Gedung megah berlantai banyak dengan kamar ratusan petak sebab konon ini adalah hotel bintang lima, terpampang tegak di depan matanya. Benar yang driver taksi itu bilang. Alamat kantor yang dituju adalah letak dari Hotel M bintang lima yang berdiri tegak di pusat kota Surabaya. “Silahkan, Nona.” Security itu bersikap sopan dan mengantar Yunita ke lobi. “Apa aku bisa bertemu dengan Pak Azlan?” tanya Yunita pada resepsionis. “Apa sudah berkomunikasi dan ada janji dengan beliau?” Resepsionis menyambut sopan padanya. “Iya… sudah!” Yunita coba percaya diri. Meski sebetulnya sama sekali tidak ada komunikasi, apalagi punya janji. Hanya berbekal kartu nama dari rekan dosen yang mengenal Azlan Anthony sebagai seorang motivator dan pemateri. Rekannya itu hanya bilang jika motivator tersebut juga merangkap pekerja kantoran, tidak berbicara tentang Azlan Anthony lebih detail lagi. “Ada pesan khusus yang bisa saya sampaikan pada beliau?” tegur resepsionis sambil menelisik pena
Keluarga Amira berpamitan pulang. Mereka datang untuk urusan perjodohan di kamar perawatan rumah sakit, selain waktu terbatas, tidak enak juga dengan petugas jaga yang beberapa kali terlihat hilir mudik. Singgah di teras dan sengaja melihat dalam paviliun melalui kaca bening di ruang sofa. Orang-orang di dalam pun merasa tersindir meskipun tidak ditegur. ___& Kabar rencana pernikahan Dimas dan Amira telah begitu cepat menyebar. Erick sigap menyusun rencana untuk datang di hari pernikahan mereka. Berniat membawa istri, dua anak dan Suster Rahma. Seorang suster lagi diminta berjaga-jaga di apartemen hingga mereka kembali pulang. Tidak terkecuali Daehan dan Shanumi, meski dibilang tidak kenal dengan Amira, tetapi telah kenal baik dengan Dimas Angkasa yang sudah bertahun-tahun mengabdi di DaOsa Galeri. Calon pengantin lelaki itu kerap kali menjumpai Daehan untuk urusan galeri. Terutama untuk urusan pemasaran dan keuangan. Sebab pasutri tajir itu terus giat membantu pemasaran produ
Ketukan di pintu yang sedang sangat ditunggu akhirnya terdengar. Semua menoleh dan menatap fokus ke arah daun pintu. Kali ini bapaknya Dimas adalah orang yang menghampiri pintu dan bersemangat membukanya. Ceklerk “Assalamu'alaikum!” “Wa'alaikumsalam!” Ayahnya Dimas kemudian membeku seketika sebab sangat terkejut. Namun, diam mematung dan hanya mengangguk bingung saat Amira tersenyum dan langsung bersalam sungkem padanya. “Amira …?!” Mamanya Amira yang tampak tegang menunggu pintu terbuka sengaja berseru. Bukan tersenyum atau menyambut baik, tetapi melotot dengan tatapan tajam. Tidak menyangka penampilan wajah anak gadisnya berubah total setelah kembali dari toilet. Polos tanpa make up! Dibuang ke mana riasan cantiknya tadi?! “Kenapa kamu cuci muka?” tanya ibunya Amira dengan sangat heran dan kesal. Anak gadis seolah tidak menghargai segala upaya dan perhatian tulus maksimalnya sebagai seorang ibu. “Gak sengaja cuci muka, Ma. Maaf….” Amira tersenyum dengan menatap i
Mata Amira masih belum berkedip meski bibirnya sudah mengatup. Menatap Dimas dengan melotot yang seolah sedang marah padahal sungguh tercengang. “Kedip, Amira. Jangan lupa ambil napas,” ucap Dimas sambil tersenyum dan menepuk pelan pipi Amira. Akhir-akhir ini rasanya selalu sangat gemas. “Tunggu, coba ulang! Aku macam tak dengar lah…. Tadi Mas Dimas cakap apa?” Kali ini Amira sambil berkedip-kedip. Dalam pandangan Dimas itu tampak lucu hingga membuat tersenyum lebar. Makin ingin mencubit pipinya. “Pergi sana ke dokter Te Ha Te.” Dimas justru seperti menyahut ketus, padahal bercanda. Mereka saling menatap dalam yang lama, kemudian sama-sama tersenyum lebar. “Amira, coba tunjukkan padaku foto orang tuamu.” Dimas sangat penasaran. Amira seketika menutup muka dengan telapak tangannya. Tanda panik dan terkejut. “Sayangnya aku gak bawa, Mas. Dibawa Mama.” Amira langsung berekspresi menyesal. Dimas tiba-tiba menyambar tangan Amira dan membawanya kembali ke lorong toilet.
“Maaf, Ma. Amira benar-benar tidak sengaja,” ucap Amira sambil meringis saat melihat pergelangan tangan mama yang membekas jarinya dan sangat merah. “Kata tak sengaja dan tidak ada apa-apa, tetapi tangannya mama kena cakar.” Mamanya mengomel sambil menunjukkan lengan tangan memarnya pada suami yang kepo bertanya. Mereka telah jalan beriringan di lorong bangsal perawatan. Papanya memandang Amira dengan dahi berkerut. Merasa heran juga apa yang sedang di kepala Amira hingga berkelakuan seganjil itu. Mereka berdiri di depan pintu yang lagi-lagi ruang perawatannya sama dengan ibunya Dimas, paviliun. Jantung Amira terasa berdetak lebih kencang tiba-tiba. Apalagi saat mamanya sudah mengetuk pintu. “Ma, ini kamarnya? Aku ke toilet dulu ya, nanti aku nyusul.” Amira memang tidak tahan lagi. Mendadak sangat ingin buang air kecil. Rasa air dalam ginjal sungguh sesak dan seperti akan luber. Mamanya menoleh pada suami dan saling berpandang, keduanya pun bergedikk bahu bersamaan. “
Amira sedang dipoles wajahnya oleh sang ibu. Ternyata meski sudah berusia hampir setengah abad dan sebagian hidupnya habis dengan terasing di atas kapal yang terombang ambing di lautan, ibunya memiliki skill modern yang tidak kaleng-kaleng. Selain sebagai chef yang kadang merangkap jadi koki di kapal, juga terampil sebagai MUA bagusbyanh andalan di lautan. Belum saat kepiawaiannya dalam berenang dan diving di kedalaman laut sedang mendapat tuntutan, sangat bisa diandalkan. “Gak usah pakai kerudung ya, Ma. Gerah,” ucap Amira menyampaikan usulnya dengan rasa berdebar. Kemungkinan ibunya menolak. Mengingat kebanyakan wanita yang dia lihat di Blitar mengenakan penutup kepala, mungkin tidak berkerudung akan membawa kesan negatif. Bisa jadi lelaki yang akan dikenalkan padanya sudah tidak suka duluan melihatnya. Tidak memenuhi syarat dari sisi syariat. “Mana boleh tidak berkerudung … wajib pakai kerudung. Lagian sudah mama belikan sama bajunya sekali yang senada. Gak sopan gak pa