Tiga hari setelah kejadian di rumah sakit.
Langit sore diselimuti awan tipis, menciptakan suasana tenang saat mobil hitam keluarga Arya perlahan berhenti di halaman rumah. Pintu terbuka, dan Tuan Arya turun lebih dulu, lalu bergegas ke sisi kanan mobil, membukakan pintu untuk Oma. Oma menyambut tangan cucunya yang terulur. Meski masih lemah, wajahnya tetap anggun. Arya menggenggam tangan itu dengan hati-hati, membantu sang oma berdiri dan menuntunnya keluar dengan penuh perhatian. “Pelan-pelan, Oma,” ucap Arya lembut. “Aku tidak selemah itu, sayang,” sahut Oma, tersenyum tipis. Arya hanya tersenyum kecil, tetap mendampingi langkah Oma yang sedikit tertatih. Mereka berjalan melewati halaman depan, menuju pintu utama rumah yang sudah lama tak ditinggali Oma. Saat pintu terbuka,udara sunyi menyambut mereka. Tak ada suara dari dapur, tak ada langkah ringan, tak ada suara halus Zahra memanggil ‘Oma’ sambil membawa air minum seperti biasanya. Oma melangkah perlahan ke dalam. Begitu tiba di ruang tengah, ia berhenti, matanya menelusuri seisi rumah. “Zahra di mana?” tanyanya pelan, nyaris seperti pertanyaan yang mengambang di udara. Arya terdiam sejenak. Tatapannya ikut menyapu sekeliling, lalu kembali menatap Oma. sambil menggelengkan kepala perlahan. Oma tertegun. Wajahnya tak menunjukkan kemarahan, hanya kebingungan yang perlahan berubah menjadi keresahan. “Zahra?” serunya, kali ini lebih lantang. Tidak ada jawaban. Oma menoleh ke kiri dan kanan, langkahnya goyah namun ia berusaha maju beberapa langkah. Suaranya kembali memanggil, kali ini lebih pelan tapi terdengar getir. “Zahra…?” Masih hening. Seisi rumah terasa beku. Tak ada jawaban yang datang dari balik pintu dapur, tak ada langkah kecil yang tergesa muncul dari tangga, tak ada wajah muda yang muncul dari balik lorong dengan senyum dan tangan yang membawa air hangat. “Dia selalu datang saat aku pulang...” gumam Oma, suaranya bergetar. “Dia selalu lari sambil senyum dan bilang, ‘Oma, sudah minum obat?” Tanpa berkata apa-apa, Oma tiba-tiba berbalik arah. Langkahnya cepat meski tertatih, tongkat di tangannya terdengar beradu dengan lantai. Arya tersentak dan segera menyusul. “Oma... mau ke mana?” “Ke kamarnya Zahra,” jawab Oma pelan tapi tegas. Mereka menyusuri lorong sempit menuju bagian belakang rumah. Udara di sana terasa lebih dingin dan hening. Pintu kayu dengan cat yang mulai terkelupas itu masih tertutup rapat. Dengan gemetar, Oma membuka gagangnya perlahan. Pintu kamar terbuka sedikit berdecit. Dan di sanalah kenyataan akhirnya menyapa. Kamar kecil itu rapi... tapi kosong. Tempat tidurnya sudah dirapikan. Tak ada sehelai baju pun yang tergantung di gantungan besi. Meja kecil di sudut ruangan bersih dari barang pribadi. Hanya satu benda yang tersisa di atas bantal: sebuah bros bunga kecil—yang dulu Oma berikan sendiri pada Zahra. Oma terdiam di ambang pintu. Matanya berkaca-kaca, dadanya naik turun. “apa dia pergi?” bisiknya, seolah baru berani mengakui. Arya menatap ruangan itu tanpa bergerak. Perasaan bersalah menamparnya lebih keras dari sebelumnya. Oma melangkah masuk pelan. Ia duduk di tepi ranjang Zahra, memandangi bros bunga itu. Jemarinya menyentuhnya dengan sangat hati-hati. “Dia meninggalkan ini,” gumam Oma. “Tapi dia membawa seluruh hatinya pergi.” Arya berdiri di ambang pintu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Malam harinya. Lampu gantung di atas meja makan menyala redup. Meja panjang dari kayu jati tampak rapi seperti biasa, lengkap dengan peralatan makan, semangkuk sup hangat, dan teh kesukaan Oma. Namun tak ada suara sendok beradu. Tak ada celoteh ringan dari Oma tentang menu malam ini. Tak ada Zahra yang biasanya mondar-mandir, memastikan makanan tersaji sempurna. Yang ada hanya Arya, duduk sendiri di ujung meja. Tangan kirinya menopang dagu, sementara tatapannya tertuju pada pintu kamar di lantai atas yang tetap tertutup sejak sore tadi. Hening menusuk hingga ke dasar hati. Akhirnya, Arya bangkit dari kursinya. Ia mengambil nampan, menata sepiring nasi putih dan sop hangat serta segelas air putih di atasnya. Tanpa banyak suara, ia membawa nampan itu menaiki tangga. Sesampainya di depan kamar Oma, ia mengetuk dua kali. “Oma…” panggilnya lembut. “Arya bawakan makan malam.” Tak ada jawaban. Arya menunggu sejenak. Hening masih menyelimuti. Ia memutar gagang pintu perlahan. Tidak dikunci. Pintu terbuka dengan bunyi lembut. Di dalam, lampu kamar menyala temaram. Tirai belum tertutup, membiarkan cahaya malam dari luar jatuh ke lantai. Oma masih duduk di kursi goyang di sudut ruangan, punggungnya menghadap pintu. Bros bunga kecil yang tadi siang ditemukan di kamar Zahra, kini tersemat di dada bajunya. “Oma…” Arya mendekat perlahan. Ia meletakkan nampan di meja kecil di samping kursi. Oma tidak menoleh. “Aku tahu… Oma sedang tidak ingin bicara,” ucap Arya pelan. “Tapi… setidaknya makanlah sedikit, biar Oma bisa minum obat”Beberapa hari berlalu sejak malam itu. Tuan Arya memang belum pulih sepenuhnya, tapi suhu tubuhnya sudah turun. Meski begitu, rasa lemas masih sering muncul. Selama itu, Zahra hampir tak pernah jauh dari sisinya. Ia yang biasanya canggung, kini sigap menyiapkan bubur hangat, mengganti kompres, menyiapkan obat tepat waktu. Meski lelah, Zahra tetap tersenyum setiap kali Tuan Arya membuka mata. “Mas harus makan sedikit, biar ada tenaga,” ucap Zahra lembut, menyodorkan sendok berisi bubur. “Aku bisa makan sendiri, Zahra.” “Tapi kalau Mas makan sendiri, buburnya paling cuma disentuh. Sudah, buka mulutnya” Arya terdiam, lalu akhirnya menurut. Setiap suapan terasa lebih dari sekadar bubur,ada rasa hangat yang pelan-pelan meresap ke dalam hatinya. Hingga suatu malam, setelah seharian sibuk merawat Arya, Zahra tertidur di sofa kamar. Kepalanya bersandar seadanya, tanpa selimut. Jemari mungilnya masih menggenggam botol obat. Arya yang terbangun karena batuk kecil, menatapnya lama.
zahra menelan ludahnya gugup, wajahnya sudah merah padam. Jemarinya semakin kuat mencengkeram tirai ruang ganti, seolah itu satu-satunya pelindung yang tersisa. “Ma—Mas… jangan bercanda,” suaranya bergetar. “Ini di butik… banyak orang. Nanti ada yang lihat…” tuan Arya menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas pendek. Ia menepuk tirai lembut, kemudian mundur setengah langkah. “Baik. Aku tunggu di luar.” Suaranya kembali tenang, namun senyum di wajahnya masih jelas-jelas membuat pipi Zahra makin panas. Begitu ia benar-benar menjauh, Zahra buru-buru menutup tirai rapat-rapat. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, berusaha menenangkan diri. Setelah selesai memilih beberapa pakaian di butik, tua. Arya masih terus menuntun tangan Zahra. Mereka berkeliling mal, sesekali berhenti di toko lain untuk melihat barang-barang kecil. Zahra sempat beberapa kali mencoba menolak ketika tuan Arya menawarkan sesuatu, tapi laki-laki itu selalu menatapnya dengan tatapan tegas yang membuatnya
Zahra membeku sejenak mendengar kalimat itu. Ajakan suami pada istrinya. Hatinya berdetak lebih cepat, sementara jemari yang masih menggenggam piring terasa kaku. “Su… suami pada istri?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Arya menatapnya, kali ini tidak menghindar. Ada sorot serius sekaligus lembut di matanya. “Ya. Memangnya salah?” Zahra menunduk dalam-dalam, pipinya terasa panas. “Bukan… bukan salah, hanya saja… saya belum terbiasa mendengar Tuan—eh, Arya bicara begitu.” tuan Arya menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Kalau begitu, anggap saja ini… latihan.”“Latihan?” Zahra mengerutkan dahi. “Latihan untuk terbiasa. Aku suamimu, Dan kau… istriku. Kenapa kita harus terus merasa seperti orang asing di bawah atap yang sama?” suara tuan Arya tenang, tapi ada sesuatu yang bergetar di dalamnya. Zahra terdiam, jantungnya makin kacau. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajah yang mulai bersemu merah. “Aku… saya tidak
Setelah selesai menyuapi Tuan Arya, Zahra segera membereskan piring dan sendok, lalu berjalan kembali ke dapur. Saat punggungnya berbalik, Arya menyandarkan tubuh di kursi, menatap punggung Zahra dengan tatapan yang berbeda dari biasanya lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, tapi ia memilih kembali ke laptop, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Malam pun semakin larut. Suara ombak terdengar sayup dari kejauhan, berpadu dengan semilir angin laut yang menyelinap lewat jendela. Lampu-lampu taman memantulkan cahaya lembut di kolam renang, membuat vila terasa tenang. Zahra sudah berada di kamarnya, mencoba memejamkan mata. Namun, rasa haus membuatnya terbangun. Dengan langkah pelan, ia turun ke lantai bawah, niatnya hanya untuk mengambil segelas air putih di dapur. Begitu melewati ruang tamu, langkahnya terhenti. Di sana, Tuan Arya tertidur di kursi, kepalanya sedikit tertunduk di atas tumpukan berkas, laptop masih menyala di hadapannya. Cahaya layar membua
Beberapa hari kemudian, suasana rumah terasa berbeda lebih hidup, lebih hangat. Oma sudah kembali bisa berjalan dengan bantuan tongkat, bahkan sempat bercanda dengan para pembantu rumah. Senyum di wajahnya tak pernah lepas sejak pagi. Di teras, koper-koper sudah tersusun rapi. Tuan Arya berdiri di samping mobil, mengenakan kemeja biru muda dengan lengan yang digulung, sementara Zahra dengan dress sederhana warna pastel sibuk memastikan semua barang bawaan mereka sudah lengkap. “Sayang, hati-hati di jalan, ya,” ucap Oma sambil tersenyum, matanya berkaca-kaca melihat keduanya bersiap pergi. “Nikmati perjalanan kalian. Jangan pikirkan urusan rumah dulu. Dan…” ia berhenti sejenak, menatap mereka bergantian, “semoga perjalanan ini bisa jadi awal yang baru.” Zahra menunduk sopan sambil tersenyum. “Baik, Oma.” Tuan Arya menyalami Oma, lalu memeluknya singkat. “Kami berangkat dulu ya Oma.” Oma mengangguk sambil tersenyum. “Hati-hati di jalan.” Mereka berdua pun berjalan menu
tuan arya terdiam, menundukkan kepala. Kata-kata Oma berputar-putar di kepalanya, menusuk lebih dalam dari yang ia kira. “Oma…” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Arya… nggak pernah berniat nyakitin dia. Cuma… waktu itu Arya.." Oma menghela napas berat. “Itulah masalahnya, Nak. Kamu terlalu sering nggak mikir panjang. Perkataanmu, perbuatanmu… semuanya meninggalkan luka yang nggak selalu bisa diobati hanya dengan minta maaf.” tuan Arya terdiam lagi. Tangannya mengepal di pangkuan. “Kalau kamu mau, Arya…” suara Oma melembut, “kamu masih bisa memperbaiki semuanya. Zahra itu… anak yang penuh sabar. Tapi kesabaran ada batasnya.” tuan Arya menatap Oma, kali ini lebih lama. “baiklah,Arya akan mencobanya” Suara langkah pelan terdengar dari arah pintu. Zahra muncul sambil membawa nampan berisi teh hangat. Aroma wangi melati mengisi ruangan, namun hawa tegang di antara mereka bertiga tetap terasa. “Permisi, Oma…” ucap Zahra pelan, mencoba tersenyum. Oma menyambutnya dengan t