"Kalau kau bisa adil pada Caroline dan Casandra, kau mungkin tidak akan celaka. Itu karena kebodohanmu sendiri jika aku gelap mata. Aku hanya seorang ibu yang akan melakukan apapun untuk puterinya," Jessica kembali meracau. Langkah kakinya limbung dan kini badannya juga sudah mulai bergetar.
Caroline menatap Jessica, dia membiarkan ibunya itu bicara. Dia tahu ucapan orang yang mabuk terkadang adalah isi hati yang tidak bisa terungkap di kala sadar.Sekalipun takut akan kenyataan yang akan dia dengar, tapi Caroline merasa sangat penasaran."Ya benar, Casandra tidak sepintar Caroline. Tapi dia anak kandungmu. Caroline hanya anak orang asing yang kau temukan di bak sampah. Bagaimana kau bisa begitu membanggakannya?"JDAR!!Bagai ada guntur di siang bolong. Caroline syok mendengar penuturan ibunya."A- aku bukan anak kandung kalian?" Caroline bertanya sekalipun tenggorokannya seperti tercekik."Huek!" Jessica muntah mengeluarkan isi perutnya ke sepatu Caroline. Dia terus muntah hingga badannya lemas."Ayo Bu, aku akan menggendongmu sampai ke rumah," Caroline memijat tengkuk Jessica hingga ibunya itu menuntaskan gejolak di perutnya."Ayo! Naiklah ke punggungku," Caroline membantu Jessica untuk naik di punggungnya lalu mengangkat tubuh lemas wanita itu hingga ke rumah mereka.BRAK!Caroline mendorong pintu depan rumahnya dengan keras. Dia ingin segera menidurkan Jessica di sofa karena sudah merasa berat menggendong tubuh ibunya itu."Siapa itu?" Casandra yang kaget berteriak dari ruang tengah."Casandra, kau sudah pulang rupanya. Bantu aku menidurkan ibu di sofa," pinta Caroline."Apa yang terjadi padanya?" Casandra membantu menurunkan tubuh Jessica dan membaringkannya di satu - satunya sofa yang mereka miliki di ruang tamu."Ibu mabuk," jawab Caroline."Mabuk? Ibu jarang minum sampai mabuk. Apa yang terjadi?""Entahlah. Tadinya aku mencari kau dan ibu karena aku ingin mengajak kalian ke makam ayah. Hari ini tepat 1000 hari ayah meninggal, ingat? Tapi kalian tidak ada di rumah. Ternyata ibu sudah ada di makam. Tapi dia sudah dalam keadaan mabuk. Dia muntah lalu tertidur saat aku menggendongnya kemari. Kau ke mana saja seharian?""Aku? Aku ke-" Casandra terlihat berpikir seolah sedang menyembunyikan sesuatu. "Aku tadi menemui temanku."Caroline menyadari bahwa Casandra sedang berbohong. Dia cukup hafal dengan gelagat adiknya. Tapi dia tidak ingin mempermasalahkan hal itu untuk saat ini."Baiklah. Tolong ambilkan air hangat dan lap untuk membersihkan wajah ibu. Aku akan menyiapkan bubur dan minuman pereda mabuk untuknya."Caroline segera ke dapur. Casandra mengikuti perintahnya untuk membasuh wajah Jessica.Beberapa saat kemudian, Caroline kembali ke ruang tamu untuk memeriksa ibunya. "Ibu belum bangun?""Belum. Dia terlihat sangat pulas.""Ini makanlah dulu," Caroline menyodorkan sepotong roti yang sudah dia hangatkan kepada Casandra.Casandra melahapnya."Apa kau sudah mendapat pekerjaan?" Caroline memulai pembicaraan."Belum," jawaban Casandra singkat seolah tak terlalu peduli."Apa kau sudah melamar di banyak tempat?""Tentu saja! Apa maksudmu aku bermalas - malasan sampai aku belum dapat pekerjaan?" Casandra meninggikan suaranya. Dia bahkan melotot ke arah Caroline memperlihatkan ketidakksukaannya."Bukan itu maksudku. Hanya saja ini sudah hampir satu tahun semenjak kau lulus. Aku hanya ingin bilang bahwa sebaiknya jangan terlalu pemilih."Casandra mendengus. "Aku harus memilih. Aku tidak sepertimu yang tidak lulus SMA. Aku lulusan sarjana, bagaimana mungkin aku bekerja di sembarang tempat.""Ya kau benar. Tapi, jika saja kau punya pekerjaan dan bukan hanya aku yang bekerja untuk keluarga kita mungkin...""Oh! Kau sudah mulai keberatan menanggung nafkah keluarga rupanya!""Buka itu maksudku Casandra. Jangan seperti anak kecil!""Dengar, kalau kau keberatan, kenapa tidak berhenti saja menjadi tulang punggung keluarga? Aku bisa dapat pekerjaan yang lebih baik darimu. Tidak perlu khawatir. Atau jika aku belum dapat, setidaknya ada banyak pria kaya yang bersedia menikahiku. Sekarang pikirkanlah dirimu sendiri! Kau sudah hampir 30 tahun, kalau kau tidak segera menikah, kau mungkin akan dijual di pasar pengantin."BRAK!Casandra mengakhiri amukannya dengan membanting mangkuk rotinya. Tanpa menatap Caroline, dia beranjak pergi ke kamarnya.Caroline tertegun untuk sesaat. Dia benar - benar tidak ingin memulai keributan. Dia heran mengapa Casandra bersikap defensif.Namun, ucapan Casandra benar. Fakta bahwa dia sudah beranjak 30 tahun tanpa ada kejelasan kapan dia akan menikah telah menambah beban pikirannya.Caroline memasangkan selimut ke tubuh Jessica yang masih pulas lalu beranjak pergi ke kamarnya sendiri.Dia membaringkan tubuhnya di ranjang lalu menelepon seseorang dengan ponsel bututnya."Hai Antonie. Tidak, aku hanya ingin mendengar kabar darimu. Kau tidak menghubungiku sama sekali hari ini," ucapnya pada seseorang yang dia telepon."Maafkan aku. Aku sangat sibuk.""Oh begitu rupanya," Caroline tertunduk. Dia menunggu Antonie bertanya tentang kabarnya atau pertanyaan lain. Namun, kekasihnya itu terdengar sangat cuek."Aku lelah. Jika tidak ada hal lain yang mau kau katakan..." Antonie hendak mengakhiri pembicaraannya."Tunggu. Aku ingin bertanya sesuatu," Caroline mencegahnya mengakhiri pembicaraan."Apa?""Kapan kita menikah?""Ah, pertanyaan itu lagi. Apa kau tidak punya pertanyaan lain?""Aku serius. Aku sudah hampir 30 tahun. Kau tahu tradisi di negeri kita. Jika seorang perempuan belum menikah sampai dia berusia 30 tahun...""Aku tahu. Kau sudah mengulangnya ribuan kali. Tapi aku belum siap. Apa yang harus kulakukan? Itu keputusanmu sepenuhnya jika kau ingin memilih lelaki di pasar pengantin.""Bukan itu maksudku," Caroline hendak menjelaskan. Namun Antonie menutup panggilannya. "Antonie? Antonie?"Caroline menghela nafas dan memejamkan matanya.Apakah Antonie sudah tidak mencintainya?Atau memang benar lelaki itu hanya belum siap menikah?Lalu bagaimana dengan dirinya?Puluhan pertanyaan berlarian di kepalanya. Caroline memikirkannya hingga dia merasa begitu lelah dan tertidur.Keesokan harinya, pagi - pagi buta Casandra sudah tidak berada di rumah. Sementara Jessica baru saja terbangun ketika Caroline menghampirinya. "Ibu, bagaimana keadaanmu?" "Biasa saja." "Aku sudah membuat bubur dan minuman herbal pereda mabuk. Akan kupanaskan dulu ""Tidak perlu. Biar kulakukan sendiri. Kau berangkatlah kerja." "Ibu baik - baik saja?" "Tidak. Badanku terasa lemah. Tapi aku tidak sekarat," Jessica meregangkan otot - ototnya. "Baiklah kalau begitu. Aku akan bersiap untuk kerja," Caroline meninggalkan ibunya di ruang tamu. Sebenarnya, dia ingin membicarakan soal peristiwa di makam, tapi dia merasa sekarang bukan waktu yang tepat. Cukup banyak yang mengganggu pikiran Caroline hari ini. Untungnya pekerjaan di kereta gantung sangat banyak, jadi kesibukannya cukup untuk mengalihkan pikirannya hingga sore menjelang jam kerjanya berakhir."DAR!" seorang gadis berusia akhir 20-an datang mengejutkan Caroline dari belakang secara tiba - tiba saat dia sedang merapikan perala
Caroline membeku. Pemandangan yang dilhatnya seperti bagian penutup dari semua mimpi buruknya tentang Antonie. Antonie, kekasih yang dia cintai, sedang bercumbu mesra dengan adiknya sendiri. "Hai kalian! Apa yang sedang kalian lakukan?" teriak Vivian membuat dua insan yang tubuh dan bibirnya saling bertaut itu otomatis saling melepaskan diri. Vivian dan Caroline menghampiri mereka berdua. "Inikah yang kalian lakukan di belakangku? Kalian menjalin hubungan?" Tidak ada nada tinggi atau bentakan dalam suara Caroline. Hanya kesedihan dan kekecewaan yang disembunyikan dalam ketegaran. Antonie terdiam. "Jawab! Mengapa kau diam saja? Antonie!" Nafas Caroline mulai menderu."Aku mencintainya," ucap Antonie. "Aku mencintai Casandra. Aku sudah tidak mencintaimu lagi." "Hah!" Vivian mendengus dengan nada sinis. "Sejak kapan?" tanya Caroline dengan wajah datarnya. Hanya itu pertanyaan yang mampu keluar dari mulut Caroline kendati hatinya terasa amat perih. "Sejak lama. Maksudku, kau terla
Jessica nyaris melepas genggamannya pada baskom. Jantungnya berdebar dan tangannya sedikit gemetar. "Apa itu juga kebenaran?" desak Caroline. "Kebenaran atau bukan, tidak ada yang bisa kau lakukan." "Aku akan mencari tahu. Dan jika itu benar, ibu harus mempertanggungjawabkannya di hadapan hukum kerajaan." Jessica tertawa getir. "Apa yang bisa kau lakukan? Kau bahkan tidak punya bukti. Berhenti berkhayal dan jalani hidupmu dengan normal. Kita bertiga bisa hidup normal dan baik - baik saja asal kau tidak serakah untuk mengambil apa yang bukan milikmu." "Tidak. Tidak ada hidup normal setelah ini Bu. Bagaimana bisa hidupku jadi seperti dulu saat aku tahu bahwa aku hanya anak pungut, kekasihku direbut dan kematian ayahku tidak jelas? Silahkan jika Ibu dan Casandra akan hidup normal, aku tidak akan sama seperti dulu," Caroline pergi meninggalkan Jessica yang pura - pura tenang tapi sebenarnya amat cemas. *****Tok Tok Tok! Seseorang mengetuk pintu rumah sore harinya. Jessica membuka p
7 Hari Kemudian"Cantik sekali! Sempurna. Kau seperti puteri kerajaan. Sayang sekali usiaku masih 29 tahun 9 bulan. Jika saja pasar pengantin diadakan 3 bulan lagi, aku akan hadir bersamamu," celoteh Vivian saat menemani Caroline dirias pada pagi hari menjelang pembukaan pasar pengantin. "Tidak ada puteri kerajaan dengan bekas luka bakar di wajah seperti ini," ucap Caroline menyentuh bekas luka di pipi kanannya. "Antonie bilang ini menjijikkan.""Itu bukan hal besar. Jika punya uang, bekas luka itu bisa dengan mudah hilang. Tapi kecantikan alamimu tidak bisa dibeli. Aku yakin hari ini seseorang yang setampan Pangeran William akan meminangmu menjadi istrinya." Caroline tertunduk. Dia tidak yakin akan ada yang tertarik padanya, apalagi yang setampan William Harrington, pangeran negeri ini. Dan kalaupun ada, bisakah dia jatuh cinta lagi saat dia baru saja patah hati karena Antonie. "Ayo bersiap. Sebentar lagi acaranya di mulai," Vivian menuntun Caroline. Di panggung, wakil kerajaan se
"Nona walter? Apa kau mendengarku?" William melambaikan telapak tangannya di depan wajah Caroline yang hanya bengong menatapnya. Vivian menyenggol lengan Caroline agar Caroline secepatnya memberi respon. "Sst! Caroline, Pangeran sedang bicara kepadamu," ucapnya. Caroline tersentak seolah baru disadarkan dari lamunan panjang. "Maafkan saya Yang Mulia. Saya rasa saya hanya kaget dan bingung. Bagaimana mungkin seorang pangeran ingin menikah dengan saya yang hanya rakyat jelata?" William menyunggingkan senyum manisnya. "Nona, bisakah aku bicara berdua dengan Nona Walter?" ucapnya kepada Vivian yang saat ini matanya sudah berkaca - kaca memandangnya dengan tatapan memuja. "Tentu. Tentu Yang Mulia. Silahkan," Vivian pergi menjauh dengan wajah yang ceria luar biasa. Sebelum pergi, dia melontarkan pandangan penuh arti kepada Caroline. Caroline masih tegang. Dia hanya menunggu saja apa yang akan William katakan. "Sebelumnya aku harus minta maaf karena telah mengawasimu selama satu bulan
"Kau mau pergi?" tanya Jessica kepada Caroline yang sedang mengenakan sepatunya. "Iya. Aku harus menemui seseorang," jawab Caroline. "Apa kau akan bertemu dengan Pangeran William?" tanya Casandra dengan nada mengejek. "Benar. Aku tahu kau tidak percaya. Tapi, kau juga harus tahu bahwa aku tidak peduli dengan pendapatmu," jawab Caroline cuek. "Terserah. Bersenang - senanglah menghibur dirimu sendiri," Casandra berlalu sambil membuang muka. "Caroline, santailah sedikit!" ucap Bibi Maurel yang tiba - tiba datang dari kebun belakang rumah. "Aku tahu hidupmu kacau. Pendidikan rendah, tidak cantik, penghasilan pas - pasan dan perawan tua, tapi kau harus tetap waras. Berhentilah berkhayal dan membual soal Pangeran William. Semua orang tahu itu mustahil. Apa yang sedang coba kau perbuat?" "Tenanglah Bi," balas Caroline dengan santai sambil memasang tali sepatunya. "Aku tidak gila. Dan aku tidak butuh sorak sorai dari kalian. Kalian bebas untuk meragukan semua ucapanku ataupun meremehkank
"Di- dia..." Caroline terbata. "Dia adalah Ariana Bellwood," ucap William. "Siapa dia Yang Mulia? Dia sangat mirip dengan saya." "Bukan mirip, tapi sama persis. Dia adalah kekasihku, calon istriku yang seharusnya menjadi puteri kerajaan dua bulan lagi. Tapi seseorang mencoba mencelakainya hingga dia koma seperti sekarang." Caroline masih terdiam menunggu penjelasan lebih lanjut. "Keadaannya yang koma telah aku rahasiakan dari semua orang. Mereka semua berpikir Ariana sedang membantuku menjalankan tugas negara ke New York. Siapa pun yang berusaha membunuhnya pasti sedang mengira bahwa usahanya gagal total. Dia mungkin sedang merencanakan cara lain untuk mencelakai Ariana setelah Ariana kembali." "Berminggu - minggu aku berusaha membuat dia sadar. Aku mendatangkan alat - alat canggih hingga dokter dari luar negeri, tapi semuanya gagal. Lalu, satu bulan yang lalu, aku menerima laporan dari salah satu orangku bahwa ada seorang wanita yang wajahnya sama persis dengan wajah Ariana. Itu
William merengkuh tubuh Caroline hingga tubuh mereka menempel. Satu tangannya melingkar di pinggul sementara tangan yang satu lagi menyentuh tengkuk Caroline. Caroline membeku dan tubuhnya terasa kaku. Dia bingung bagaimana akan merespon selain menerima ciuman itu dengan canggung. Setelah beberapa saat mengecup bibir manis Caroline, William melepas tautan bibir mereka dan berkata, "Apa yang kau rasakan Nona Walter?" Caroline mengerjapkan matanya. Sejujurnya dia bingung akan menjawab apa. Tidak ingin ambil pusing, Caroline hanya menjawab, "Tidak ada. Saya... tidak merasakan apapun Yang Mulia." "Bagus! Kau lulus ujian. Pertahankan seperti itu untuk seterusnya. Ke depannya, di saat - saat tertentu kita mungkin harus terpaksa berciuman. Saat itu terjadi, jangan pernah merasakan apapun. Ingat perjanjian kita, no love, no sex." Caroline mengangguk. "Baik Yang Mulia." "Oh ya, berlatihlah mulai sekarang memanggilku William. Atau mungkin Will. Panggil aku Will! Karena begitulah Ariana me