Celana abu muda menggantung di mata kaki berpadu atasan blouse putih, membuat penampilan Shanumi terlihat segar, elegant dan cerah.
Rambutnya diikat tinggi dengan wajah berpoles tipis menarik. Meski kesan bengkak masih menyisa, kecantikan raganya tidak bisa ditutupi. “Sudah minum suplemenmu, Shan?” Yena menghampiri Shanumi di kursi dapur. “Sudah, barusan. Thanks, Yen.” Shanumi yang barusan berbincang dengan pegawai dapur, mendekat dan duduk di dekat Yena. Menerima segelas lemon madu hangat dari sang karib dan meminumnya hingga tandas. “Meski wajahmu belum pulih, cantikmu mulai kembali, Shan. Semangat, ya. Jika nggak menang dan wanita itu datang minta uang, pakai aja duit kafe. Sisanya kita kejar…,” ucap Yena membujuk. Iba jika Shanumi sebenarnya tertekan dan banyak yang dipikir. “Jangan, aku nggak mau ngusik dana kafe. Takut tiba-tiba sepi dan ngaruh ke gaji mereka. Pasti ada dana dari pintu lain. Kamu jangan risau, Yen.” Shanumi berkata sambil meletak gelas kosong di meja sebelahnya. Seorang pegawai berkemas datang dan menyambar untuk dicuci di belakang. Setelah lanjut berbincang sejenak, Shanumi pamit pergi dengan menaiki tangga untuk mengambil tas ke lantai dua di ruko atas. Tempat menginap pribadinya. Namun, para pegawai juga diizinkan ke atas untuk melepas lelah saat istirahat. Ada dua kamar tidur dan satu kamar mandi di atas. Satu kamar khusus untuknya, satu lagi untuk pegawai gunakan bergiliran. Kebetulan, orang kafe semua perempuan. Gedung Tunjungan Plaza Surabaya masih sepi saat Shanumi tiba di sana. Hanya segelintir orang hilir mudik dan petugas cleaning servis yang bekerja. Seorang sekuriti menyapa Shanumi yang terlihat bimbang. Kemudian membawa gadis semampai itu menaiki eskalator menuju lantai empat. Menghampiri sebuah pintu yang menerangkan ruang informasi, pelayanan dan pemasaran khusus perhotelan di dalamnya. Petugas itu mengetuk pintu. Seorang wanita muda dari tim operasional menyambut dan membawa masuk ke dalam. Rupanya ruang luas berisi banyak kursi yang sudah diisi orang-orang. Mereka semua adalah peserta kompetisi masak pada babak penyisihan yang sehari sebelumnya sudah pengajuan daftar via online. “Ini adalah ujian seleksi singkat akan kemahiran saudara semua di bidang rempah dan kuliner. Dari sekian banyak, yakni dua puluh lima peserta, kami hanya mengambil sembilan peserta untuk mengikuti tahapan seleksi berikutnya.” Wanita tadi telah membuka acara, beramah tamah sebentar dan langsung ke acara. Sarana seleksi cukup gampang. Menggunakan aplikasi pada notebook di setiap meja peserta yang sudah siaga dan menyala. Dengan hitungan start serentak, mereka diminta menuliskan sebanyak mungkin ragam rempah terpendam beserta warna dan rasa. Tentu dengan waktu dibatasi secara bersamaan juga. Tidak lupa berdoa, Shanumi berusaha tenang dan cepat saat menuliskan ragam rempah terpendam mulai dari jahe, kunyit, kencur, laos dan lain-lain. Juga tidak ada kesulitan saat mendevinisi rasa dan warna di setiap jenis bumbu yang dia tuliskan. Hingga waktu berakhir dan notebook terkunci otomatis lagi di masing-masing meja peserta. Tim juri mengambil dari yang menyebut paling banyak, kemudian pada ketepatan warna dan devinisi rasa. Shanumi tidak berhenti berdoa agar dirinya berkesempatan menjadi peserta seleksi terpilih untuk maju di tahap berikutnya. Betapa berdebar hati di dada, juri sedang bersiap menyebut sembilan nama sebagai pengumuman. Andai nama tak ada pun iklas, tetapi jika nama disebut lebih merasa puas! Sangat lega dan masih juga terkejut saat nama Shanum pun disebut, bahkan pada urutan yang pertama. Sebagai penyebut paling banyak dengan devinisi rasa dan warna yang hampir sempurna. Sangat tidak sia-sia sang Ibu menanam beragam toga dan rempah di belakang rumah. Sedang menyiram dan merawat adalah tugas Shanumi. Tentu saja sambil memanen dan menggunakannya selang seling. Tak terasa jadi hapal di luar kepalanya. “Bagi sembilan nama yang lolos, silahkan menuju Hotel Rasyid di Jalan Pahlawan hingga tujuh jam ke depan. Semua mendapat fasilitas kamar masing-masing hingga tiba lomba. Bukan keharusan untuk menggunakan. Yang terpenting adalah, semua ada tepat waktu saat kompetisi dimulai pukul enam lepas maghrib.” Wanita pembicara tadi kembali menerangkan. Shanumi memilih kembali ke kafe dan tidak tertarik mengambil peluang kamar gratis di Hotel Rasyid. Menduga jika nama hotel itu ada hubungan dengan Daehan seperti yang dibilang Yena. Tidak berharap bertemu dengan orangnya, tetapi amat mengharap dapat uangnya. Bisa jadi selama kompetisi, pria itu sama sekali tidak usah unjuk gigi. Seorang owner bisanya sekedar bayang di balik layar, bukan terjun langsung dalam pagar. Itulah harapannya. “Ah!” jerit Shanumi kaget. “Matamu di mana? Hah… kamu…?!” sambar wanita cantik yang terbelalak pada Shanumi. “Kamu sudah kembali…,” ucap Shanumi lebih terkejut lagi saat sadar bahwa perempuan yang tak sengaja dia tabrak adalah Intana. Uh, kenapa juga nabrak dia lagi.... “Kamu memang bawa sial. Terus saja tabrak aku. Naik ganti rugi, tujuh puluh juta! Kamunya mampu nggak…?!” sembur Intana sinis dan mengejek. “Ada apa, Tan?” Seorang lelaki yang baru muncul dari pintu di lorong bertanya. Shanumi kembali terkejut. Namun, menduga jika Daehan kini tidak lagi mengenal dirinya, maka memilih pura-pura abai dan memandang sekilas. Coba bertenang dengan mengambil napas dalam-dalam. “Ini cewek, ceroboh minta ampun. Jalan sembarangan. Hari itu mobilku ditabraknya dengan motor dan ganti rugi nggak kelar-kelar, sekarang perutku ditabrak yang aku hampir terjengkang!” ucap Intana berapi-api. “Sudah kubilang, aku nggak sengaja!” sambar Shanumi emosi pada Intana. Bagaimana bisa sesama manusia sangat minim rasa maaf. “Sengaja nggak sengaja, kelakuanmu merugikanku. Makanya, jangan ngelamun sembarangan di jalan!” ucap Intana kasar. “Aku minta maaf kali ini. Tapi jangan kian memerasku dengan naikin ganti rugi.” Shanumi bicara tegas. Matanya yang bening menatap tajam Intana. Juga sekilas pada Daehan yang sedang berkerut dahi memandangnya. “Aku akan menghubungimu nanti, Intana. Permisi ....” Shanumi bicara pada Intana. Namun, menyapa sopan dan sedikit mengangguk pada Daehan sebelum buru-buru berlalu. Yakin jika lelaki itu kini muncul, pasti bakalan turun juga di kompetisi malam nanti. Tidak ingin meninggalkan kesan buruk jika Daehan ingat pernah melihat Shanumi di sini malam nanti. "Hei, kamu!" Seruan ini menghentikan langkah Shanumi. Daehan sedang menudingnya saat berbalik. "Saya, Mas?!" respon Shanumi ragu. Lelaki itu mengangguk. "Apa urusan kamu di sini?" tanya Daehan sambil menurunkan tangannya yang tadi menunjuk. Dia sangat hapal jika gadis itu bukan pegawai di kantor ini. "Saya ikut seleksi lomba masak, Mas." Shanumi menjawab sopan. Namun, berlagak tidak tahu jika lelaki itu adalah Daehan sang owner kompetisi. Maka lebih memilih memanggil Mas. "Hasilnya...?" tanya Daehan lagi dengan suara berat yang khas. "Alhamdulillah. Saya lolos seleksi sembilan orang, Mas," sahut Shanumi tanpa beban. Memberikan ekspresi cerah dan gembira. Senyum tipisnya sangat manis. "Ayoklah, Mas. Cepet dikit. Aku sudah sangat lapar!" Intana menarik tangan Daehan sambil melirik tajam pada Shanumi. "Kamu berharap menang buat ganti rugi, ya? Kasihan amat hidupmu!" Intana sempat bicara pada Shanumi sebelum pergi. "Jangan terlalu tidak sopan, Tan." Daehan menegur sambil terus berjalan. Suaranya kian berat dan membahana. Meninggalkan Shanumi yang mengambil arah pintu berlawanan. Mungkin sepasang tunangan itu akan mencari makanan dalam plaza. "Jika aku jahat, mungkin tidak terlalu sulit merebut calon suami kamu, Intana...," ucap Shanumi sambil menggigit telunjuk dan memperlambat jalan. Rasa kesal dengan sikap Intana yang sombong, membuat otak gadis itu sejenak jadi oleng. Amarah dan terhina bisa membuat seseorang berubah sikap dan haluan. 🍓 Tinggalin jejak agar penulis semangat! 😘Sore itu di villa dataran atas. Seorang pria berkharisma, lelaki gagah yang tampan, dan seorang wanita dengan baju pengantin, tampak berbincang di halaman villa. “Juanda, titip putriku, dia sangat bandel. Jika membuat kesalahan, tolong… sadarkan dia dengan apapun caramu,” ucap bapaknya Intana dengan berdiri di samping mobilnya. Tampak akan masuk kendaraan yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. Juan hanya membungkam. Bapaknya Intana bukan tidak tahu yang terjadi, tetapi anak perempuannya sendiri justru jujur bercerita segalanya. Bukan marah, sedih, atau tidak terima atas praduga tidak bersalah orang kampung pada putrinya, bapaknya justru sangat mendukung dengan menikahkan mereka secara sah. Ini membuat Juan sangat kesal tetapi juga jadi serba salah. Bapaknya Intana berwibawa! “Aku percaya jika Juan adalah lelaki baik yang dikirim Tuhan untuk membimbing Intana, putriku semata wayang dan sudah aku pasrahkan ke kamu. Tolong diarahkan sungguh-sungguh jika Intana berbuat suatu ha
Yunita bahkan sudah seperti mengemis. Tetapi Anthony kukuh tidak ingin menyentuh dengan dalih khawatir Yunita akan jadi lelah. Bahkan malam itu justru memesan makan dan kemudian tidur nyenyak setelah sangat kenyang. Kesal sekali rasanya. Semua itu dia tahan hingga hari ini, tiga hari kemudian. “Apa kita langsung pulang?” tanya Yunita. Mereka dalam perjalanan menuju arah ke Kabupaten Blitar. “Apa ingin menginap?” tanya Anthony lirih dan pelan. “Iya, Pak Azlan, aku ingin menginap barang semalam. Rindu berkumpul dengan keluargaku. Lagipula ini hari bahagia Mas Juan.” Yunita bukan tidak ingat jika pernikahan Juan adalah keterpaksaan dan dia juga sebagai korban. “Baiklah, kita menginap. Kupikir, sebetulnya Intana itu merasa lega dan gembira, akhirnya dia menikah juga. Dia hanya pura-pura keberatan, aku tahu sebetulnya dia itu sedang kebelet menikah. Apalagi yang menikahinya adalah Juan. Lihatlah, kakakmu nanti pasti ditahnnya.” Anthony tersenyum lebar saat bicara hal ini.
Yunita terbangun dengan sangat terkejut. Seseorang berbadan besar sedang duduk di ranjang dan memandangnya. Keadaan kamar yang remang membuat penglihatannya sempat buram. Perlu beberapa detik lebih lama untuk mendapat penglihatan jelasnya kembali. “Oh, kamu sudah kembali?!” Yunita merasa begitu lega. Akan bangun tetapi ditahan oleh tangan besar itu. “Kamu menungguku, maafkan aku," ucap lelaki yang sudah dikenal jelas oleh Yunita, bahkan sedang sangat ditunggu. “Kenapa pulang sangat lambat?” tanya Yunita sedikit bergeser. Lelaki yang adalah Anthony bergerak untuk merebah di sampingnya. “Maaf, aku ada banyak urusan malam ini, Yunita.” Anthony telah memeluk istrinya. “Tidak mungkin hanya urusan kerja. Pak Azlan, kamu tidak bodoh dan sudah sukses. Urusan kerja pasti sudah terjadwal dengan sangat baik, Rendra pun pasti bekerja profesional. Tidak akan memberikanmu jadwal hingga dini hari untukmu.” Yunita berbicara dengan nada yang kesal. Ini hampir pukul dua dini hari. “Sud
Daehan membawa lelaki panik yang sambil membopong istri hamilnya itu ke klinik kandungan yang kebetulan letaknya tidak jauh dari rumah makan. Hanya berjarak dua puluh langkah saja dari pagar rumah makan. Klinik dengan fasilitas lengkap serta dokter berpengalaman tersebut buka dua puluh empat jam dan tanpa hari libur. Penjelasan dokter membuat Anthony terpekur. Fakta jika istrinya kelelahan, membuatnya merasa sangat bersalah. Dokter menyarankan agar dirinya lebih menahan diri dan lebih perhatian. Tentu saja, wanita hamil mana yang tahan untuk berdiri kuat setelah perjalanan jauh lima jam, melayani hasrat suami di ranjang, hadir dalam acara sebagai bintang tamu, dan mendapat tekanan mental tiba-tiba dari lelaki yang ingin dihindari. Mungkin ada wanita hamil yang begitu kuat menghadapi tekanan, tetapi tidak dengan Yunita. “Maafkan aku, Yunita. Setelah pulang, kamu harus istirahat yang cukup. Seperti inginku semula, aku tidak akan mengusikmu, tidak akan menyentuhmu sebelum anak i
Meja itu membulat dan panjang, yang berbentuk oval. Masih ada beberapa kursi kosong yang kebetulan letaknya berdekatan. Anthony mengambil salah dua untuk duduk dirinya dan Yunita. Kemudian berbasa basi sejenak sebelum mengenalkan sang istri pada mereka. “Kau bawa istrimu yang sedang hamil saat petang menjelang malam, apa tidak kasihan?” Komentar seseorang setelah Anthony mengenalkan Yunita pada rekan-rekannya di meja. Dia adalah pria tampan berbadan besar, Daehan. “Istriku terlalu jenuh berada di rumah seharian. Jadi apa salahnya kubawa, biar tahu juga jika aku keluar rumah bukan apa-apa, melainkan untuk bertemu kalian belaka. Lagipula untuk membungkam mulut kalian selama ini. Terbukti jika aku masih mampu menghamili. Bukalah mata kalian!” Anthony menyahut tegas dengan serius. Sebelah tangannya terulur menggenggam tangan Yunita yang dingin. “Sudah jangan banyak pamer. Cepatlah buka piringmu dan isikan yang banyak untuk istrimu. Jangan sampai tiba-tiba masuk angin, bisa sangat
Memang, penampilan istrinya sangat cantik, modis, dan anggun. Tersenyum menawan dengan matanya yang bening. Wajahnya putih kemerahan dengan giginya yang juga putih dan bersih. Namun .... Kali ini ekspresi Yunita tidak biasa. Beberapa kali terciduk merenung dan terlihat gugup saat diajak bicara. Anthony merasa sikap istrinya terasa lain dari biasanya. “Apa yang membuatmu murung, Yunita?” tanya Anthony pada Yunita yang sedang dia gandeng berjalan. “Kenapa, apa aku tampak murung, Pak Azlan?” Yunita menoleh Anthony sebentar sebelum berjalan lagi dengan muka gelisah yang berjalan melihat lantai. “Jelas terlihat olehku, Yunita.” Tegas Anthony. Menghentak pelan telapak tangan Yunita yang sedang dalam genggamannya. Mereka berhenti di sebuah pintu yang terbuka lebar dan terang benderang di dalam. Telah banyak orang tengah duduk manis dan tertib di kursi masing-masing. Mereka langsung berdiri menyambut begitu Anthony bersama Yunita masuk ke dalam hall. Tidak berbelit acara p