"Ck!"
Bara tampak murung setelah penyambutan tadi. Dia merasa bingung dengan reaksi para karyawannya. Namun, Bara memendamnya sendiri.
Kini, bahkan Bara sudah dengan santai berkeliling perusahaan diarahkan oleh sang Papa.
Roki memang ingin sang anak mengenal struktur perusahaan secara nyata. Tidak seperti sebelumnya yang hanya lewat tulisan dan gambar, Roki juga berharap dengan berkeliling perusahaan membuat percahan memori Bara kembali.Bruk! Tanpa sengaja Bara menabrak seorang karyawan yang sedang memegang setumpuk kertas karena pria itu memperhatikan banyak hal dan tidak fokus ke depan. Sontak, hal itu membuat kertas-kertas yang dipegang karyawan itu berhamburan.Segera, Bara berjongkok untuk memunguti kertas yang berserakan. Melihat itu, Zulfi pun ikut berjongkok untuk membantu atasannya. Begitu juga dengan karyawan yang ditubruk oleh Bara."Saya minta maaf karena sudah membuat kekacauan seperti ini." Bara berkata sambil memberikan kertas-kertas yang sudah dikumpulkan kepada karyawan yang ternyata Indah.Mata Indah langsung melebar saat menyadari jika orang yang ada di depannya adalah bos dan orang yang ia tolong beberapa bulan yang lalu. Indah cukup terkejut melihat Bara kembali, tetapi ada perasaan lega ketika melihat Bara yang tampak baik-baik saja. Namun, perempuan itu segera menormalkan kembali raut wajahnya."Iya, Pak. Tidak apa-apa," sahut Indah cepat–ingin pergi secepatnya dari sana.Hanya saja, suara Indah membuat Bara berhenti mengumpulkan kertas. Begitu serius CEO muda itu menatap dalam mata Indah."Tunggu! Kau yang menyelamatkan hidupku, kan?" tanya Bara tiba-tiba ketika Indah akan berdiri.
"Hah?"Mata Indah kembali melebar ketika mendengar Bara menyebutnya sebagai penyelamat hidup pria tersebut. Bahkan gerakan kakinya yang bersiap berdiri pun tiba-tiba saja kaku. Tak hanya Indah, bahkan Roki tampak terkejut."Apa maksudmu?" tanya Roki."Penyelamat hidup," ujar Bara lagi dengan mata berbinar.Dengan refleks, tangan Bara bergerak untuk menyentuh tangan Indah yang memegang kertas. "Aku akhirnya menemukanmu!"Bara nampak bahagia bisa bertemu dengan Indah. Mengerjap beberapa kali, Indah mencoba mencerna ucapan Bara. Bukankah Bara sudah dalam keadaan tidak sadar saat malam tragis itu?"Mohon maaf, saya tidak mengerti, Pak," ucap Indah pada akhirnya. Dia bahkan berusaha menarik tangannya agar Bara mau melepaskannya.
Sayang, usahanya sia-sia. Bara tetap memegang tangannya tanpa peduli dengan usaha Indah.
"Aku mengenali suaramu. Kau yang menolongku saat kecelakaan, kan?"Dona yang sedari tadi berada di belakang, seketika menyadari gelagat aneh Bara. Segera, perempuan itu berjongkok untuk menenangkan agar anaknya tidak melakukan tindakan bodoh. Namun, ia malah dikejutkan saat melihat Indah."Kamu?" gumam Dona."Siang, Bu." Indah menyapa dengan perasaan canggung mendengar Dona menyebut namanya.Memang, setelah malam kecelakaan, Indah dan Dona pernah bertemu sekali. Hal itu terjadi karena Dona ingin mengucapkan terima kasih dengan benar kepada Indah yang sudah menolong Bara. Bahkan, ia menyiapkan hadiah untuk Indah, tetapi langsung ditolaknya."Mama, kenal penyelamat hidupku?" tanya Bara dengan tatapan tidak percaya.Bara tampak tersenyum lebar. Sementara kedua alis Dona saling bertautan saat mendengar pertanyaan Bara. Ada yang aneh dengan anaknya setelah mendengar suara Indah. Dan sebagai seorang Ibu, dia harus menyelamatkan martabat putranya sebelum terlambat...."Bara, ikut Mama ke ruangan!" perintah Dona cepat.
"Tidak. Aku mau sama penolong hidupku.""Bara, apa maksudmu?""Aku ingin bersama penolong hidupku."Mengerti jika Bara tidak ingin melepaskan Indah, Dona pun meminta perempuan itu untuk ikut bersamanya. "Nak, kamu juga ikut dengan saya!""Ba-baik, Bu." Meski Indah bingung dengan perintah Dona yang tiba-tiba, tetapi ia tidak memiliki keberanian untuk menolak.Segera, mereka berjalan ke ruangan. Hanya saja, Bara tampak terus menempel dengan Indah. Sungguh, wanita paruh baya itu dibuat bingung dengan tingkah Bara yang tiba-tiba. Ada perasaan khawatir andai terjadi sesuatu dengan otak Bara yang mungkin dilewatkan tim dokter sebelumnya."Ayo!" ajak Bara sambil menarik lengan Indah.Tidak ada sahutan dari Indah. Perempuan itu terlalu terkejut dengan tingkah Bara yang tiba-tiba. Terlebih dengan tangannya yang terus dipegang oleh Bara.Selama perjalanan, Bara terus menggenggam tangan Indah. Padahal, Indah terus berusaha untuk melepaskan genggaman yang terasa begitu erat. Perempuan itu harus menundukkan pandangan karena semua orang yang mereka lewati melihat ke arahnya dengan berbagai tatapan. Hal itu membuat Indah tidak nyaman.Tiba di ruangan, Dona kemudian berhenti membuat semua orang menatap perempuan itu bingung, termasuk Indah.Mendadak, Dona menatap Zulfi yang juga sedari tadi mengikuti. "Zulfi, kamu tunggu di luar. Sepertinya, ada yang harus kami luruskan terlebih dahulu."
"Baik, Bu."Zulfi keluar lalu menutup rapat pintu ruang kerja yang sudah beberapa bulan ini ia miliki dan harus dilepas saat Bara kembali. Ada kebingungan yang nyata di wajah asisten itu. Mengapa bos angkuhnya bertingkah seperti anak kecil setelah bertemu Indah? Dia harus menyelidiki ini semua!
*******Di sisi lain, setelah memastikan tak ada yang lain selain mereka berempat, Dona menatap tajam anaknya.Tak jauh berbeda, Roki juga merasa anaknya begitu aneh. Ditatapnya sang anak yang terus saja memegang erat tangan Indah. Barulah mereka sadari bahwa perempuan itu tak nyaman.
"Bara, lepaskan tangan Indah!" perintah Roki yang tidak tega."Enggak mau! Nanti, penyelamat hidupku pergi."Bara malah semakin mengeratkan genggaman tangannya. Seolah takut jika Indah benar-benar pergi dari sisinya. Jelas tindakan Bara membuat Indah meringis lirih. "Bara! Kamu menyakitinya," tegur Dona.Mendengar ucapan Mamanya, Bara menoleh ke arah Indah yang terus menunduk. "Apa aku menyakitimu, penyelamat hidupku?" "Oh ... astaga! Kenapa kamu seperti anak kecil begini, Bara? Namanya Indah!" Roki berkata dengan nada yang lebih tinggi. Pria paruh baya itu bahkan memijat pelipisnya."Indah?" tanya Bara memastikan. Tak lama senyum menyeringai muncul di wajah Bara, "Jadi, itu namamu?"“Indah.” Bara terus mengulang nama itu sambil melihat ke arah Indah dengan berbinar. "Jadi, apa yang membuat kamu beranggapan jika Indah adalah penyelamat hidupmu, Nak?" tanya Dona lebih lembut.Setelah bersitegang karena Bara yang tidak mau melepaskan tangan Indah tadi, pria itu akhirnya dengan berat hati melepaskan saat Indah yang memintanya. Kini, mereka tengah duduk di sofa dengan saling berhadapan."Ayo Bara, jawab." Dona kembali berkata ketika Bara hanya diam saja.Bara melihat sekilas ke arah Indah lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Karena dia yang menolongku saat kecelakaan itu." Sontak jawaban Bara membuat semua orang yang tengah duduk itu menatap Bara dengan tidak percaya. Mereka tidak menyangka jika Bara bisa tahu kalau Indahlah yang menolongnya. Namun, bagaimana bisa pria tersebut mengetahuinya? "Ka-kamu, bagaimana bisa mengetahuinya?" "Aku mengenal suaranya.”"Jadi, saat itu kamu dalam keadaan sadar?" tanya Dona."Aku enggak tahu, karena yang aku ingat han
Meski memikirkan bahwa pengirim pesan tersebut adalah Bara, tetapi tangan Indah segera bergerak untuk melihat foto profil dari nomor tersebut. Dia ingin memastikannya lagi. Namun, betapa kagetnya, ia saat gambar Bara terpampang jelas di sana. "Ja-jadi, ini nomor Pak Bara?" gumam Indah lirih.Meski pelan, ternyata Rosi yang memang mejanya berdekatan dengan Indah, dapat mendengar gumaman Indah barusan. "Kamu SMS-an sama Pak Bara, Indah?" pekik Rosi dengan keras.Sontak semua orang yang sejak tadi memperhatikan Indah pun menatapnya menjadi penuh selidik. Bagaimana tidak? Kejadian Bara yang tanpa sengaja menabrak Indah sudah menyebar luas di kalangan para pegawai.Bahkan, selentingan gosip yang tidak benar sudah sampai di telinga semua orang. Lalu, sekarang mereka mengetahui jika Indah berkirim pesan dengan Bara. Bukankah itu terlalu mencurigakan? "Ini ... aku—""--Indah dipindahkan tugaskan jadi sekretaris pribadi Pak Bara," potong Kepala Administrasi sebelum Indah selesai berbicara.
Ucapan Bara membuat Indah terdiam dan heran. Ia merasa tidak percaya jika pria yang ada di hadapannya bisa mengatakan hal itu tanpa beban. Apa ia pikir pernikahan itu hanya main-main? "Kenapa diam aja? Kamu mau enggak?" Bara tampaknya tidak sabar ingin tahu jawaban lndah.Indah mengerjap beberapa kali saat Bara menatapnya penuh harap. Ia merasa bingung harus menjawab apa. "Saya tidak ...." Belum selesai Indah menyelesaikan kalimatnya, Bara sudah lebih dulu menyela dengan menarik tangan Indah. Langkahnya sangat lebar dan cepat. Sehingga Indah hampir terseret andai tidak bisa menyeimbangkan."Ma! Pa!" Bara memanggil kedua orang tuanya begitu masuk ke dalam rumah. Memang jarak antara gerbang dan rumah cukup jauh. Hal itu dikarenakan halaman yang begitu luas. Dona dan Roki yang berada di kamar pun segera keluar ketika mendengar Bara yang memanggil mereka. "Ada apa, Bar?" tanya Roki dengan napas yang terengah-engah–khawatir sang putra kembali terkena musibah."Aku mau menikah dengan I
Dona dan Roki hanya bisa mendesah lirih ketika Bara mengatakan kalau dirinya tidak ingat dengan siapa yang sudah melakukan kejahatan tersebut. Ya, meski mereka kecewa, tetapi mereka paham kalau Bara tidak mungkin mengingat dengan mudah."Jadi bagaimana? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Bara menatap Indah dengan penuh harap.Mendapatkan tatapan seperti itu, Indah ikut mendesah. Pada akhirnya ia pun menjawab dengan jujur meski rasanya berat. "Saya belum menikah, Pak." Terang saja Bara senang mendengar itu. Ia bahkan dengan refleks memeluk Indah. "Aku senang, itu artinya kita bisa menikah." Tubuh Indah menegang. Perlakuan Bara yang tiba-tiba membuat Indah tidak nyaman. Menyadari itu, Dona pun meminta Bara untuk melepaskan pelukannya."Bara, bukankah udah Mama katakan untuk tidak berbuat seenaknya kepada Indah?" Teguran Dona membuat Bara melepaskan pelukannya dengan berat. Ada rasa nyaman saat memeluk Indah. "Aku selalu tidak bisa mengontrol diri saat bersamamu, Penyelamat hidup." "
Tiba di kantor, semua orang yang berada di loby langsung tertuju pada Bara dan Indah. Jelas hal itu karena gosip tentang Indah yang berkirim pesan dengan Bara sudah menyebar luas. Ditambah dengan sekarang, mereka berangkat ke kantor bersama. Jelas perbincangan itu semakin senter terdengar."Kata Papa jangan dengarkan mereka yang sedang membicarakan kita," bisik Bara ketika mereka sedang berdiri di depan lift. Indah hanya mampu menunduk. Tidak mengindahkan ucapan Bara barusan. "Kenapa diam?" Dengan pelan Indah menggeleng. Bara mendesah pelan, lalu tiba-tiba ia menarik dagu Indah agar kepalanya tegak. "Jangan menunduk terus, nanti leher kamu sakit." Jelas tindakan Bara di depan umum membuat kasak-kusuk semakin menjadi. Mereka tidak mengira jika Bara bisa melakukannya secara terang-terangan. Tidak jauh berbeda dengan perasaan Indah sekarang. "P-pak, mohon maaf. Jangan seperti ini," pinta Indah sambil menepis tangan Bara dari dagunya."Kenapa?" Belum sempat menjawab, pintu lift
Indah mengerjap beberapa kali--bahkan sendok yang sedang dipegangnya hampir jatuh saat melihat Bara sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa diam?" tanya Bara karena Indah tidak juga berdiri, padahal ia sudah mengulurkan tangan. Tersadar saat kakinya ditendang Rosi dari bawah meja, Indah tersenyum canggung. "Maksud Bapak, apa?" "Ck! Kamu udah janji enggak akan ninggalin aku. Tapi malah makan di sini sama teman kamu." "Ini 'kan jam makan siang, Pak!" "Harusnya kamu makan sama aku!" Tanpa ada yang mengira, Bara malah menarik satu kursi lalu duduk di samping Indah. "Aku makan di sini." Zulfi yang sejak tadi berdiri di belakang Bara mengangguk. "Kalau begitu saya pesankan dulu, Tuan." "Hemm." Karena tidak mau menganggu, Rosi yang sejak tadi diam memilih berdiri. Ia mengambil kotak makan yang masih tersisa banyak. "Aku duluan, Indah." Indah menatap Rosi penuh harap agar Rosi mau tetap tinggal. Namun, tatapan itu Rosi abaikan. Bagaimanapun Rosi masih membutuhakan perkerjaan, ia tid
Indah mengabaikan pertanyaan Bara. Perempuan itu terus melangkah meninggalkan kantin.Tidak tinggal diam, Bara mengejar Indah. "Indah, jangan tinggalin aku!" Terus melangkah, Indah masuk ke dalam lift yang kebetulan tengah terbuka. Segera Bara mengulurkan tangannya ketika pintu lift akan tertutup dengan sempurna. "Indah," lirih Bara dengan napas yang terengah-engah karena mengejar Indah. Bara menatap Indah yang memalingkan wajah. Pria itu mendesah lalu memilih diam. Sepertinya Bara mengerti jika Indah tidak nyaman dengan sikapnya yang berlebihan. Tiba di lantai 12--tempat ruangan Bara berada, Indah melangkah menuju mejanya. Baru saja Indah akan duduk, tiba-tiba lengannya ditarik Bara. "Ikut aku!" Indah yang tidak siap sedikit terhuyung, sehingga tidak bisa melawan ketika Bara terus menarik menuju ruangannya. "Pak! Sakit," lirih Indah ketika pintu ruangan Bara sudah ditutup. Sontak Bara melepaskan cekalannya. Bara melihat pergelangan Indah yang merah akibat cekalannya yang terl
"Indah, ada apa?" Mega yang melihat anaknya merenung pun menghampiri. Indah tersenyum tipis. "Enggak ada apa-apa, Bun."Mega mengusap pundak Indah lalu berkata, "Bunda tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Apa ini ada hubungannya dengan kamu yang tadi berangkat ke rumah Pak Bara?" Terdiam, Indah bimbang antara memberitahu atau tidak tentang permintaan Dona dan Roki. "Indah," tegur Mega karena Indah hanya diam saja. "Kayaknya emang susah kalau nyembuyiin sesuatu sama, Bunda.""Ya, bagaimanapun ibu dan anak memiliki ikatan yang kuat." Indah mengangguk mengerti. "Em ... tapi Indah belum bisa cerita, Bunda enggak apa-apa 'kan?" "Iya, enggak apa-apa. Kalau belum bisa jangan dipaksa, tapi ingat ... Bunda akan selalu ada buat kamu." "Iya, Bun. Makasih." Karena malam yang semakin larut, Indah putuskan untuk masuk ke kamarnya. Perempuan itu merebahkan tubuhnya setelah melepaskan kerudung instan yang tadi dikenakan. "Apa aku harus terima? Tapi bagaimana dengan Mas Dirga?" ***Hari