Memang benar dugaan Amira jika lelaki itu tengah lapar. Dimas habis empat set roti bersama sekotak susu segar instan dari almari es. Sedang dirinya dua saja sudah tidak sanggup dan tanpa ditambah susu juga. Sama-sama lapar, tetapi daya telan dan kapasitas perut jauh beda. “Itu kamar Mas Dimas jika ingin istirahat.” Amira sudah berdiri dan ingin ke kamarnya. Setelah aktivitas di dapur barusan, rasanya agak gerah dan Ingin bertukar baju. Dimas yang sedang mengunyah gigitan terakhir pada rotinya mengangguk. Sedang sebelah tangan bermain game ringan di ponsel. Sepertinya lelaki itu sedang merasa santai dan nyaman. Seperti bukan bodyguard saja gaya santainya. Eh… memang bukan laah… dia bukanlah bodyguard. Amira susah payah menyimpan tawa akan pikiran konyolnya sendiri. Gadis itu segera memundurkan kursinya, pergi dari meja makan dan meluncur ke dalam kamarnya. Ternyata berseberangan dengan kamar yang tadi dia tunjuk untuk Dimas. Dipisah oleh ruang televisi dan sofa keluarga.
Permintaan agar dirinya tidak pergi dan menjadi bodyguard meskipun palsu, sepertinya tidak mampu diabaikan oleh Dimas. Cengkeraman erat oleh telapak tangan yang halus dan lembut di lengannya semakin meruntuhkan tegasnya sebagai seorang laki-laki. “Jika mereka benar-benar jahat seperti yang kamu bilang, aku sungguh takut.” Suara Amira gemetar. Bukan sepenuhnya sebab rasa takut. Tetapi perasaannya berdebar telah berani menahan Dimas untuk tidak pergi dari rumahnya. Sebab diam-diam pun, antara percaya dan tidak jika Azlan memang berniat tidak baik padanya. “Ada sekuriti di rumah kamu, Amira.” Dimas memandang pos sekuriti dekat pagar yang terlihat aktif dan ada orangnya. Bahkan sekuriti di sana baru saja menyembul dan memperhatikan mereka. “Memang selalu ada. Tapi aku takut, di dalam aku sendirian. Pengamanan cuma di sana, kalo di dalam, aku bisa apa?” Amira mendesak dan semakin menggoda dengan kedipan di mata beningnya. Sepasang mata bola di wajah cantik Melayu itu adalah mag
Amira tidak menyangka jika Dimas begitu lancar mengemudi. Maksudnya, mengikuti jalur jalan raya dengan benar tanpa melihat google dan bantuan sistem apa pun. Mungkin lelaki itu sering datang ke Malaysia di Kota Kuala Lumpur sebelum ini. Ah, ke mana saja dirinya sampai begitu lambat menyadari adanya lelaki sebaik Dimas di muka bumi? “Terima kasih ya, Mas. Juga Amira…!” sapa Yunita saat Dimas sudah menghentikan mobil tepat di depan teras lobi Holiday Inn Hotel- Kuala Lumpur. “Sama-sama. Selamat belajar, Kak!” Amira pun beramah tamah. Paham apa tujuan kedatangan Yunita ke Malaysia. Ternyata dosen muda yng sangat cantik itu memiliki deret prestasi mambanggakan. Sehingga terpilih mewakili kampusnya sebagai peserta seminar berprestasi internasional di Kota Kuala Lumpur. Mobil meluncur kembali meninggalkan kawasan hotel yang sebenarnya, Dimas pun memiliki kamar yang sudah disiapkan oleh DaOsa Galeri di sana. Namun, berjumpa Amira membuat enggan untuk buru-buru mendatanginya. “Kenapa po
“Amira sudah menjemput Anda dan kalian sudah pun bertemu. Sebab telah sangat malam, sebaiknya Anda pulang. Amira akan saya antar hingga ke rumahnya dengan selamat.” Dimas menyela akan niat Azlan yang akan mengantar Amira pulang. Setelah mengaku sebagai pengawal yang diutus orang tua dan gadis itu tidak membantah, dirinya bisa memberi penolakan tegas pada lelakinya Amira. Dalam hati pun rasanya ingin tertawa. Apalagi gadis Melayu itu hanyalah diam saja. “Oke, meski aku tidak menyukai caramu yang tiba-tiba ada seperti ini, aku menghargaimu sebab orang tuanya. Jaga dia baik-baik. Jika ada apa-apa dengannya dan kau lalai. Kau tidak akan selamat!” Azlan mendekatkan mulutnya di telinga Dimas sambil mencengkeram lengan. Seketika Dimas menyadari jika lelaki itu tidak main-main untuk mendekati Amira. Terlepas tujuannya untuk diri sendiri atau untuk lelaki bangsawan resedivis tadi. Sebab Azlan adalah lelaki yang dilihatnya bersama Zayn di depan toilet sesaat tadi. “Selamat malam, Bang Azl
Lelakinya Amira yang katanya sudah landing pesawat dari Singapura, nyatanya belum muncul-muncul juga. Sambil tidak sabar menunggu, Dimas pergi ke toilet untuk buang air kecil dan membasuh mukanya yang dia rasa jadi suntuk. Namun, percakapan dengan suara kecil di seberang depan pintu toilet mencuri perhatiannya. Dimas pura-pura menghampiri wastafel diluar toilet untuk membasuh tangan dengan lama. “Sabtu besok, bawa dia ke kamar yang akan kukirim padamu.” Suara lelaki yang Dimas merasa seperti tidak asing. “Siap, Engku Zayn!” Dimas terkejut, tetapi terus terlihat membasuh tangan dengan fokus. Engku Zayn…? Zayn yang menipu Amira kah? Bukankah sudah dibawa polisi saat di Indonesia hari itu? Namun, suaranya memang tidak asing. Lalu siapa yang dimaksud agar dibawa ke kamar? Dimas coba bergeser ke wastafel satu lagi yang ada kaca dan mesin pengering tangan. Pucuk dicinta bulan pun tiba, dua sosok terpantul pada kaca. Zayn…! Meski baru bertemu satu kali, yakin jika lelaki itu memang
Dimas merasa gemas sekaligus kesal dengan tingkah Amira yang sering tampak termenung-menung. Bisa-bisanya, padahal begitu banyak manusia lalu lalang. Bisa jadi tabrakan barusan adalah akibat sikap Amira yang melamun sambil berjalan. Ah, kecerobohannya masih saja dipelihara! Lelaki melulu di kepalanya! -rutuk Dimas- “Amira, akan kutunggu sampai datang lelakimu. Setelah itu kita langsung barengan ke resto Holiday Inn untuk diskusi mengenai pesanan kamu. Bagaimana?!” Dimas menegur Amira yang pandangannya lagi-lagi lekat pada Yunita. Bukan fokus tetapi menembus jauh. “Eh, aku… mana boleh macam tuh. Aku dah bagi time pukul tujuh pagi esoklah. Ini malam daah.” Amira terlihat bingung menatap Dimas. Yakin apa yang dia katakan tidak salah. Erick telah mengubah jadwal bertemu besok pagi, bukan malam-malam begini. Tidak menyangka pekerja DaOsa yang datang adalah Dimas! Uh, bikin dirinya jadi salah tingkah! Tidak menyangka akan berjumpa lagi dengan lelaki itu. Rasanya sangat malu! “