“Ada apa kiranya kamu menemuiku, Rey?” tanya Kirana berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dari pria itu.
Ada rasa yang sulit untuk ditafsirkan tatkala melihatnya. Dia berusaha tetap tegar dan menahan luapan rasa yang menggebu dalam dadanya.
“Aku mengkhawatirkanmu, Kiranaku. Kamu tidak datang ke kafe hari ini,” jawabnya.
“Aku ada urusan, Rey. Bukankah aku sudah meminta izin ke Raya sebelum kamu datang ke kafe tadi?”
“Tentu, aku tahu itu. Tapi, bolehkah aku tahu siapa sosok yang mengantarmu tadi?” tanyanya, mencari jawaban kejujuran di mata Kirana.
Kirana tersenyum singkat. “Bukan siapa-siapa. Dan kurasa itu bukan urusanmu untuk mengetahuinya.”
“Aku paham.” Rey menunduk, lalu kembali memandang Kirana, dalam-dalam. “Jujur … dan maaf karena sampai saat ini aku senantiasa masih merindukan dan menginginkan cintamu, Cahayaku.”
Ucapan Rey itu membuat Kirana susah payah menelan ludahnya. Rindu? Sejatinya, ia tak bisa bohong bahwa juga merindukan sosok yang haram untuknya dirindu.“Aku tidak akan pernah bisa melupakanmu,” tuturnya kemudian.Kirana menggeleng kuat-kuat.Matanya mulai berkaca-kaca mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut pria yang masih menjadi pemilik tahta tertinggi di hatinya. Ya … Kirana pun sama. Belum bisa melupakan sosok Rey yang dicintai dan mencintainya bertahun-tahun lamanya. Meski tanpa ikatan hubungan, seperti pacaran, tetapi hati mereka tertaut. Komitmen untuk saling menjaga menjadi bukti kasih cinta yang tak pernah dusta. Mencintainya dalam kalbu, walau beribu-ribu kilometer terbang darinya, tetap saja … jujur masih berkobar cinta di hati Kirana, untuknya. Namun, ia cukup sadar bahwa api dan air tidak akan pernah bisa bersatu. Jika dipaksa bersatu maka salah satunya akan padam. Sebab, mereka berbeda.
“Aku tidak akan pernah berhenti untuk terus dan terus mencintaimu, Kiranaku. Sekalipun, takdir memaksaku untuk berhenti, maka itu ketika kamu sudah menjadi milik orang lain, suamimu kelak.”“Kurang jelaskah apa yang kamu dengar dari Almarhum bapakku, Rey?” tanya Kirana lirih. “Apa kamu mau membuatku untuk membantah orang tuaku karena mereka tidak akan pernah mau menerima keberadaanmu? Apa kamu mau melihat Tuhan-ku murka kepadaku karena menjalin cinta dengan yang berbeda iman? Sungguh, aku tidak akan mau mengkhianati bapak untuk ke sekian kalinya, Rey. Begitupun dengan pengkhianatanku kepada Tuhan-ku.”“Tapi, Kirana. Apakah kau tidak memikirkan diriku juga? Menjauhimu, sungguh membuat hidupku jadi kacau dan hancur?!”Kalimatnya yang sedikit cukup mengiris dan membuat perut seperti diaduk-aduk. Pandangan Kirana kini mulai nanar karena butiran air mata yang turun dengan derasnya tanpa diperintah.Dalam isak tangisnya yang pilu menyanyat hati, Kirana mengiba dan memohon, “Rey, aku juga mencintaimu, seperti kamu mencintaiku, tapi aku tidak bisa melawan Tuhanku, demi kamu. Aku bisa menghadapi dan meninggalkan apa pun untukmu. Tapi … aku tidak mungkin meninggalkan Rabb-ku untukmu,” suaranya merintih.
“Aku tahu, Cahayaku. Namun, aku juga tidak bisa meninggalkan Tuhanku. Karena aku mencintainya seperti aku mencintai dirimu.”“Lalu, apa yang mesti kamu harapkan dariku, Rey? Apa yang kamu harapkan dari hubungan ini? Jika kita sama-sama sudah tahu jawabannya?” Kirana menggeleng dan menghapus sisa air matanya dengan kasar. “Pulanglah, aku sedang lelah. Butuh istirahat.”Kirana pergi meninggalkan Rey tanpa permisi.Tangis kembali membuncah tatkala kakinya sudah menapaki kembali kamarnya. Setiba di ruang minimalis itu, dia terhenyak dan tubuhnya meluruh ke lantai.
Bersandar pada pintu sembari memeluk lutut, sesekali menutup wajah basahnya dengan kedua tangan.
Dia menghela napas panjang, dan air matanya kembali runtuh seketika. Ia terengah-engah dengan napas memburu. Seperti telah berlari ribuan kilo dikejar dengan ketakutannya sendiri. Bongkahan masa lalu yang disimpan rapat-rapat di balik keretakan jiwa, gugur dalam ingatan panjang tentang cinta yang tak akan pernah abadi karena berbeda iman.Kirana tertunduk pilu. Menangkup wajahnya dan menatap langit-langit kamar dengan mata yang bengkak, menginsyafi betapa dirinya telah melukai sepotong hati yang penuh kasih.
Setelah puas menangis dan merutuki nasibnya dalam keheningan malam, Kirana bangkit dan mulai berbenah. Ia mengambil wudu untuk segera melaksanakan salat isya.Mengadukan kegelisahan hati dengan bersujud pada-Nya dan mendekatkan diri dalam rengkuhan doa-doa.
Menyingkirkan segala keraguan dan menepis segala kegalauan agar bisa memagari dan menebas rasa rindu yang membuncah sewaktu-waktu Rey kembali menemuinya.
Bukankah dia sudah berjanji untuk melepaskan cintanya yang berbeda imam sehingga bisikan-bisikan harus istikamah meneguhkan keimanan yang masih sangat rendah, seperti menguar di telinganya?
Sepertinya kepenatan, kelelahan, dan pening menusuk-nusuk kepalanya akibat rutinitas yang dilalui hari ini cukup berat untuk dibebankan kepada batinnya yang sedang tersiksa. Kirana pun tertidur di atas sajadah.
***Pria bermata sipit itu melangkah pelan mendekati atasan sekaligus sahabatnya yang sedari tadi berdiri di balkon kamarnya.Dia terlihat memikirkan sesuatu. “Aku melihat sepertinya bunda suka dengan Kirana, Tuan. Apa Tuan tidak berminat sehati dengan bunda?” tanyanya, kemudian ikut berdiri memandang langit malam bertabur bintang di atas sana. Kedua tanganya terlipat di depan dada.
Sementara yang ditanya hanya bergeming, tak berminat memberi komentar. Dia masih sibuk merenung. Entah sedang merenungi apa?“Wajar, sih. Menurutku, Kirana memang cantik, senyumnya manis, sopan, meski kadang-kadang dia cuek, tapi justru menambah kesan menariknya sebagai cewek. Aku kalau jadi Tuan, sudah pasti jatuh cinta padanya.” Fikri terus mengeluarkan statement-nya. Dia kemudian bersandar pada pagar besi balkon, beralih menatap Dzaka yang sedari tadi diam saja.“Tidak ada salahnya, Tuan membuka hati untuk orang lain. Toh, tidak ada pasal yang melarang hal itu, bukan?” Fikri mengangkat kedua alisnya saat mata elang milik Dzaka beralih menatapnya tajam.“Gila aja kamu!” Setidaknya, hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Dzaka.“Kirana limited edition, Tuan. Tuan yakin tidak mau sama dia, sayang, loh,” ucap Fikri terus mengompori.“Pergi, Fik!” geram Dzaka.“Apa ada yang salah dari ucapanku?” tanyanya tak terima dengan kalimat bernada pengusiran yang baru saja diterimanya itu.“Aku bilang pergi!” Dzaka membentak. “Pergi dari sini, Fikri.”“Padahal niatnya mau menginap di sini lagi. Tapi, ya sudah.”Fikri seperti enggan untuk melangkah. Justru, dia malah merasa senang dan punya ide untuk terus menjahili Dzaka Habisnya, dia terlalu kaku jadi orang.“Tuan, kalau tidak mau sama Nona Kirana, nanti buat aku aja,” pungkasnya, sebelum melangkah mundur sedikit demi sedikit.“Keluar sekarang atau kutonjok mukamu!” Bentakan Dzaka pun akhirnya membuat Fikri lari terbirit-birit. Siapa juga yang mau merelakan wajahnya babak belur karena tonjokan maut? Meskipun, Fikri sudah sering mendapatkan perlakuan pahit itu dari atasan yang sudah dianggapnya sebagai sahabat, tapi dia sama sekali tak pernah jera untuk bekerja dengan Dzaka.*******Seperti cewek-cewek lain pada umumnya yang tidak pernah melewatkan rutinitas perawatan malam sebelum tidur, Kirana pun demikian.
Dia baru saja menyelesaikan menggunakan skincare malamnya.
Bukan untuk mempercantik diri, tetapi agar wajahnya tetap terlihat sehat dan segar. Saat ini, ia sudah merebahkan diri pada Kasur. Hendak berisitirahat. Namun, di sela istirahat itu, ia menyempatkan diri untuk video call sang ibu yang beberapa saat lalu sempat melakukan missed call sebanyak dua kali.
“Assalamualaikum. Ibu apa kabar? Nana rindu banget sama Ibu,” ucapnya saat panggilan video itu sudah terhubung. Padahal hampir setiap malam bertukar kabar, tapi rindu itu seperti enggan untuk beranjak.
“Ibu baik-baik saja, Nak. Kamu gimana di sana? Jaga kesehatan, ya. Jangan lupa salat.” Peringatan-peringatan seperti itu seakan menjadi kalimat wajib untuk diucapkan Wulan dari seberang sana.“InsyaAllah, Bu. Ibu juga jangan terlalu capek. Jangan terlalu banyak beban pikiran. Nanti Ibu sakit,” jawab Kirana tenang.Namun, dia tersentak begitu mendengar pertanyaan sang Ibu selanjutnya.
“Iya. Gimana dengan Rey? Apa dia masih sering menemuimu?”Pertanyaan itu membuat Kirana diam. Wulan memang sudah tahu perihal Kirana yang bertemu kembali dengan Rey. Bahkan, Kirana bekerja di tempatnya Rey. Sempat, Wulan meminta Kirana untuk berhenti bekerja di sana, tapi putrinya itu menolak dan ia akan bertahan sedikit saja. Seenggaknya, sekarang pun Kirana ingin sekali jujur bahwa Rey masih terus mengejarnya. Namun, ia takut jika kejujurannya nanti hanya menciptakan kecemasan dalam batin ibunya. Minimal, Kirana berjanji bisa meminimalisir perasaan dan mengatasi masalahnya dengan Rey sendiri.“Kita sering bertemu, Bu. Karena Nana kan setiap malam memang kerja di tempatnya Rey juga.”“Ibu paham. Ibu Cuma tidak mau kamu terjerumus lagi. Tetap jaga sikap dan ingat selalu pesan-pesan Almarhum Bapak.”Kirana mengangguk.“Tapi ingat, Nana pernah janji sama Ibu kalau Kak Jihan sudah sembuh, akan berhenti bekerja di sana. Ibu sebenarnya tidak rela melihat kamu dan Rey masih terikat satu sama lain, meskipun itu karena pekerjaan. Akan sulit untuk ka
Gadis berhijab abu-abu muda itu mulai menginjakkan kaki di jalan berpeping halaman kantornya. Seperti biasa, dia lebih memilih turun di pinggir jalan tak jauh dari gedung daripada harus diantar oleh Abang Gojek hingga ke depan lobby.Bukan malu, tapi Kirana lebih suka saja jalan kaki dari luar. Seandainya pun kos-nya dekat, dia mungkin lebih memilih jalan kaki. Namun, sayangnya karena jarak tempuhnya lumayan nguras tenaga jika harus ditempuh dengan berjalan kaki.“Kirana … tunggu!” suara teriakan itu sontak membuat Kirana menghentikan langkah. Dia berbalik, melihat sumber suara cempreng yang sangat dikenal selama hampir sebulan bekerja.“Apa, Din?” tanya Kirana sembari mengangkat satu alisnya. “Suaranya sampe gedung sebelah tau.”“Hari Minggu nanti kamu free, nggak?” tanya Dina. Mereka sembari terus berjalan beriringan.Kirana berdehem pelan. “Aku kerja pagi di kafe. Kenapa?”Dina memanyunkan bibir tipisnya. “Yaaa … padahal mau m
Kirana memejamkan mata sebantar. Berusaha mengatur emosi yang mulai tak stabil. “Kalau begitu, kenapa aku harus terus menerus ikut terjerumus ke dalam sandiwaramu, Tuan?” Kirana menghela napas, lalu berjalan menghampiri Dzaka. Kemudian duduk di sofa lain tanpa dipersilakan. “Aku mungkin dibayar, tapi tidak bisa seenaknya diatur. Tuan bisa saja menjadikanku tameng karena uang, tapi aku bukan robot yang bisa mengikuti segala perintahmu tanpa memikirkan urusan pribadiku.”Wajah Dzaka berubah datar. “Lo bisa izin, kan?” tanyanya. “Gue bisa bayar dua kali lipat dari gaji lo yang hilang satu hari itu.”Kirana bergeming. Entah ada apa dengan dirinya yang dulu sangat berambisi untuk mendapatkan uang banyak, kini seakan-akan seperti tak butuh.Ah, bukan tidak butuh, tapi sisi lainnya justru memikirkan hal yang lain. Ia merasa telah sangat bersalah karena membantu seseorang berbohong dan mengorbankan pekerjannya.Kirana pun tak tahu apakah uang banyak yang
“Apa Tuan Dzaka berniat untuk menjadikanku istri bayaran? Atau jadi istri pura-pura juga?” tanyanya. “Maaf, Tuan. Mungkin saat ini uang begitu menarik untukku, tapi pernikahan bagiku tak bisa dihargai dengan uang.”Kini, Dzaka terdiam sembari meneguk ludahnya berulang kali. Bahkan, saat Kirana sudah melangkah pergi, mulutnya masih kelu untuk sekadar berkata-kata. “Bunda yang memintamu datang ke rumah hari Minggu.” Setidaknya hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya. Dia melangkah menyusul Kirana yang nyatanya sedang berhenti tak jauh darinya. “Sekali ini, ya, temui Bunda.” Dzaka memohon.Kirana menunduk dan meremas jari-jarinya. Ia teramat bingung. Sungguh, pada mulanya dia tak menyangka jika menerima tawaran bersandiwara itu akan sedemikian rumit hingga membawanya untuk terus menerus dalam kepura-puraan. Jika ayahnya masih ada, mungkin dia akan dimarahi habis-habisan karena berbohong.“Bunda?” Kirana memastikan. Dia seperti tak bisa menola
“Nggak direstui karena beda iman.” Jawaban Kirana sontak membuat Dzaka melongo heran.Bagaimana bisa perempuan berhijab seperti Kirana bisa mencintai pria yang berbeda iman? Sulit untuk dipercaya.Dzaka berucap pelan. “Wajar, sih.”“Apanya yang wajar, Pak?”“Wajar kalau tidak dapat restu,” balas Dzaka. Dia menoleh sebentar, kemudian bertanya, “Kamu tau ayat berapa yang mencantumkan kewajiban berhijab dalam Al-Qur’an?”Sebuah anggukan diberikan Kirana sebagai jawaban. “Al-Ahzab ayat 59, Al-A’raf ayat 26, dan An-Nur ayat 31,” imbuhnya kemudian.Dzaka mengangguk-angguk pelan. “Semestinya kamu juga tahu apa isi dari Al-Baqarah ayat 221, bahwa pernikahan beda agama itu dilarang,” ucapnya.“Aku tau, Pak.”“Tapi, kenapa dilanggar? Sedangkan, Al-Ahzab bisa diamalkan?” tanyanya, “menikah dengan yang seiman saja bisa salah pilih. Bagaimana jika tak seiman? Memang kamu mau dalam hidupmu salah pilih imam? Sudah sa
Alis tebal hitam milik Kirana terangkat. “Pertanyaan yang mana, Pak?” tanyanya bingung. Ia benar-benar tak mengerti dan belum bisa mencerna dengan baik.“Ajakan menikah,” timpal Dzaka.Kirana terpaku dalam diam. Sembari mengingat kejadian yang Dzaka maksud. Setelahnya, ia tertawa singkat seakan baru saja mendengar lelucon yang sangat lucu.“Kenapa? Kesurupan?”“Bapak kalau bercanda jangan bawa-bawa nikah.” Kirana mendongak ke arah Dzaka yang sudah bangkit dari tempat duduknya.“Aku tidak pernah bercanda untuk hal yang sakral,” balas Dzaka singkat, padat, dan jelas.“Tapi aku juga tidak akan mungkin menyimpan sandiwara untuk hal yang sakral, Pak!” tegas Kirana. Kini, dia juga sudah berdiri. Tatapannya tajam menahan gejolak emosi yang mulai memuncak. “Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup,” lirihnya pelan tapi penuh penekanan.“Dengan laki-laki yang beda iman?”Pertanyaan yang sontak menampar hati Kirana mem
Bunda Andari terkesiap mendengar ucapan Kirana. “Ibu? Ibu saha, Neng?”“Wulandari, itu nama sahabat Bunda, bukan?” tanya Kirana dibalas anggukan. “Itu juga nama ibuku. A women who gave birth to me. My heaven is under the soles of his feet.”(Seorang wanita yang telah melahirkanku. Surgaku ada di bawah telapak kakinya.)Mata Andari melebar. Dia mulai menyentah bahu Kirana dan menatapnya sangat dalam. “Kamu? Kamu teh putrinya Wulan? Friend-nya Bunda?” tanyanya sekadar memastikan.Kirana mengangguk. Bersamaan dengan Andari yang menghambur memeluknya. Erat dan sangat erat. Seolah kerinduan kepada sang sahabat dilampiaskan pada Kirana. Tidak salah, karena selama ini ia melihat ada diri Wulan pada diri Kirana. Tapi, ia tak mengambil pusing karena menjaga perasaan gadis yang diketahui adalah calon istri putranya.“Pantesan teh Bunda always ingat Wulan ketika bertemu Neng Kirana,” ucapnya di sela isakan. Ia mulai mengendurkan pelukannya
Gadis bermasker yang membawa tas ransel di punggungya itu berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Tersirat kecemasan dari sorot mata almondnya. Setelah mendapat kabar dari adiknya, ia sontak membatalkan janji dengan sang sahabat dan memutuskan pulang ke Makassar malam itu juga. Beruntung karena, ia masih dapat mengejar penerbangan paling cepat. Setelah kakinya berpijak kembali di tanah kelahiran sang ayah, ia tak pulang ke rumah melainkan langsung ke rumah sakit. Kabar buruk yang diterima dari Farhan, membuat Kirana panik bukan kepalang. Dia sangat takut, terjadi apa-apa dengan ibunya.“Farhan, bagaimana keadaan ibu?” tanyanya pada sang adik yang tengah duduk di ruang tunggu.Farhan spontan berdiri, lalu meraih dan mencium punggung tangan sang kakak dengan takzim.“Ibu masih belum sadar, Kak. Kata dokter itu hanya pengaruh obat bius tadi dan juga karena ibu terlalu syok, tapi,” ucapnya.“Tapi, apa? Katakan Farhan! Ibu kenapa?” Kira