemui ayah dan ibu.” kata Arum.

Pria berambut setengah putih tampak termenung, ia harus benar-benar mempertimbangkan ini. Tetapi, Hana merupakan putri dari Hasan. Laki-laki dari kerabatnya sendiri sekaligus teman baik sejak zaman sekolah menengah. Sederhananya, kakek Hana dan kakek Arum adalah saudara kandung.

Pramono tahu luar dalam Hasan bagaimana, bukan tanpa sebab Hana datang mengunjungi dengan permintaan sulit.

“Ayah tahu, Rum. Ayah merasa Reyhan bukan yang terbaik untukmu. Ayah menerima lamaran Hana juga memiliki pertimbangan. Selain dia putri Hasan, dia juga sangat lembut dan baik. Dan Adnan laki-laki baik yang ayah temui kala itu.”

“Maka dari itu, Yah. Arum tidak ingin menyakiti mbak Hana. Dia sangat baik, bohong kalau dia benar-benar iklhas membiarkan suaminya menikah lagi.” Arum berusaha membantah.

“Hana hanya ingin anak-anaknya mendapat kasih sayang dari perempuan seperti-mu, Rum. Karena sakitnya, Hana merasa tidak bisa bertahan hingga anak-anak dewasa.”

Arum terdiam. Mencoba memahami hubungan Adnan, Hana dan dirinya.

‘Berarti selama ini ayah bertemu suami mbak Hana terus?’

“Rum” panggil sang ibu. Gadis itu pun menoleh. “Ibu tidak bisa melakukan apapun. kalau kamu menolak, ibu akan mendukungmu. ibu tidak ingin putri satu-satunya dijadikan pengganti. Bahkan istri nak Adnan sendiri yang menemui ayah-mu. Tapi ingatlah, Hana pernah membantumu beberapa kali, nak. Hana perempuan baik."

Putri Pramono menatap perempuan paruh baya di samping, menggeleng pelan.

“Ayah. kenapa bisa menerima lamaran mbak Hana tanpa bertanya padaku? Kalian seolah menerima begitu saja” gadis itu menatap ayah dan ibu-nya bergantian. Sembari mencerna penjelasan dua orang yang sangat ia hormati.

Pertanyaan Arum pun tak kunjung di jawab.

“Baiklah. bukannya ayah ingin meminta pendapatku dulu sebelum mbak Hana pergi dari sini? Dan Arum menolak lamaran itu.” ia pun beranjak dari ruang obrolan, bersembunyi dalam kamar. Agar tak sesiapapun mengganggu.

Kali pertama gadis pemilik gingsul manis ini berani menentang keputusan sang ayah. Hana memberi waktu seminggu untuk Arum menerima, selanjutnya ia akan datang kembali, merencanakan waktu yang tepat kapan pernikahan di laksanakan.

.

Malam ini Arum tidak bisa tidur seperti malam-malam sebelumnya, dalam sekejap hal di luar keinginan pun bisa terjadi. Ia mengingat raut Reyhan ketika tertawa lepas di toko kue waktu itu. mereka yang tanpa hubungan saling memiliki rasa suka. Reyhan menungkapkan rasa tertarik terhadap Arum meminta agar menunggunya.

Disaat laki-laki pilihannya akan meresmikan suatu hubungan, ia dipertemukan dengan hal di luar dugaan. Siapa sangka Hana berkunjung membawa lamaran.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan gadis pemilik kamar, segera ia membuka pintu. Arum tahu, pasti itu ayahnya. Kebiasaan sang ayah akan menemui putrinya setelah ada masalah terkait mereka berdua.

Mereka masih di sibukkan dengan pikiran masing-masing. Pramono agak bingung bagaimana menjelaskannya kepada Arum. gadis itu menjaga jarak seolah enggan mendengar apapun dari ayahnya.

“Rum. Hana masih kerabat kita.  Kamu tidak mau mempertimbangkannya lagi?” suara lembut ayah Pramono.

“Yah. Arum mengantuk. Besok saja kita bicarakan.” ia berusaha mengelak pembicaraan ini. Pramono terdiam, beringsut menjauh.

Dalam diam Arum memperhatikan punggung lemah ayahnya yang perlahan ditutupi pintu. Pikirannya menjadi kusut, sangat sulit menemukan benang merah untuk permasalahan ini.

Deringan telepon yang tak henti-hentinya berbunyi, membuat si pemilik malas mengangkat.

‘Penganggu’ kesal Arum.

Berikutnya bunyi notifikasi pesan. Penelepon tadi sepertinya sudah menyerah.

(Arum. kedua orang tuaku merestui hubungan kita. Minggu depan kami akan ke rumah-mu) Reyhan.

Deg.

Arum begitu terkejut. Semakin rumit saja permasalahannya.

“Sudahlah. Aku tidak mau memikirkan ini lagi.”

Arum memilih mematikan data ponselnya, memainkan game offline untuk mengalihkan pikiran terhadap kata pernikahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status