Shanumi telah meluncur ke dalam kamar yang sempat diwariskan sopir, Agung padanya. Mengemasi barang yang tidak banyak untuk rapi kembali ke dalam tas.
Perasaannya kini tidak terjabar. Antara lega dan puas, sebab dengan gaji penuh dirinya terbebas dari tugas. Juga bersit terhina sebab Daehan sama sekali tidak menganggapnya. Bukan sebagai istri, tetapi telah menolaknya sebagai pekerja. Meski burik, mungkin Daehan masih bisa menerima Shanumi terus bekerja jika tidak terhasut oleh ucapan Intana. Entah sedalam apa cintanya pada si tunangan hingga setunduk itu. Yang jelas, Intana adalah wanita bermulut madu yang beracun. Berlidah belut yang licin di mata Shanumi. Terbukti bagaimana Intana meyakinkan pada petugas jika kerusakan mobil mewahnya bernilai puluhan juta untuk biaya servis. Padahal tidak seberapa. Hanya beberapa goresan yang sama sekali tidak menyebabkan bekas cacat. Garit gores itu bisa dipoles cepat dengan dibawa ke bengkel servis mobil profesional. Namun, tetap Shanumi juga yang harus mengganti rugi lima puluh juta rupiah. Bukan kepada tukang servis, tetapi langsung pada Intana. Luka di jari-jari kaki Shanumi yang mengalir darah, serta beberapa bagian wajah yang memar merah saat itu, juga motor sahabatnya yang justru rusak, sama sekali tidak membuat hati Intana iba. Searogan itulah wanita cantik yang ternyata adalah tunangan Daehan. Geram sekali rasanya. “Baguslah, aku bisa segera merawat diri tanpa perlu tertekan pada jumlah ganti rugi. Aku bisa meminta uang banyak-banyak pada Daehan sebagai kompensasi.” Shanumi berbicara sendiri sambil melipat mukena dan menyimpan ke dalam tas. Yakin jika Daehan tidak akan lagi memanggil untuk urusan apa pun. Dirinya memilih tidak menutupi rambut dan kepala. Lelaki itu sudah pergi mengantar tunangannya ke bandara guna terbang ke luar negara. “Aku nggak perlu nyapu dan ngepel. Tadi udah. Sekarang aku akan pergi dari sini dan langsung ke klinik saja. Tubuhku demam. Ini pasti sebab memar di wajahku yang mulai meradang.” Shanumi merasa jika wajahnya mulai kaku, semakin bengkak dan ngilu. Sadar jika upaya perawatan khusus tidak bisa ditunda lagi. Bersyukur juga dirinya dipecat dan diusir. Ah, memang selalu ada jalan terbaik dan paling tepat dariNya! “Yen, jemput aku di lobi apartemen Sunset Cluster. Sekarang …,” ucap Shanumi sambil berjalan cepat. Tidak membawa apa-apa. Kecuali tas selempang kesukaan yang tadi diselip di tas besar. Semua baju dia biarkan di kamar dalam apartemen sang juragan. Toh baju-baju itu pinjaman dari Bi Rum dan sebagaian miliknya yang modelan lama. Dia kutip demi niat berpenampilan tidak menarik saat bekerja sebagai art pada Daehan. Kini dirinya tidak perlu lagi sebab semua berjalan berantakan. “Shan, kamu megang kunci?” tanya Yena sambil berkerut dahi memandang tangan Shanumi. “Iyah, gak diminta. Ngapain dibalikin, kan?” sahut Shanumi tanpa senyum. Wajahnya sakit. Karibnya sudah tiba di lobi sangat cepat. Bahkan belum sempat ditunggu. Membuatnya lupa menitip kunci pada petugas jaga apartemen di lobi. “Bosmu gak marah?” tanya Yena tidak puas. “Kuharap tidak, Yen. Tapi masa bodo. Kita langsung ke klinik terbaik paling dekat sini yuk, Yen. Mukaku sakit.” Mulut Shanumi bahkan mulai kesakitan saat berbicara. “Iya, Shan. Tadi aku dah bilangin sopir. Ah, sesakit itu…? Maaf, Shan. Gara-gara aku….” Yena tidak selesai bicara. Shanumi sudah menutup mulutnya dengan jari. Mata Yena berair merasa iba dan sangat bersalah. Menyesal yang sangat. Jika tidak sebab motor yang dititipkannya, kecelakaan tidak terjadi pada kawan karibnya. “Maaf, ya, Shan. Aku niat sumbangin meski nggak banyak, tapi kamunya nggak mau.” Yena tidak tahan tutup mulut. “Motormu jadi sampah, itu udah cukup buat rugimu.” Shanumi bicara susah payah. Mengode Yena untuk tidak bicara lagi. Makin ke sini mulut dan wajahnya kian kaku. Selip rasa waswas dan resah jika ada apa-apa dengan dirinya. Malam itu, merasa diri tidak luka serius, hanya membeli obat nyeri saja di apotik. Tanda tangan ganti rugi puluhan juta pada Intana membuat abai pada diri sendiri. Terlebih mendapat kabar jika kebetulan atasan Bi Rum mencari pengganti hari itu juga. Gaji lima belas juta sebulan hanya dengan menjadi art, membuatnya kalap dan lupa daratan. Tidak menyangka wajahnya membengkak kemudian. Hingga disangka suntik demi cantik oleh Daehan. Namun, Shanumi mengiyakan tuduhan itu tanpa bantahan. Kini semua tidak berjalan. Rencana kerja pada Daehan kurang lebih selama tiga bulan selama Bi Rum bercuti sakit, ternyata berantakan. “Shan, kafe kamu seharian ini banjir pengunjung. Semoga esok-esok kian rame. Kurasa nggak perlu ngoyo cari tambahan di tempat lain. Aku kan bilang, aku nggak usah digaji hingga lunas ganti rugi …,” ucap Yena yang tidak tahan lagi terus diam. Sambil menatap wajah Shanumi yang bengkak dan menggelap. Gadis itu hanya mengangguk dan memejamkan mata rapat. Air mata Yena kembali meleleh. Ingat secantik apa Shanumi tanpa bengkak memar di wajah mulus alaminya. Yena dan Shanumi bersahabat sejak lama dan sama-sama berasal dari kota dingin Malang. Mengambil kuliah yang sama juga di Universitas Negeri Malang. Berasal dari keluarga bukan miskin tetapi juga bukan kaya. Mereka memiliki kemauan dan kecerdasan hingga sebagian biaya pendidikan terbantu oleh beasiswa berprestasi. Namun, beda lagi masa depan. Yena sudah menikah dengan pacarnya dua tahun belakangan. Suami yang masih sebagai dosen magang, membuat ekonomi rumah tangganya belum stabil dan aman. Shanumi dengan bekal pecah asuransi almarhum sang ayah, menyusul Yena ke Kota Surabaya dan menyewa satu ruko. Mendirikan kafe dengan bekal ketrampilan memasak dari Ibu yang memiliki usaha kateringan. Pucuk dicinta ulam tiba, Yena pun bekerja gembira di kafe bersamanya satu tahun belakangan. Sepuluh hari kemudian. Seorang gadis cantik mengenakan celemek di dapur sebuah kafe terlihat gusar. Acapkali menatap layar ponsel di tangannya. “Yen, iku akan mengikuti kompetisi masak ini. Jagain kafe dulu, ya. Lusa lombanya ... tapi besok aku pergi daftar.” Gadis bercelemek yang tak lain adalah Shanumi mengulur ponsel pada Yena, sang karib. “Asal dirimu gembira aja. Suka-sukamulah, Shan. Semoga menang,” ucap Yena mengembalikan ponsel yang baru disimaknya pada Shanumi. Perempuan yang akan pergi ke depan, sebab pengunjung amat padat, tiba-tiba berbalik dengan mata melebar. “Shan, bukankah Sir Daehan adalah owner Resto dan Hotel bintang lima di jalan Pahlawan?” tanya Yena. Menatap Shanumi dengan serius. “Aku tak paham tentang itu. Tapi yang bikin kompetisi memang atas nama itu,” jelas Shanumi acuh tak acuh. Menutup rasa kejut dan degup kencang di dadanya. Benarkah yang di bilang Yena? Setajir itukah Daehan? “Doain aku dapet hoki, Yen. Kalo menang, hadiahnya kelewat lumayan. Tiga kosong jeti …,” ujar Shanumi dengan raut mengharap. Tapi sadar juga dengan para saingan yang pasti bukanlah kaleng-kalenģ. “Iya, dong, Shan! Biar cepetan lunas tanggungan kita. Terus ... emmh, Sir Daehan itu tampan bukan main, Shan!" Yena tersenyum lebar, lalu menengadah tangan sejenak dan meraupkan tangan ke wajah. Shanumi pun meniru mendoa dengan cara sama persis. Namun, hanya demi mendapat hoki kemenangan. Ingat jika Intana akan kembali ke Indonesia tidak lama lagi. Pasti dirinya akan gencar dikejar agar segera melunasi ganti rugi! 🍓 Koment dan Sub agar penulis semangat, yaa. Terima kasihOsara hanya melihat helikopter dari tangga tanpa bisa melihat siapa orang yang datang bersamanya. Berpikir bukan urusannya dan siapa pun itu tidak masalah, maka dia melanjutkan selangkah lagi. Berjalan cepat mendekati heli untuk naik ke atas mengambil tas. “Hei, Osara!” Suara besar lelaki menyerukan namanya agak jauh dari belakang. Osara bahkan belum memijak lingkaran helipad. Jadi urung melangkahkan kakinya. “Benarkah kamu Osara?!” seruan besar itu kembali terdengar dan lebih mendekat. Osara buru-buru berbalik untuk tahu. Terkejut setengah mati. Lebih tepatnya takut sepenuh hati. Kenapa lelaki itu tiba-tiba ada dan di mana Erick? Jantung Osara telah berdetak kencang. “Osara? Ya, kau Osara! Kenapa jadi sekurus ini? Suamimu sudah lama tidak ada. Tidak mungkin sebab itu kau begitu kurus. Apa kau sakit, Rara?” tanya lelaki itu dengan pandangan redup yang iba. Mengamati perempuan di depannya dari ujung rambut hingga pucuk kaki. Osara tidak bisa berkata-kata. Kakinya gemet
Perasaan gugup, takut, waswas dengan hati berdebar keras dan jantung berdetak kencang perlahan menghilang seiring membumbung tinggi helikopter. Tenang, santai dan halus tanpa sedikit pun oleng, Erick sangat lihai menerbangkannya. Osara seperti mimpi yang tiba-tiba menaiki heli bersama Irgi hari ini. Berputar jauh dan melintasi kota Kuala Lumpur yang indah menakjubkan dan sangat menyenangkan. Irgi berkedip-kedp bingung dengan apa yang dia rasa dan dia lihat. Sepanjang perjalanan, Osara terus menjelaskan pada Irgi tentang segala hal mengikuti ekspresi yang terbaca di wajah anaknya. “Bagaimana, Gi? Asyik gak?!” seru Dimas sambil terkekeh. Merasa lucu melihat mimik dan ekspresi Irgi yang berubah-ubah dengan cepat. Kadang tegang, santai, senyum, menahan tangis juga menahan napas. “Dia terheran-heran, Mas!” Osara tersenyum lebar-lebar memandang Dimas dan Irgi. Erick melirik di kaca dan tersenyum. Merasa lega, usahanya untuk menyenangkan ibu dan anak di tahun pertama kebersamaan mer
Memandang wanita cantik itu, Osara merasa tidak asing. Yakin pernah melihatnya. Tetapi, kembali tidak pasti di mana melihatnya. Coba keras diingat-ingat pun tetap saja tanpa hasil. Jika dipikir terus, justru akan sakit kepalanya. Langkah wanita itu terhenti sebab Dimas menahannya. Meski terlihat sebal, tetapi diam di tempat juga dengan tatapannya yang sengit. “Ada apa lagi, Dimaaasss…,” ucapnya kesal sembari mundur. Asisten lelaki itu terlalu maju menghadang hingga seperti saling rapat saja terlihat. Tampak sekali jika Dimas kurang menghargainya. “Kali ini nggak boleh ikut, Mbak. Sebab ini penerbangan khusus. Hadiah Pak Erick untuk ulang tahun keponakannya itu. Harap mengerti dan ngasih kesempatan ya, Mbak.” Dimas menunjuk Irgi yang dalam gendongan ibunya. Wanita itu menoleh. Memicing mata pada Osara dan anaknya. Lalu berjalan mendekati. “Kurasa Erick tidak punya saudara seperti dia. Seingatku adiknya Erick sangat cantik….” Wanita itu bicara pelan tetapi tidak mengenakkan di
Pagi secerah ini, Osara terlihat cantik. Meski masih disayangkan bodi kerempengnya yang terus bertahan semenjak kematian suaminya. Mama Azizah memandang dan tersenyum sambil menyimpan rasa sedih. “Sudah siap? Kamu sangat mempesona dengan baju itu, Nak. Jika kamu mau gemuk sedikit saja, akan sempurna kecantikanmu. Kayak Osara yang dulu.” Mama Azizah menatap redup anak angkatnya. “Ah, Ma. Jangan menyanjung ku. Aku tidak terpikir lagi menjadi cantik.” Osara menyahut datar. Merasa pujian mamanya sekadar menyemangati hari ini. Wanita itu sangat antusias dirinya pergi naik heli dengan Dimas. Diam-diam berharap lelaki itu berminat pada putrinya yang janda. Sedang perasaan Osara terhadap lelaki sudah seperti mati rasa. Mama Azizah menhempas napas sambil menggeleng dan berdecak. Padahal, pujiannya bukan berlebihan. Osara memang sangat cantik dengan tubuh berisi yang body goals. Tetapi itu dulu, dalam ingatannya…. Sekarang, ibu muda itu terlalu kurus dengan pipi kelewat tirus. Mata pun
Dua belas bulan kemudian. Tahun pertama perayaan birthday anak lelaki Osara berlangsung sederhana. Membeli sebuah kue tart dan dua belas nasi ayam plus dua belas kotak Donat JCO dengan alamat di sebuah taman bermain anak-anak di lantai dua puluh satu Gedung Kembar Petronas dalam kawasan KLCC (Kuala Lumpur City Centre). Lilin berbentuk angka satu yang tadi menyala kini padam oleh tiupan kecil dari lelaki mungil berbadan tebal, Irgio Dhandy, anak lelaki Osara yang gemuk dan tampan. Dua belas nasi dan dua belas kotak donat juga sukses dibagi-bagi. Anak-anak yang berkunjung di sana hari itu, tidak peduli dari keluarga biasa atau kaya raya, terlihat sangat gembira dan senang hati menerima pembagian nasi dan donat dengan gratis. . Tart yang tidak habis dimakan sekeluarga, yakni Papa Handy, Mama Azizah serta dua adik Osara, dibagikan juga pada anak-anak di sana yang berminat. “Sebentar, Nak. Tinggal sepotong lagi….” Osara membujuk anaknya yang rewel minta pergi. Sedang irisan tart
Mama Hana sudah datang bersama Daehan. Hanya sendiri dengan rencana dua malam saja dan kemudian kembali ke Surabaya. Sebab Shanumi pun baru saja melahirkan."Apa Clara juga sudah melahirkan, Ma?" tanya Osara iseng saja. "Osa, apa Erick tidak pernah bilang?" Mama Hana memandang penuh tanya. "Bilang apa, Ma?" Osara sambil menggeleng tidak paham. "Clara sedang dirawat di rumah sakit Jiwa. Bayinya meninggal dalam kandungan. Maafkan segala kesalahan Clara padamu ya, Osa." Mama Hana terlihat sedih. "Oh, aku ikut belasungkawa, Ma. Aku sudah memaafkan semuanya. Tidak pernah lagi kupikir yang tidak enak di masa lalu." Osara benar-benar terkejut. Tidak menyangka, ternyata nasib Clara justru lebih mengenaskan. "Namun, Osa... kamu pun berhak merasa lega. Ericklah yang membuat Clara gila. Juga, wanita yang datang ke rumahmu dan mengaku hamil oleh almarhum suami kamu, adalah suruhan Clara. Erick mendapat bukti bahwa dia masih punya suami. Tidak tanggung-tanggung, rumah tangganya dibuat beranta
Erick berdiri diam ditempatnya. Niat menghampiri Osara yang sedang menangis meski tidak yakin apa yang akan dilakukan, dia urungkan. Perempuan kurus yang masih terlihat lemah sehabis lahiran itu juga sedang bangun dan turun ranjang perlahan. Melangkah pelan untuk menghampiri bayi yang kembali tampak gelisah. Melihat itu, Erick buru-buru kembali duduk di ranjang dan merebah sebelum Osara berbalik melihatnya. Paham jika bayi itu haus dan akan disusukan. Perempuan itu pasti akan enggan jika dirinya bangun dan melihat. Memilih lebih baik pura-pura tidur saja. Meski tidak nyaman, melihat Erick tidur nyenyak dengan memunggungi, Osara sedikit tenang untuk menyusui. Dari pengalaman singkat beberapa jam setelah persalinan, lebih baik cepat menyusukan sebelum ai bayi merasa kesal dan menangis sebab lapar. Bayi laki-laki dengan berat sedang, tiga setengah kilo itu sangat pintar yang kini sudah sangat mudah menyusu. Hanya didekatkan, bibir mungil itu sigap menangkap dan langsung menghisap put
Osara merasa bingung dan serba salah. Erick dengan santai meminta Dimas agar memanjangkan kursi roda menjadi ranjang. Merapat di dinding dan jauh dari ranjang pasien yang ditempati nya. “Pak Erick, apa yang kamu lakukan?” tanya Osara merasa tidak terima. Dimas telah disuruh keluar sedng Erick merebah terlentang di atas kursi roda yang sudah jadi ranjang. “Sudah kubilang, Osa. Aku jagain kalian. Mamamu kan udah pulang.” Erick mendongak dan memandang Osara. Ranjang pasien jauh lebih tinggi daripada ranjang kursi rodanya “Tapi… tidak usah di dalam juga. Di luar kan bisa…,” ucap Osara kebingungan. “Angin malam tidak bagus. Aku juga masih berstatus pasien di sini, Osa. Karena namaku sebagai penanggungmu, mereka membolehkanku di sini.” Erick berkata tenang. "Iya itu, tetapi Pak Erick kan pasien. Kenapa boleh pasien jaga pasien?" Osara jadi heran. "Ya namanya juga pasien istimewa. Yang penting pasiennya waras saja. Jika tidak boleh, dari awal pun aku sudah tidak bisa bertan
Osara menangis saat menyusui pertama kali. Rasanya luar biasa dengan sejuta sensasi. Haru, takjub, sedih, puas, dan seperti mimpi berbaur menyatu di dadanya. Penuh syukur menatap bayi mungil di pangkuan yang tampak damai dan nyaman dalam balutan handuk lembut. Begitu mudah bayi itu dia susukan. Osara bersyukur, kedua payudara pun begitu mengerti kondisi diri dan langsung menyambut bibir mungil itu dengan aliran colostrumnya yang deras. Hanya si bayi yang sempat kebingungan saat pertama disodorokan putingg ibu. Namun, dia menyesap tepat dan fokus setelah penuh perjuangan dijejalkan. Mama Azizah datang tepat saat bayi itu sudah diletak di ranjang khusus bayi. Kondisi kesehatan bayi lelaki itu tidak memiliki masalah sama sekali dan bisa terus di samping ibu. Osara baru dibersihkan kembali oleh perawat dan kini sudah rapi. Memakai baju pasien rumah sakit dengan gelang warna pink sebagai simbol untuk ibu yang baru saja melahirkan. “Sekali lagi Mama Minta maaf, ya, Nak. Mama tidak si