Amira merasa iba, terharu dan bahagia. Suaminya terbukti lulus uji, tulus dan mau menerima apa adanya. Padahal semua ucapannya hanya mengada-ada dan bualan belaka saja. Dimas sangat percaya jika dirinya sudah tidur dengan Azlan Anthony. Padahal, jangankan merayunya, berbicara dengan lelaki dewasa itu saja dirinya sudah merasa segan dan tegang. Hubungan mereka selama ini terkesan formal dan kaku. Azlan jarang tersenyum apalagi bercanda. Tersiksa jiwa rasanya saat menerima arahan orang tua agar berusaha menerima lelaki itu. “Apa tidak kesal, punya istri bekas orang?” usik Amira. Dimas masih memeluknyamemeluknya dengan menatap redup dan sayu. Napasnya tahu-tahu sudah memburu. Mungkin sebagai pengantin baru, setiap dekat pasangan akan selalu diterjang nafsu. “Kesal lah, Amira. Tapi bagaimana, kamu adalah pilihanku. Semia sudah terlanjur. Jadi … apapun kamu, harus aku terima apa adanya.” Dimas semakin memeluk istrinya penuh rela dan sayang. Ingin sekali kembali mencumbu, tetapi Am
Di rumah keluarga Bapak Darma. Suasana hingar bingar dalam tenda dekorasi seketika berubah lengang saat tengah malam. Horeg dari sound system pun tinggal ngiangnya dan hanya menyisakan tumpukan speaker yang bisu. Akhirnya acara hajatan itu sudah selesai gemilang dan tanpa hambatan yang berarti. Pak Darma sungguh lega penuh syukur, akhirnya bisa istirahat dengan tenang malam ini. Bersama sang istri yang kesehatannya justru mengalami kemajuan pesat meski acara hajatan sungguh melelahkan. Karena aktualnya, tombak pernikahan dihandle oleh Pak Darma dan kakak perempuan Dimas yang mewakili isi kepala ibunya. Sedang untuk memimpin bergadang malam ini, sebab adat di kampung mesti bergadang di akhir acara, adalah abang iparnya Dimas! Dua pasang baju pengantin beda gender yang model dan warnanya berlainann dari yang sudah dipakai sebelum-sebelumnya, teronggok di pojok kamar begitu saja. Ditinggal pemiliknya yang sudah kelelahan untuk naik di atas pembaringan. “Capek banget rasanya ya
Setelah merasa kenyang dengan makan siang di meja prasmanan kondangan, Anthony kembali ke villa. Tidak hanya dirinya, Erick yang bahkan terus menumpang makan pagi dan makan siang di sana dengan tidak peduli rasa malu, juga belum pulang dan kembali ke hotel menemui bininya. Namun, tidak lagi kembali untuk menumpang makan malam, mereka akan pulang ke Surabaya sore nanti. Setelah memenuhi keinginan Osara, istri tercinta dari seberang yang ingin berkunjung dan berziarah ke makam Presiden Indonesia yang pertama, Makam Ir. Soekarno, Bapak Proklamator Indonesia di Blitar Pusat. Sempat tidur siang sejenak, Anthony yang semalam kurang tidur, kini bersiap lagi untuk meninggalkan Villa. Bukan kembali ke tempat kondangan, melainkan bertemu dengan pemilik pabrik penggilingan kopi di perkebunan. “Kita ke mana, Pak Azlan?” tanya Rendra setelah mobil keluar dari pagar dan mengambil jalan ke arah kiri. Melihat sang tuan di cermin. “Aku sudah send share lokasi ke nomormu. Lihatlah!” Anthony
“Huk huk huk!” Suara batuk dari arah ruang keluarga sungguh mengejutkan. Yunita yang baru masuk ke dalam rumah dan kini berdiri di ruang tamu, serasa membeku di tempat. Menyangka tidak ada siapa pun di ruang keluarga yang gelap. Ternyata ayahnya sedang bersiaga di sana. “Dari mana saja kamu, Yunita?” tanya sang ayah dengan serak. Sangat kentara sedang menanggung sakit di raganya. Yunita semakin gentar. Merasa gemetar di seluruh tulang dan sendi raganya. Menyadari penuh jika dosa besar yang baru tercipta, lelaki tua tercinta itulah yang ikut menanggung sebagian siksanya. Ah, trenyuhnya! Sudah menderita sakit raga, diam-diam anak perempuan kebanggaan pun berkhianat. Yunita telah menangis dalam gelap dengan penuh rasa sesal dan hina. Tap Tap Tap Rasanya, bumi yang dipijak terbelah. Lampu telah menyala terang benderang dan ayahnya sudah berdiri dekat di samping tombol lampu. Menelisik Yunita dengan pandangan curiga. “Assalamu'alaikum, Pa!” Sapa Yunita dan bergegas memburu pos
Anak kunci yang tersangkut di lubang kusen diputar cepat tanpa hambatan. Tetapi langkah tergesanya terhenti seketika saat menyadari sesuatu. Malam telah larut dan ini membuat takut. Banyak pendatang dari berbagai asal daerah yang mendaki ke gunung dan sebagian mereka akan turun ke perkebunan saat malam. Bukan tidak apa-apa, tetapi banyak di antara mereka sedang mabuk. Ini membuat Yunita jadi gentar. Lagipula tidak akan ada ojek lalu lalang saat malam. “Siapin mobil, Ndra!” Anthony yang baru muncul keluar, sigap memberi arahan pada drivernya, baru bangun dari tidur di kursi teras. Driver rangkap asisten yang saat siaga cukup garang, kini tampak linglung bangun tidur dan sempat berjalan oleng menuju mobil di garasi. “Barangmu ada yang tertinggal.” Anthony berjalan mendekat dan menyodorkan sesuatu dari genggaman pada Yunita. Wanita yang diam bak patung itu sempat tertegun. Namun, segera disambarnya saat sadar apa yang dibawa Anthony. Kaos dalam berenda warna biru di tangan
Dimas menanggapi umpan Amira yang tiba-tiba mencium di bibir. Merasa lega saat istrinya kembali ke setelan alam yang agresif dan responsif. Wajah cantiknya memerah saat mereka saling bertatapan. “Sana, kamu dulu ambil wudhu. Nanti keblabasan belum sempat ibadah.” Dimas menunjuk kamar mandi dengan ekor matanya. Masih tersisa engah napasnya setelah ciuman panjang berdua. “Bareng …,” jawab Amira sambil berkedip-kedip. Dimas tersenyum lebar. “Kali ini saling sendiri dulu. Besok baru sama-sama,” ucap Dimas tersenyum sambil menepuk kecil pipi Amira. Rasanya terus bahagia menyadari mereka baru saja menikah dan gadis itu sudah jadi istri sah. Sebab hingga sekarang masih merasa seperti sedang bermimpi. Sementara Amira berwudhu. Dimas tidak bisa duduk tenang. Berjalan mondar mandir di kamar luasnya. Diam-diam sedang berdebar keras dalam hati. Mengingat ini malam pertamanya sebagai pengantin baru. Keinginan sebagai lelaki untuk unboxing istri sungguh menggebu. Tetapi ragu, tidak ingi