Perkebunan teh menghampar hijau berdampingan perkebunan kopi. Berada di dataran tinggi membuat embun yang seperti membekukan saat pagi. Udara begitu dingin terasa menusuk kulit, menembus daging, dan menyusup hingga ke dalam tulang. Dalam sebuah kamar berpintu ukir indah itu, perempuan cantik tampak duduk di depan meja rias. Seorang lelaki yang baru keluar dari kamar mandi sedang memakai baju di tubuhnya yang kekar dan seksi. “Kamu sudah siap, Yunita?” Lelaki itu adalah Azlan Anthony yang sudah mendapat gelar barunya sebagai seorang suami. Mendekati meja rias dan berdiri di belakang punggung istri. “Kenapa, sakit?” tanyanya dengan melihat di cermin, Yunita sedang mengoleskan salep di kulit leher putihnya yang banyak ruam merah. “Enggak … tapi risih! Biar cepet hilang …,” ucap Yunita. Salep kulit anti ruam telah dia letak di meja rias kembali. “Buang saja yang lama, nanti kuganti yang baru.” Anthony menggoda tetapi dengan ekspresi serius. Memandang Yunita yang seketika me
Anthony sudah membawa sang istri melewati rangkaian ibadah sebagai pengantin baru. Meski dirinya bukan lelaki yang tebal taatnya, tetapi tidak lupa bagaimana kebenaran aturan dan tata cara yang benar. Yunita juga sama, meski pernah di jalur yang salah, dirinya soal agama bukan tidak pernah sekolah! Setelah makan malam, mereka bukan masuk lagi ke dalam kamar, tetapi pergi ke teras rumah. Melihat pembongkaran dekorasi yang oleh Anthony memang diizinkan untuk segera dibawa pergi saja karena memang sudah tidak ada gunanya lagi. Lelaki yang saat ditinggal masuk masih standby, kini tidak ada lagi kelebatnya. “Juan sudah tidak ada. Jangan-jangan dia benar-benar ke pabrik untuk menyelesaikan kerjanya?” tanya Anthony pada Yunita. Istrinya tidak langsung menjawab. Tetapi terdiam dan mengingat saat sarapan pagi tadi. Kakaknya bilang, dia tidak akan pergi ke pabrik jika kerepotan orang tuanya masih belum kelar dan selesai. “Kurasa tidak, Pak Azlan. Mungkin di kamarnya, ini kan sudah
Pukul 17.10 WIB Tamu sudah benar-benar berhenti menjelang maghrib. Kini sepi tinggal dekorasi megah sewaan di halaman. Selain memang waktu kondangan berakhir sebelum maghrib, para undangan juga telah habis datang dan berpamitan. Juan, sebagai penanggung jawab dari wakil orang tua sekaligus tuan rumah yang mendampingi pengantin, terlihat mondar-mandir dan berkeliling. Kini berjalan mendekati pengantin di kursi raja dan ratu seharinya. “Gak ada tamu lagi kan, Mas?” sambut Yunita yang sudah berdiri dari kursi pada kakak lelakinya. Anthony juga ikut berdiri dari duduk nya. “Kayaknya memang sudah benar-benar habis, Yun. Kalian masuk saja, biar aku yang jaga, barangkali adalah satu dua yang datang susulan.” Juan menyuruh tegas. Menatap datar pada Anthony, lelaki rada-rada dari Surabaya yang sudah jadi adik iparnya. “Lalu, aku bagaimana?” tanya Intana yang baru datang dari kamar mandi pada Anthony. “Acaranya sudah selesai, Intana. Kembalilah ke villamu.” Anthony menyahut tega
Dikira akan tutup, ternyata tidak. Segetonbolan warga masih ada yang datang susulan. Padahal Intana sudah kegirangan dan diam-diam sangat ingin makan. Tidak sesiapa pun di sana yang Intana kenal. Hanya Anthony yang bersamanya sekarang. Tetapi lelaki itu sedang bahagia di kursi raja seharinya. Sibuk dengan istri menanggapi basa-basi dari beberapa warga sekitar yang kepo. Mereka agak bergerombol di kursi pelaminan. Intana sangat ingin mengambil makan, tetapi rasanya antara segan dan enggan. Tidak ada yang menawari dan melayani. Tidak ada grab food kesukaan biasanya. Siapa yang bisa diajaknya makan? Oh, itu ada masnya Yunita sedang sendirian. Ke mana dua orang tua yang selalu bersamanya. Mungkin lelah sebab mereka memang terlihat kurang sehat. Lebih baik meminta tolong pada masnya Yunita saja. Meski dia pemarah, dia baik juga. Perutnya pun terasa lapar sekali. “Masnya Yunita ….” Intana memanggil lelaki yang sedang bermain ponsel menunduk itu dengan lirih. Juan mendongak da
Osara tampak semakin cantik dengan berkerudung indah yang modis, berlalu setelah berbasa basi sejenak dengan Yunita dan Anthony. Kini giliran lelaki berkulit putih dan macho yang berdiri di hadapan Anthony. Suami baru Osara, Erick! “Kapan istrimu itu kamu semai benihmu sendiri?” Anthony sengaja mengusik Erick sebelum lelaki itu berlalu. Lama tidak bertemu meski mereka sama-sama ada di Kota Surabaya. Lelaki mantan pilot itu terdiam sejenak sambil mengangkat alisnya sebelah. Seperti yang dibuat Daehan, dia mendekat Anthony dan bicara kecil di telinga. “Dengar, Anthony, paman jauhku. Lebih baik dibuat pelan, pasti, dan halal. Daripada buru-buru dan akhirnya harus terjadi hal yang tidak-tidak. Bukan begitu pamanku, Anthony?” Erick berbisik sambil tersenyum sinis. Juga ada ekspresi mencemooh dalam tatapannya. “Shit! Kamu menyindirku, Erick!” tidak terasa Anthony berbicara keras. Cepat sekali gosip menyebar ke telinga lelaki itu. Hingga sedikit orang dari sisa-siaa kondangan pun
Pernikahan yang diadakan kurang dari seharian itu mendapat banyak tamu yang datangnya pun serentak. Dari proses akad nikah hingga sore menjelang petang, berduyun datang para tamu undangan. Mereka kompak datang sebab waktu kondangan sangat singkat. Bukan tamu jauh-jauh, tetapi seluruh warga sekampung, warga pabrik, dan para kerabat keluarga Yunita. Meski sudah dihimbau tidak perlu membawa apa-apa atau amplop kondangan, beberapa saudara dekat keluarga Pak Agus masih juga membawa uang hajatan. Mereka merasakan malu jika datang hanya membawa badan kemudian ambil makan. Syarat umum itu haruslah membawa sesuatu demi menjaga eratnya persaudaraan. Namun, souvenir nikahan yang disediakan Anthony tidak memang main-main banyaknya. Beragam bahan pokok terisi penuh di ember dengan volume 50 liter. Itu sangat membahagiakan tamu yang membawanya pulang. Meski terasa sangat berat dan ibu-ibu agak susah berjalannya, mereka tertawa dengan gembira. Ada lagi yang gokil di voucher pernikahan pasangan