Share

Bab 8 - Bunda

“Ada apa kiranya kamu menemuiku, Rey?” tanya Kirana berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dari pria itu.

Ada rasa yang sulit untuk ditafsirkan tatkala melihatnya. Dia berusaha tetap tegar dan menahan luapan rasa yang menggebu dalam dadanya.

“Aku mengkhawatirkanmu, Kiranaku. Kamu tidak datang ke kafe hari ini,” jawabnya.

“Aku ada urusan, Rey. Bukankah aku sudah meminta izin ke Raya sebelum kamu datang ke kafe tadi?”

“Tentu, aku tahu itu. Tapi, bolehkah aku tahu siapa sosok yang mengantarmu tadi?” tanyanya, mencari jawaban kejujuran di mata Kirana.

Kirana tersenyum singkat. “Bukan siapa-siapa. Dan kurasa itu bukan urusanmu untuk mengetahuinya.”

“Aku paham.” Rey menunduk, lalu kembali memandang Kirana, dalam-dalam. “Jujur … dan maaf karena sampai saat ini aku senantiasa masih merindukan dan menginginkan cintamu, Cahayaku.”

Ucapan Rey itu membuat Kirana susah payah menelan ludahnya. Rindu? Sejatinya, ia tak bisa bohong bahwa juga merindukan sosok yang haram untuknya dirindu.

“Aku tidak akan pernah bisa melupakanmu,” tuturnya kemudian.

Kirana menggeleng kuat-kuat.

Matanya mulai berkaca-kaca mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut pria yang masih menjadi pemilik tahta tertinggi di hatinya. Ya … Kirana pun sama. Belum bisa melupakan sosok Rey yang dicintai dan mencintainya bertahun-tahun lamanya. Meski tanpa ikatan hubungan, seperti pacaran, tetapi hati mereka tertaut. Komitmen untuk saling menjaga menjadi bukti kasih cinta yang tak pernah dusta. Mencintainya dalam kalbu, walau beribu-ribu kilometer terbang darinya, tetap saja … jujur masih berkobar cinta di hati Kirana, untuknya. Namun, ia cukup sadar bahwa api dan air tidak akan pernah bisa bersatu. Jika dipaksa bersatu maka salah satunya akan padam. Sebab, mereka berbeda.

“Aku tidak akan pernah berhenti untuk terus dan terus mencintaimu, Kiranaku. Sekalipun, takdir memaksaku untuk berhenti, maka itu ketika kamu sudah menjadi milik orang lain, suamimu kelak.”

“Kurang jelaskah apa yang kamu dengar dari Almarhum bapakku, Rey?” tanya Kirana lirih. “Apa kamu mau membuatku untuk membantah orang tuaku karena mereka tidak akan pernah mau menerima keberadaanmu? Apa kamu mau melihat Tuhan-ku murka kepadaku karena menjalin cinta dengan yang berbeda iman? Sungguh, aku tidak akan mau mengkhianati bapak untuk ke sekian kalinya, Rey. Begitupun dengan pengkhianatanku kepada Tuhan-ku.”

“Tapi, Kirana. Apakah kau tidak memikirkan diriku juga? Menjauhimu, sungguh membuat hidupku jadi kacau dan hancur?!”

Kalimatnya yang sedikit cukup mengiris dan membuat perut seperti diaduk-aduk. Pandangan Kirana kini mulai nanar karena butiran air mata yang turun dengan derasnya tanpa diperintah.

Dalam isak tangisnya yang pilu menyanyat hati, Kirana mengiba dan memohon, “Rey, aku juga mencintaimu, seperti kamu mencintaiku, tapi aku tidak bisa melawan Tuhanku, demi kamu. Aku bisa menghadapi dan meninggalkan apa pun untukmu. Tapi … aku tidak mungkin meninggalkan Rabb-ku untukmu,” suaranya merintih.

“Aku tahu, Cahayaku. Namun, aku juga tidak bisa meninggalkan Tuhanku. Karena aku mencintainya seperti aku mencintai dirimu.”

“Lalu, apa yang mesti kamu harapkan dariku, Rey? Apa yang kamu harapkan dari hubungan ini? Jika kita sama-sama sudah tahu jawabannya?” Kirana menggeleng dan menghapus sisa air matanya dengan kasar. “Pulanglah, aku sedang lelah. Butuh istirahat.”

Kirana pergi meninggalkan Rey tanpa permisi.

Tangis kembali membuncah tatkala kakinya sudah menapaki kembali kamarnya. Setiba di ruang minimalis itu, dia terhenyak dan tubuhnya meluruh ke lantai.

Bersandar pada pintu sembari memeluk lutut, sesekali menutup wajah basahnya dengan kedua tangan.

Dia menghela napas panjang, dan air matanya kembali runtuh seketika. Ia terengah-engah dengan napas memburu. Seperti telah berlari ribuan kilo dikejar dengan ketakutannya sendiri. Bongkahan masa lalu yang disimpan rapat-rapat di balik keretakan jiwa, gugur dalam ingatan panjang tentang cinta yang tak akan pernah abadi karena berbeda iman.

Kirana tertunduk pilu. Menangkup wajahnya dan menatap langit-langit kamar dengan mata yang bengkak, menginsyafi betapa dirinya telah melukai sepotong hati yang penuh kasih.

Setelah puas menangis dan merutuki nasibnya dalam keheningan malam, Kirana bangkit dan mulai berbenah. Ia mengambil wudu untuk segera melaksanakan salat isya.

Mengadukan kegelisahan hati dengan bersujud pada-Nya dan mendekatkan diri dalam rengkuhan doa-doa.

Menyingkirkan segala keraguan dan menepis segala kegalauan agar bisa memagari dan menebas rasa rindu yang membuncah sewaktu-waktu Rey kembali menemuinya.

Bukankah dia sudah berjanji untuk melepaskan cintanya yang berbeda imam sehingga bisikan-bisikan harus istikamah meneguhkan keimanan yang masih sangat rendah, seperti menguar di telinganya?

Sepertinya kepenatan, kelelahan, dan pening menusuk-nusuk kepalanya akibat rutinitas yang dilalui hari ini cukup berat untuk dibebankan kepada batinnya yang sedang tersiksa. Kirana pun tertidur di atas sajadah.

***

Pria bermata sipit itu melangkah pelan mendekati atasan sekaligus sahabatnya yang sedari tadi berdiri di balkon kamarnya.

Dia terlihat memikirkan sesuatu. “Aku melihat sepertinya bunda suka dengan Kirana, Tuan. Apa Tuan tidak berminat sehati dengan bunda?” tanyanya, kemudian ikut berdiri memandang langit malam bertabur bintang di atas sana. Kedua tanganya terlipat di depan dada.

Sementara yang ditanya hanya bergeming, tak berminat memberi komentar. Dia masih sibuk merenung. Entah sedang merenungi apa?

“Wajar, sih. Menurutku, Kirana memang cantik, senyumnya manis, sopan, meski kadang-kadang dia cuek, tapi justru menambah kesan menariknya sebagai cewek. Aku kalau jadi Tuan, sudah pasti jatuh cinta padanya.” Fikri terus mengeluarkan statement-nya. Dia kemudian bersandar pada pagar besi balkon, beralih menatap Dzaka yang sedari tadi diam saja.

“Tidak ada salahnya, Tuan membuka hati untuk orang lain. Toh, tidak ada pasal yang melarang hal itu, bukan?” Fikri mengangkat kedua alisnya saat mata elang milik Dzaka beralih menatapnya tajam.

“Gila aja kamu!” Setidaknya, hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Dzaka.

“Kirana limited edition, Tuan. Tuan yakin tidak mau sama dia, sayang, loh,” ucap Fikri terus mengompori.

“Pergi, Fik!” geram Dzaka.

“Apa ada yang salah dari ucapanku?” tanyanya tak terima dengan kalimat bernada pengusiran yang baru saja diterimanya itu.

“Aku bilang pergi!” Dzaka membentak. “Pergi dari sini, Fikri.”

“Padahal niatnya mau menginap di sini lagi. Tapi, ya sudah.”

Fikri seperti enggan untuk melangkah. Justru, dia malah merasa senang dan punya ide untuk terus menjahili Dzaka Habisnya, dia terlalu kaku jadi orang.

“Tuan, kalau tidak mau sama Nona Kirana, nanti buat aku aja,” pungkasnya, sebelum melangkah mundur sedikit demi sedikit.

“Keluar sekarang atau kutonjok mukamu!” Bentakan Dzaka pun akhirnya membuat Fikri lari terbirit-birit. Siapa juga yang mau merelakan wajahnya babak belur karena tonjokan maut? Meskipun, Fikri sudah sering mendapatkan perlakuan pahit itu dari atasan yang sudah dianggapnya sebagai sahabat, tapi dia sama sekali tak pernah jera untuk bekerja dengan Dzaka.

*******

Seperti cewek-cewek lain pada umumnya yang tidak pernah melewatkan rutinitas perawatan malam sebelum tidur, Kirana pun demikian.

Dia baru saja menyelesaikan menggunakan skincare malamnya.

Bukan untuk mempercantik diri, tetapi agar wajahnya tetap terlihat sehat dan segar. Saat ini, ia sudah merebahkan diri pada Kasur. Hendak berisitirahat. Namun, di sela istirahat itu, ia menyempatkan diri untuk video call sang ibu yang beberapa saat lalu sempat melakukan missed call sebanyak dua kali.

“Assalamualaikum. Ibu apa kabar? Nana rindu banget sama Ibu,” ucapnya saat panggilan video itu sudah terhubung. Padahal hampir setiap malam bertukar kabar, tapi rindu itu seperti enggan untuk beranjak.

“Ibu baik-baik saja, Nak. Kamu gimana di sana? Jaga kesehatan, ya. Jangan lupa salat.” Peringatan-peringatan seperti itu seakan menjadi kalimat wajib untuk diucapkan Wulan dari seberang sana.

“InsyaAllah, Bu. Ibu juga jangan terlalu capek. Jangan terlalu banyak beban pikiran. Nanti Ibu sakit,” jawab Kirana tenang.

Namun, dia tersentak begitu mendengar pertanyaan sang Ibu selanjutnya.

“Iya. Gimana dengan Rey? Apa dia masih sering menemuimu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status