Share

Bab 4 - Memulai Peran?

Kirana terdiam sejenak. Ia terlihat berpikir.

“Selebihnya, nanti kamu tanyakan pada Tuan Dzaka harusnya kamu bagaimana dan seperti apa. Termasuk nominal pembayaran, diskusikan sendiri dengannya, karena aku tidak punya hak lebih dari ini.”

Kirana mengangguk paham dan memutuskan untuk berpikir terlebih dahulu. Dia akan menghubungi Fikri jika sudah menemukan jawabannya.

***
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.05 dini hari, tetapi matanya masih enggan untuk terpejam.

Rasa bersalah kepada orang tuanya kian mencekik batin.

Pertemuannya kembali dengan sosok dari masa lalu membuat Kirana seakan tak bisa menepis rindu dan kenyataan untuk tak bersama.

Rasa cinta itu utuh dalam kalbu. Kirana menyadari bahwa hal itulah yang menjadi ketakutan sang ibu beberapa waktu lalu saat dirinya pamit ke Jakarta.

Dua tahun sudah berlalu, semenjak kejadian dirinya dimarahi habis-habisan karena ketahuan orang tua tengah menjalin hubungan dengan pria beda agama sewaktu Rey datang ke Makassar membawa niat untuk melamarnya.

Setelahnya, Kirana masih sempat menemui Rey tanpa sepengetahuan orang tuanya. Pertemuan waktu itu, dengan niat untuk mengakhiri semuanya dengan baik-baik. Saat Arman meninggal, Rey mendapat kabar dari grup alumni kampusnya sehingga ia tak segan memutuskan untuk langsung datang ke Makassar. Kala itu, ia datang sebagai teman agar tak memperkeruh suasana duka yang tercipta di rumah gadis pujaannya. Pertemuan itulah yang menjadi pertemuan terakhir Kirana dengannya.

Bisa dibilang bahwa Kirana memang seamiin dengan pria yang berhasil memberikan rasa nyaman kala berada di sisinya, pria yang sangat menjaganya sebagai perempuan, pria yang sangat menghargai dan menghormatinya sebagai muslim, sayangnya karena iman mereka berbeda sehingga menjadi penghalang restu untuk menyatu.

Jujur, sampai saat ini Kirana belum bisa melepas bayang-bayang mantan kekasihnya. Meskipun, dia sudah berusaha keras untuk menjauhi orang yang dikenalnya sejak lima tahun yang lalu demi iman islamnya sekaligus memenuhi permintaan terakhir Arman yang meninggal tiga bulan lalu.

Kini, Kirana terpaku dalam keheningan. Merenungi cinta yang disadari tidak seharusnya ada dalam hatinya. Tangisnya perlahan mulai membuncah tatkala mengingat ia belum bisa memenuhi permintaan terakhir bapaknya. Kirana terisak pilu, duduk memeluk lutut yang menghadap jendela. Sesekali, dia menyembunyikan wajah di antara lutut, sembari terus menangis.

“Nana, kamu kenapa?” tanya Wulan yang sudah berdiri di samping Kirana.

Tanpa menoleh sekalipun, Kirana sudah tahu siapa pemilik suara dan panggilan itu. Hanya satu orang yang memanggilnya begitu. Sepersekian detik, ia menoleh dan segera menghapus air matanya. Perasaannya yang acak adut membawa dirinya memeluk surganya itu. Dipikir suasana hatinya akan membaik setelah memeluk ibu, tetapi ternyata tidak. Sebongkah daging itu cukup lemah, ia kembali terisak dalam dekapan bidadari tanpa sayapnya.

“Maafkan Nana, Bu. Sejujurnya, aku belum bisa memenuhi permintaan bapak. Aku … belum bisa melupakannya, Bu. Belum bisa,” ucapnya bergetar disertai isak tangis.

Wulan menepuk-nepuk punggung putrinya yang duduk sambil memeluk perutnya itu. Dia bahkan bisa merasakan kepedihan hati yang dialami Kirana. Terbukti, kala tubuhnya terguncang hebat akibat tangisan. Melupakan memang bukan perkara mudah. Wulan paham, tapi ia juga tidak bisa membenarkan dan mengizinkan Kirana untuk kembali menjalin hubungan dengannya yang berbeda iman. Sejatinya, dia tidak tega melihat Kirana tersiksa batin, tetapi juga tidak rela melihat putrinya kembali terjerumus ke dalam jurang kekafiran. Bagaimanapun juga, tidak ada toleransi untuk cinta berbeda imam. Agama pun jelas melarang perempuan muslim tidak boleh menikahi laki-laki bukan muslim sebelum memutuskan untuk menjadi muslim.

“Pelan-pelan, Nak. Kamu akan bisa, pasti bisa. InsyaAllah, Ibu yakin,” ujarnya terus menenangkan Kirana.

“Ingat kata bapak, ‘Kalau semua ini adalah ujian. Tidak ada orang yang diuji bila ia dinilai tidak pantas untuk diuji. Ujian itu selalu datang kepada hamba-Nya yang beriman. Jika mampu melewati fase itu, berarti kita sudah lulus ujian. Tentunya, bukan hanya pahala atau kebaikan yang didapat, tapi juga pengalaman hidup yang berarti,’ dan insyaAllah, setelah ini kamu akan dapat yang lebih baik,” tutur Wulan.

Perlahan, Kirana mengembuskan napas pelan. Dia mulai merasa sedikit lega. Bersama dengan itu, ia juga mulai mengendurkan pelukannya dari sang ibu, juga membersihkan wajahnya dari bekas tangis.

“Oh, ya, Bu. Nana sekaligus mau izin dan pamit kembali ke Jakarta, Bu. Aku diterima kerja di sebuah perusahaan di sana. InsyaAllah ke depannya bisa membantu Ibu membiayai pendidikannya Farhan ke perguruan tinggi, membantu ibu untuk melunasi utang-utang keluarga kita pada Paman Rahmat, juga akan terus mengusahakan agar pengobatan Kak Jihan tidak pernah putus.”

“Kok kamu tidak pernah cerita kalau lagi melamar kerja di perusahaan? Perusahaan apa?” Seenggaknya, mata sayu itu menelisik penasaran dan sedikit menyiratkan kekhawatiran.

Kirana mengembuskan napas berat. Dia tidak akan bilang kalau akan bekerja di perusahaan furniture. Kalau ia mengatakan yang sebenarnya, ibunya pasti tidak mengizinkan. Menilik, masih ada trauma kehilangan bapak yang meninggal karena kecelakaan kerja di perusahaan furniture. Sebenarnya, Kirana pun demikian, masih trauma. Namun, tidak ada pilihan lain. Dia butuh pekerjaan itu. Terlebih, ibunya sudah semakin berumur. Sudah waktunya untuk tidak terlalu lelah bekerja menunjang hidup. Sementara, masih ada adik yang harus mengejar masa depannya, juga ada kakak yang juga masih harus mengejar masa depan yang tertunda.

Kirana ikhlas dan rela jika harus menggantikan posisi bapaknya sebagai tulang punggung keluarga. Membantu ibunya.

“Ya … perusahaan besar. Nanti Ibu tau. Pokoknya Ibu tenang, karena aku pastikan semua akan baik-baik saja.”

“Ada Rey di sana?” tanya Wulan. Raut wajahnya seketika langsung berubah.

“Pasti, Bu. Rey kan orang sana.”

Wulan mengangguk-angguk. Sirat kecemasan terlihat jelas di ceruk wajahnya. Tentu, Kirana sangat paham apa yang menjadi kekhawatiran ibunya itu.

“Kami sudah selesai, Bu. Meskipun Nana belum sepenuhnya bisa melupakannya, tapi Nana tidak ingin terjerumus ke lubang yang sama untuk yang kedua kali. Tolong, selalu diingatkan ya, Bu.”

Wulan membalas dengan anggukan. Lantas, kembali memeluk putrinya seolah memberi sebuah kekuatan agar bisa tetap istikamah di jalan-Nya dan senantiasa ikhlas dengan apa yang telah dan akan dilaluinya.

*******

Setelah mengingat masa lalu yang menyedihkan, ia memikirkan permintaan aneh Fikri. Entah apa yang merasukinya, sampai memutuskan untuk menerima pekerjaan aneh tersebut. Padahal,  gadis 150 cm itu akan seperti buronan. Tak boleh ketahuan siapa pun bahwa ia sedang bekerja secara pribadi untuk bos perusahaan.

Seperti siang ini—saat jam istirahat, dia diminta untuk menemui Tuan Dzaka di ruangannya.

Namun, penekanan agar jangan sampai ada yang tahu terkait pertemuan rahasia mereka seperti beban untuk Kirana. Dia harus memastikan tidak ada orang di depan lift atau mungkin berbohong mencari alasan yang dirasa masuk akal untuk sampai di lantai delapan.

Sudah niatnya salah, jadi bukan suatu kesalahan jika Tuhan mempersulit jalannya. Kirana menguatkan diri demi mendapatkan uang dengan cepat. Katanya, lebih cepat lebih baik.

Ting!

Pintu lift terbuka tepat di lantai delapan.

Kirana celingak-celinguk terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk langsung menuju ruangan Tuan Dzaka. Beruntung, karena jalan yang dilalui cukup sepi. Para karyawan tentu menghabiskan waktu untuk beristirahat di kantin. Kirana terlihat biasa saja, tapi siapa yang menyangka perasaannya berkecamuk, antara takut, panik, dan gelisah. Kemungkinan lebih tegang daripada harus menghadapi sidang skripsi.

Fikri yang sepertinya sudah menunggu di depan ruangan sedari tadi langsung membukakan pintu untuk Kirana tanpa mengucapkan apa pun.

“Permisi, Kirana sudah datang, Tuan,” ucapnya sopan pada Dzaka.

Pertemuan pertama, ah maksudnya pertemuan kedua itu membuat Kirana kesal sebelum bercerita panjang lebar dengannya. Setelah insiden lecet di tangannya beberapa waktu lalu, dia sempat menarik kesimpulan kalau Tuan Dzaka itu orangnya memang cukup sombong, mungkin. Lihatlah, dia masih duduk membelakanginya yang sudah berdiri bak orang bego, memainkan jari-jarinya.

“Sudah tahu tugas lo?” Suara bernada dingin itu memecahkan keheningan. Bersamaan dengan kursi berporos yang membawa tubuh kekarnya menghadap ke depan. Dia tak kaget melihat dengan siapa ia berhadapan, sebab sebelumnya sudah tahu. Bahkan, kemarin sempat beradu argumen dengan asistennya sendiri perkara gadis di hadapannya itu.

Kirana sontak mengumpat dalam hati pada atasannya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status