Malam sudah semakin larut, tapi mata Alya anehnya masih enggan terpejam. Berapa kali pun Alya mencoba untuk tidur rasanya nihil otaknya kembali teringat peristiwa beberapa jam lalu saat dia akhirnya mengambil keputusan besar dalam waktu singkat yaitu menerima tawaran Raka.
Alya akui, dia memang tdak punya pilihan. Seperti kata Emak, Raka sudah berjasa dalam hidup mereka dan kapan lagi ada pria sebaik Raka.Ya Salam. Kenape gue jadi gelisah begini, ya? Alya ngebatin.Dia melirik jam yang ada di dinding. Ternyata waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Pantas saja dunia sudah terasa sangat sunyi bagi Alya. Di dalam keheningan kamarnya, tiba-tiba matanya beralih ke salah satu foto yang ada di atas nakas. Lama, mata Alya berhenti di sana memandangi foto dirinya yang masih remaja sedang tertawa lepas bersama almarhum sang ayah. "Beh, anakmu mau nikah, Beh." Tanpa terasa, air mata Alya menetes karen mengingat kalau sekarang dia akan menikah tanpa kehadiran Babeh di sisinya. "Beh, andai Babeh masih ada, mungkin Emak gak usah ngutang ya Beh, Alya juga gak usah kepaksa nikah," desah Alya lagi seraya tergugu. Sungguh. Saat ini kegelisahan dan kesedihan begitu memenuhi batin Alya. Dia berpikir, andai Babeh masih ada keluarganya bisa jadi akan tentram-tentram saja tapi namanya takdir emang tak bisa dikira kejadiannya, mau atau tidak Alya harus tetap menikah dengan Pak Raka. Di tengah kegamangannya, tiba-tiba ponsel Alya bergetar tanda sebuah notifikasi chat masuk ke dalamnya. Gadis itu memicing curiga ke layar hapenya, bukan apa-apa pasalnya Alya jadi parno karena pesan itu datang malam-malam begini.Gimana kalau itu pesan nyasar atau dari Kunti? Hii!Tapi, karena kepo akhirnya Alya tergerak untuk membuka pesan tersebut dan matanya terbelalak ketika melihat kalau pesan tersebut berasal dari Aji. "Hah? Aji? Ngapain ngirim chat semalam ini?"Merasa bersemangat, Alya langsung membuka pesan dari Aji. [Alya, apa kabar? Maaf aku chat malam banget kayak gini, tapi gak tahu kenapa aku jadi kepikiran sama kamu. Kalau kamu liat chat aku, aku hanya ingin bilang sebenarnya dulu aku juga punya perasaan sama kamu tapi aku malu. Maaf atas video viral itu, aku sungguh gak tahu siapa yang menyebarkannya.]"Aji?" Membaca itu, perasaan Alya seketika berkecamuk. Dia terkejut karena Aji--pria yang selama ini disukainya menyatakan perasaan diwaktu yang tidak tepat. Gara-gara chat itu, tak ayal ingatan Alya tertarik pada kejadian setahun yang lalu di mana dia menyatakan cinta pada Sangaji atau Aji tapi malah berbuah kepahitan hingga dia harus cuti. Ah, andai Aji tahu kalau dia mau menikah masihkah mungkin dia menyatakan perasaannya? Oh Tuhan, mengapa semua ini terasa terlambat? 'Aji, kenapa baru sekarang kamu bilang gini? Kenapa, Ji?' Batin Alya menjerit. Air mata gadis itu kembali mengalir tak tertahankan. Sampai detik ini, Alya masih tidak bisa membayangkan bersanding dengan pria lain di pelaminan dan orang itu bukan Aji. Namun, mau berapa kali pun Alya menyesali tetap saja yang harus terjadi pasti akan terjadi.Nasi sudah menjadi bubur, Alya tidak punya pilihan. Sembari mencoba menidurkan diri, Alya mendekap erat foto masa kecil bersama mendiang abahnya. Sampai akhirnya tanpa sadar terpejam dan Alya pun tidur sambil menangisi takdirnya yang terlalu mengejutkan.(***)Esok harinya. Alya terbangun dengan perasaan tak menentu. Dia merasa tubuhnya menderita 5L (lemah, letih, lesu, lunglai dan lapar).Saking lemahnya, kokok ayam tetangga yang nyaring pun gak membuat Alya semangat menjalani harinya pagi ini. Alhasil, gadis itu lebih memilih mencari emaknya untuk meminta sesuap nasi karena kondisi hatinya sedang galau tak bertepi akibat mendapat chat dari Aji semalam tadi."Emak! Emak!" Suara Alya menggema di dalam rumah mencari sang Ibu yang pergi entah ke mana. Tak terlihat sosok Emak di semua ruangan yang disantroninya."Apa Emak belanja, ya?" gumam Alya seolah bertanya pada diri sendiri. Maklum stok persediaan di kulkas emang habis jadi pas Emaknya itu sibuk cari bahannya.Merasa tebakannya benar, Alya pun beranjak menuju ke luar dan benar saja Emak sedang berada di samping gerobak sayur langganannya. Samar terdengar percakapan Emak dan tetangganya."Eh, Emak. Kemane aje?" tanya Mpok Minah."Ada dirumah Mpo, gue mah kagak pernah kemane-mane? Lu tahu sendiri pan gue mah kagak ada duit.""Yaelah boong banget. Nah kemarin dari bakal mantu lu, apaan? Daon? Eh, iya, denger -denger si Alya mau nikah, ya?" samber Mpok Tita.Emak yang ngerasa gak ngasih penguman apa-apa, tersentak kaget."Lah kok lu pada dah tahu aje?" tanya Emak sambil memandang ketiga tetangganya."Ya, tahulah soalnya calon mantu Emak bikin heboh nih komplek. Keknya, calon mantu lu orang kaya yek, Mak? Beruntung banget si Alya dapat jodoh kaya.""Hooh, duh aye juga mau muda lagi liat cowoknya si Alya. Bening bener kayak ubin masjid."Mendengar celotehan tetangganya, Emak mesam-mesem bangga. Dia emang merasa kayak ada durian runtuh jatuh di kepalanya usai kedatangan Raka."Iye, doain aja yaa anak Emak ya. Mudah-mudahan lancar sampai waktunya," ujar Emak sok diplomatis.Mpok Minah mengangguk antusias. "Woiya jelas Mak. Jangan lupa undang-undang kita ya Mak.""Iya, Mak, Abang juga ya." Bang Yana ikut menimpali.Menyaksikan dan menguping percakapan Emak cs, hati Alya yang semula ragu makin gak menentu. Dia yang tadi sempat galau jadi kasian sama Emak yang udah berharap punya menantu kaya.Gak kebayang perasaan Emak jika Alya bilang kalau dia bimbang mau nikah gara-gara Aji?Aduh, Alya gak bisa membayangkannya.Melihat Emak sudah selesai berbelanja, Alya memutuskan untuk berpura-pura sapu-sapu biar gak dikira mencuri dengar obrolan Emak dan biar dikira rajin aja. Tapi, pas lagi akting tiba-tiba telinganya menangkap ada suara klakson mobil yang cukup kencang memekakan telinga.Tin. Tin.Sontak saja Alya dan semuanya melihat ke sumber suara. Dan mata Alya seketika terbuka sempurna saat di lihatnya ada sesosok pria keluar dari mobil mewah yang harganya setara dengan harga dirinya."Pak Raka? Ada apa pagi-pagi ke sini?" tanya Alya seraya menghampiri Raka.Raka yang pagi itu memakai baju casual dan terlihat tampan di balik kacamata hitamnya tentu saja menarik perhatian Emak cs."Eh, calon mantu Emak. Ngapain pagi-pagi? Mau jemput Alya, ya?" tambah Emak sok akrab. Emak yang semula berada di samping gerobak sayur sudah melipir ke dekat mobil Raka yang kinclong.Raka tersenyum seraya melepas kaca mata hitamnya. "Iya, Mak. Maaf saya ijin membawa Alya pagi ini karena tampaknya akad akan saya percepat.""Pe-percepat?" Gagap. Ya, Alya sampai gagap mendengar ucapan Raka. Gadis itu gegas melepaskan sapunya untuk berdiri tepat di depan Raka.Raka menganggukkan kepala. "Iya, percepat. Sekitar dua Minggu lagi. Kamu siap, kan?" tanya Raka pada Alya yang langsung melotot sempurna."Apa? Dua Minggu lagi? ASTAGA!"Bab 5.Yang namanya keinginan dosen, mau kita sudi atau tidak pasti harus diikuti. Terlepas seberapa sakit dan ikhlas kita memenuhinya tapi inilah yang harus dihadapi. Nasi telah menjadi bubur, Alya harus menerima keputusan Raka untuk menikah dua minggu lagi. Salah. Alya mengakui kalau semua ini berawal dari kesalahannya sendiri. Dia yang meminta bantuan sama Raka jadi sudah semestinya dia setia pada janjinya. Termasuk tentang pernikahan yang dipercepat. Sejujurnya, sampai sekarang Alya sendiri belum sepenuhnya lega. Bayang-bayang chat dari Aji dan rasa khawatir tidak bisa masuk ke keluarga Raka membuat Alya ragu untuk meneruskan semuanya. Namun, sebagai gadis yang memiliki budi pekerti bagaimana pun Alya harus menerima resikonya, setidaknya sampai hutang budinya dikatakan lunas dan memastikan keluarga Raka aman sentosa.Ya, sampai situ saja. Titik. Tanpa koma. [Ya, kamu ingat kan janji kita hari ini. Hari ini jam 11 kita akan fitting baju dan pilih cincin. Kamu jangan lupa? Tempatn
Bab 6"Lancang kamu Raka! Ibu tidak habis pikir dengan pola pikir kamu. Kamu mau menggantikan Maura dengan bocah ingusan ini?" Sekali lagi, ibunya Raka meneriaki Alya dan Raka yang ada di hadapannya. Telunjuk wanita paruh baya itu mengarah tepat ke wajah Alya yang sudah memucat sempurna. Siapa pun pasti tidak mengira kalau pertemuan tak terduga di butik akan memantik amarah ibunya Raka.Alya tidak menyangka, secepat ini dia bertemu dengan sang calon ibu mertua yang wajahnya lumayan judes tapi pembawaannya khas orang kaya tersebut. Padahal, Alya belum ada persiapan apa-apa, sungguh awal yang buruk.Namun, meski Alya merasa takut dan nyalinya sedikit menciut , Alya tidak bisa pergi begitu saja. Bagaimanapun, kesepakatannya dengan sang dosen sudah resmi dilakukan.Beruntung, Raka yang ada di sebelah Alya bergeming. Pria tampan itu nampak tak menanggapi serius ucapan ibunya. "Raka, kenapa kamu diam aja? Jawab pertanyaan Ibu!" Teriak Bu Lili , karena melihat Raka tak merespon ucapannya.R
"Pak? Maaf kok Bapak diam saja? Apa saya terlihat aneh?"Sekali lagi Alya berdiri gugup di depan lelaki yang sejak tadi memandangnya dengan tatapan seolah terpana. Baru kali ini, Alya memakai gaun pengantin seperti ini untuk seorang pria dan itu membuat getaran tersendiri di dalam hatinya.Gadis itu tak memungkiri kalau dia deg-degan akibat pandangan Raka yang berbeda. Selayaknya wanita normal, tatapan kagum Raka bisa membuatnya salah paham. Tapi, Alya tidak mau kegeeran karena takut ketika Alya mulai mengembangkan rasa, eh, sang dosen gak menganggapnya apa-apa.Alya harus bisa jaga hati dan ingat semua ini hanyalah karena balas budi."Pak, hello?" Alya mengipas-ngipaskan tangan di depan Raka yang masih bengong melihatnya. 'Ini orang gak kesambet, kan? Kok diam aja?' Alya ngebatin bingung."Pak?"Raka pun terkesiap. "Oh, eh, iya, bagus. Gak aneh, kok. Kamu bagus memakainya. Ya ... setidaknya Raifa mengerjakan semua dengan baik," ujar Raka sambil cepat membuang pandangannya ke arah la
Tatapan sinis Maura masih membayang-bayangi Alya. Gadis itu tidak menyangka jika gadis yang digadang-gadang akan menjadi calon istri Raka adalah Maura yang merupakan salah satu dosen di jurusannya.Terkejut? Jelas. Alya merasa dirinya seolah dibenturkan dengan fakta yang mengenaskan. Alya tidak bisa membayangkan akan secanggung apa nantinya mereka di kampus, apalagi Maura itu terkenal jutek dan tidak berprikemanusiaan."Alya. Ayo, kita ke dalam. Maaf, Maura kami duluan." Seolah memahami ketakutan Alya, Raka mengamit lengan calon istrinya dan menjauhkannya dari Maura yang sudah emosi jiwa.Alya terkesiap. "Eh, oh, iya Pak."Tanpa mengindahkan Maura yang masih menatapnya sinis seusai perkenalan dadakan tadi, dengan sangat terpaksa Alya memasuki rumah mewah itu.Sampai di dalam, Alya tak berhenti takjub dengan desain rumah dan furniture yang melengkapi kemewahannya. Andai Alya gak sadar kalau dia sedang di rumah Raka, mungkin gadis itu sudah melongo saking kagumnya. Cuman karena takut
Sepanjang jalan pulang dari pertemuan keluarga yang terlalu mendrama dari rumah Raka, suasana mobil diselimuti sunyi. Raka bungkam seribu bahasa, menyetir mobil dengan konsentrasi penuh seolah jalan ada pusat perputaran dalam hidupnya. Melihat itu, Alya yang duduk di samping Raka jadi bingung harus bersikap apa. Alhasil, gadis itu hanya bisa membuang pandangannya ke arah samping jendela mobil. Tak berapa lama mobil mereka berhenti di lampu merah. Tiba-tiba tangan Raka terulur untuk membuka dashboard yang ada di depan Alya. "Ini cincin yang tadi kamu pilih," katanya sambil menyerahkan kotak cincin itu tanpa menengok Alya. "Hah? Cincin?" Alya mengangkat kotak itu bingung. "Iya dan ini kalungnya." Belum selesai keterkejutan Alya, Raka sudah mengeluarkan lagi sebuah kotak khusus seperti kotak kalung. Melihat apa yang dibawa Raka, gadis itu makin terkejut. Terlebih kalung itu adalah kalung yang ia perhatikan dengan seksama saat masih di toko perhiasan."Pak, kok saya dapat sama kalun
POV ALYA Aku baru saja selesai mandi setelah diantar pulang oleh Pak Raka. Berhubung Emak sudah tidur, aku memilih untuk rebahan sendirian di sofa buluk peninggalan Engkong yang ada di ruang tengah. Karena belum mengantuk aku memilih melamunkan semua yang aku bahas dengan Pak Raka di mobil tadi." ... jika kamu mau tahu saya 'gay' atau tidak. Setelah menikah nanti, mungkin saya akan membuktikannya." "Hah? Apa yang perlu dibuktikan? Bukannya kami sepakat kalau setelah nikah nanti gak bakal ada skinship? Yaelah, masa dia mau bikin gue hamil sih?" Aku bermonolog saat teringat ucapan Pak Raka di mobil tadi. Demi Tuhan. Aura jantan si duda ganteng ketika ngomong gitu membuat perasaanku jadi gak karuan, padahal sebelumnya biasa saja. Apa mungkin ini efek dari seharian bersama Pak Raka, ya? Sehingga aku jadi mulai terbawa suasana karena sudah melihat rasa hangat yang ia tunjukkan dibalik sikap dinginnya."Alya! Lo udah pulang?"Di tengah pikiranku yang njelimet dan mumet gara-gara Pak Ra
Alya menghela napas dalam. Entah apa yang dia lakukan di masa lalu sehingga ia tak henti-hentinya mendapat kebaikan dari Raka. Setelah menyusahkan Raka dengan harus membayar hutang Emak, kini Alya pun harus menerima bantuan Raka yang mau membayar biaya rumah sakit untuk keluarganya.Namun, meski rasanya malu dan tak menyangka kalau dibalik sikap Raka yang dingin tersimpan kebaikan tetap saja Alya bertekad akan membalas kebaikan Raka suatu saat nanti. Alya berencana setelah Emak beres dioperasi dia akan bekerja sampingan di salah satu kafe sahabatnya demi membayar hutang pada Pak Raka.Pada akhirnya, setelah menunggu operasi Emak yang berdurasi lebih dari dua jam, kini Alya bisa bernapas lega karena Emak sudah dipindahkan ke ruang pemulihan pasca operasi. Sembari menunggu Emak siuman, Alya memutuskan mendudukkan dirinya di kursi tunggu."Pak, maaf ya sudah merepotkan. Terima kasih juga sudah membantu biaya pengobatan Emak, insya Allah saya akan ganti setelah mendapatkan uang," ujar Al
Yang namanya manusia itu terkadang gampang sekali berubah pikiran. Terkadang untuk mencapai suatu keputusan pun bisa langsung ditentukan dalam waktu sepersekian menit saja. Biasanya itu terjadi karena ada faktor yang mempengaruhi sehingga harus dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dan itulah yang terjadi pada pemikiran Emak. Akibat kondisinya yang semakin melemah, Emak yang tetiba mau menikahkanku dengan Pak Raka lebih cepat dari sebelumnya. Mendengar itu aku sempat terkejut, tapi setelah Pak Raka bilang ini permintaan terakhir Emak aku jadi gak punya pilihan. Terlebih dokter bilang, sepertinya kondisi Emak semakin lemah. Oh Tuhan! Benarkah aku harus menikah secepat ini? Dan apakah aku udah siap menerima Pak Raka menjadi suamiku? "Assalammu'alaikum Mak." Aku mengetuk ruangan HCU tempat Emak sekarang dirawat dengan perasaan campur aduk. Tanpa menunggu ada sahutan dari dalam, aku memutuskan untuk masuk dan hatiku mencelos ketika melihat Emak terbaring dengan kondisi m