Share

Bab 3

Angin sepoi-sepoi mengiringi kepergian kami. Hembusan angin juga nampak membelai lembut rambut panjang Luna yang diikat ke belakang. Penampilannya sederhana dengan make up tipis dan poni yang disisir menyamping, tetap saja tak membuatku terpesona.

Aku sengaja membukakan pintu mobil untuknya, karena menyadari tatapan mata mama yang masih memperhatikan kami. Kulakukan ini karena malas akan mendengar siraman rohani dari mama bila tidak memperlakukan calon menantu kesayangannya dengan baik. Meski semua sikap baik ini penuh kepalsuan dan kepura-puraan, tetap saja ada rasa emosi dan kesal dalam dada karena biasanya para wanita yang seharusnya memanjakanku.

Perlahan, mobil yang ku kendarai bergerak menjauh meninggalkan rumah. Kulirik, gadis ini masih diam dan menatap keluar jendela, seakan-akan aku adalah sopir pribadinya.

Aku membiarkannya saja, sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku sengaja fokus menyetir tak mengajaknya bicara. Lagipula, aku tak tahu apa yang bisa dibicarakan dengan gadis belasan tahun seperti dirinya.

Ponselku tiba tiba bergetar, ku pelan kan sedikit kecepatan mobil sambil mengambil ponsel yang berada di saku celana. Kulirik ada panggilan telepon dari Agung, teman baik semasa kuliah dulu.

"Ada apa? Cepetan ngomong, lagi nyetir nih," ujarku langsung tanpa salam.

"Ok, maaf aku lupa, untung saja kau menelepon, bro," jawabku sambil menoleh pada Luna, lalu menutup teleponnya.

Aku membawa mobilku menuju ke arah sebuah mall. Dalam pembicaraan telepon tadi, Agung mengingatkan jika hari ini ada reuni kecil di sebuah cafe milik salah seorang teman mereka yang baru saja dibuka. Akan ada banyak teman teman lain yang hadir. Termasuk Ayu, Sang primadona kampus dulu.

Entah ini karena nasib baik atau karena keberuntungan sedang berpihak padaku. Yang Jelas aku berterima kasih padanya karena telah mengingatkanku. Jujur, aku lupa jika siang ini ada acara pertemuan teman teman semasa kuliah dulu sekaligus juga ajang promosi cafe baru seorang teman.

Aku melirik pada Luna. Ah, tak mungkin kubawa dia kesana. Penampilannya yang begitu khas remaja. Ditambah wajahnya yang biasa saja tanpa polesan makeup. Membuatku berpikir ratusan, ah tidak ribuan kali untuk mengajaknya kesana. Apalagi katanya Ayu juga akan hadir disana, bisa hancur reputasiku sebagai pria tampan penakluk wanita.

Tidak, Luna tak boleh terlihat bersamaku. Jika mereka sampai tahu bahwa gadis belasan tahun ini adalah calon istriku. Bisa habis semua reputasi yang selalu kubanggakan selama ini, tentunya menjatuhkan wibawaku sebagai calon suami impian para wanita.

Benar sekali.

Secepatnya, aku harus menyingkirkan Luna terlebih dahulu, tapi kemana aku harus meninggalkannya?

"Emm ... Luna!?"

"I-iya, Om," jawabnya pelan, tanpa menoleh.

Eh busyet deh, nih anak manggil Om? Dikira aku sudah setua itu, sampe dipanggil Om. Tak tahukah dia jika Reshwara yang tampan dan mapan ini begitu menawan? Masa pria semenawan diriku terlihat seperti seorang Om-om?

Aku bergidik sendiri.

Tidak! Jangan-jangan, saat ini dia sedang menyamakanku dengan pria beristri dengan perut buncit yang berkeliaran sambil menggandeng Sugar baby nya itu? Tuhan, mengapa kau membiarkan ketidak-adilan ini terjadi padaku yang berwajah tampan ini.

Aku berdecak sebal, mengeluh dalam hati, lalu kemudian meliriknya sekilas yang masih memandangku penuh tanya, sesaat melihat bola matanya yang besar mengerjab, membuatku seakan terhipnotis oleh iris mata yang kecokelatan. Tapi, maaf ya, aku terpaksa melakukannya. Jangan berpikir aku tega kerena aku tak ingin malu dan menjadikanku bahan gurauan jika kupaksakan diri untuk mengajaknya ke acara tersebut.

"Jangan panggil aku Om. Panggil saja kakak, mas, abang, atau apalah, yang penting jangan Om. Aku belum setua itu," protesku dengan nada kesal.

"Maaf, aku tak tahu harus manggil apa? Habisnya aku takut kalau harus manggil mas, takut Om marah," ujarnya. Entah karena takut seperti ucapannya, atau sengaja ingin mengejekku karena perbedaan usia kami yang memang terpaut cukup jauh.

"Jangan panggil Om,"" ulangku ketus.

"Maaf," kulihat ia menunduk begitu selesai mengucap kata 'sakti' itu.

"Sudahlah, dengarkan aku, mendadak aku ingat jika ada janji mau ketemu temen siang ini. Kau jalan jalan sendiri saja. Aku akan menurunkanmu di mall itu," Ucapku sambil menunjuk ke bangunan megah sebuah mall di sisi kirinya.

"Terserah kau mau belanja, makan atau nonton. Pokoknya dua jam lagi, aku akan menjemputmu di sana." Aku menunjuk kearah halte bus yang ada diseberang jalan, yang tak jauh dari mall yang tadi kutunjuk.

"Kau tak apa apa kan jika kutinggal dan jalan jalan sendiri?" Aku meninggikan suara. Mencoba mengintimidasinya.

"Iya Om, eh, Mas," Ucapnya pelan lalu memalingkan wajahnya.

"Bagus, kau memang gadis pintar. Kuharap dua jam lagi kau sudah ada di sana saat aku menjemputmu. Ini ambil untuk jajan di sana, beli apapun yang kau mau," Ucapku setengah mengancam sambil memberikan kartu debitku ke tangannya.

"Tak usah, mas. Aku punya uang," tolaknya.

"Sudah ambil saja, PINnya 222280," aku memaksanya.

Akhirnya Ia mengangguk lalu keluar begitu mobil ini berhenti didepan mall yang tadi kumaksud. Langkahnya gontai sambil menyandang Sling bag di bahunya. Benar benar penampilan gadis remaja yang membosankan.

Setelah menurunkan Luna, aku kembali mengendarai mobilku menuju ke cafe yang tadi disebutkan Agung. Tak begitu jauh, hanya sekitar dua puluh menit saja dari mall ini. Begitu sampai di sana, kulihat sudah ada beberapa orang teman lainnya yang sudah lebih dulu tiba.

"Hai bro, tambah keren aja sekarang?" sapa Alex berbasa-basi. Salah seorang temanku, pemuda blasteran yang pernah begitu tergila-gila pada Stella, kakak tingkat kami di kampus dulu.

"Apa kabar bro?" Sahutku membalas.

Kami berbincang sejenak dan bertukar kabar. Sudah ada sepuluh orang yang hadir disini, Beberapa diantaranya kulihat datang membawa pasangan yang juga serasi dengan kelas dan wibawa mereka. Ah, untung saja Luna sudah kuturunkan di mall tadi. Andai aku datang membawanya. Siap-siap saja menjadi bahan ejekan dan olok-olokan mereka.

"Masih jalan sama model itu, bos?"

"Maksudnya, Saskia?" tanyaku balik memastikan.

"Yoi, memang selain dia, jalan sama siapa lagi?" Katanya menegaskan.

"Masih lah," ucapku bangga.

"Enak ya, pria mapan macam kau bisa dengan mudah dapat cewek manapun." Kali ini si Andreas yang bicara, tentu saja dengan logat Bataknya yang begitu khas itu.

"Macam tak tahu pulak lah kau, By the way, selamat ya atas pembukaan cafe mu ini," sahutku sombong sambil mengangkat wajah. Membalas ucapannya.

"Ah, usaha cafe ini tak sebanding dengan bisnis keluargamu itu," balasnya merendah.

Sudut bibirku melengkung tipis saat mendengarnya. Iyalah, secara seorang Reshwara yang tampan dan mapan. Tentu saja mudah memikat hati wanita manapun. Jangankan seorang wanita macam Saskia, Seorang Reshwara mampu menaklukkan hati wanita manapun yang disukainya.

Aku merasa di atas angin, ketika melihat tatapan kekaguman dari Andreas. Yah, yang kutahu Jika penampilan istrinya tak begitu menarik, apalagi beberapa bulan lalu saat kami tak sengaja bertemu disebuah acara, kulihat bodi istrinya begitu lebar karena tabungan lemak yang bertimbun di tubuhnya.

Pembicaraan kami terjeda sejenak ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti. Hampir semua pandangan mata berpaling menatap padanya, tampak di sana, sosok sang primadona kampus dulu tengah berjalan menghampiri kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status