Share

Awal Mula Pembalasan Dendam

Senyuman Zulaika sekali lagi membuat Arman lupa dengan amarahnya. Dia berdiri tegak, membuat sang penguasa keluar dari mobil dan perlahan menghampirinya.

Kini, mereka berdua saling bertatapan tajam. Arman sedikit menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum. Dia masih tidak percaya sudah dipermainkan oleh seorang wanita. Zulaika perlahan mengangkat tangan kanannya, mengelus pipi Arman.

“Kau ….”

Tanpa sadar, Arman memejamkan kedua matanya. Menikmati sentuhan itu. Semua wanita penghuni kerajaan Maulana, memandang dengan terkejut. Mereka masih saja tidak percaya melihat Arman. Lelaki kejam dan sedingin es batu, bisa luluh seketika hanya dengan senyuman. Apalagi Ardian juga berjalan mendekat. Spontan, Tuan Muda kedua itu menarik tangan Zulaika dan menatapnya dengan senyuman.

“Senyuman bidadari. Sangat damai dan indah,” ucap Ardian. Tidak peduli Arman di sebelahnya memandang dengan tegang.

Sesuatu kembali terjadi. Arman menarik Zulaika dan menggendongnya. Ardian kini terpaku dalam kecemburuan.

Redrich berjalan cepat menghampirinya. Dia menarik lengan Ardian dan menggelengkan kepala. “Hentikan, Ardian!” ucap Redrich masih menggeleng. Tuan Muda kedua terpaksa menahan diri. Kali ini, dia tidak akan membuat masalah.

Arman memasukkan Zulaika ke dalam rumah megahnya. Rumah bernuansa Eropa dengan ukiran khasnya. Bahkan, banyak sekali perabotan yang terbuat dari emas. Kakinya terus melangkah, akan menuju kamar terbaik di sana. Kamar Arman Maulana. Namun, Zulaika menggelengkan kepalanya. Arman pun menghentikan langkahnya.

“Kenapa? Bukankah kau menginginkan aku?” tanya Arman pelan. Tatapan kedua mata bulat hitamnya masih saja tidak teralihkan dari kecantikan Zulaika.

“Kita akan melakukannya jika aku menjadi istri sahmu. Jika tidak, bunuhlah aku. Jika kau memaksaku, kau akan berhubungan dengan mayatku,” ucap Zulaika semakin mengejutkan Arman. Perkataan pedas pertama kalinya keluar dari mulut seorang wanita.

Arman sejenak berpikir. Hingga selang beberapa detik, dia kembali berjalan menuju kediaman para wanita. Dengan pandangan lurus ke depan, Arman terus melangkah. Melewati semua istri sirinya yang terpaku dengan perbuatannya. Arman sendiri sebenarnya tidak percaya. Kenapa dia dengan mudah bisa luluh dengan semua ucapan Zulaika?

Kamar terindah yang tidak pernah dihuni siapapun selain Redrich saat dulu, kini siap dibuka kembali. Hanya wanita yang akan dinikahi Maulana dengan sah, bisa berada di sana sebelum pernikahan terjadi.

“Bukalah,” pintanya kepada salah satu pelayan. Dengan cepat, pelayan membuka kotak. Dia mengeluarkan kunci yang terbuat dari emas. Pintu kamar segera dibuka. Sebuah kamar megah, berhiaskan mawar merah yang berarti cinta.

Malik Maulana saat itu benar-benar jatuh cinta saat Redrich menyelamatkan dirinya dari penembak jitu yang diperintahkan pesaing untuk membunuhnya. Rasa cintanya, membuat Malik membuat kunci khusus itu untuk membedakan Redrich dengan semua istri sirinya. Namun, kamar itu hanya dimasuki pelayan sejak Redrich pindah di kamar utama. Hingga saat ini, Arman membukanya.

“Aku akan memilikimu saatnya tiba,” bisik Arman sambil menurunkan tubuh Zulaika. Dia meninggalkan Zulaika dengan sedikit tersenyum. Semua mata masih memandang Arman. Mereka hanya terpaku melihat Tuan Besar dengan ekspresi lain dalam sisi dirinya selama ini. Seolah, rasa dingin menusuk yang selalu diperlihatkan Arman, hilang sekejap dengan senyuman Zulaika.

Kedua mata Zulaika mengedar, melihat semua mata yang menatapnya dengan tajam. Paula dan Melia segera mendekat, mengangkat wajah dengan menantang.

“Kau tidak akan pernah menikahi Arman. Kau … akan aku buat sengsara. Lihat saja nanti,” ucap Melia. Dia mendorong tubuh Zulaika dengan keras. Dengan kuat, Zulaika menahanya.

“Hmm. Sepertinya sangat menarik. Aku selalu saja bosan dengan keadaan. Tapi, jika kalian akan menggangguku, itu sangat membuatku terhibur. Aku … menunggu kalian melakukannya.”

“Kau!” Paula melayangkan tangannya.

Zulaika menangkap tangan itu. Dia menghempaskan dengan keras. Selama ini lelaki yang mengasuh Zulaika, mengajarinya untuk membela diri dan menggunakan senjata. Dia sangat paham, bagaimana kondisi semua wanita Maulana.

“Aku yang akan menghancurkan kalian. Sekarang, pergilah. Bukankah Tuan Besar akan sangat marah, jika melihatku sakit akibat ulah kalian? Bagaimana jika aku berteriak dan memanggilnya? Kalian … akan dihabisinya. Sangat menarik sekali.”

Ucapan Zulaika membuat semua istri siri Arman kini meninggalkannya. Kecuali istri siri kedua Arman bernama Ema. Dia mendekati Zulaika dan berjabat tangan.

“Kita berteman. Aku … membenci Tuan Besar. Sama seperti dirimu. Aku bisa dengan jelas mengetahui di balik senyuman itu.”

“Kita akan berteman setelah aku mengenalmu,” balas Zulaika. Dia tidak menerima jabatan tangan itu. Zulaika meninggalkan Ema yang hanya tersenyum melihatnya.

Di dalam kamar, Zulaika menekan jantungnya yang berdetak kencang. Dia sebenarnya memendam ketakutan luar biasa. Kini, deraian air mata kembali mengalir. Hingga selang beberapa menit, tawa itu muncul. Zulaika semakin tertawa karena kemenangannya untuk masuk ke dalam kerajaan Maulana. Dengan napas yang masih sesak, dia menghentikan tawa bercampur tangisan itu.

“Aku … akan mulai membalas mereka, Ibu,” batinnya.

Zulaika duduk di kursi rias. Memandangi dirinya sendiri. Sambil mengingat masa lalu. Di mana dia menyaksikan kejadian tragis yang sangat luar biasa.

Zulaika semakin melebarkan kedua matanya. Dia tak kuasa melihat masa lalu itu yang selalu membuatnya tertekan.

“Ibu …,” batinnya lirih. Dia mengepalkan tangan semakin erat. Rasa sakit akibat kuku yang masuk dan merobek kulitnya tidak lagi ia rasakan.

Keheningan kini memenuhi ruangan. Suara tangisan yang semula keluar, kini sirna. Yang ada, pemandangan bayangan warna merah dengan bau amis menusuk penciuman saat itu dia rasakan. Ekspresi gadis itu kini sangat kaku jika semakin mengingatnya. Tak ada yang membuatnya ngeri sama sekali kecuali kejadian hari itu.

“Kalian …,” lirihnya dengan suara serak.

Perlahan, tangan itu menyentuh wajahnya. Zulaika mengusap air mata yang masih membekas. Wajahnya yang semula sembab dan sendu, kini menghilang. Ambisi untuk menghancurkan kembali hadir.

“Aku … akan menyelesaikannya.” Zulaika mengeluarkan jam pasir kecil di saku jubahnya. Dia meletakkan di atas meja. Tepat di sebelah jendela.

Kedua matanya yang semula masih menatap tajam, kini kembali memejam. Hatinya menahan pilu. Hati yang semula ditahannya, kini mulai pecah.

“Argh!”

Teriakan yang semula kencang, kini perlahan mulai lemas. Perlahan dia mulai mengatur napasnya.

“Kau … bukalah!”

Tok, tok!

Lamunan masa lalu Zulaika teralihkan dengan ketukan suara di jendela kamarnya. Dengan cepat dia menuju jendela itu. Namun, dia tidak segera membukanya.

“Siapa?” tanyanya sedikit keras.

“Bidadari? Itukah namamu? Ini aku. Bukalah, dan kau akan melihatku.”

Suara itu tidak asing. Zulaika mengernyit, sebelum benar-benar membukanya.

“Bukalah, dan berikan aku kebahagiaan.  Dengan senyumanmu itu.”

Perlahan Zulaika membukanya. Dia tidak percaya melihat sosok yang selalu berada di dalam bayangannya.

“Senyuman bidadari ….”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Inayati
aku sangat senang dengan ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status