Malati berusaha melepas tangan Aldino Tama Waluyo namun sia-sia. Tenaga Malati tak sebanding dengan tenaga Aldino. Ia pun mengikuti langkah Aldino yang besar menuju mobil Aldino yang terparkir di area parkir kendati berjalan dengan tersaruk-saruk.Sulis yang melihat Malati ditarik mirip becak, langsung mengejarnya.“Wait! Wait! Tunggu! Anda mau bawa kemana Malati? Um, saya masih punya urusan dengannya,” sela Sulis menghadang jalan mereka.Aldino seketika melayangkan tatapan tajam ke arah Sulis hingga membuat Sulis sedikit gelisah. Sial, pria itu tampak semakin tampan saat marah, batin Sulis.“Tugas Malati membimbing anak-anak Olimpiade selesai. Saya harus mengantarnya kembali pulang ke Bogor.”Aldino mengatakan itu dengan suara yang tegas. Aura kharismatik Aldino tak bisa diabaikan.Malati memelototi Sulis agar tidak berkomentar. Ia memberikan kode agar Sulis tidak membantahnya. Meskipun sebetulnya Sulis merasa kesal. Ia sudah memiliki rencana yang tersusun untuk mengajak Malati mengu
Sesekali Malati mendelik ke arah Aldino yang tengah tidur pulas di ruang tamu. Seorang cucu pengusaha teh ternama tidur di atas sofa yang keras dengan posisi meringkuk mirip seekor kucing. Sungguh menyedihkan.Rasanya tak tega melihat cara tidur Aldino. Namun salah siapa, Aldino ingin menginap di sana. Malati sudah menyuruhnya pulang tetapi lelaki dewasa itu bersikukuh ingin menginap di sana. Hanya ada satu ranjang yang terpasang di kamar yaitu ranjang kamar ke dua orang tuanya. Oleh karena itu Aldino tidur di sofa ruang tamu sedangkan Malati di kamar mendiang ayah dan ibunya.Dalam diam, Malati mengambil selimut dari balik kamarnya dengan maksud akan menyelimutinya. Kendati masih marah pada pria itu, ia masih memiliki empati padanya.Pagi beranjak. Malati sudah mempersiapkan sarapan untuk Aldino. Namun Aldino tidak terlihat di manapun.Mungkin pria besar itu pulang. Syukurlah ia merasa lega.Namun siapa sangka Aldino baru saja masuk ke dalam rumah sehabis olahraga jogging. Terlihat
“Fuck*ng sh*t! Semua gara-gara kau Malati! Sudah kubilang jangan bertindak gegabah!”Sekonyong-konyong Sulis mengumpati Malati. Ia kesal dan murka pada gadis itu. Sebuah ide gila ketika Malati mendatangi Sarah Sasongko.Wanita yang berperangai lembut itu tiba-tiba berubah menjadi iblis sesaat mendengar penjelasan Malati bahwasanya Ferry telah menghamili Claire-mantan pacarnya. Sarah tidak terima sebab ia merasa Ferry anak baik bukan begajulan yang suka main perempuan. Apalagi terlibat dalam pergaulan sex bebas anak remaja.Separuh waktu Ferry dihabiskan di sekolah boarding school dari pagi buta hingga sore menjelang. Hari libur diisi dengan ekskul basket, sains, catur dan badminton. Jika bertemu dengan Claire pun hanya di sekolah. Tak pernah punya waktu berduaan atau kencan di luar. Begitulah pengakuannya Sarah Sasongko bersumber dari mantan suaminya, Adi Tanujaya. Sebab Ferry tinggal bersama sang ayah. Semua ruangan di rumah Adi Tanujaya diawasi CCTV. Pun, ia tak pernah sendirian. I
Aldino menggenggam tangan Ana dengan erat. Seolah ia tak ingin melepas kepergiannya lagi. Sesekali ia mengecup punggung tangannya dengan mesra.“A-aku sudah la-ma tidur.”Raisa Silvana Basalamah menggerakan bibirnya perlahan dan bersuara. Ia menatap Aldino dengan mata yang berbinar. Sebuah tanda rasa bahagia karena bisa bertemu lagi dengan kekasih hati.Ana merasa dirinya baru saja bangun dari tidur panjang. Ia tidak bisa mengingat segala sesuatu dengan rinci dan detail. Otaknya masih butuh memproses mengumpulkan setiap kepingan memori layaknya puzzle. Namun ingatan tentang kekasihnya begitu kuat sehingga ketika ia bangun, orang yang pertama kali ia tanyakan ialah ‘di manakah Aldino?’“Mas Al,” imbuh Ana. Ia tersenyum memanggil Aldino dengan panggilan Mas. Mereka memang sangat dekat karena tumbuh bersama saat mereka masih kecil. Sehingga tidak ada sekat di antara mereka. Namun ketika mereka mulai merajut kisah asmara, Aldino ingin sekali Ana memanggilnya dengan sebutan Mas.“Pssttt
“Malati, kau menangis?” tanya Aldino menatap manik mata gadis itu yang terlihat sudah berembun. Aldino tidak buta. Air mata tampak menggenang di mata istri kecilnya. Air mata kesedihan dan luka.“Kelilipan Pak,” sahut Malati seraya menepis tangan Aldino.Namun Aldino tak percaya dengan apa yang ia sampaikan. Ia mencekal pergelangan tangan Malati, menahannya pergi.Malati meringis karena Aldino tepat menyentuh bekas luka terjatuh saat ia mengunjungi rumah Sarah Sasongko ketika ia dikejar Herder.“Ough,” gumam Malati pelan. Terpaksa ia terdiam.Melihat wajah Malati yang tengah menahan sakit, Aldino melepas tangannya. Tatapannya tertumbur pada wajah imut itu lalu jatuh pada pergelangan tangannya. “Kau sakit?” tanya Aldino memangkas jarak di antara mereka.Mendapat pertanyaan seperti itu Malati sontak menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan Aldino. Ia tak mau mendapat perhatian pria bertubuh penuh otot itu-yang kelak membuat dirinya salah paham. Malati menghela
“Wah, Mbak Ana sudah banyak kemajuan,” imbuh seorang perawat yang saat ini tengah mengecek kondisi Ana. Sekarang beberapa selang telah dilepas. Ana sudah bisa duduk bersandar pada kepala ranjang kendati tubuhnya masih lemas dan tulang belulang masih terlihat menonjol di beberapa bagian tubuhnya.Aldino tak beranjak sedikitpun dari sisinya sejak ai datang berkunjung setiap hari. Sengaja, ia memilih cuti setengah hari dari pekerjaannya, hanya untuk menemani Ana selama menjalani pemulihan. Ia datang saat pagi dan dari sana ia akan berangkat ke sekolah saat siang menjelang. Ana masih belum merespon banyak. Bahkan untuk mengeluarkan kata-kata ia butuh energi yang besar. Ia hanya menyematkan senyuman tipis pada perawat itu. Perawat pribadi yang khusus menangani Ana sejak ia mengalami koma. “Kondisi Mbak, bagus!” ujar sang perawat lagi setelah melaksanakan tugasnya mengecek alat-alat medis yang tersisa. Ia membenahi selimut yang membalut tubuh Ana lalu berkata lagi, “Mbak Ana beruntung pun
“Bagaimana kabarmu Mr Bon?” tanya Malati dengan suara yang agak berbeda. Ia terlihat lesu dan tak bersemangat. Namun ia tetap membesuk Mr Bon yang baru saja menjalani pemulihan pasca operasi hemoroid yang dilaksanakannya beberapa hari yang lalu.“B-baik, seperti yang kaulihat. Tapi … aku pikir kau sedang tidak baik-baik saja,” sahut Mr Bon dengan dugaannya. Ia barang tentu bisa melihat dan mengamati ekspresi yang ditunjukan gadis itu tanpa dirinya sadari.Mr Bon sedang mengepulkan asap cerutu yang dihisapnya sembari menonton Malati yang tengah termenung, mengamati satu per satu foto yang dipajang di dinding.“Aku baik.” Malati berkelit, masih menatap foto-foto menyeramkan yang menempel di dinding. Foto-foto wanita yang meninggal dengan cara yang mengenaskan. Ada foto wanita paruh baya dengan wajah babak belur kebiruan. Ada pula foto seorang remaja perempuan dengan wajah pucat dan terlihat ada bekas jerat di lehernya. Pun, ada foto wanita melotot dengan buih busa keluar dari mulutnya.
Dengan kesal Aldino melempar tubuhnya ke atas ranjang hingga terpental. Ia merasa lelah baru saja pulang dari sekolah. Selain itu ia merasa kesal karena saat pulang ia tidak menemukan Malati. Padahal jam analog yang terletak di atas nakas sudah menunjukan pukul lima sore. Ia khawatir sekali telah terjadi sesuatu padanya. Bahkan rasa khawatir itu semakin bertambah kian hari. Baik Aldino maupun Malati berusaha menjaga jarak dengan cara masing-masing. Namun semakin mereka melakukan hal itu, membentengi diri dari perasaan yang tak boleh tumbuh agaknya semakin sukar. Perasaan simpatik dan iba mulai tumbuh subur bagaikan rumput liar. Namun akan menjadi lebih berbahaya saat perasaan itu berevolusi menjadi perasaan cinta sebagaimana seorang kekasih hati. Aldino beranjak dari ranjang lalu pergi ke kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya di bawah shower untuk menetralisir kemelut perasaan cemasnya. Bayangan-bayangan gadis itu selalu muncul di kepalanya. Pertama kalinya ia merasa terpukul saat