Share

BAB 3

Author: Risyia
last update Last Updated: 2025-07-17 16:37:32

Lorong rumah sakit terasa lengang. Cahaya putih dari lampu-lampu di langit-langit memantul di lantai keramik yang mengilap. Langkah kaki Zahra bergema pelan, menyusuri lorong dengan kepala tertunduk. Jemarinya meremas ujung rok panjangnya. Ia berjalan perlahan, mencoba menjauh dari pandangan Tuan Arya dari sorot mata dingin yang entah mengapa terasa lebih menyakitkan daripada kemarahan.

Baru beberapa langkah menjauh, suara itu menghentikannya.

“Zahra.”

Langkahnya terhenti. Bahunya langsung menegang. Belum sempat menoleh, pergelangan tangannya dicengkeram kasar dari belakang.

“T- tuan...” suaranya pelan, gugup.

Tanpa menjawab, Arya menariknya menjauh dari lorong. Langkahnya besar dan cepat. Zahra hanya bisa mengikuti, menahan sakit di pergelangan tangannya. Mereka berhenti di depan pintu bertuliskan Balkon Darurat. Arya membukanya paksa dan mendorong Zahra ke luar. Udara sore menyambut, namun yang lebih menusuk adalah sorot mata Tuan Arya.

“Apa sebenarnya yang kau cari?” suara Arya terdengar rendah, tapi penuh tekanan. “Kau pikir aku nggak tahu permainanmu?”

Zahra menunduk, tubuhnya mulai gemetar. “Saya… saya nggak mengerti, Tuan…”

“Jangan pura-pura polos,” desis Arya.

“Kau sengaja cari muka di depan Oma, selalu ada di sekelilingnya, pura-pura peduli. Lalu sekarang lihat hasilnya. Oma malah yakin menjodohkan ku denganmu.”

“Saya cuma melakukan tugas saya,” suara Zahra nyaris bergetar. “Saya nggak pernah berpikir sejauh itu…”

“Tugasmu?” Arya menyipitkan mata.

“Tugasmu itu memastikan Oma aman, bukan malah membuat dia jatuh sampai koma!”

Zahra tersentak. Matanya membesar, dadanya sesak.

“Apa Tuan berpikir saya sengaja melakukannya?” ulang Zahra dengan suara bergetar, mencoba menahan air mata yang mulai membendung.

Arya diam. Rahangnya mengeras. Ia tidak langsung menjawab—mungkin karena hatinya pun ragu, tapi egonya tak membiarkan ia mundur.

“Aku hanya tahu satu hal,” kata akhirnya.

“Sejak kau ada di rumah itu, semuanya berubah. Oma jadi terlalu percaya padamu. Sampai-sampai dia lupa mana keluarga dan mana pembantu.”

Zahra menggigit bibirnya. Sakit. Bukan karena genggaman di pergelangan tangannya, tapi karena kata-kata itu. Seolah semua pengorbanannya, semua keikhlasannya, tidak ada artinya.

“Saya memang cuma pembantu, Tuan,” ucapnya pelan, menahan perih. “Tapi saya juga manusia. Saya sayang sama Oma… bukan karena saya punya niat apa-apa, tapi karena beliau orang pertama yang memperlakukan saya seperti keluarga.”

Arya tersentak. Matanya menajam, tapi untuk sesaat ada keraguan di sana.

“Kalau Tuan ingin menyalahkan seseorang karena Oma jatuh… silakan,” lanjut Zahra, suaranya lebih tegas kini.

“Saya nggak akan membela diri. Tapi jangan tuduh saya mencari muka atau memanfaatkan Oma. Saya nggak sejahat itu.”

Angin sore berembus lebih kencang, menyapu helaian rambut Zahra yang tergerai lepas dari sanggulnya yang mulai berantakan. Matanya masih basah, tapi ia menatap Tuan Arya dengan keberanian yang baru saja tumbuh dari rasa sakit.

Arya masih diam. Tubuhnya kaku, tapi pandangannya tidak lagi setajam tadi. Ada pergolakan yang tak ia tunjukkan, namun samar-samar tampak dari cara tangannya mengepal.

Zahra menarik napas panjang. “Kalau Tuan nggak percaya saya, itu hak Tuan,” ucapnya lirih, tapi mantap. “Tapi tolong, jangan seret perasaan Oma dalam amarah Tuan.”

Ucapan itu seperti tamparan. Sorot mata Arya berubah. Kali ini, bukan karena marah. Mungkin karena malu.

Beberapa detik mereka saling diam. Hanya suara gemerisik angin dan denting samar alat medis dari dalam rumah sakit yang terdengar.

“Saya... saya nggak pernah minta dilibatkan dalam hidup keluarga Tuan,” lanjut Zahra, menunduk. “Saya tahu batas saya. Tapi kalau hari ini Oma butuh saya, saya akan tetap ada. Bukan untuk menyenangkan Tuan… tapi karena saya peduli.. "jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan,saya akan pergi"

ucap Zahra yang melangkah pergi tanpa melirik sedikitpun kearah tuan arya

.

.

Sore itu, rumah besar keluarga Arya terasa lebih sunyi dari biasanya. Zahra berdiri di depan gerbang, menatap bangunan megah yang selama ini menjadi tempatnya bekerja. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah masuk.

Ia masuk ke kamar kecil di dekat dapur, tempat ia biasa tinggal. Tanpa suara, ia membuka lemari kayu tua dan mengeluarkan beberapa helai pakaian lusuh yang telah disetrika rapi. Semuanya dimasukkan ke dalam tas kecil berwarna cokelat pudar, tas yang sama saat pertama kali ia datang bekerja di rumah ini.

Setiap gerakan Zahra terasa pelan dan terukur, seolah-olah waktu sengaja diperlambat agar momen ini tak cepat berlalu. Tangannya sempat berhenti saat melihat bros bunga kecil yang pernah diberikan Oma padanya.

Udara di kamar itu terasa berat. Zahra duduk sebentar di tepi ranjang, menatap dinding putih yang dingin dan hampa. Ia tidak menangis. Ia hanya diam, tapi di dalam dadanya, badai sudah lama mengamuk.

Setelah memastikan semuanya tertata, Zahra membawa tas kecilnya dan melangkah menuju pintu belakang. Namun sebelum keluar, ia sempat melirik ke arah lorong panjang yang mengarah ke ruang utama. Di ujung sana, ia bisa melihat bayangan tangga tempat ia sering berdiri saat menunggu perintah Oma. Tempat itu kini hanya menyisakan kenangan.

“Terima kasih, semuanya...” gumamnya lirih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Pilihan Oma   BAB 21

    Beberapa hari berlalu sejak malam itu. Tuan Arya memang belum pulih sepenuhnya, tapi suhu tubuhnya sudah turun. Meski begitu, rasa lemas masih sering muncul. Selama itu, Zahra hampir tak pernah jauh dari sisinya. Ia yang biasanya canggung, kini sigap menyiapkan bubur hangat, mengganti kompres, menyiapkan obat tepat waktu. Meski lelah, Zahra tetap tersenyum setiap kali Tuan Arya membuka mata. “Mas harus makan sedikit, biar ada tenaga,” ucap Zahra lembut, menyodorkan sendok berisi bubur. “Aku bisa makan sendiri, Zahra.” “Tapi kalau Mas makan sendiri, buburnya paling cuma disentuh. Sudah, buka mulutnya” Arya terdiam, lalu akhirnya menurut. Setiap suapan terasa lebih dari sekadar bubur,ada rasa hangat yang pelan-pelan meresap ke dalam hatinya. Hingga suatu malam, setelah seharian sibuk merawat Arya, Zahra tertidur di sofa kamar. Kepalanya bersandar seadanya, tanpa selimut. Jemari mungilnya masih menggenggam botol obat. Arya yang terbangun karena batuk kecil, menatapnya lama.

  • Istri Pilihan Oma   BAB 20

    zahra menelan ludahnya gugup, wajahnya sudah merah padam. Jemarinya semakin kuat mencengkeram tirai ruang ganti, seolah itu satu-satunya pelindung yang tersisa. “Ma—Mas… jangan bercanda,” suaranya bergetar. “Ini di butik… banyak orang. Nanti ada yang lihat…” tuan Arya menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas pendek. Ia menepuk tirai lembut, kemudian mundur setengah langkah. “Baik. Aku tunggu di luar.” Suaranya kembali tenang, namun senyum di wajahnya masih jelas-jelas membuat pipi Zahra makin panas. Begitu ia benar-benar menjauh, Zahra buru-buru menutup tirai rapat-rapat. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, berusaha menenangkan diri. Setelah selesai memilih beberapa pakaian di butik, tua. Arya masih terus menuntun tangan Zahra. Mereka berkeliling mal, sesekali berhenti di toko lain untuk melihat barang-barang kecil. Zahra sempat beberapa kali mencoba menolak ketika tuan Arya menawarkan sesuatu, tapi laki-laki itu selalu menatapnya dengan tatapan tegas yang membuatnya

  • Istri Pilihan Oma   BAB 19

    Zahra membeku sejenak mendengar kalimat itu. Ajakan suami pada istrinya. Hatinya berdetak lebih cepat, sementara jemari yang masih menggenggam piring terasa kaku. “Su… suami pada istri?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Arya menatapnya, kali ini tidak menghindar. Ada sorot serius sekaligus lembut di matanya. “Ya. Memangnya salah?” Zahra menunduk dalam-dalam, pipinya terasa panas. “Bukan… bukan salah, hanya saja… saya belum terbiasa mendengar Tuan—eh, Arya bicara begitu.” tuan Arya menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Kalau begitu, anggap saja ini… latihan.”“Latihan?” Zahra mengerutkan dahi. “Latihan untuk terbiasa. Aku suamimu, Dan kau… istriku. Kenapa kita harus terus merasa seperti orang asing di bawah atap yang sama?” suara tuan Arya tenang, tapi ada sesuatu yang bergetar di dalamnya. Zahra terdiam, jantungnya makin kacau. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajah yang mulai bersemu merah. “Aku… saya tidak

  • Istri Pilihan Oma   BAB 18

    Setelah selesai menyuapi Tuan Arya, Zahra segera membereskan piring dan sendok, lalu berjalan kembali ke dapur. Saat punggungnya berbalik, Arya menyandarkan tubuh di kursi, menatap punggung Zahra dengan tatapan yang berbeda dari biasanya lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, tapi ia memilih kembali ke laptop, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Malam pun semakin larut. Suara ombak terdengar sayup dari kejauhan, berpadu dengan semilir angin laut yang menyelinap lewat jendela. Lampu-lampu taman memantulkan cahaya lembut di kolam renang, membuat vila terasa tenang. Zahra sudah berada di kamarnya, mencoba memejamkan mata. Namun, rasa haus membuatnya terbangun. Dengan langkah pelan, ia turun ke lantai bawah, niatnya hanya untuk mengambil segelas air putih di dapur. Begitu melewati ruang tamu, langkahnya terhenti. Di sana, Tuan Arya tertidur di kursi, kepalanya sedikit tertunduk di atas tumpukan berkas, laptop masih menyala di hadapannya. Cahaya layar membua

  • Istri Pilihan Oma   BAB 17

    Beberapa hari kemudian, suasana rumah terasa berbeda lebih hidup, lebih hangat. Oma sudah kembali bisa berjalan dengan bantuan tongkat, bahkan sempat bercanda dengan para pembantu rumah. Senyum di wajahnya tak pernah lepas sejak pagi. Di teras, koper-koper sudah tersusun rapi. Tuan Arya berdiri di samping mobil, mengenakan kemeja biru muda dengan lengan yang digulung, sementara Zahra dengan dress sederhana warna pastel sibuk memastikan semua barang bawaan mereka sudah lengkap. “Sayang, hati-hati di jalan, ya,” ucap Oma sambil tersenyum, matanya berkaca-kaca melihat keduanya bersiap pergi. “Nikmati perjalanan kalian. Jangan pikirkan urusan rumah dulu. Dan…” ia berhenti sejenak, menatap mereka bergantian, “semoga perjalanan ini bisa jadi awal yang baru.” Zahra menunduk sopan sambil tersenyum. “Baik, Oma.” Tuan Arya menyalami Oma, lalu memeluknya singkat. “Kami berangkat dulu ya Oma.” Oma mengangguk sambil tersenyum. “Hati-hati di jalan.” Mereka berdua pun berjalan menu

  • Istri Pilihan Oma   BAB 16

    tuan arya terdiam, menundukkan kepala. Kata-kata Oma berputar-putar di kepalanya, menusuk lebih dalam dari yang ia kira. “Oma…” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Arya… nggak pernah berniat nyakitin dia. Cuma… waktu itu Arya.." Oma menghela napas berat. “Itulah masalahnya, Nak. Kamu terlalu sering nggak mikir panjang. Perkataanmu, perbuatanmu… semuanya meninggalkan luka yang nggak selalu bisa diobati hanya dengan minta maaf.” tuan Arya terdiam lagi. Tangannya mengepal di pangkuan. “Kalau kamu mau, Arya…” suara Oma melembut, “kamu masih bisa memperbaiki semuanya. Zahra itu… anak yang penuh sabar. Tapi kesabaran ada batasnya.” tuan Arya menatap Oma, kali ini lebih lama. “baiklah,Arya akan mencobanya” Suara langkah pelan terdengar dari arah pintu. Zahra muncul sambil membawa nampan berisi teh hangat. Aroma wangi melati mengisi ruangan, namun hawa tegang di antara mereka bertiga tetap terasa. “Permisi, Oma…” ucap Zahra pelan, mencoba tersenyum. Oma menyambutnya dengan t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status