Share

Istri Pura-pura sang Putra Mahkota
Istri Pura-pura sang Putra Mahkota
Penulis: Lisandi Noera

Bab 1 Saat di Pemakaman

"Maafkan anakku, seharusnya aku tidak membawanya naik cable car," Seorang ibu menatap Caroline yang sedang membersihkan muntahan anaknya di dalam sebuah kereta gantung dengan penuh penyesalan.

"Tidak mengapa, ini sudah menjadi tugasku. Cukup sering ada yang muntah di dalam cable car. Anak Anda bukan yang pertama kali. Jadi, tidak perlu khawatir," ucap Caroline dengan senyum hangatnya sambil terus membersihkan lantai dari muntahan sang anak.

"Sekali lagi maafkan kami. Semoga harimu menyenangkan," ucap Sang Ibu sebelum berlalu pergi.

"Wow lihat! Siapa yang sedang membersihkan muntahan di sini! Bukankah dia Caroline Walter?" celoteh seorang gadis yang cukup familiar di telinga Caroline.

Caroline hanya menghela nafasnya, tidak berniat memberi respon apapun.

"Ya benar, itu Caroline Walter. Lihat betapa menyedihkannya dia sekarang," saut seorang gadis lain sambil terkikik.

Dua gadis itu lalu menghampiri Caroline yang sudah selesai dengan tugasnya. Mereka berdiri di pintu kereta gantung yang Caroline bersihkan.

"Jika tidak ada yang penting, tolong beri aku jalan, aku mau lewat. Pekerjaanku masih banyak," ucap Caroline.

"Tunggu sebentar, kami adalah teman sekolahmu dulu. Harusnya kau bisa menyambut kami dengan lebih ramah," ucap gadis yang pertama kali melontarkan ejekan kepada Caroline.

"Ya benar, kalian adalah teman sekolahku dulu. Tapi kalian tidak terlihat sedang ingin beramah tamah denganku. Jadi, aku tidak akan membuang waktu," Caroline menerobos celah di antara dua gadis itu namun salah satu dari mereka menarik Caroline dan mendorongnya kembali ke dalam kereta gantung.

BRAKK!!

Caroline jatuh menimpa dudukan kereta dengan cukup keras akibat dorongan itu.

"Apa - apaan kalian!" bentak Caroline.

"Lihat dirimu! Dulu kau bisa sombong karena jadi murid yang pintar dan selalu dibanggakan guru. Sekarang kau berakhir menjadi petugas kebersihan dengan bayaran rendah. Apa gunanya kepintaranmu? Hahaha!" Gadis pertama mencemooh Caroline lagi.

Caroline tertunduk. Memang benar dia dulu siswa yang pandai. Tapi dia harus rela putus sekolah karena orang tuanya tidak punya biaya.

Setelah berhenti sekolah, dia bekerja sebagai petugas kebersihan untuk membantu orang tuanya menyekolahkan adiknya.

"Membersihkan bekas muntah pengunjung? Cuih! Menjijikkan," Kali ini gadis kedua yang melontarkan hinaan.

"Baiklah. Kuharap ini cukup menyenangkan untuk kalian. Aku lihat kalian sepertinya memang kekurangan hiburan. Jadi aku akan berbaik hati membiarkan kalian tertawa sebelum kalian menjadi benar - benar gila," Caroline bangkit merapikan peralatannya lagi.

"Kalian lihat ini, ini adalah muntahan yang tadi aku bersihkan. Sebaiknya kalian beri aku jalan atau aku akan melempar muntahan ini ke wajah kalian," Caroline mengayunkan kain pelnya ke hadapan dua teman sekolahnya.

Dua gadis itu menatap Caroline dengan jijik namun pada akhirnya terpaksa minggir karena ancaman itu.

"Terimakasih. Semoga hari kalian menyenangkan," ucap Caroline sambil melangkah pergi.

Caroline mengemasi perlengkapan kebersihannya, dengan santai beralih menuju unit kereta lain yang juga harus dia bersihkan.

Dua gadis tadi melempar pandangan kesal dan meremehkan, tapi Caroline tidak peduli.

Hari seperti ini sudah sering terjadi. Membersihkan kereta gantung dari benda menjijikkan ataupun mendengar hinaan telah menjadi aktifitas rutinnya. Telinga Caroline sudah kebal.

Setelah selesai membersihkan kereta terakhir, Caroline segera membereskan perlengkapannya dan berganti pakaian untuk pulang.

Hari ini, tepat 1000 hari ayahnya meninggal dunia. Caroline sudah berencana untuk pergi ke makam ayahnya sepulang kerja bersama ibu dan adiknya.

Di perjalanan, Caroline singgah ke sebuah toko bunga.

"Paman, apa bunga pesananku sudah selesai?" tanyanya kepada lelaki pemilik toko bunga.

"Oh hai Caroline! Tentu saja. Ini bungamu," lelaki itu memberikan seikat besar bunga kepada Caroline.

"Terimakasih."

Caroline bergegas pulang ke rumahnya untuk menjemput adik dan ibunya.

"Ibu, aku pulang," Caroline meletakkan barang bawaannya di meja.

Rumah terlihat sepi, namun, Caroline tak berpikir ada yang aneh sama sekali.

"Ibu, Casandra, ayo kita ke makam ayah!" Caroline memanggil ibu dan adiknya namun hanya kesunyian yang dia terima sebagai balasan.

"Ibu? Casandra?" Tidak ada jawaban.

Caroline mencoba menelepon Casandra. Namun, panggilannya gagal, ponsel Casandra tidak aktif.

Caroline mulai khawatir. Gadis itu berlari keluar menuju makam ayahnya yang tidak jauh dari rumah.

"Mungkinkah ibu dan Casandra pergi lebih dulu?" gumamnya.

Caroline terus berlari hingga dia tiba di pemakaman.

Dugaannya benar, ibunya sudah berada di samping pusara ayahnya. Tapi, tidak ada Casandra di sana.

"Ibu?" Caroline menghampiri ibunya.

Jessica, Ibu Caroline, mengangkat kepala menatap anak gadisnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Kau datang?" tanya Jessica dengan suara parau.

"Ya Bu aku datang."

"Kenapa kau memanggilku ibu? Apa aku kelihatan seperti ibumu? Apa kau sudah malas menganggapku istrimu?"

"Istri? Apa Ibu pikir aku adalah ayah? Aku Caroline Bu, bukan ayah."

Jessica mendengus, mengacuhkan ucapan Caroline. Kini Caroline bisa melihat bahwa ibunya sedang mabuk.

Mata Jessica merah dan nafasnya bau alkohol.

"Sudahlah. Aku tahu kau pasti mengutukku agar aku masuk neraka ya kan?" Racau Jessica.

"Ibu, aku rasa ibu butuh istirahat. Ayo pulang. Akan kubuatkan minuman anti mabuk," Caroline berinisiatif memapah langkah ibunya untuk pulang.

"Lepaskan!" Jessica melawan. "Aku tahu aku yang salah karena telah membunuhmu. Tapi ini semua karena kau sangat keras kepala!"

"Apa?" Seolah diguyur oleh air es, Caroline terpaku mendengar ucapan ibunya. "Ibu membunuh ayah?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status