Share

BAB 5

Penulis: Risyia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-19 15:28:12

Tuan Arya melangkah mundur perlahan dari ambang pintu. Ia mengusap wajahnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Sorot matanya mengeras.

"Aku harus cari dia."

Tanpa ragu, ia segera berbalik arah dan menuruni tangga dengan langkah yang tergesa.

ia tau kemana perginya Zahra,dengan penuh keyakinan ia pun menancap gas mobilnya dengan kelakuan penuh.

Sesampainya di depan pintu kamar Zahra—

Tok! Tok! Tok! Tok!

Ketukan keras itu menggema di lorong sempit. Dinding tipis memantulkan suara. Beberapa pintu kamar lain berderit dibuka. Beberapa kepala mengintip, penasaran melihat siapa yang menggedor pintu malam-malam begini.

Tuan Arya tak peduli. Matanya fokus pada satu pintu di depannya.

“Zahra!” serunya lantang.

Tidak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi, lebih keras.

Tok! Tok! Tok!

“Zahra! Buka pintunya! Ini aku, Arya!”

Masih sunyi.

Arya mendekatkan wajah ke daun pintu, suaranya lebih dalam dan tajam.

“Kalau kamu tidak membukakan pintu malam ini, aku akan terus berdiri di sini sampai pagi. Dan aku bersumpah... aku bisa lebih keras dari ini.”

Beberapa detik yang terasa seperti selamanya terlewati.

Lalu terdengar suara lirih dari balik pintu. Bunyi kunci diputar pelan.

Klik.

Pintu terbuka sedikit. Hanya cukup untuk menampakkan setengah wajah Zahra.

Wajah itu tampak lelah. Mata sembab, rambut berantakan. Ia mengenakan kaus lengan panjang longgar dan celana training tipis. Tanpa senyum.

“Tuan Arya?” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Mata mereka bertemu.

Dalam sepersekian detik, dunia di sekitar mereka terasa membeku.

Tanpa menjawab, Tuan Arya langsung berkata tegas, “Cepat kemasi semua pakaianmu!”

Zahra mengerutkan alis.

“Tapi... untuk apa, Tuan?”

Tuan Arya menatapnya tajam, rahangnya mengeras.

“Karena mulai malam ini, kau tinggal di rumahku. Bukan sebagai pembantu. Tapi sebagai calon istri yang sudah Oma pilih dan sekarang aku sendiri yang memintanya.”

Zahra membelalak. “A-apa?”

“Cepat kemasi barangmu” ulang Arya, suaranya serak namun mantap.

Ia terdiam sejenak. Menunduk. Menahan emosi yang mendesak di dadanya.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Tuan Arya langsung menarik tangan Zahra. Sentuhannya tegas, tapi tidak kasar. Zahra terkejut, namun tak melawan. Langkah mereka tergesa menuruni tangga, melewati lorong sempit yang masih disaksikan beberapa pasang mata penasaran.

Begitu tiba di mobil, Arya membukakan pintu depan. Zahra masih diam, matanya menatap lelaki itu dalam kebingungan yang belum sempat terucap.

Perjalanan pulang terasa panjang dan hening. Tak ada percakapan. Hanya suara mesin dan sesekali desah napas yang tertahan.

Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di halaman rumah besar keluarga Arya.

Tanpa menunggu, Arya keluar lalu membuka pintu untuk Zahra. Ia menuntunnya masuk.

Langkah mereka menyusuri ruang tamu hingga ke arah kamar Oma.

Begitu pintu kamar dibuka perlahan

"Zahra...?" suara lemah itu terdengar lirih dari ranjang.

Zahra langsung menoleh. Matanya membelalak.

“Oma…” bisiknya dengan suara bergetar.

Tatapan keriputnya tampak lebih hidup. Dan ketika ia melihat Zahra berdiri di ambang pintu, tubuh kecilnya perlahan terangkat, mencoba duduk.

“Zahra sayang…” ucapnya pelan tapi penuh perasaan.

Zahra spontan melangkah maju. “Oma, saya di sini…”

Dengan gerakan refleks yang penuh rindu, Oma mengulurkan kedua tangannya.

Zahra segera membungkuk dan memeluk nenek tua itu erat-erat. Air matanya langsung jatuh membasahi bahu Oma.

“Maafkan saya, Oma… saya tidak berpamitan dengan oma” isaknya tertahan.

Oma mengelus kepala Zahra dengan lembut. “Sudah... sudah… kamu pulang. Itu sudah cukup, Zahra. Terima kasih…”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Pilihan Oma   8

    Suasana berubah hening. Semua tamu duduk dengan khidmat. Penghulu membuka acara dengan singkat, lalu meminta Arya untuk mengucapkan ijab kabul. Zahra menunduk, menahan napas. Tangannya dingin, bahkan saat menggenggam kain gaun. Tanpa banyak kata, Arya menjawab dengan suara dalam dan tenang: “Saya terima nikahnya Zahra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Sejenak sunyi. Lalu terdengar gumaman “sah” dari para saksi. Beberapa tamu mengusap mata haru. Begitupun dengan Oma yang tersenyum lega dan penuh syukur. Zahra tidak berkata apa-apa. Tapi di dalam dadanya, sesuatu terasa mengikat. Bukan hanya janji suci… tapi juga kenyataan yang belum siap ia genggam sepenuhnya. Pesta berlangsung megah. Musik lembut mengalun, aroma bunga memenuhi udara. Para tamu silih berganti naik ke pelaminan, mengucapkan selamat dan doa. Zahra duduk di samping Arya. Ia tersenyum, menunduk sopan pada setiap tamu. Tapi dalam hati, ia masih merasa asing. Semua ini seperti mimpi atau justru drama

  • Istri Pilihan Oma   BAB 7

    Tiga Hari Kemudian Hari Pernikahan Gedung pernikahan mewah di jantung kota, dipenuhi cahaya dan bunga. Tirai putih mengalun lembut, aroma melati dan mawar memenuhi udara. Undangan berdatangan, sebagian besar keluarga besar dan rekan bisnis Nyonya Ratna. Namun hari ini, ada satu pertanyaan yang bergulir lirih di antara bisik-bisik tamu: “Siapa Zahra? Kenapa begitu tertutup kisahnya?” Di ruang rias pengantin wanita, Zahra duduk diam di hadapan cermin besar. Gaun putih panjang menghiasi tubuh mungilnya potongan sederhana, tapi elegan. Rambut hitamnya disanggul rapi dengan hiasan bunga melati segar. Hanya anting kecil di telinganya. Wajahnya dipoles lembut oleh perias, tapi sorot matanya tetap… kosong. Zahra menatap pantulan dirinya dalam cermin. Siapa perempuan di depannya ini? Ia bahkan nyaris tak mengenal sosok itu. Ketukan pelan terdengar di pintu. Oma masuk dengan langkah hati-hati. Kebaya navy membalut tubuhnya anggun. Senyumnya hangat saat melihat Zahra. “Kamu c

  • Istri Pilihan Oma   BAB 6

    Tuan Arya berdiri terpaku di ambang pintu. Matanya tak lepas dari pelukan antara Zahra dan Oma. Untuk pertama kalinya setelah sekian hari penuh ketegangan, ia melihat senyum kembali menghiasi wajah Oma—senyum tulus yang nyaris tak pernah ia lihat sejak wanita tua itu terbaring lemah. Senyum itu pula yang membuat dada Arya terasa hangat.Tanpa sadar, sudut bibirnya ikut terangkat. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Bukan senyum kemenangan—melainkan kelegaan. Keputusan impulsifnya malam ini… ternyata tidak salah.Ia melangkah mundur perlahan, membiarkan Zahra dan Oma menikmati waktu mereka. Lalu menutup pintu kamar dengan hati-hati, tanpa suara. Ia berdiri sejenak di depan pintu, menarik napas panjang, dan mengusap wajahnya yang lelah. Ia menarik napas dalam, lalu merogoh ponsel dari saku celana. Setelah menelusuri daftar kontak, jarinya berhenti di satu nama. Ia menekan tombol hijau. Tak lama kemudian, suara dari seberang menyahut, "hallo,ada apa bro malem malem beg

  • Istri Pilihan Oma   BAB 5

    Tuan Arya melangkah mundur perlahan dari ambang pintu. Ia mengusap wajahnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Sorot matanya mengeras."Aku harus cari dia."Tanpa ragu, ia segera berbalik arah dan menuruni tangga dengan langkah yang tergesa. ia tau kemana perginya Zahra,dengan penuh keyakinan ia pun menancap gas mobilnya dengan kelakuan penuh. Sesampainya di depan pintu kamar Zahra— Tok! Tok! Tok! Tok! Ketukan keras itu menggema di lorong sempit. Dinding tipis memantulkan suara. Beberapa pintu kamar lain berderit dibuka. Beberapa kepala mengintip, penasaran melihat siapa yang menggedor pintu malam-malam begini. Tuan Arya tak peduli. Matanya fokus pada satu pintu di depannya. “Zahra!” serunya lantang. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih keras. Tok! Tok! Tok! “Zahra! Buka pintunya! Ini aku, Arya!” Masih sunyi. Arya mendekatkan wajah ke daun pintu, suaranya lebih dalam dan tajam. “Kalau kamu tidak membukakan pintu malam ini, aku akan terus berdiri di sini sampai

  • Istri Pilihan Oma   BAB 4

    Tiga hari setelah kejadian di rumah sakit. Langit sore diselimuti awan tipis, menciptakan suasana tenang saat mobil hitam keluarga Arya perlahan berhenti di halaman rumah. Pintu terbuka, dan Tuan Arya turun lebih dulu, lalu bergegas ke sisi kanan mobil, membukakan pintu untuk Oma. Oma menyambut tangan cucunya yang terulur. Meski masih lemah, wajahnya tetap anggun. Arya menggenggam tangan itu dengan hati-hati, membantu sang oma berdiri dan menuntunnya keluar dengan penuh perhatian. “Pelan-pelan, Oma,” ucap Arya lembut. “Aku tidak selemah itu, sayang,” sahut Oma, tersenyum tipis. Arya hanya tersenyum kecil, tetap mendampingi langkah Oma yang sedikit tertatih. Mereka berjalan melewati halaman depan, menuju pintu utama rumah yang sudah lama tak ditinggali Oma. Saat pintu terbuka,udara sunyi menyambut mereka. Tak ada suara dari dapur, tak ada langkah ringan, tak ada suara halus Zahra memanggil ‘Oma’ sambil membawa air minum seperti biasanya. Oma melangkah perlahan ke dalam

  • Istri Pilihan Oma   BAB 3

    Lorong rumah sakit terasa lengang. Cahaya putih dari lampu-lampu di langit-langit memantul di lantai keramik yang mengilap. Langkah kaki Zahra bergema pelan, menyusuri lorong dengan kepala tertunduk. Jemarinya meremas ujung rok panjangnya. Ia berjalan perlahan, mencoba menjauh dari pandangan Tuan Arya dari sorot mata dingin yang entah mengapa terasa lebih menyakitkan daripada kemarahan. Baru beberapa langkah menjauh, suara itu menghentikannya. “Zahra.” Langkahnya terhenti. Bahunya langsung menegang. Belum sempat menoleh, pergelangan tangannya dicengkeram kasar dari belakang. “T- tuan...” suaranya pelan, gugup. Tanpa menjawab, Arya menariknya menjauh dari lorong. Langkahnya besar dan cepat. Zahra hanya bisa mengikuti, menahan sakit di pergelangan tangannya. Mereka berhenti di depan pintu bertuliskan Balkon Darurat. Arya membukanya paksa dan mendorong Zahra ke luar. Udara sore menyambut, namun yang lebih menusuk adalah sorot mata Tuan Arya. “Apa sebenarnya yang kau cari?” su

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status