Sudah lama, Dimas belum juga kembali bersama lembar penanggung jawab pasien. Osara resah dan menduga-duga. Coba bertenang yang dirinya tidak mengalami komplikasi apapun selama kehamilan. Semoga bisa melahirkan dengan cara normal dan selamat untuk bayi dan dirinya. Jika sudah saatnya melahirkan, tidak mungkin juga ditahan meski tidak ada penanggung jawab. Toh, dirinya tidak kurang uang untuk biaya persalinan. Pihak galeri tidak pernah lupa memberinya uang bagi hasil tiap bulan. Jadi, apa yang kurang? Tidak ada, biarlah melahirkan sendiri asalkan tidak perlu tindakan operasi, semoga semua akan baik-baik saja. Diraihnya tas dan diambilnya ponsel. Kembali menelepon Mama Azizah. Bukan hanya tidak diangkat. Tetapi sudah tidak bisa masuk panggilan. Kemungkinan handphone itu dalam keadaan mati. Tapi memang seperti itu modelan Mama Azizah, handphone mahalnya sering dibiarkan mati habis daya. Terlalu sibuk mengurusi dua anak kecil kesayangannya. Sesaat coba ingin menghubungi Amira. Tapi...
Begitu lama belum juga bisa dikeluarkan. Dokter telah pergi sebab frustasi. Perawat terpaksa terus menunggui pasien yang entah hingga kapan dengan tatapan kesal sekaligus bingung “Calon ibu tidak bersemangat. Tenaganya kurang. Jika sperti itu terus, dia bisa lemas sia-sia. Apa sebaiknya disarankan sesar saja?” ucap Perawat yang tampak senior di antara dua perawat yang lain. Dokter sudah bilang keluar sebentar untuk minum. Nasib baik jadwal pasien melahirkan untuk hari ini tidak ada. Hanya satu orang pasien hamil dan dadakan datang yakni Osara. “Jangan, kita cari lagi solusi. Kondisi kehamilannyanya semua bagus. Tulang panggul pun sempurna. Jangan gegabah.” Perawat lebih muda terdengar mengingatkan. Osara yang kesakitan sambil menangis bukan tidak mendengar. Dirinya sadar, mengakui ucapan perawat senior yang pertama tadi memang benar. Rasanya sungguh lemas, seperti tanpa daya untuk kembali mengejan. Namun, juga teramat ketakutan membayangkan perut dibelah di meja operasi. Ini sa
“Maaf, Pak. Bagaimana lagi… kamarnya tinggal satu. Kalo soal razia, tenang saja. Hotel kami hanya mendapat sidak di akhir bulan. Ini masih tanggal tiga, nih, Pak … tanggal muda….” Daehan, pria gagah yang dipanggil Pak oleh resepsionis manis dan genit itu kian mengatup bibir. Menatap gusar pada Umi (Sazleen Shanumi), asisten rumah baru yang dia bawa. Wajahnya menebal dengan bibir membiru. Jiwa sosial Daehan sebagai lelaki gagal membatu. “Kamu dengar sendiri apa katanya barusan. Terserah, jika keberatan, kamu duduk saja di lobi hingga orangku datang, Um,” ujar Daehan pada wanita berkerudung panjang dan berbaju tebal tetapi basah kuyup. “Enggak, Pak. Saya tak keberatan. Tidak sanggup lagi di luaran, bisa beku…,” sahut Umi cepat. Meski dengan melawan gemelutukan gigi di mulut yang serasa amat kaku. Sangat kedinginan. Daehan agak terkejut, meski juga merasa lega. Jika ada apa-apa dengan asisten rumah yang baru dia jemput itu, dirinya juga yang kena. Kesal sekali dengan sopir pribad
Malang tak dapat ditolak, apalagi diprediksi. Seperti halnya kali ini. Petugas sidak kukuh memberi sanksi pada para penghuni kamar yang dilabel sedang mesum. Tidak kecuali dengan Daehan dan Umi. Wajah lelaki tampan itu memerah dan tegang. Tidak menyangka niatan berteduh jadi sesialan seperti ini. Umi menatap cemas pada petugas sidak yang barusan mendekati Daehan dan merraba tubuh besar itu tanpa segan. Meski pemilik badan mengibas kasar, para petugas abai dan semakin berwajah sinis setelahnya.“Alibi kalian sama sekali tidak masuk akal. Bisa jadi juga disertai ancaman dan kekerasan. Melihatmu yang tidak berpakaian dalam dan wajah wanita ini seperti habis dianiya, kalian masuk ke dalam daftar pasangan haram yang disanksi.” Petugas sidak berbicara tegas dan tajam.“Jangan menuduh. Sudah aku tegaskan, dia pekerjaku. Tidak ada kamar lagi. Aku kasihan sebab tadi kehujanan. Dia perempuan, tidak mungkin aku biarkan di luaran! Mukanya bengkak sebab suntik cantik, bukan tanganku yang bikin!”
Dalam penelurusan singkat melalui Kartu Tanda Penduduk yang terhubung pada Kartu Keluarga, Umi dan Daehan adalah lajang yang bukan saudara mara dan kerabat. Memiliki alamat serta tempat tinggal berjauhan. Itu adalah faktor utama mereka wajib disatukan. Tanda tangan di berkas sah nikah yang bukan buku nikah baru saja selesai oleh keduanya saat satu panggilan masuk untuk Daehan. Maka lelaki itu pergi meninggalkan ruangan dengan dalih bertelepon. Umi menyusul setelah meladeni beberapa pertanyaan petugas sendirian. Di sana Umi bicara jujur segalanya dan Daehan sama sekali tidak mengetahui. Juga masih ada dua pasang lagi yang bernasib sama untuk dinikahkan dengan mudah. Tentu saja sangat mudah, hanya bermodal KTP, janji mahar, ijab kabul dan dua mempelai itu sendiri. Tanpa bersusah payah dengan syarat ribet pernikahan biasanya pun mereka sudah sah. Bahkan beberapa kali, para petugas mengingatkan pada para pengantin hasil sidak untuk lebih baik bersyukur. Umi dan Daehan sendiri sangat
Tidak sia-sia Umi masak soto sedikit banyak yang tidak habis untuk satu orang. Sebab hujan masih turun deras, kuliner langganan Daehan sudah tutup lebih awal. Tunangan cantiknya kelaparan, masakan perdana Umi pun jadi. Tidak menyangka masakan janda burik itu enak sekali. Bahkan Intana sangat suka. Lupa dengan hinaan jorok yang tadi dilontarkan. Jika tidak ingat bahwa yang masak pun sedang lapar, mungkin Daehan sanggup menghabiskan. “Niat masak buat dinikmati sendiri, malah dapat sisanya doang, dikit lagi,” ucap Shanumi menggerutu sambil berjibaku dengan barang pecah belah di wastafel.“Nggak sopan banget, gini amat nasib istri sah.” Shanumi mengeluh kesal. Tetapi juga menyimpan tawa. Merasa konyol dengan ucapan sendiri yang menyebut diri istri sah.“Udah masak buat orang … eh, panci-pancinya pun kena nyuci sendiri. Sabar ya, Shan … Ini demi dapat uang tambahan lebih cepat!” ucap Shanumi yang kali ini agak keras. Bersaing dengan suara air kran dan panci yang beradu.“Um, kamu ini ngg
Shanumi telah meluncur ke dalam kamar yang sempat diwariskan sopir, Agung padanya. Mengemasi barang yang tidak banyak untuk rapi kembali ke dalam tas. Perasaannya kini tidak terjabar. Antara lega dan puas, sebab dengan gaji penuh dirinya terbebas dari tugas. Juga bersit terhina sebab Daehan sama sekali tidak menganggapnya. Bukan sebagai istri, tetapi telah menolaknya sebagai pekerja. Meski burik, mungkin Daehan masih bisa menerima Shanumi terus bekerja jika tidak terhasut oleh ucapan Intana. Entah sedalam apa cintanya pada si tunangan hingga setunduk itu.Yang jelas, Intana adalah wanita bermulut madu yang beracun. Berlidah belut yang licin di mata Shanumi. Terbukti bagaimana Intana meyakinkan pada petugas jika kerusakan mobil mewahnya bernilai puluhan juta untuk biaya servis. Padahal tidak seberapa. Hanya beberapa goresan yang sama sekali tidak menyebabkan bekas cacat. Garit gores itu bisa dipoles cepat dengan dibawa ke bengkel servis mobil profesional. Namun, tetap Shanumi juga y
Celana abu muda menggantung di mata kaki berpadu atasan blouse putih, membuat penampilan Shanumi terlihat segar, elegant dan cerah. Rambutnya diikat tinggi dengan wajah berpoles tipis menarik. Meski kesan bengkak masih menyisa, kecantikan raganya tidak bisa ditutupi. “Sudah minum suplemenmu, Shan?” Yena menghampiri Shanumi di kursi dapur. “Sudah, barusan. Thanks, Yen.” Shanumi yang barusan berbincang dengan pegawai dapur, mendekat dan duduk di dekat Yena. Menerima segelas lemon madu hangat dari sang karib dan meminumnya hingga tandas. “Meski wajahmu belum pulih, cantikmu mulai kembali, Shan. Semangat, ya. Jika nggak menang dan wanita itu datang minta uang, pakai aja duit kafe. Sisanya kita kejar…,” ucap Yena membujuk. Iba jika Shanumi sebenarnya tertekan dan banyak yang dipikir. “Jangan, aku nggak mau ngusik dana kafe. Takut tiba-tiba sepi dan ngaruh ke gaji mereka. Pasti ada dana dari pintu lain. Kamu jangan risau, Yen.” Shanumi berkata sambil meletak gelas kosong di meja sebela
Begitu lama belum juga bisa dikeluarkan. Dokter telah pergi sebab frustasi. Perawat terpaksa terus menunggui pasien yang entah hingga kapan dengan tatapan kesal sekaligus bingung “Calon ibu tidak bersemangat. Tenaganya kurang. Jika sperti itu terus, dia bisa lemas sia-sia. Apa sebaiknya disarankan sesar saja?” ucap Perawat yang tampak senior di antara dua perawat yang lain. Dokter sudah bilang keluar sebentar untuk minum. Nasib baik jadwal pasien melahirkan untuk hari ini tidak ada. Hanya satu orang pasien hamil dan dadakan datang yakni Osara. “Jangan, kita cari lagi solusi. Kondisi kehamilannyanya semua bagus. Tulang panggul pun sempurna. Jangan gegabah.” Perawat lebih muda terdengar mengingatkan. Osara yang kesakitan sambil menangis bukan tidak mendengar. Dirinya sadar, mengakui ucapan perawat senior yang pertama tadi memang benar. Rasanya sungguh lemas, seperti tanpa daya untuk kembali mengejan. Namun, juga teramat ketakutan membayangkan perut dibelah di meja operasi. Ini sa
Sudah lama, Dimas belum juga kembali bersama lembar penanggung jawab pasien. Osara resah dan menduga-duga. Coba bertenang yang dirinya tidak mengalami komplikasi apapun selama kehamilan. Semoga bisa melahirkan dengan cara normal dan selamat untuk bayi dan dirinya. Jika sudah saatnya melahirkan, tidak mungkin juga ditahan meski tidak ada penanggung jawab. Toh, dirinya tidak kurang uang untuk biaya persalinan. Pihak galeri tidak pernah lupa memberinya uang bagi hasil tiap bulan. Jadi, apa yang kurang? Tidak ada, biarlah melahirkan sendiri asalkan tidak perlu tindakan operasi, semoga semua akan baik-baik saja. Diraihnya tas dan diambilnya ponsel. Kembali menelepon Mama Azizah. Bukan hanya tidak diangkat. Tetapi sudah tidak bisa masuk panggilan. Kemungkinan handphone itu dalam keadaan mati. Tapi memang seperti itu modelan Mama Azizah, handphone mahalnya sering dibiarkan mati habis daya. Terlalu sibuk mengurusi dua anak kecil kesayangannya. Sesaat coba ingin menghubungi Amira. Tapi...
Pintu yang sudah dibuka lebar memberi pandangan jelas tanpa halangan. Lelaki pertama adalah security gagah dan tampan di rumah Amira yang Osara tidak terlalu mengenalnya. Satu lagi lelaki berkulit sawo matang dan berwajah manis yang lamat-lamat dia kenal tetapi tidak ingat siapa. Oh, mungkin ex boyfriend Amira! “Amirah … tidakk adah….” Osara dengan cepat berbicara sambil menahan sakit hebat di perut yang sedari tadi belum mereda. Tangannya memegang daun pintu sangat erat dan tampak gemetaran. “Mbak Osara…. Apa kabar? Lupa pada saya?” tanya lelaki di sebelah security tiba-tiba. Osara terkejut dan terlihat juga meringis. Menatap lekat wajah lelaki yang semakin tidak asing tetapi sungguh masih lupa. Coba diingat keras tetap saja tidak bisa. “Maaf, Anda … siappaah?” Osara menyahut sambil merasa sangat sakit. Berharap urusan dengan mereka berdua lekas selesai dan mereka pun cepat pergi. “Saya Dimas, Mbak. Mohon diingat, saat itu saya sebagai pembantu umum di Daosa Galeri…,” u
Di sebuah kerajaan yang berseberangan dekat dengan negara Indonesia…. Perempuan hamil berbadan kurus dan hanya perutnya saja yang tebal, sedang memilah-milah banyak jenis coklat dengan kemasan warna-warni disampingvtempat tidur. Jika tiga bulan lalu masih menangis setiap melihat coklat dalam kotak ini, sekarang sudah tidak berguna lagi. Meski desir pedih terus menggores di sepanjang kenanangan yang berkelebat dalam benaknya. Ini adalah kehamilan Osara yang ke sembilan bulan dan diprediksi akan melahirkan dalam waktu dekat oleh dokter kandungan pilihannya. Dokter menyarankan untuk terus beraktivitas seperti biasa bahkan sedikit meningkatkan pergerakan guna kian melentutkan otot-otot. Tok Tok Tok “Ma….” Osara menyambut kedatangan Mama Azizah, selaku pengetuk daun pintu di kamarnya. “Jadi ke tempat Amira kah, Osa?” tanya wanita yang sudah berdandan cantik pagi ini. Ada acara undangan bagi salah satu wali murid untuk setiap anak di sekolah. Papa Handy sedang ada urusan kerja
Clara tampak pucat pasi saat Erick menyebut dirinya sebagai pembunuh. Mata indahnya membelalak semakin lebar selapangan. Bukan hanya Clara, Mama Hana pun terperanjat. "Apa kamu bilang, Rick?" tanyanya lembut pada Erick yang sedang menuding Clara. “Jangan ingkar jika kaulah pemicu utama kematian Daishin, Clara! Fitnahmu membuatnya tidak tenang. Jangankan tidur denganmu, menyentuhmu saja dia tidak sekali pun. Dia bukan lelaki rakus yang memakan saudar sendiri. Buka lebarlah otak serta matamu itu! Tapi kau bilang dalam perutmu adalah anaknya. Bisa-bisanya kau!” Erick sambung bicara dengan cercaan tajam dan pandangan sinis. Apa yang dia bilang adalah benar dan bertujuan memberi tekanan pada Clara yang kabarnya sedang depresi. Erick ingin, wanita seperti itu jika ingin mati, matilah. Atau jika gila, langsung gila saja bukan sekedar depresi yang justru merepotkan Mama Hana. “Kau wanita yang lebih jahat dari ular. Fitnahmu tidak mempan, kau mengirim wanita hamil lain untuk mendatan
Rumah besar milik orang tua Daehan yang pastinya kelak juga akan menjadi milik lelaki itu, terang benderang dengan lampu melimpah sebagai penerang malam hari. Di semua sudut dan sisi pagar membentang mengelilingi rumah, pasti terpasang lampu besar dan terang. Security tidak mempersulit keinginan Erick untuk menemui tuan rumah sebah sudah sering kali melihat datangnya. Meski biasanya berjalan tegap dan gagah melewati gerbang pagar, kini duduk tidak berdaya di atas kursi roda yang di dorong seorang asisten laki-laki. Meski sangat ingin tahu, tetapi tidak ada keberanian untuk bertanya kronologinya. Tok Tok Tok Ce Klerk Mama Hana terkejut bukan main saat membuka pintu rumah yang barusan diketuk dari luar. Erick telah di depan pintu dan menatapnya lelat-lekat. Menyertainya lelaki yang terus setia mengikuti ke mana-mana belakangan ini. “Erick sama Dimas… kalian datang?! Ah, tidak menyangka! Ayolah masuk!” Meski terkejut, sikap Mama Hana reflek sebagai ibu yang sedang kedatangan ana
"Papa sudah bilang, Osa. Tidak perlu singgah lagi. Sudah dua malam Papa tidur di rumahmu, sudah cukup itu. Jangan merasa bersalah meninggalkannya. Daripada justru penyakit yang kamu dapat jika mendatangi rumahmu. Ikhlaslah, Osa. Papa mohon.” Papa Handy bicara tegas saat Osara gemetaran mencekal kuat lengan tangannya. Mereka baru saja singgah di rumah duka atas keinginan Osara kembali. Nyatanya, hal sama masih saja terulang sekali lagi. Tumbang.... “Benar, Osa. Sudah, ikhlas ya. Jangan ada yang disesali. Apapun yang kamu sesali, tidak akan membuatnya kembali. Yang ada kamu justru tidak tenang dan dia juga tidak tenang di alamnya. Fokuslah dengan kehidupanmu sekarang dan masa depanmu bersama anak dalam kandungan. Jika kondisimu gini terus, takutnya mengganggu perkembangan pada kehamilanmu.” Mama Hana mengambil Osara dan membawanya masuk ke dalam mobil. Memeluk perempuan hamil yang sedang berjuang menenangkan dirinya perlahan. Mama Hana sambil meminta pada Agung untuk membawa mob
Shanumi baru selesai shalat isya dan keluar dari kamar. Pemandangan pertama yang dilihat adalah seperti biasa. Osara duduk di sofa menonton televisi tetapi dengan pandangan kosong saja. Pasti pikiran pergi jauh dan bukan lagi ke acara yang ditayangkn televisi. Pemandangan seperti itu memang sudah biasa dan sering terciduk melamun. “Osa, itu makanannya di makan, yuk! Dingin banget nanti kurang enak!” Shanumi duduk menghenyak di sofa seberang Osara. “Iya, Mbak. Yuuk.” Osara langsung tanggap dan mengiyakan sebab memang sedang menunggu Shanumi untuk makan malam bersama. Dirinya sudah tunai isya jauh lebih dulu. Sejak mendapat cobaan begitu besar kehilangan suami, dirinya berusaha untuk tepat waktu beribadah. Mereka berdua makan bersamaan tetapi dengan berbeda kecepatan. Shanumi habis lima suapan, Osara masih mengulum suapan yang kedua. Begitu lambat hingga sering juga sambil minum. Demi mendorong makanan dari mulut ke lambung. Shanumi benar-benar merasa tidak tenang. Begitu resah deng
Mereka bertatapan mata sekilas. “Jika ada apa-apa, jangan segan bilang padaku, Osa.” Erick berpesan saat Papa Handy dan Osara berpamitan. Perempuan hamil itu diam saja, tidak merespon ucapannya. Mengangguk saja pun tidak. Sungguh jadi trenyuh, seperti tidak habis-habis rasa bersalah dan sesalnya. Seperti enggan melepas tangan lembut yang sedang menyalami. Dalam pandangannya sekarang, perempuan berperut buncit itu demikian rapuh, kurus dan pucat. Jauh beda waktu pertama dilihatnya saat dibawa Rasyid di Fuji kala itu. Tampak sehat, cerah dengan wajah berbinar walau sedang dalam tekanan dan ketakutan. Belum lagi, wajah itu sangat cekung dan badannya tampak kurus! Padahal, kesedihan ini belum ada satu minggu! Sebab setelah itu, Erick tidak pernah bertemu lagi meski sudah pindah dan tinggal di perumahan Surabaya. Hanya almarhum sendirian yang datang berkunjung sebab masalah kerja sama di jual beli perhiasan. Juga sesekali janji temu di luar yang Osara tetap saja tidak pernah dibawa