Alya tercekat ketika melihat Raka hadir di rumahnya dengan wajah tanpa dosa. Diam-diam Alya curiga kalau Raka memang mengikutinya. Tapi, meski begitu entah mengapa ada rasa lega yang menggelayuti hati Alya ketika melihat ada Raka hadir di waktu yang genting seperti ini.
Alya berharap dengan hadirnya Raka, malam ini juga keluarganya akan terbebas dari Babeh Rojali sang rentenir karena Raka yang akan membayarkan semua hutang dia dan Emaknya.
Meski setelahnya, Alya ragu bisakah dia membayar Raka? Ataukah Alya emang ditakdirkan untuk menerima tawaran sang duda?
"Astaga! Pak Raka?" teriak Alya sambil menutup mulutnya yang menganga membuat Emak menyusuri arah pandang anaknya.
"Pak Raka? Siapa dia, Ya? Pacar lu? Kok Emak baru lihat." Emak melihat Raka sampai nyureng-nyureng.
Di mata Emak, baru kali ini Alya membawa lelaki ke rumah mereka. Optimisme Emak terbit melihat Raka yang tampan nan rupawan tersebut mengatakan akan membayarkan hutang.
Tak menggubris pertanyaan Emak, Alya menghampiri dosennya tersebut. "Pa-Pak Raka ada apa ke sini?"
"Saya ke sini buat bantu kamu. Sekarang kamu tenang saja, sekarang ini jadi urusan saya." Raka mengangguk penuh arti kepada Alya dan Emak yang masih berdiri terkejut.
Setelah itu tanpa dipersilahkan, bak pangeran berkuda putih lelaki itu melangkah masuk dengan jantannya dan berhenti tepat di depan Babeh yang masih menatap aneh. Wajah Babeh yang jelek dan senga terlihat kesal melihat kedatangan Raka.
"Katakan, berapa aslinya hutang mereka? Saya akan membayarnya sekarang juga," ujar Raka pada Babeh. Wajah pria itu tampak dingin, lebih dingin dari es di Kutub Utara sana.
Babeh mengangkat bibir sebelahnya sinis. "Halah, cuih! Lo mau bayar hutang mereka? Emang bisa!? Lo pasti gak akan lebih kaya dari gue. Nih ye, gue kasih tahu, hutang si Alya ini 100 juta mampu lu bayar hutang mereka? Pasti kagak kan! Hahahaha!" Tawa sumbang Babeh benar-benar membuat semua orang trauma. Bukan apa-apa ketawanya itu loh bikin mual, napasnya yang bau naga sampai tercium ke pagar tetangga.
Raka menyeringai. "Oh 100 juta doang Anda sudah heboh. Saya gak paham, mengapa Anda harus membuat keributan sebesar ini hanya karena duit 100 juta? Bagi saya uang 100 juta itu gak ada apa-apanya."
"Pret! Bac*ot! Jangan songong lu! Mana sini buktiin kalau lu emang bisa bayar! Kalau lu cuman bisa ngomong doang! Gue bakal hajar lu! Ipin siap-siap!" Babeh yang merasa terhina karena disepelekan oleh Raka meminta para preman-nya yang berjumlah tiga orang bersiap di belakang.
Melihat itu Raka bukan takut malah geleng-geleng kepala, secara Raka mah udah jago bela diri dari sananya, pakai diancam segala. Cemen!
"Preman kampung! Udahlah, saya malas berdebat. Silahkan Anda lihat sendiri saya berbohong atau tidak!" Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, Raka pun membuka koper yang sejak tadi dia bawa. Sebenarnya, setelah pertemuannya dengan Alya dia mencari tahu tentang asal usul gadis itu dan dia sudah menyiapkan uang cash sebagai salah satu persiapan untuk menghadapi kemungkinan.
Mata Babeh Rojali melebar ketika melihat tumpukan uang yang ada di koper Raka dan secara sombong Raka pun memamerkannya. Dia bahkan memperlihatkan itu sama Alya dan Emak yang matanya langsung membulat melihat uang berpuluh-puluh juta bahkan ratusan.
Seumur-umur baru kali ini mereka melihat uang sebanyak itu, bahkan tetangga-tetangga yang kepo pun langsung masuk hanya demi mencium bau kekayaan untuk menghibur kemiskinan mereka. Di saat semua sudah terlena apalagi dengan Babeh Rojali, tiba-tiba Raka menutup kopernya dengan kencang.
BRAK!
"Sudah cukup liatnya, Beh? Nah sekarang, sebelum saya memberikan ini pada Babeh, saya punya syarat!" Selayaknya pengacara handal, Raka yang berprofesi sebagai dosen juga pengacara itu mengajukan dulu kesepakatan agar kejadian ini gak akan merugikan Alya ke depannya."
Babeh menelan ludahnya gugup. Nyalinya mendadak ciut. "Sya-syarat apaan?"
"Syarat pertama, kalau saya sudah memberikan ini kalian gak boleh balik lagi ke sini dan mengganggu keluarga Alya. Syarat kedua, kalian gak boleh menjalankan praktek rentenir lagi dan kalau misalkan kalian masih ngeyel, kalian semua bisa saya laporkan ke POLISI! PAHAM?!" bentak Raka keras membuat Babeh ngangguk-ngangguk kayak cecunguk.
"Pa-paham, gue. Udah siniin duitnya!" ujar Babeh masih gengsi aja.
Raka mendengkus seraya menyerahkan uang itu. "Nih, duitnya! Ingat kalau kalian ngelanggar gue bisa bantai kalian semua! Sekarang, kalian pergi CEPAT!"
Bersamaan dengan jatuhnya uang itu ke tangan Babeh, Raka langsung menatap tajam mereka satu-persatu. Gayanya yang lebih sangar dari preman-preman membuat Babeh cs terpaksa kicep. Dengan wajah marah Babeh yang udah menerima uang buru-buru melangkah keluar tapi sebelumnya dia sempat mengancam.
"Awas ya kalian! Kalo ketemu gue lagi!" ujar Babeh pada Alya dan Emak yang langsung mencibir gak takut.
"EH, ngancam lagi! Huuuu!" Alya yang merasa udah aman mulai berani sok-sok jagoan.
Dan akhirnya setelah semua preman pergi, Alya pun menatap Raka mengucapkan terima kasih. Sementara Raka hanya tersenyum lega karena sang calon pengantinnya gak jadi dinikahi bangkot tua.
(***)
Rumah keluarga Alya sudah mulai dibebenah. Kondisi ruang tamu yang semula terlihat seperti kapal pecah gara-gara diobrak-abrik Babeh cs mulai terlihat rapi karena para tetangga Emak membantu membereskannya. Inilah enaknya tinggal di kampung, jika ada satu orang kesusahan mereka akan bergotong royong membantu. Beda ceritanya kalau tinggal di kota-kota besar, terkadang antar tetangga saja sulit sekali bertemu.
"Alhamdullilah. Makasih ya Nak Raka, udah mau bantu Emak sama Alya," ujar Emak tulus. Saat ini mereka bertiga sedang berada di ruang tamu kecil milik Alya, tentu saja setelah para tetangga pergi ke rumah mereka.
Raka mengangguk sopan. "Sama-sama Bu, sudah menjadi kewajiban saya membantu Alya selaku mahasiswa saya."
"Oalah jadi Nak Raka ini dosennya Alya?" tanya Emak terkejut.
"Iya, Bu, Pak Raka ini dosennya Alya." Kali ini bukan Raka yang menjawab tapi Alya. Alya yang baru datang sambil membawa gelas berisi air putih untuk Raka langsung duduk di samping Emak dan menyorokan minuman ke arah dosen tampan tersebut.
"Diminum Pak. Maaf gak ada apa-apa," ujar Alya basa-basi. Sekilas matanya dan mata Raka bertatapan tapi tak lama mereka buru-buru sama -sama mengalihkan.
Sejujurnya saat ini, Alya sudah merasa degdegan. Dalam hati dia sudah menerka-nerka apa yang ingin Raka bicarakan dengan mereka.
"Baik terima kasih Alya. Hem, sebenarnya saya ke sini mau menyampaikan niat baik saya buat melamar Alya pada Ibu. Apakah Ibu--"
"Saya setuju! Saya jelas setuju!"
Belum juga Raka selesai bicara Ibunya Alya sudah memotong saja. Alya yang tidak menyangka Emak akan setuju langsung membulatkan mata.
"Heh, Mak? Aduh, kok main setuju aja? Alya nih masih kuliah. Gak mungkin nikah cepet-cepet. Emang Mak sanggup hidup sendirian di sini tanpa Alya?" Alya menyenggol lengan emaknya. Tapi, bukannya menanggapi Alya, Emak malah tetap mengarahkan tatapannya pada Raka.
"Ngomong-ngomong, jika Alya nikah sama Pak Raka, Alya bisa wisuda cepat-cepat kan, Pak?"
Astaga! Pertanyaan macam apa itu Mak? Kenapa Emak jadi begini agresifnya?
"Bisa tentu saja. Insya Allah saya sendiri yang akan membimbingnya."
"Alhamdullilah. Kalau begitu kalau Alya nikah kami gak perlu ganti uang yang tadi dibayarin ke Babeh Rojali, kan?"
"Tentu saja gak usah Bu. Anggap saja itu sebagai mahar saya dan Ibu gak usah khawatir, segala pesta dan persiapannya saya yang bayar. Ibu hanya tinggal istirahat saja."
"Oke. Deal."
"Ya Allah Mak! Ini apaan sih maksudnya? Kok kayak jual beli begini rasanya? Emang Mamak percaya sama Pak Raka? Dia baru kita kenal loh." Menyaksikan Emak dan Raka saling tektokan seolah tak memperdulikannya, Alya meraung memprotes. Walau pun dia pun diam-diam setuju tapi Alya juga ingin ditanya.
Emang menyerongkan badan ke arah anaknya. "Alya, kamu itu gimana? Kamu kan paham agama, jika ada seorang lelaki datang melamar dan kamu gak punya alasan untuk menolaknya mana mungkin kamu usir dia? Dengan Alya, Emak ini udah tua, jika suatu saat terjadi sama Emak kamu bakal sama siapa? Kini ada Pak Raka yang jelas-jelas udah membantu kita. Sudahlah jangan banyak pikiran lagi, pokoknya insya Allah ini yang terbaik."
Mendengar penjelasan Emak, Alya yang emang dasarnya memiliki hati yang lemah tak bisa menolak lagi. Alhasil dia hanya bisa memberengut dan berpikir bahwa pendapat Emak emang gak ada salahnya. Dia memang butuh Raka buat cepat wisuda dan membahagiakan Emak, mereka terlalu lama menderita.
Ah, tapi kan ini hanya pura-pura? Dan Emak pasti kecewa jika tahu alasan sebenarnya di balik ini semua.
"Ya udah Alya mau. Soalnya mau gimana lagi." Setelah menimbang banyak hal, pada akhirnya Alya pasrah sambil melirik Raka yang mesam-mesem penuh kemenangan.
Gadis itu mendecak. Idih, cakep lu! Senyam-senyum segala!
Malam sudah semakin larut, tapi mata Alya anehnya masih enggan terpejam. Berapa kali pun Alya mencoba untuk tidur rasanya nihil otaknya kembali teringat peristiwa beberapa jam lalu saat dia akhirnya mengambil keputusan besar dalam waktu singkat yaitu menerima tawaran Raka. Alya akui, dia memang tdak punya pilihan. Seperti kata Emak, Raka sudah berjasa dalam hidup mereka dan kapan lagi ada pria sebaik Raka.Ya Salam. Kenape gue jadi gelisah begini, ya? Alya ngebatin.Dia melirik jam yang ada di dinding. Ternyata waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Pantas saja dunia sudah terasa sangat sunyi bagi Alya. Di dalam keheningan kamarnya, tiba-tiba matanya beralih ke salah satu foto yang ada di atas nakas. Lama, mata Alya berhenti di sana memandangi foto dirinya yang masih remaja sedang tertawa lepas bersama almarhum sang ayah. "Beh, anakmu mau nikah, Beh." Tanpa terasa, air mata Alya menetes karen mengingat kalau sekarang dia akan menikah tanpa kehadiran Babeh di sisinya. "Beh,
Bab 5.Yang namanya keinginan dosen, mau kita sudi atau tidak pasti harus diikuti. Terlepas seberapa sakit dan ikhlas kita memenuhinya tapi inilah yang harus dihadapi. Nasi telah menjadi bubur, Alya harus menerima keputusan Raka untuk menikah dua minggu lagi. Salah. Alya mengakui kalau semua ini berawal dari kesalahannya sendiri. Dia yang meminta bantuan sama Raka jadi sudah semestinya dia setia pada janjinya. Termasuk tentang pernikahan yang dipercepat. Sejujurnya, sampai sekarang Alya sendiri belum sepenuhnya lega. Bayang-bayang chat dari Aji dan rasa khawatir tidak bisa masuk ke keluarga Raka membuat Alya ragu untuk meneruskan semuanya. Namun, sebagai gadis yang memiliki budi pekerti bagaimana pun Alya harus menerima resikonya, setidaknya sampai hutang budinya dikatakan lunas dan memastikan keluarga Raka aman sentosa.Ya, sampai situ saja. Titik. Tanpa koma. [Ya, kamu ingat kan janji kita hari ini. Hari ini jam 11 kita akan fitting baju dan pilih cincin. Kamu jangan lupa? Tempatn
Bab 6"Lancang kamu Raka! Ibu tidak habis pikir dengan pola pikir kamu. Kamu mau menggantikan Maura dengan bocah ingusan ini?" Sekali lagi, ibunya Raka meneriaki Alya dan Raka yang ada di hadapannya. Telunjuk wanita paruh baya itu mengarah tepat ke wajah Alya yang sudah memucat sempurna. Siapa pun pasti tidak mengira kalau pertemuan tak terduga di butik akan memantik amarah ibunya Raka.Alya tidak menyangka, secepat ini dia bertemu dengan sang calon ibu mertua yang wajahnya lumayan judes tapi pembawaannya khas orang kaya tersebut. Padahal, Alya belum ada persiapan apa-apa, sungguh awal yang buruk.Namun, meski Alya merasa takut dan nyalinya sedikit menciut , Alya tidak bisa pergi begitu saja. Bagaimanapun, kesepakatannya dengan sang dosen sudah resmi dilakukan.Beruntung, Raka yang ada di sebelah Alya bergeming. Pria tampan itu nampak tak menanggapi serius ucapan ibunya. "Raka, kenapa kamu diam aja? Jawab pertanyaan Ibu!" Teriak Bu Lili , karena melihat Raka tak merespon ucapannya.R
"Pak? Maaf kok Bapak diam saja? Apa saya terlihat aneh?"Sekali lagi Alya berdiri gugup di depan lelaki yang sejak tadi memandangnya dengan tatapan seolah terpana. Baru kali ini, Alya memakai gaun pengantin seperti ini untuk seorang pria dan itu membuat getaran tersendiri di dalam hatinya.Gadis itu tak memungkiri kalau dia deg-degan akibat pandangan Raka yang berbeda. Selayaknya wanita normal, tatapan kagum Raka bisa membuatnya salah paham. Tapi, Alya tidak mau kegeeran karena takut ketika Alya mulai mengembangkan rasa, eh, sang dosen gak menganggapnya apa-apa.Alya harus bisa jaga hati dan ingat semua ini hanyalah karena balas budi."Pak, hello?" Alya mengipas-ngipaskan tangan di depan Raka yang masih bengong melihatnya. 'Ini orang gak kesambet, kan? Kok diam aja?' Alya ngebatin bingung."Pak?"Raka pun terkesiap. "Oh, eh, iya, bagus. Gak aneh, kok. Kamu bagus memakainya. Ya ... setidaknya Raifa mengerjakan semua dengan baik," ujar Raka sambil cepat membuang pandangannya ke arah la
Tatapan sinis Maura masih membayang-bayangi Alya. Gadis itu tidak menyangka jika gadis yang digadang-gadang akan menjadi calon istri Raka adalah Maura yang merupakan salah satu dosen di jurusannya.Terkejut? Jelas. Alya merasa dirinya seolah dibenturkan dengan fakta yang mengenaskan. Alya tidak bisa membayangkan akan secanggung apa nantinya mereka di kampus, apalagi Maura itu terkenal jutek dan tidak berprikemanusiaan."Alya. Ayo, kita ke dalam. Maaf, Maura kami duluan." Seolah memahami ketakutan Alya, Raka mengamit lengan calon istrinya dan menjauhkannya dari Maura yang sudah emosi jiwa.Alya terkesiap. "Eh, oh, iya Pak."Tanpa mengindahkan Maura yang masih menatapnya sinis seusai perkenalan dadakan tadi, dengan sangat terpaksa Alya memasuki rumah mewah itu.Sampai di dalam, Alya tak berhenti takjub dengan desain rumah dan furniture yang melengkapi kemewahannya. Andai Alya gak sadar kalau dia sedang di rumah Raka, mungkin gadis itu sudah melongo saking kagumnya. Cuman karena takut
Sepanjang jalan pulang dari pertemuan keluarga yang terlalu mendrama dari rumah Raka, suasana mobil diselimuti sunyi. Raka bungkam seribu bahasa, menyetir mobil dengan konsentrasi penuh seolah jalan ada pusat perputaran dalam hidupnya. Melihat itu, Alya yang duduk di samping Raka jadi bingung harus bersikap apa. Alhasil, gadis itu hanya bisa membuang pandangannya ke arah samping jendela mobil. Tak berapa lama mobil mereka berhenti di lampu merah. Tiba-tiba tangan Raka terulur untuk membuka dashboard yang ada di depan Alya. "Ini cincin yang tadi kamu pilih," katanya sambil menyerahkan kotak cincin itu tanpa menengok Alya. "Hah? Cincin?" Alya mengangkat kotak itu bingung. "Iya dan ini kalungnya." Belum selesai keterkejutan Alya, Raka sudah mengeluarkan lagi sebuah kotak khusus seperti kotak kalung. Melihat apa yang dibawa Raka, gadis itu makin terkejut. Terlebih kalung itu adalah kalung yang ia perhatikan dengan seksama saat masih di toko perhiasan."Pak, kok saya dapat sama kalun
POV ALYA Aku baru saja selesai mandi setelah diantar pulang oleh Pak Raka. Berhubung Emak sudah tidur, aku memilih untuk rebahan sendirian di sofa buluk peninggalan Engkong yang ada di ruang tengah. Karena belum mengantuk aku memilih melamunkan semua yang aku bahas dengan Pak Raka di mobil tadi." ... jika kamu mau tahu saya 'gay' atau tidak. Setelah menikah nanti, mungkin saya akan membuktikannya." "Hah? Apa yang perlu dibuktikan? Bukannya kami sepakat kalau setelah nikah nanti gak bakal ada skinship? Yaelah, masa dia mau bikin gue hamil sih?" Aku bermonolog saat teringat ucapan Pak Raka di mobil tadi. Demi Tuhan. Aura jantan si duda ganteng ketika ngomong gitu membuat perasaanku jadi gak karuan, padahal sebelumnya biasa saja. Apa mungkin ini efek dari seharian bersama Pak Raka, ya? Sehingga aku jadi mulai terbawa suasana karena sudah melihat rasa hangat yang ia tunjukkan dibalik sikap dinginnya."Alya! Lo udah pulang?"Di tengah pikiranku yang njelimet dan mumet gara-gara Pak Ra
Alya menghela napas dalam. Entah apa yang dia lakukan di masa lalu sehingga ia tak henti-hentinya mendapat kebaikan dari Raka. Setelah menyusahkan Raka dengan harus membayar hutang Emak, kini Alya pun harus menerima bantuan Raka yang mau membayar biaya rumah sakit untuk keluarganya.Namun, meski rasanya malu dan tak menyangka kalau dibalik sikap Raka yang dingin tersimpan kebaikan tetap saja Alya bertekad akan membalas kebaikan Raka suatu saat nanti. Alya berencana setelah Emak beres dioperasi dia akan bekerja sampingan di salah satu kafe sahabatnya demi membayar hutang pada Pak Raka.Pada akhirnya, setelah menunggu operasi Emak yang berdurasi lebih dari dua jam, kini Alya bisa bernapas lega karena Emak sudah dipindahkan ke ruang pemulihan pasca operasi. Sembari menunggu Emak siuman, Alya memutuskan mendudukkan dirinya di kursi tunggu."Pak, maaf ya sudah merepotkan. Terima kasih juga sudah membantu biaya pengobatan Emak, insya Allah saya akan ganti setelah mendapatkan uang," ujar Al