Di dalam sebuah ruangan terdengar suara desahan dari dua orang yang sedang saling menyentuh. Hanya saling menyentuh, tidak sampai melakukan hubungan intim. Siapa lagi jika bukan Lunar dan Bumi. Siang sudah beranjak malam, namun keduanya masih berada di sana. Awalnya Lunar mau pamit pulang, sayangnya Bumi melarang dengan memberikan tugas yang harus dikerjakan di ruangannya. Lunar menurut dan siapa sangka suaminya malah mengambil kesempatan untuk menyentuhnya. "Mas, nanti ada kebablasan," kata Lunar yang terbaring di sofa dengan pakaian berantakan. Sedangkan Bumi, berada di atasanya sambil menikmati bagian depan tubuh Lunar yang menonjol dan menggoda untuk disentuh. "Malam ini aku tidak bisa menemanimu di apartemen, jadi aku ingin menikmati malam ini denganmu," kata Bumi melabuhkan bibirnya pada bagian leher istrinya seraya memberikan sebuah tanda. Ingin Lunar melarang, tetapi percuma. Mana mungkin suaminya mau menurut. Yang ada, lelaki itu akan semakin membuat banyak tanda pada tu
Lunar tidak menduga bahwa suaminya benar-benar datang, walau mengenakan pakaian yang serba tertutup. "Sudah bertemunya?" tanya Bumi dengan suara sedikit pelan agar tidak di kenali oleh Satria. "Hm." Lunar mengangguk. "Ayo kita pulang."Diraihnya tangan sang suami untuk meninggalkan tempat itu. "Hei, Bung. Benarkah kamu suaminya Lunar?" tanya Satria yang berdiri dari duduknya. Lunar dan sang suami berbalik menatap pria yang tersenyum mengejek. "Ya, aku suaminya!" sahut Bumi dengan lantang. Satria melihat penampilan tertutup lelaki di depannya. Seolah memindai, lalu menunjukkaj wajah sinisnya. "Kenapa kamu mengenakan pakaian seperti ini? Apakah kamu seorang teroris?""Jaga bicaramu, Satria! Suamiku seperti ini karena dia sedang dalam masa pemulihan!" sentak Lunar berbohong. Dahi Satria mengerut. "Pemulihan? Jadi kamu menikahi seorang penyakitan? Ah, pantas saja dia mau dengan janda sepertimu!"Kedua tangan Lunar terkepal dengan erat. Sebuah sentuhan membuatnya menoleh dan tangan
Setelah pembicaraan dengan pelayan dari Bumi, Lunar bersiap untuk berangkat ke kantor. Hari ini dia akan mengunjungi pabrik setelah sekian lama tidak datang ke sana. Saat ini dia masih berada di dalam mobil yang melaju menuju ke kantor. Pembicaraan dengan Bibi masih bisa Lunar ingat dengan jelas. Walaupun Bibi tidak mengatakan dengan jelas apakah istri pertama suaminya tinggal dengan keluarga Mahendra. Secara tersirat Bibi menunjukkan bahwa hubungan mereka dengan Clara kurang baik. "Kita sudah sampai di kantor, Nyonya," seru Pak Sopir pada majikannya. Lunar tersadar dari lamunannya. "Ah, oke."Dia pun turun dari mobil dengan membawa bekal untuk suaminya. Seperti biasa beberapa orang tidak bosan dan jegah melihatnya turun dari mobil. Mereka semua sudah tahu bahwa dirinya sudah menikah. Pandangan mereka jadi berubah dengan kabar yang mulai beredar bahwa dirinya simpanan om-om. "Aku jadi penasaran, Om-om macam apa yang jadi suaminya," kata karyawan yang melewatinya. "Mungkin saja Om
"Di sini kami mendatangkan kayu-kayu berkualitas dan harganya mahal. Apalagi kayu-kayu itu cukup langka," jelas Satria pada kedua orang yang berkunjung di pabriknya. Lunar yang paham jenis-jenis kayu berkualitas melihat dari dekat pohon yang baru saja diturunkan dari truk. "Aku pikir jenis kayu eboni atau gaharu, ternyata bukan ya," kata Lunar dengan senyum manis yang secara tidak langsung menyiratkan ejekan. "Kalau dilihat memang bukan, Mbak. Mungkin karena jenis kayu ini mulai langka," timpal Septian. "Tidak juga," balas Lunar melihat pada pemimpin pabrik itu. "Di Indonesia banyak sekali jenis kayu yang bisa kita gunakan, tergantung bagaimana kita mau mengajak pemilik lahan pohon itu kerja sama.""Dan mereka biasanya mau kerja sama jika harganya mahal!" sambung Satria. Pria itu tahu bahwa mantan istrinya pasti sengaja mengatakan hal itu untuk menjelekkannya. Tidak akan dia biarkan perempuan yang sudah mulai berani padanya melakukan hal itu. "Jika menawarkan dengan harga pas-pa
Pipi Lunar terasa panas mendapatkan cap lima jari dari wanita di depannya. Mereka tidak saling kenal, tetapi wanita itu seenaknya menampar begitu saja. "Apa yang anda lakukan?!" kata Lunar memegang pipinya. "Kamu itu memang perempuan tidak benar ya! Kamu tahu, Tian ini adalah tunanganku dan kamu malah menggodanya! Dasar perempuan murahan!" hina wanita tidak dikenal pada perempuan di depannya. "Anya, hentikan!" sentak Septian membuat wanita yang dipanggilnya menoleh. "Kamu apa-apaan datang ke sini, seenaknya berbuat onar!""Siapa yang berbuat onar? Aku hanya memberikan perempuan murahan ini pelajaran agar tidak suka menggoda pasangan orang!" sentak Anya melirik sinis pada Lunar. Lunar tidak mengerti kenapa wanita tersebut mengatakan hal seperti itu padanya. Dia pun berpikir bahwa bisa saja Anya sudah dihasut oleh orang-orang yang tidak suka dengannya. "Jangan sembarang bicara! Mbak Lunar bukan perempuan seperti itu!" seru Septian dengan wajah dingin. "Oh, begitu? Semua orang tahu
Lunar tidak menyangka dengan keputusan yang dibuat oleh suaminya. Lelaki itu menyuruhnya menampar Anya sebagai balasan atas perbuatannya. "Tu-tuan, saya rasa tidak perlu sampai melakukan hal itu. Anya sudah mengakui kesalahannya dan secara tidak langsung dia hanya korban kelicikan Mia. Saya mohon, agar Tuan mencabut kembali hukuman padanya dan Tian," serunya berharap sang atasan mau berbaik hati. "Mbak Lunar, tidak apa Mbak tampar aku. Pipi Mbak pasti panas bahkan masih ada bekasnya. Silakan, Mbak." Anya menyodorkan pipinya sambil memejamkan mata. Sungguh Lunar tidak tega melakukan hal itu pada wanita di depannya. Memang benar bahwa pipinya masih terasa sakit, tetapi dia sudah melupakan karena tahu tidak sepenuhnya salah Anya. Ditatap Bumi yang masih diam, hingga tatapan mereka beradu. "Aku tidak biasa membatalkan keputusanku! Karena Lunar sudah bekerja cukup baik, maka aku kabulkan permintaannya! Dengan syarat, lain kali jangan lagi buat onar di sini atau aku sendiri yang akan me
Suasana sore menjelang malam masih diselimuti rintik hujan yang penuh syahdu. Beberapa orang berteduh di tempat yang cukup nyaman, seperti di kafe. Begitu pula dengan Lunar yang duduk sambil menyesap minuman hangatnya. Di depan perempuan itu ada seorang pria yang tadi mengajaknya bicara. Orang itu adalah Bian, salah satu karyawan yang dulunya satu divisi dengan Lunar. "Em, ada apa, Bi? Apakah kamu ada masalah?"Sedari sampai di sana, Bian tidak kunjung bicara. Hanya menghela nafas berat seolah sedang memikulnya beban yang tidak biasa. Padahal, tanpa lelaki itu tahu. Lunar ingin sekali cepat pulang. Dia khawatir jika Bumi marah padanya. Tadi, dia sudah memberikan pesan pada suaminya bahwa akan bertemu dengan Bian dan belum ada pesan balasan dari lelaki itu. "Aku hanya mau jujur padamu, Lunar," kata Bian sambil menatap perempuan di depannya. "Jujur? Jujur apa?"Perasaan Lunar jadi tidak enak mendengar kata jujur. Bukannya geer, kadang dia melihat Bian yang perhatian padanya dan beg
Malam yang panas membuat Lunar kelelahan. Untung saja dia tidak sampai bangun kesiangan. Bahkan perempuan itu masih berbaring seraya melihat pada lelaki yang ada di sampingnya. 'Tampan,' serunya dalam hati. Suaminya masih tertidur dengan lelap setelah tiga jam menyelesaikan ronde malamnya. Dia pun bisa melihat banyaknya tanda merah pada tubuh suaminya. Tidak menyangka ternyata dia cukup ganas juga dalam bermain. "Kamu sudah bangun?" tanya Bumi yang mengerjapkan matanya. "Baru bangun, Mas," balasnya sambil mengubah posisi menjadi bersandar pada kepala ranjang. "Kalau kamu capek atau kesakitan, tidak perlu masuk kantor."Bumi ikut duduk di samping istrinya. Pandangan lelaki itu tertuju pada tubuh istrinya yang tidak tertutup baju tidur. Puas rasanya melihat tanda merah yang semalam dia lukis pada tubuh mulus itu. "Mas Bumi," panggil Lunar menepuk pelan pipi suaminya karena terdiam. "Hm? Kamu mau libur?"Lunar menggeleng dan berkata, "Aku mau ke kantor saja, Mas. Selain banyak pek