Calvin menghentikan langkahnya saat sudah tiba tepat di depan ruangan tim pemasaran. Entah apa yang membuatnya sangat ingin melihat keadaan Rachel yang hari ini mulai bekerja di tim pemasaran. Masih berdebat dengan dirinya sendiri, tanpa terasa ia sudah berjalan mondar-mandir sejak 15 menit yang lalu membuat beberapa karyawan bergosip tentang kedatangan dirinya.
“Aku sudah janji dengan nenek akan menguruskan dikantor.” Calvin mencoba meyakinkan alasan ia datang mencari Rachel di tim pemasaran sambil membawa sebungkus roti yang ia rebut dari Nicky.
Para karyawan yang berada di dalam ruangan tim pemasaran kaget dengan kedatangan Calvin dan langsung memberikan salam. Calvin hanya bisa membalasnya dengan kaku. Matanya mencari-cari keberadaan Rachel.
“Pak Calvin” Calvin menghentikan langkahnya saat sebuah suara menyapanya. Calvin menghela nafas pelan saat melihat Diana yang menyapanya. Diana teman semasa kuliah Calvin yang sudah tidak terdengar kabarnya selama hampir 6 tahun dan tiba-tiba bergabung di Miguel Group sebagai direktur pemasaran akibat prestasinya di luar negeri sangat diakui.
Sebenarnya Calvin tidak begitu menyukai Diana. Entah kenapa Diana tampak seperti sengaja mendekatinya dan hal itu jelas membuat dirinya risih. Bahkan beberapa bulan yang lalu Calvin tidak sengaja mendengar rumor menyebutkan bahwa dirinya dan Diana sebagai teman masa kuliah sedang menjalin hubungan. Namun Calvin tidak ingin mengurusi hal tidak penting seperti ini.
“Pak Calvin ada keperluan apa?” Daina kembali bertanya saat Calvin tak kunjung membalas sapaannya. Baru saja Calvin akan membuka mulutnya tiba-tiba Diana sudah berteriak kegirangan.
“Terima kasih Pak sudah membelikan saya roti tuna, saya memang belum makan siang karena terlalu sibuk. Bapak memang yang paling tahu makanan kesukaan saya.” Calvin melongo saat dengan tidak tahu dirinya Diana mengambil bungkusan roti yang sedang ia pegang. Bungkusan roti yang sebenarnya Calvin bawa untuk diberikan kepada Rachel.
Mereka semakin menjadi pusat perhatian. Kedatangan Calvin sudah menjadi pusat perhatian ditambah suara Diana yang cukup keras membuat semua orang semakin memperhatikan keduanya termasuk Rachel. Gadis itu tidak mengatakan apapun dan hanya menatap Calvin dengan tatapan datar seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi.
Melihat reaksi Rachel Calvin hanya terdiam. Rasa ingin protes pada Diana mendadak sirna. Pria itu memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Tidak peduli lagi dengan bisikan-bisikan para pegawai yang pasti sedang menggosipkan kejadian tadi.
~
Rachel menatap dirinya di cermin kamar mandi. Ia sudah pulang terlebih dahulu karena Calvin sedang lembur. Gadis itu merasa tidak perlu menunggu Calvin bahkan hanya untuk sekedar memberikan pria itu wajah di depan neneknya.
Masih terbayang-bayang di ingatannya kejadian tadi siang.
“Untuk apa memintaku menjadi pasangan kontraknya jika ia sudah memiliki wanita yang sedang didekati?” Rachel berbicara dengan dirinya di cermin. Kejadian tadi siang sungguh membuat dirinya bingung. Belum lagi gosip-gosip yang tidak sengaja ia dengar di kantor tadi seolah menunjukkan betapa dekat hubungan antara Calvin dan Diana.
“Seharusnya dia bicara dengan Bu Diana kan? Aku yakin nenek juga akan menyukai Bu Diana. Apa yang kurang dari Bu Diana? Cantik, elegan, pintar, berwibawa, ram–”
“Kurangnya adalah rasa kemanusiaan.” Rachel memekik kaget saat sebuah suara memotongnya. Gadis itu hampir terjatuh saking kagetnya. Calvin sang empunya suara hanya tertawa.
“Kau merasa bersaing dengan Diana?” Calvin bertanya sambil tersenyum kecil. Rachel menatap Calvin dengan kesal.
“Aku sedang menggunakan kamar mandi dan kamu masuk begitu saja?” Rachel bertanya dengan wajah kesal sekaligus malu karena yakin Calvin pasti mendengar dirinya berbicara sendiri sedari tadi.
“Kamu yang tidak menutup pintunya.” Calvin menunjuk pintu geser kamar mandi yang terbuka lebar membuat Rachel mau tidak mau merutuki kesalahannya sendiri.
“Kalau sudah tahu ada aku disini silahkan keluar Pak Calvin yang terhormat.” Calvin tertawa mendengar perkataan Rachel. Pria itu menikmati wajah memerah Rachel akibat malu. Tidak mau beradu mulut lebih lanjut, Calvin memilih untuk segera mengalah dan pergi keluar dari kamar mandi.
Rachel menghela nafas lega saat sudah berhasil mengeluarkan Calvin dari kamar mandi dan mengunci pintu tersebut rapat-rapat. Tiba-tiba saja ia mulai terganggu dengan perkataan Calvin.
“Apa maksudnya Bu Diana kurang rasa kemanusiaan?” Rachel bergumam seraya menyalakan kran air di kamar mandi. Ia buru-buru mengusir pikiran tersebut. Dengan siapa saja Calvin berhubungan bukan urusan dirinya. Lagi pula semua itu sudah tertulis jelas di kontrak mereka. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.
Rachel memutuskan untuk tidak mengambil pusing apa yang dikatakan Calvin. Bukankah jika Calvin semakin dekat dengan Diana maka dirinya akan cepat terlepas dari pria itu? Rachel tersenyum senang saat memikirkan hari tersebut akan tiba.
“Kemarin kalian berdua pergi terpisah dan pulang terpisah?” Rachel dan Calvin sontak menghentikan gerakan makan mereka dan menatap neneknya kebingungan. “Itu karena kami memiliki jadwal pulang dan pergi yang berbeda nek.” Rachel mencoba menjawab dengan alasan paling logis menurutnya. Memang kemarin Rachel memutuskan untuk berangkat dan pulang terpisah saat bekerja untuk mengurangi rumor-rumor yang beredar di perusahaan nantinya. “Kalau begitu kalian harus saling menunggu” ujar Carla tenang. “Tapi Calvin sering lembur nek, aku agak lelah jika harus menunggu Calvin sampai lewat tengah malam.” Rachel mencoba membujuk Carla kembali. “Kau memiliki Rachel. Bukankah seharusnya kamu akan lebih sering pulang tepat waktu dan menghabiskan waktu bersama?” Calvin melirik Rachel meminta bantuan gadis itu untuk menjawab namun Rachel hanya fokus dengan makannya. “Nek menurutku–” “Tidak ada alasan lagi Calvin, mulai hari ini jika nenek tidak melihat kalian berangkat bersama dan pulang bersama, n
[Kamu tidak lembur tapi aku yang lembur. Kalau ada masalah dengan kekasihmu segera selesaikan agar ia tidak melampiaskannya padaku.]Calvin hampir saja mengumpat saat membaca pesan balasan dari Rachel. Ia sudah berniat baik untuk tidak lembur dan ingin mengajak gadis itu menikmati makan malam di luar rumah seperti saran neneknya, tapi balasan Rachel sangat tidak sesuai dengan dugaannya. Bahkan ia juga menyebutkan kekasih yang entah siapa itu.“Ada apa?” Nicky bertanya seraya meletakan beberapa dokumen di atas meja Calvin.“Menurutmu siapa kekasihku disini?” tanya Calvin.“Tentu saja Rachel.”“Kalau Rachel yang mengatakan aku memiliki kekasih disini menurutmu siapa?” Nicky mengerutkan dahinya bingung.“Mungkin… Diana?” Nicky menjawab dengan ragu namun reaksi Calvin sungguh di luar dugaan. Pria itu tampak terkejut dan menyangkal semuanya.“Kau tahukan sering ada rumor bahwa kau berkencan dengan Diana karena ia adalah salah satu teman kuliahmu?” Calvin berpikir sebentar lalu mengangguk.
Rachel berusaha menahan rasa kekesalannya saat melihat konsep yang ia rancang mati-matian dipresentasikan oleh Diana. Gadis itu meremas ujung bajunya sambil menunduk enggan mengamati presentasi tersebut. Bahkan dari penjelasan Diana, Rachel bisa menebak kalau atasan langsungnya itu menyalin mentah-mentah seluruh pekerjaannya.Rachel merutuki dirinya. Ia memang tidak memiliki pengalaman kerja tapi bagaimana bisa ia dengan mudah tertipu dan menyerahkan semua hasil kerjanya pada Diana. Rachel benar-benar kesal.“Sekian dari presentasi saya.” Diana mengakhiri presentasi dan kembali ke tempat duduknya diiringi oleh suara tepuk tangan semua yang menghadiri rapat kecuali Calvin dan Rachel.“Bagaimana menurut kalian mengenai konsep milik Diana?” Calvin bertanya dengan nada datar. Rachel menatap Calvin dengan penuh harap. Berharap pria itu akan membelanya dan mengatakan bahwa itu adalah hasil kerja kerasnya.“Menurut saya konsep ini sangat menarik, sesuai dengan keahlian Bu Diana.” Rachel mend
"Pagi nek, Rachel belum bangun?" Calvin menyapa neneknya sekaligus bertanya mengenai keberadaan Rachel yang tumben belum terlihat."Kau masih belum menyelesaikan masalahmu dengan Rachel?" Calvin menatap neneknya bingung. Pria itu meneguk susunya sambil berpikir keras apa yang salah dari dirinya sehingga membuat Rachel marah dari kemarin."Aku tidak berbuat salah nek" ujar Calvin tanpa dosa yang langsung membuat neneknya meletakan alat makannya di atas meja. Carla menatap cucunya kesal. Calvin pintar dalam segala hal kecuali dalam hal wanita dan itu sangat menyebalkan untuk Carla."Rachel sudah berangkat kerja satu jam yang lalu. Sebaiknya kau cepat renungkan apa kesalahanmu." Carla berdiri dari kursinya dna meninggalkan Calvin yang kebingungan.***Rachel berjalan melewati Diana seolah tidak melihatnya. Ia tidak dapat membohongi dirinya kalau ia masih benar-benar kesal dan tidak terima dengan perlakukan Diana yang mengambil hasil pekerjaannya."Rachel" merasa dipanggil Rachel menghenti
Rachel memasuki ruang kerja tim pemasaran dengan perasaan sedikit lebih baik daripada kemarin. Kunjungan ke pabrik membuat ia berhasil melupakan beberapa hal yang kurang mengenakan di kantor. Ia tidak begitu peduli lagi sekarang dengan apa yang akan dilakukan oleh Diana. Rachel hanya berpikir, untuk apa ia peduli jika memang kedua orang tersebut adalah sepasang kekasih. Marah atau kecewa dengan Calvin sepertinya juga suatu hal yang bodoh bagi Rachel. Seharusnya, ia sudah tahu pasti jika Calvin akan lebih berpihak pada Diana. Terkadang ia merasa bingung dengan dirinya belakangan ini, entah apa yang terjadi Rachel mulai sedikit menginginkan perhatian dari Calvin tanpa sadar.Gadis itu buru-buru menghapus segala macam pemikiran yang melintas di kepalanya. Ia mulai menyalakan komputernya dan berniat mulai bekerja. Semua yang ia lakukan saat ini adalah demi kesembuhan ibunya, ia tidak boleh melakukan hal-hal mengikuti emosinya saat ini."Rachel" merasa dirinya dipanggil Rachel menoleh. Vir
Tatapan Rachel tidak bisa terlepas dari buku nikah yang baru saja mereka dapatkan dari KUA. Pikirannya benar-benar kalut. Seumur hidupnya tidak pernah terbayang bahwa dirinya akan menikah dengan cara seperti ini. Membantah rencana ini sudah ia lakukan, tapi ada daya jika dirinya masih terikat kontrak dengan Calvin.Rachel menoleh ke arah Calvin. Pria itu juga memasang wajah datar selama proses pernikahan mereka. Tidak. Bahkan Calvin sudah seperti itu sejak mengatakan bahwa mereka akan menikah atas permintaan sang nenek.Entah apa yang ada di pikiran Calvin, tapi Rachel yakin kalau pria itu juga sama sekali tidak menginginkannya. Sampai saat ini Rachel masih yakin kalau ada sesuatu di antara Calvin dan Diana.Baru saja pemikiran itu melintas di kepala Rachel, tiba-tiba saja ponsel Calvin berdering dan ia dapat melihat dengan jelas bahwa itu merupakan panggilan dari Diana. Tanpa menunggu apapun Calvin langsung mengangkat panggilan tersebut. Rachel mendengus kesal tanpa sadar. Entah apa
"Kau sudah pulang?" Rachel menghentikan langkah kakinya saat suara rendah Calvin tiba-tiba muncul di kamar yang awalnya sunyi. Pria itu menghentikan kegiatan membaca majalahnya lalu berdiri tepat di hadapan Rachel. "Kenapa tidak mengangkat telepon?" Pertanyaan Calvin jelas membuat Rachel mengerutkan dahinya. Ia sama sekali tidak merasa ada yang salah kalau tidak mengangkat panggilan dari pria itu dan masih teringat dengan jelas jika tadi Calvin sendiri yang mengusirnya."Apakah ada masalah?" Malas meladeni Calvin, Rachel berjalan melewati tubuh pria itu. Belum ada satu centi ia melewati Calvin, pria itu sudah mendorong tubuh kecilnya membuat ia terpaksa terhimpit di antara tubuh Calvin dan pintu kamar."Kau belum tahu letak kesalahanmu?" "Apakah aku berbuat salah?" sebisa mungkin Rachel menghindari tatapan Calvin. Gadis itu berusaha untuk memberontak agar jarak dirinya dan Calvin dapat sedikit menjauh."Seorang wanita bersuami pulang pukul 2 subuh itu
"Karena kemarin kau pulang terlambat semua sudah diputuskan. Acara lelang amal minggu depan sekaligus menjadi acara resmi untuk mengumumkan statusmu sebagai nyonya Miguel."Rachel menjambak rambutnya smabil beteriak kesal saat perkataan Calvin pagi tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya. Ini bukan mimpi. Sebentar lagi status single dirinya akan segera resmi terhapus oleh pengumuman di acara lelang amal."Kau baik-baik saja?" Suara Vira menyadarkan Rachel kalau sekarang ia masih berada di kantor. Rachel tersenyum canggung saat menyadari semua tatapan anggota tim pemasaran tertuju pada dirinya."Maafkan aku" setelah mengatakan hal tersebut Rachel segera meninggalkan kantor. Ini semua gara-gara Calvin."Ada perlu apa dengan Pak Calvin?" Pertanyaan Aura salah satu sekretaris Calvin mengejutkan Rachel. Kakinya melangkah dengan sendirinya menuju ruangan presdir. Rachel langsung menggaruk kepalanya sambil tersenyum aneh. "Tidak ada, aku hanya... tersesat" jawaban bodoh mengalir begitu saja