Share

Bab 4. Seperti anak kecil

“Indah.” Bara terus mengulang nama itu sambil melihat ke arah Indah dengan berbinar. 

"Jadi, apa yang membuat kamu beranggapan jika Indah adalah penyelamat hidupmu, Nak?" tanya Dona lebih lembut.

Setelah bersitegang karena Bara yang tidak mau melepaskan tangan Indah tadi, pria itu akhirnya dengan berat hati melepaskan saat Indah yang memintanya. Kini, mereka tengah duduk di sofa dengan saling berhadapan.

 

"Ayo Bara, jawab." Dona kembali berkata ketika Bara hanya diam saja.

Bara melihat sekilas ke arah Indah lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Karena dia yang menolongku saat kecelakaan itu." 

Sontak jawaban Bara membuat semua orang yang tengah duduk itu menatap Bara dengan tidak percaya. Mereka tidak menyangka jika Bara bisa tahu kalau Indahlah yang menolongnya. Namun, bagaimana bisa pria tersebut mengetahuinya? 

"Ka-kamu, bagaimana bisa mengetahuinya?" 

"Aku mengenal suaranya.”

"Jadi, saat itu kamu dalam keadaan sadar?" tanya Dona.

"Aku enggak tahu, karena yang aku ingat hanya suaranya.” Bara menjawab sambil melihat ke arah Indah.

"Baiklah, Mama mengerti. Tapi, kamu jangan panggil Indah dengan sebutan penyelamat hidup terus."

"Iya tahu, tapi bagiku Indah memang penyelamat hidupku," ujar Bara dengan sorot mata yang sangat sulit diartikan saat menatap Indah.

"Apa itu karena dia yang menolongmu?"

"Tentu saja, Ma!"

Mendengar jawaban Bara membuat Dona dan Roki bernapas lega. Setidaknya, Bara menganggap Indah sebagai penyelamat hidup karena perempuan tersebut sudah menolongnya. Bukan karena sesuatu yang buruk terjadi pada pola pikir Bara. Meski begitu, mereka harus mengkonsultasikan kembali dengan dokter.

"Baiklah, tapi sepertinya Indah tidak nyaman dengan panggilan yang kamu berikan. Jadi, Mama minta jangan panggil Indah dengan sebutan seperti itu, hemm?"

Bara tidak langsung menjawab permintaan Dona. Ia kembali melihat ke arah Indah yang sejak tadi hanya diam dengan kepala menunduk. "Baiklah, tapi aku mau Indah jadi sekretarisku." 

"Apa?!"

"Yang benar saja!"

Dona dan Roki berkata bersamaan begitu mendengar ucapan Bara. Sementara Indah langsung menegakkan kepala lalu menatap pria di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa ia menjadi sekretaris, jika pendidikannya saja hanya sampai SMA? Dia hanya pegawai biasa di sini!

"Ada apa dengan reaksi kalian?" tanya Bara dengan wajah tanpa dosa.

"Itu tidak mungkin terjadi, Bara."

"Kenapa? Pokoknya aku mau Indah, dan kalau bukan Indah yang menjadi sekretarisku, aku enggak akan terjun ke perusahaan!" Bara berkata dengan keyakinan penuh.

"Bara! Kamu jangan main-main," bentak Roki.

Sepertinya pria paruh baya itu sudah kehilangan rasa sabarnya. Terbukti, dengan wajahnya yang berubah merah padam. Sangat menyeramkan, tetapi tidak bagi Bara.

"Aku enggak main-main, Pa. Aku ingin Indah terus ada di sampingku."

Dona yang mendengar ucapan anaknya sampai geleng-geleng. Ia tidak percaya dengan sikap Bara yang tetap menyebalkan meski sedang kehilangan ingatan.

Ya, Bara yang dulu dan yang sekarang sama saja, sama-sama jika memiliki keinginan harus terpenuhi.

"Kali ini, alasan apa yang akan kamu berikan?" Dona lebih bisa mengontrol diri, sehingga cara bertanya pun masih dengan lembut.

"Karena aku yakin kalau Indah orang yang baik. Terbukti, dia mau menolongku meski nyawa sebagai taruhannya. Dan, aku membutuhkan orang baik dan jujur untuk berada di sampingku saat ini."

Terdiam, Dona dan Riko sepertinya setuju dengan ucapan Bara kali ini. Lagi pula, memang mereka harus waspada dengan kondisi Bara yang hilang ingatan. Ditambah dengan kenyataan jika kecelakaan yang menimpa anaknya bukan murni kecelakaan. Meski belum ada kejelasan, tapi dari laporan terkini ada sesuatu yang janggal pada mobil anaknya malam itu.

"Apa ada alasan lain, Bara?" Kali ini, Roki yang bertanya.

Bara tidak langsung menjawab, pria itu kembali melihat ke arah Indah sebentar. "Enggak ada," jawabnya.

"Ya sudah, Papa kabulkan permintaanmu."

Mendengar ucapan Roki membuat Bara mengepalkan tangan lalu menariknya ke bawah sebagai tanda jika ia sedang bereuforia. Sementara Indah langsung menatap Roki dengan tatapan tidak percaya. Ia benar-benar terkejut dengan keputusan Roki yang tanpa dipikirkan terlebih dahulu.

"Maaf, Pak. Tapi ...." Setelah sekian lama hanya diam memperhatikan, akhirnya Indah bersuara. Namun, harus berhenti ketika Dona memotongnya. 

"Apa kamu keberatan?"

"Kalau boleh jujur ... iya, Bu."

"Mau keberatan atau pun enggak, aku enggak peduli! Aku mau kamu jadi sekretarisku. Kamu lupa aku ini atasanmu?" cetus Bara tiba-tiba.

Berbeda dengan tadi, sikap Bara tampak seperti dahulu–tegas dan mendominasi.

Indah sampai mendesah lirih mendengar ucapan Bara yang tidak mau dibantah. Dengan berat, perempuan itu mengangguk. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menurut karena ia hanya bawahan yang masih membutuhkan pekerjaan.

"Nah, dari tadi, dong!" Bara senang dengan keputusan Indah.

"Kalau begitu, kamu bisa kembali ke divisimu, Indah. Bereskan semua barang-barang, karena mulai besok kamu sudah mulai bekerja menjadi sekretaris Bara," ujar Dona memberi perintah.

"Baik, Bu." Indah pun menunduk dan izin keluar dari ruangan itu.

Namun, saat Indah akan melangkah, suara berat milik Bara kembali menginterupsi untuk berhenti, “Indah!”

Dengan refleks, Indah menghentikan langkahnya lalu membalikkan badan menghadap ke Bara yang ternyata ternyat sudah berdiri. "Iya, Pak?"

"Mana nomor ponsel kamu?"

"Ponsel?" Indah bertanya untuk meyakinkan jika yang didengarnya tidak salah.

Dengan segera, Bara membawa langkah lebarnya menghampiri Indah. Tangannya menengadah seolah tengah meminta sesuatu.

"Ponselnya mana?" ujarnya tanpa beban. Namun, Indah hanya diam saja.

"Ayo," ujar Bara lagi.

Sedikit ragu, Indah memberikan ponsel yang sejak tadi ada di dalam saku roknya. "Ini, Pak. Tapi untuk apa?"

"Aku cuman mau nomor ponsel kamu karena ada yang harus dibahas nanti." Bara menjawab asal sambil menerima ponsel Indah. Ia mengotak-atik ponsel Indah lalu menyimpan nomornya di sana.

"Nih," ujar Bara menyerahkan ponsel kepada pemiliknya. "Kamu boleh pergi," sambungnya ketika Indah sudah mengambil ponselnya.

"Baik, Pak. Assalamu'alaikum."

*****

Indah melangkah cepat setelah keluar dari ruangan. Dia ingin segera sampai di ruang administrasi, tempatnya bekerja.

 

Namun,  ponsel yang ada di dalam genggamannya tiba-tiba bergetar. Satu alis milik Indah terangkah saat melihat siapa yang mengirim pesan.

"Bos tampan?" gumamnya merasa bingung karena merasa tidak pernah menyimpan nomor dengan nama kontak seperti itu. 

[ Bos Tampan: Besok pagi, kamu harus ke rumahku. ]

Belum sempat memproses semuanya, sebuah pesan kembali muncul, hingga membuat Indah bergedik ngeri.

Bos Tampan: Awas kalau terlambat! ]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status