"Maafkan anakku, seharusnya aku tidak membawanya naik cable car," Seorang ibu menatap Caroline yang sedang membersihkan muntahan anaknya di dalam sebuah kereta gantung dengan penuh penyesalan.
"Tidak mengapa, ini sudah menjadi tugasku. Cukup sering ada yang muntah di dalam cable car. Anak Anda bukan yang pertama kali. Jadi, tidak perlu khawatir," ucap Caroline dengan senyum hangatnya sambil terus membersihkan lantai dari muntahan sang anak."Sekali lagi maafkan kami. Semoga harimu menyenangkan," ucap Sang Ibu sebelum berlalu pergi."Wow lihat! Siapa yang sedang membersihkan muntahan di sini! Bukankah dia Caroline Walter?" celoteh seorang gadis yang cukup familiar di telinga Caroline.Caroline hanya menghela nafasnya, tidak berniat memberi respon apapun."Ya benar, itu Caroline Walter. Lihat betapa menyedihkannya dia sekarang," saut seorang gadis lain sambil terkikik.Dua gadis itu lalu menghampiri Caroline yang sudah selesai dengan tugasnya. Mereka berdiri di pintu kereta gantung yang Caroline bersihkan."Jika tidak ada yang penting, tolong beri aku jalan, aku mau lewat. Pekerjaanku masih banyak," ucap Caroline."Tunggu sebentar, kami adalah teman sekolahmu dulu. Harusnya kau bisa menyambut kami dengan lebih ramah," ucap gadis yang pertama kali melontarkan ejekan kepada Caroline."Ya benar, kalian adalah teman sekolahku dulu. Tapi kalian tidak terlihat sedang ingin beramah tamah denganku. Jadi, aku tidak akan membuang waktu," Caroline menerobos celah di antara dua gadis itu namun salah satu dari mereka menarik Caroline dan mendorongnya kembali ke dalam kereta gantung.BRAKK!!Caroline jatuh menimpa dudukan kereta dengan cukup keras akibat dorongan itu."Apa - apaan kalian!" bentak Caroline."Lihat dirimu! Dulu kau bisa sombong karena jadi murid yang pintar dan selalu dibanggakan guru. Sekarang kau berakhir menjadi petugas kebersihan dengan bayaran rendah. Apa gunanya kepintaranmu? Hahaha!" Gadis pertama mencemooh Caroline lagi.Caroline tertunduk. Memang benar dia dulu siswa yang pandai. Tapi dia harus rela putus sekolah karena orang tuanya tidak punya biaya.Setelah berhenti sekolah, dia bekerja sebagai petugas kebersihan untuk membantu orang tuanya menyekolahkan adiknya."Membersihkan bekas muntah pengunjung? Cuih! Menjijikkan," Kali ini gadis kedua yang melontarkan hinaan."Baiklah. Kuharap ini cukup menyenangkan untuk kalian. Aku lihat kalian sepertinya memang kekurangan hiburan. Jadi aku akan berbaik hati membiarkan kalian tertawa sebelum kalian menjadi benar - benar gila," Caroline bangkit merapikan peralatannya lagi."Kalian lihat ini, ini adalah muntahan yang tadi aku bersihkan. Sebaiknya kalian beri aku jalan atau aku akan melempar muntahan ini ke wajah kalian," Caroline mengayunkan kain pelnya ke hadapan dua teman sekolahnya.Dua gadis itu menatap Caroline dengan jijik namun pada akhirnya terpaksa minggir karena ancaman itu."Terimakasih. Semoga hari kalian menyenangkan," ucap Caroline sambil melangkah pergi.Caroline mengemasi perlengkapan kebersihannya, dengan santai beralih menuju unit kereta lain yang juga harus dia bersihkan.Dua gadis tadi melempar pandangan kesal dan meremehkan, tapi Caroline tidak peduli.Hari seperti ini sudah sering terjadi. Membersihkan kereta gantung dari benda menjijikkan ataupun mendengar hinaan telah menjadi aktifitas rutinnya. Telinga Caroline sudah kebal.Setelah selesai membersihkan kereta terakhir, Caroline segera membereskan perlengkapannya dan berganti pakaian untuk pulang.Hari ini, tepat 1000 hari ayahnya meninggal dunia. Caroline sudah berencana untuk pergi ke makam ayahnya sepulang kerja bersama ibu dan adiknya.Di perjalanan, Caroline singgah ke sebuah toko bunga."Paman, apa bunga pesananku sudah selesai?" tanyanya kepada lelaki pemilik toko bunga."Oh hai Caroline! Tentu saja. Ini bungamu," lelaki itu memberikan seikat besar bunga kepada Caroline."Terimakasih."Caroline bergegas pulang ke rumahnya untuk menjemput adik dan ibunya."Ibu, aku pulang," Caroline meletakkan barang bawaannya di meja.Rumah terlihat sepi, namun, Caroline tak berpikir ada yang aneh sama sekali."Ibu, Casandra, ayo kita ke makam ayah!" Caroline memanggil ibu dan adiknya namun hanya kesunyian yang dia terima sebagai balasan."Ibu? Casandra?" Tidak ada jawaban.Caroline mencoba menelepon Casandra. Namun, panggilannya gagal, ponsel Casandra tidak aktif.Caroline mulai khawatir. Gadis itu berlari keluar menuju makam ayahnya yang tidak jauh dari rumah."Mungkinkah ibu dan Casandra pergi lebih dulu?" gumamnya.Caroline terus berlari hingga dia tiba di pemakaman.Dugaannya benar, ibunya sudah berada di samping pusara ayahnya. Tapi, tidak ada Casandra di sana."Ibu?" Caroline menghampiri ibunya.Jessica, Ibu Caroline, mengangkat kepala menatap anak gadisnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun."Kau datang?" tanya Jessica dengan suara parau."Ya Bu aku datang.""Kenapa kau memanggilku ibu? Apa aku kelihatan seperti ibumu? Apa kau sudah malas menganggapku istrimu?""Istri? Apa Ibu pikir aku adalah ayah? Aku Caroline Bu, bukan ayah."Jessica mendengus, mengacuhkan ucapan Caroline. Kini Caroline bisa melihat bahwa ibunya sedang mabuk.Mata Jessica merah dan nafasnya bau alkohol."Sudahlah. Aku tahu kau pasti mengutukku agar aku masuk neraka ya kan?" Racau Jessica."Ibu, aku rasa ibu butuh istirahat. Ayo pulang. Akan kubuatkan minuman anti mabuk," Caroline berinisiatif memapah langkah ibunya untuk pulang."Lepaskan!" Jessica melawan. "Aku tahu aku yang salah karena telah membunuhmu. Tapi ini semua karena kau sangat keras kepala!""Apa?" Seolah diguyur oleh air es, Caroline terpaku mendengar ucapan ibunya. "Ibu membunuh ayah?""Kalau kau bisa adil pada Caroline dan Casandra, kau mungkin tidak akan celaka. Itu karena kebodohanmu sendiri jika aku gelap mata. Aku hanya seorang ibu yang akan melakukan apapun untuk puterinya," Jessica kembali meracau. Langkah kakinya limbung dan kini badannya juga sudah mulai bergetar.Caroline menatap Jessica, dia membiarkan ibunya itu bicara. Dia tahu ucapan orang yang mabuk terkadang adalah isi hati yang tidak bisa terungkap di kala sadar. Sekalipun takut akan kenyataan yang akan dia dengar, tapi Caroline merasa sangat penasaran. "Ya benar, Casandra tidak sepintar Caroline. Tapi dia anak kandungmu. Caroline hanya anak orang asing yang kau temukan di bak sampah. Bagaimana kau bisa begitu membanggakannya?" JDAR!! Bagai ada guntur di siang bolong. Caroline syok mendengar penuturan ibunya. "A- aku bukan anak kandung kalian?" Caroline bertanya sekalipun tenggorokannya seperti tercekik. "Huek!" Jessica muntah mengeluarkan isi perutnya ke sepatu Caroline. Dia terus muntah hingg
Keesokan harinya, pagi - pagi buta Casandra sudah tidak berada di rumah. Sementara Jessica baru saja terbangun ketika Caroline menghampirinya. "Ibu, bagaimana keadaanmu?" "Biasa saja." "Aku sudah membuat bubur dan minuman herbal pereda mabuk. Akan kupanaskan dulu ""Tidak perlu. Biar kulakukan sendiri. Kau berangkatlah kerja." "Ibu baik - baik saja?" "Tidak. Badanku terasa lemah. Tapi aku tidak sekarat," Jessica meregangkan otot - ototnya. "Baiklah kalau begitu. Aku akan bersiap untuk kerja," Caroline meninggalkan ibunya di ruang tamu. Sebenarnya, dia ingin membicarakan soal peristiwa di makam, tapi dia merasa sekarang bukan waktu yang tepat. Cukup banyak yang mengganggu pikiran Caroline hari ini. Untungnya pekerjaan di kereta gantung sangat banyak, jadi kesibukannya cukup untuk mengalihkan pikirannya hingga sore menjelang jam kerjanya berakhir."DAR!" seorang gadis berusia akhir 20-an datang mengejutkan Caroline dari belakang secara tiba - tiba saat dia sedang merapikan perala
Caroline membeku. Pemandangan yang dilhatnya seperti bagian penutup dari semua mimpi buruknya tentang Antonie. Antonie, kekasih yang dia cintai, sedang bercumbu mesra dengan adiknya sendiri. "Hai kalian! Apa yang sedang kalian lakukan?" teriak Vivian membuat dua insan yang tubuh dan bibirnya saling bertaut itu otomatis saling melepaskan diri. Vivian dan Caroline menghampiri mereka berdua. "Inikah yang kalian lakukan di belakangku? Kalian menjalin hubungan?" Tidak ada nada tinggi atau bentakan dalam suara Caroline. Hanya kesedihan dan kekecewaan yang disembunyikan dalam ketegaran. Antonie terdiam. "Jawab! Mengapa kau diam saja? Antonie!" Nafas Caroline mulai menderu."Aku mencintainya," ucap Antonie. "Aku mencintai Casandra. Aku sudah tidak mencintaimu lagi." "Hah!" Vivian mendengus dengan nada sinis. "Sejak kapan?" tanya Caroline dengan wajah datarnya. Hanya itu pertanyaan yang mampu keluar dari mulut Caroline kendati hatinya terasa amat perih. "Sejak lama. Maksudku, kau terla
Jessica nyaris melepas genggamannya pada baskom. Jantungnya berdebar dan tangannya sedikit gemetar. "Apa itu juga kebenaran?" desak Caroline. "Kebenaran atau bukan, tidak ada yang bisa kau lakukan." "Aku akan mencari tahu. Dan jika itu benar, ibu harus mempertanggungjawabkannya di hadapan hukum kerajaan." Jessica tertawa getir. "Apa yang bisa kau lakukan? Kau bahkan tidak punya bukti. Berhenti berkhayal dan jalani hidupmu dengan normal. Kita bertiga bisa hidup normal dan baik - baik saja asal kau tidak serakah untuk mengambil apa yang bukan milikmu." "Tidak. Tidak ada hidup normal setelah ini Bu. Bagaimana bisa hidupku jadi seperti dulu saat aku tahu bahwa aku hanya anak pungut, kekasihku direbut dan kematian ayahku tidak jelas? Silahkan jika Ibu dan Casandra akan hidup normal, aku tidak akan sama seperti dulu," Caroline pergi meninggalkan Jessica yang pura - pura tenang tapi sebenarnya amat cemas. *****Tok Tok Tok! Seseorang mengetuk pintu rumah sore harinya. Jessica membuka p
7 Hari Kemudian"Cantik sekali! Sempurna. Kau seperti puteri kerajaan. Sayang sekali usiaku masih 29 tahun 9 bulan. Jika saja pasar pengantin diadakan 3 bulan lagi, aku akan hadir bersamamu," celoteh Vivian saat menemani Caroline dirias pada pagi hari menjelang pembukaan pasar pengantin. "Tidak ada puteri kerajaan dengan bekas luka bakar di wajah seperti ini," ucap Caroline menyentuh bekas luka di pipi kanannya. "Antonie bilang ini menjijikkan.""Itu bukan hal besar. Jika punya uang, bekas luka itu bisa dengan mudah hilang. Tapi kecantikan alamimu tidak bisa dibeli. Aku yakin hari ini seseorang yang setampan Pangeran William akan meminangmu menjadi istrinya." Caroline tertunduk. Dia tidak yakin akan ada yang tertarik padanya, apalagi yang setampan William Harrington, pangeran negeri ini. Dan kalaupun ada, bisakah dia jatuh cinta lagi saat dia baru saja patah hati karena Antonie. "Ayo bersiap. Sebentar lagi acaranya di mulai," Vivian menuntun Caroline. Di panggung, wakil kerajaan se
"Nona walter? Apa kau mendengarku?" William melambaikan telapak tangannya di depan wajah Caroline yang hanya bengong menatapnya. Vivian menyenggol lengan Caroline agar Caroline secepatnya memberi respon. "Sst! Caroline, Pangeran sedang bicara kepadamu," ucapnya. Caroline tersentak seolah baru disadarkan dari lamunan panjang. "Maafkan saya Yang Mulia. Saya rasa saya hanya kaget dan bingung. Bagaimana mungkin seorang pangeran ingin menikah dengan saya yang hanya rakyat jelata?" William menyunggingkan senyum manisnya. "Nona, bisakah aku bicara berdua dengan Nona Walter?" ucapnya kepada Vivian yang saat ini matanya sudah berkaca - kaca memandangnya dengan tatapan memuja. "Tentu. Tentu Yang Mulia. Silahkan," Vivian pergi menjauh dengan wajah yang ceria luar biasa. Sebelum pergi, dia melontarkan pandangan penuh arti kepada Caroline. Caroline masih tegang. Dia hanya menunggu saja apa yang akan William katakan. "Sebelumnya aku harus minta maaf karena telah mengawasimu selama satu bulan
"Kau mau pergi?" tanya Jessica kepada Caroline yang sedang mengenakan sepatunya. "Iya. Aku harus menemui seseorang," jawab Caroline. "Apa kau akan bertemu dengan Pangeran William?" tanya Casandra dengan nada mengejek. "Benar. Aku tahu kau tidak percaya. Tapi, kau juga harus tahu bahwa aku tidak peduli dengan pendapatmu," jawab Caroline cuek. "Terserah. Bersenang - senanglah menghibur dirimu sendiri," Casandra berlalu sambil membuang muka. "Caroline, santailah sedikit!" ucap Bibi Maurel yang tiba - tiba datang dari kebun belakang rumah. "Aku tahu hidupmu kacau. Pendidikan rendah, tidak cantik, penghasilan pas - pasan dan perawan tua, tapi kau harus tetap waras. Berhentilah berkhayal dan membual soal Pangeran William. Semua orang tahu itu mustahil. Apa yang sedang coba kau perbuat?" "Tenanglah Bi," balas Caroline dengan santai sambil memasang tali sepatunya. "Aku tidak gila. Dan aku tidak butuh sorak sorai dari kalian. Kalian bebas untuk meragukan semua ucapanku ataupun meremehkank
"Di- dia..." Caroline terbata. "Dia adalah Ariana Bellwood," ucap William. "Siapa dia Yang Mulia? Dia sangat mirip dengan saya." "Bukan mirip, tapi sama persis. Dia adalah kekasihku, calon istriku yang seharusnya menjadi puteri kerajaan dua bulan lagi. Tapi seseorang mencoba mencelakainya hingga dia koma seperti sekarang." Caroline masih terdiam menunggu penjelasan lebih lanjut. "Keadaannya yang koma telah aku rahasiakan dari semua orang. Mereka semua berpikir Ariana sedang membantuku menjalankan tugas negara ke New York. Siapa pun yang berusaha membunuhnya pasti sedang mengira bahwa usahanya gagal total. Dia mungkin sedang merencanakan cara lain untuk mencelakai Ariana setelah Ariana kembali." "Berminggu - minggu aku berusaha membuat dia sadar. Aku mendatangkan alat - alat canggih hingga dokter dari luar negeri, tapi semuanya gagal. Lalu, satu bulan yang lalu, aku menerima laporan dari salah satu orangku bahwa ada seorang wanita yang wajahnya sama persis dengan wajah Ariana. Itu