Share

BAB 4

Penulis: Risyia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-18 14:36:50

Tiga hari setelah kejadian di rumah sakit.

Langit sore diselimuti awan tipis, menciptakan suasana tenang saat mobil hitam keluarga Arya perlahan berhenti di halaman rumah. Pintu terbuka, dan Tuan Arya turun lebih dulu, lalu bergegas ke sisi kanan mobil, membukakan pintu untuk Oma.

Oma menyambut tangan cucunya yang terulur. Meski masih lemah, wajahnya tetap anggun. Arya menggenggam tangan itu dengan hati-hati, membantu sang oma berdiri dan menuntunnya keluar dengan penuh perhatian.

“Pelan-pelan, Oma,” ucap Arya lembut.

“Aku tidak selemah itu, sayang,” sahut Oma, tersenyum tipis.

Arya hanya tersenyum kecil, tetap mendampingi langkah Oma yang sedikit tertatih. Mereka berjalan melewati halaman depan, menuju pintu utama rumah yang sudah lama tak ditinggali Oma.

Saat pintu terbuka,udara sunyi menyambut mereka. Tak ada suara dari dapur, tak ada langkah ringan, tak ada suara halus Zahra memanggil ‘Oma’ sambil membawa air minum seperti biasanya.

Oma melangkah perlahan ke dalam. Begitu tiba di ruang tengah, ia berhenti, matanya menelusuri seisi rumah.

“Zahra di mana?” tanyanya pelan, nyaris seperti pertanyaan yang mengambang di udara.

Arya terdiam sejenak. Tatapannya ikut menyapu sekeliling, lalu kembali menatap Oma. sambil menggelengkan kepala perlahan.

Oma tertegun. Wajahnya tak menunjukkan kemarahan, hanya kebingungan yang perlahan berubah menjadi keresahan.

“Zahra?” serunya, kali ini lebih lantang.

Tidak ada jawaban.

Oma menoleh ke kiri dan kanan, langkahnya goyah namun ia berusaha maju beberapa langkah. Suaranya kembali memanggil, kali ini lebih pelan tapi terdengar getir.

“Zahra…?”

Masih hening.

Seisi rumah terasa beku. Tak ada jawaban yang datang dari balik pintu dapur, tak ada langkah kecil yang tergesa muncul dari tangga, tak ada wajah muda yang muncul dari balik lorong dengan senyum dan tangan yang membawa air hangat.

“Dia selalu datang saat aku pulang...” gumam Oma, suaranya bergetar. “Dia selalu lari sambil senyum dan bilang, ‘Oma, sudah minum obat?”

Tanpa berkata apa-apa, Oma tiba-tiba berbalik arah. Langkahnya cepat meski tertatih, tongkat di tangannya terdengar beradu dengan lantai. Arya tersentak dan segera menyusul.

“Oma... mau ke mana?”

“Ke kamarnya Zahra,” jawab Oma pelan tapi tegas.

Mereka menyusuri lorong sempit menuju bagian belakang rumah. Udara di sana terasa lebih dingin dan hening. Pintu kayu dengan cat yang mulai terkelupas itu masih tertutup rapat.

Dengan gemetar, Oma membuka gagangnya perlahan. Pintu kamar terbuka sedikit berdecit.

Dan di sanalah kenyataan akhirnya menyapa.

Kamar kecil itu rapi... tapi kosong.

Tempat tidurnya sudah dirapikan. Tak ada sehelai baju pun yang tergantung di gantungan besi. Meja kecil di sudut ruangan bersih dari barang pribadi. Hanya satu benda yang tersisa di atas bantal: sebuah bros bunga kecil—yang dulu Oma berikan sendiri pada Zahra.

Oma terdiam di ambang pintu. Matanya berkaca-kaca, dadanya naik turun.

“apa dia pergi?” bisiknya, seolah baru berani mengakui.

Arya menatap ruangan itu tanpa bergerak.

Perasaan bersalah menamparnya lebih keras dari sebelumnya.

Oma melangkah masuk pelan. Ia duduk di tepi ranjang Zahra, memandangi bros bunga itu. Jemarinya menyentuhnya dengan sangat hati-hati.

“Dia meninggalkan ini,” gumam Oma. “Tapi dia membawa seluruh hatinya pergi.”

Arya berdiri di ambang pintu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Malam harinya.

Lampu gantung di atas meja makan menyala redup. Meja panjang dari kayu jati tampak rapi seperti biasa, lengkap dengan peralatan makan, semangkuk sup hangat, dan teh kesukaan Oma.

Namun tak ada suara sendok beradu.

Tak ada celoteh ringan dari Oma tentang menu malam ini.

Tak ada Zahra yang biasanya mondar-mandir, memastikan makanan tersaji sempurna.

Yang ada hanya Arya, duduk sendiri di ujung meja. Tangan kirinya menopang dagu, sementara tatapannya tertuju pada pintu kamar di lantai atas yang tetap tertutup sejak sore tadi.

Hening menusuk hingga ke dasar hati.

Akhirnya, Arya bangkit dari kursinya. Ia mengambil nampan, menata sepiring nasi putih dan sop hangat serta segelas air putih di atasnya. Tanpa banyak suara, ia membawa nampan itu menaiki tangga.

Sesampainya di depan kamar Oma, ia mengetuk dua kali.

“Oma…” panggilnya lembut. “Arya bawakan makan malam.”

Tak ada jawaban.

Arya menunggu sejenak. Hening masih menyelimuti.

Ia memutar gagang pintu perlahan. Tidak dikunci. Pintu terbuka dengan bunyi lembut. Di dalam, lampu kamar menyala temaram. Tirai belum tertutup, membiarkan cahaya malam dari luar jatuh ke lantai.

Oma masih duduk di kursi goyang di sudut ruangan, punggungnya menghadap pintu. Bros bunga kecil yang tadi siang ditemukan di kamar Zahra, kini tersemat di dada bajunya.

“Oma…” Arya mendekat perlahan. Ia meletakkan nampan di meja kecil di samping kursi.

Oma tidak menoleh.

“Aku tahu… Oma sedang tidak ingin bicara,” ucap Arya pelan. “Tapi… setidaknya makanlah sedikit, biar Oma bisa minum obat”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Pilihan Oma   8

    Suasana berubah hening. Semua tamu duduk dengan khidmat. Penghulu membuka acara dengan singkat, lalu meminta Arya untuk mengucapkan ijab kabul. Zahra menunduk, menahan napas. Tangannya dingin, bahkan saat menggenggam kain gaun. Tanpa banyak kata, Arya menjawab dengan suara dalam dan tenang: “Saya terima nikahnya Zahra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Sejenak sunyi. Lalu terdengar gumaman “sah” dari para saksi. Beberapa tamu mengusap mata haru. Begitupun dengan Oma yang tersenyum lega dan penuh syukur. Zahra tidak berkata apa-apa. Tapi di dalam dadanya, sesuatu terasa mengikat. Bukan hanya janji suci… tapi juga kenyataan yang belum siap ia genggam sepenuhnya. Pesta berlangsung megah. Musik lembut mengalun, aroma bunga memenuhi udara. Para tamu silih berganti naik ke pelaminan, mengucapkan selamat dan doa. Zahra duduk di samping Arya. Ia tersenyum, menunduk sopan pada setiap tamu. Tapi dalam hati, ia masih merasa asing. Semua ini seperti mimpi atau justru drama

  • Istri Pilihan Oma   BAB 7

    Tiga Hari Kemudian Hari Pernikahan Gedung pernikahan mewah di jantung kota, dipenuhi cahaya dan bunga. Tirai putih mengalun lembut, aroma melati dan mawar memenuhi udara. Undangan berdatangan, sebagian besar keluarga besar dan rekan bisnis Nyonya Ratna. Namun hari ini, ada satu pertanyaan yang bergulir lirih di antara bisik-bisik tamu: “Siapa Zahra? Kenapa begitu tertutup kisahnya?” Di ruang rias pengantin wanita, Zahra duduk diam di hadapan cermin besar. Gaun putih panjang menghiasi tubuh mungilnya potongan sederhana, tapi elegan. Rambut hitamnya disanggul rapi dengan hiasan bunga melati segar. Hanya anting kecil di telinganya. Wajahnya dipoles lembut oleh perias, tapi sorot matanya tetap… kosong. Zahra menatap pantulan dirinya dalam cermin. Siapa perempuan di depannya ini? Ia bahkan nyaris tak mengenal sosok itu. Ketukan pelan terdengar di pintu. Oma masuk dengan langkah hati-hati. Kebaya navy membalut tubuhnya anggun. Senyumnya hangat saat melihat Zahra. “Kamu c

  • Istri Pilihan Oma   BAB 6

    Tuan Arya berdiri terpaku di ambang pintu. Matanya tak lepas dari pelukan antara Zahra dan Oma. Untuk pertama kalinya setelah sekian hari penuh ketegangan, ia melihat senyum kembali menghiasi wajah Oma—senyum tulus yang nyaris tak pernah ia lihat sejak wanita tua itu terbaring lemah. Senyum itu pula yang membuat dada Arya terasa hangat.Tanpa sadar, sudut bibirnya ikut terangkat. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Bukan senyum kemenangan—melainkan kelegaan. Keputusan impulsifnya malam ini… ternyata tidak salah.Ia melangkah mundur perlahan, membiarkan Zahra dan Oma menikmati waktu mereka. Lalu menutup pintu kamar dengan hati-hati, tanpa suara. Ia berdiri sejenak di depan pintu, menarik napas panjang, dan mengusap wajahnya yang lelah. Ia menarik napas dalam, lalu merogoh ponsel dari saku celana. Setelah menelusuri daftar kontak, jarinya berhenti di satu nama. Ia menekan tombol hijau. Tak lama kemudian, suara dari seberang menyahut, "hallo,ada apa bro malem malem beg

  • Istri Pilihan Oma   BAB 5

    Tuan Arya melangkah mundur perlahan dari ambang pintu. Ia mengusap wajahnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Sorot matanya mengeras."Aku harus cari dia."Tanpa ragu, ia segera berbalik arah dan menuruni tangga dengan langkah yang tergesa. ia tau kemana perginya Zahra,dengan penuh keyakinan ia pun menancap gas mobilnya dengan kelakuan penuh. Sesampainya di depan pintu kamar Zahra— Tok! Tok! Tok! Tok! Ketukan keras itu menggema di lorong sempit. Dinding tipis memantulkan suara. Beberapa pintu kamar lain berderit dibuka. Beberapa kepala mengintip, penasaran melihat siapa yang menggedor pintu malam-malam begini. Tuan Arya tak peduli. Matanya fokus pada satu pintu di depannya. “Zahra!” serunya lantang. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih keras. Tok! Tok! Tok! “Zahra! Buka pintunya! Ini aku, Arya!” Masih sunyi. Arya mendekatkan wajah ke daun pintu, suaranya lebih dalam dan tajam. “Kalau kamu tidak membukakan pintu malam ini, aku akan terus berdiri di sini sampai

  • Istri Pilihan Oma   BAB 4

    Tiga hari setelah kejadian di rumah sakit. Langit sore diselimuti awan tipis, menciptakan suasana tenang saat mobil hitam keluarga Arya perlahan berhenti di halaman rumah. Pintu terbuka, dan Tuan Arya turun lebih dulu, lalu bergegas ke sisi kanan mobil, membukakan pintu untuk Oma. Oma menyambut tangan cucunya yang terulur. Meski masih lemah, wajahnya tetap anggun. Arya menggenggam tangan itu dengan hati-hati, membantu sang oma berdiri dan menuntunnya keluar dengan penuh perhatian. “Pelan-pelan, Oma,” ucap Arya lembut. “Aku tidak selemah itu, sayang,” sahut Oma, tersenyum tipis. Arya hanya tersenyum kecil, tetap mendampingi langkah Oma yang sedikit tertatih. Mereka berjalan melewati halaman depan, menuju pintu utama rumah yang sudah lama tak ditinggali Oma. Saat pintu terbuka,udara sunyi menyambut mereka. Tak ada suara dari dapur, tak ada langkah ringan, tak ada suara halus Zahra memanggil ‘Oma’ sambil membawa air minum seperti biasanya. Oma melangkah perlahan ke dalam

  • Istri Pilihan Oma   BAB 3

    Lorong rumah sakit terasa lengang. Cahaya putih dari lampu-lampu di langit-langit memantul di lantai keramik yang mengilap. Langkah kaki Zahra bergema pelan, menyusuri lorong dengan kepala tertunduk. Jemarinya meremas ujung rok panjangnya. Ia berjalan perlahan, mencoba menjauh dari pandangan Tuan Arya dari sorot mata dingin yang entah mengapa terasa lebih menyakitkan daripada kemarahan. Baru beberapa langkah menjauh, suara itu menghentikannya. “Zahra.” Langkahnya terhenti. Bahunya langsung menegang. Belum sempat menoleh, pergelangan tangannya dicengkeram kasar dari belakang. “T- tuan...” suaranya pelan, gugup. Tanpa menjawab, Arya menariknya menjauh dari lorong. Langkahnya besar dan cepat. Zahra hanya bisa mengikuti, menahan sakit di pergelangan tangannya. Mereka berhenti di depan pintu bertuliskan Balkon Darurat. Arya membukanya paksa dan mendorong Zahra ke luar. Udara sore menyambut, namun yang lebih menusuk adalah sorot mata Tuan Arya. “Apa sebenarnya yang kau cari?” su

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status