เข้าสู่ระบบKamila, gadis cantik itu, ia merupakan office girl di hotel itu. Sudah beberapa bulan ini ia bekerja di sana.
Ia terkenal baik dan juga ramah, bahkan banyak staf dan juga beberapa atasannya suka pada Kamila. Langit pagi di lantai 25 mulai berwarna kelabu. Lampu-lampu lorong hotel menyala redup, menambah kesan muram yang kini menyelimuti ruang itu. Kamila terduduk di sudut kamar, lututnya terlipat rapat, kedua lengannya memeluk tubuhnya sendiri seakan mencoba menjaga sisa-sisa yang masih bisa ia lindungi. Nafasnya tersengal, sesekali tersedak oleh tangis yang tak mampu ia bendung. Tubuhnya terasa lemas, seolah semua tenaga telah direnggut paksa. Lengan dan bahunya nyeri, bekas cengkeraman keras masih terasa menusuk di kulit. Lehernya panas dan perih, diiringi sensasi dingin dari keringat yang membasahi tengkuknya. Kepalanya berdenyut, bukan hanya karena fisik yang tertekan, tapi juga dari teror yang menancap di pikirannya. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan tatapan dingin pria itu muncul lagi—mata asing yang penuh nafsu dan kekerasan. Kamila meremas rambutnya sendiri, mencoba mengusir ingatan itu, namun justru semakin jelas ia mendengarnya kembali… suara pintu yang terkunci, langkah mendekat, nafas yang terlalu dekat di telinganya. Air mata kembali mengalir, deras, tak terbendung. “Ya Tuhan… kenapa ini harus terjadi sama aku…” suaranya nyaris tak terdengar, serak karena terlalu banyak menangis. Lidahnya terasa pahit, mulutnya kering. Ia menatap tangannya yang bergetar hebat—bukan karena dingin semata, tapi karena syok yang menelannya bulat-bulat. Setiap detik terasa panjang, setiap bunyi kecil dari luar membuatnya terperanjat. Bahkan suara lift di ujung lorong terdengar seperti ancaman. Ia merasa kotor. Tidak peduli seberapa keras nanti ia mandi, rasa ini seakan akan terus melekat. Seakan udara pun menolak menyentuhnya dengan lembut. Perlahan ia mencoba berdiri, tapi lututnya goyah. Pandangannya berkunang-kunang, memaksa ia bersandar ke dinding. Dunia di sekitarnya terasa seperti berputar, tapi ia tahu ia harus pergi dari sini. Namun, bayangan yang menakutkan kembali menyergapnya, bagaimana jika pria itu masih di sini? Bagaimana jika ia menutup pintu lagi? Bagaimana jika tak ada seorang pun yang percaya padanya? Pertanyaan-pertanyaan itu menumpuk, menghantam pikirannya tanpa henti, membuat napasnya semakin memburu. Kamila memejamkan mata, menahan isak. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Ia ingin lari, tapi tubuhnya seperti menolak bergerak. Yang tersisa hanya rasa hancur, rasa kehilangan, dan rasa takut yang menggerogoti pikirannya sedikit demi sedikit. Di luar pintu, dunia berjalan seperti biasa—orang-orang mungkin sedang bercakap, tertawa, atau menikmati sore—tanpa tahu bahwa di balik dinding ini, seorang gadis sedang mencoba mengumpulkan pecahan dirinya yang berserakan. Kamila masih duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding kamar hotel itu. Matanya bengkak, sembab karena tangis. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu besar yang menindih dadanya. Ia memeluk lututnya erat, seakan itu satu-satunya hal yang mampu melindunginya sekarang. Di hadapannya, Arsen berdiri tegak. Pria itu tidak menunjukkan sedikit pun penyesalan di wajahnya. Sorot matanya datar, rahangnya mengeras, dan nada suaranya dingin saat ia akhirnya berbicara. “Saya akan bertanggung jawab.” Kata-kata itu menggantung di udara, tapi bukannya membawa kelegaan, justru membuat Kamila semakin tersentak. Ia menoleh dengan mata membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tanggung jawab?” suaranya serak, diiringi tawa kecil yang hambar. “Kamu pikir ini cuma masalah… tanggung jawab?!” Arsen tidak bergeming. “Saya tahu saya salah. Saya… akan menikahimu, tapi dengan satu syarat, jangan sampai ada orang lain yang tau, termasuk keluarga saya!” Kamila menggeleng cepat, tubuhnya menegang. Bahkan kekehan nyaris keluar dari bibirnya . “Menikahiku? Setelah semua ini? Setelah kamu—” suaranya pecah, ia tidak sanggup melanjutkan kalimat itu. Tenggorokannya tercekat oleh rasa sakit yang membakar dari dalam. Ia berdiri dengan langkah goyah, mencoba menjaga jarak. “Kamu pikir dengan menikah, semua rasa sakit ini bakal hilang? Semua mimpi buruk bakal berhenti?” Napasnya memburu. “Aku bahkan… bahkan gak tahu siapa kamu sebenarnya!” Arsen berjalan mendekat, tapi Kamila mundur beberapa langkah hingga punggungnya menabrak dinding. “Jangan dekat-dekat!” serunya. Arsen berhenti, menatapnya dalam. “Nama saya Arsenio. Saya—” ia terdiam sejenak, seolah menimbang kata-kata, lalu melanjutkan, “Saya bukan orang biasa. Saya bisa memastikan hidupmu aman setelah ini.” Kamila terkekeh getir. Ia jelas tau siapa pria di depannya ini. Bos, atau atasannya itu, pemilik hotel ini. Walaupun Arsen jarang datang ke kota ini, tapi Kamila sudah dengar dan tau pria itu sejak lama. “Aman? Setelah kamu hancurin hidupku, kamu ngomongin soal aman?” Air matanya kembali mengalir. “Aku bahkan gak tahu gimana aku bisa lihat diriku sendiri di cermin setelah ini…” Keheningan membungkus ruangan beberapa saat. Suara AC yang berdengung pelan menjadi satu-satunya pengisi ruang di antara mereka. Kamila memalingkan wajahnya. “Lepaskan aku. Aku mau pulang.” Arsen merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kartu nama, dan meletakkannya di meja. “Kalau kamu berubah pikiran, hubungi aku. Nomorku ada di situ.” Kamila tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, mencoba mengatur napasnya yang kacau. Tangannya bergetar ketika ia meraih kain pel yang tadi ia tinggalkan di dekat pintu. Saat Arsen membuka pintu, ia berhenti sebentar dan berkata pelan, “Aku tahu ini sulit. Tapi aku akan membuktikan kalau aku bisa memperbaikinya.” Lalu ia keluar, meninggalkan Kamila dalam ruang yang terasa semakin mencekik. Kamila menunggu beberapa menit setelah suara langkah Arsen menghilang. Baru kemudian ia berani keluar, memastikan lorong benar-benar sepi. Setiap langkahnya menuju lift terasa seperti perjuangan, karena lututnya masih lemas. Saat lift terbuka, ia masuk dan berdiri di pojok, menunduk dalam. Kepalanya dipenuhi pertanyaan—bagaimana ia bisa pulang? Apa yang akan ia katakan pada orang-orang? Bagaimana kalau cerita ini menyebar? Sampai di lobi, ia berjalan cepat melewati resepsionis. Tapi langkahnya terhenti saat seorang staf hotel, pria berusia sekitar 30-an, menyapanya. “Mbak Kamila, tadi saya dengar ada suara ribut di lantai atas. Mbak gak apa-apa?” Kamila menelan ludah. “Gak… gak apa-apa. Cuma… ada tamu yang terjebak di kamar.” Ia memaksa tersenyum, tapi suaranya bergetar. Pria itu menatapnya ragu, tapi tidak bertanya lebih jauh. Kamila segera berlalu, menuju pintu keluar. Udara Bandung sore itu terasa menusuk, bukan karena dingin, tapi karena hati Kamila yang sudah membeku. Ia berjalan di trotoar, tanpa tujuan jelas, hanya ingin menjauh dari tempat itu. Setiap suara langkah di belakangnya membuatnya waspada, setiap orang yang menatapnya terasa seperti menilai, menghakimi. Di sebuah halte, ia duduk. Tangan mungilnya memegang erat tas kecil yang selalu ia bawa. Dalam tas itu ada dompet, ponsel, dan seragam kerjanya yang kini terasa seperti kain yang tak lagi suci. Ia menatap ponselnya. Ada pesan dari Sinta, teman sesama pekerja hotel: “Mil, nanti kalau udah selesai di lantai 25, jangan lupa kita pulang bareng, ya. Aku tunggu di kantin.” Kamila menggigit bibirnya. Ia ingin membalas, tapi jemarinya kaku. Bagaimana ia bisa menjelaskan apa yang terjadi? Apa Sinta akan percaya? Atau justru menuduhnya mencari perhatian? Bayangan wajah Arsen kembali muncul. Nada suaranya dingin, tapi ada sedikit ketegasan yang sulit diabaikan ketika ia berkata akan bertanggung jawab. Kamila membenci kenyataan bahwa bagian kecil dari dirinya—yang lelah, bingung, dan ketakutan—hampir ingin percaya pada kata-kata itu. Tidak! Ia menggeleng keras. Arsen adalah alasan semua ini terjadi. Tidak ada tanggung jawab yang bisa menghapus apa yang telah ia rasakan di kamar itu. Malam itu, Kamila pulang ke kosnya. Kamar sempit berukuran 3x3 meter itu biasanya terasa hangat dan aman, tapi kini seperti penjara lain. Ia duduk di kasur, melepas sepatu, dan menatap kosong dinding yang mulai mengelupas catnya. Jam dinding menunjukkan pukul 22.30. Kamila belum makan apa pun sejak siang, tapi rasa lapar itu hilang, digantikan oleh gumpalan di perutnya yang membuatnya ingin muntah. Ia mandi lama, menggosok tubuhnya berkali-kali, mencoba menghapus rasa yang melekat di kulitnya. Tapi setiap tetes air yang jatuh, setiap sabun yang berbusa, hanya mengingatkannya lagi pada apa yang ingin ia lupakan. Setelah mandi, ia memeluk gulingnya erat. Tapi tetap saja, tidur tak kunjung datang. Setiap kali matanya terpejam, ia kembali ke lantai 25—mendengar suara pintu diketuk, teriakan minta tolong, dan kemudian… Ia terbangun dengan napas terengah, keringat dingin membasahi dahinya. Di luar, suara motor lewat di jalan, tapi bagi Kamila, itu terdengar seperti langkah kaki mendekat. Keesokan paginya, Kamila memutuskan tidak masuk kerja. Ia mengirim pesan singkat pada supervisor, beralasan sakit. Ia tidak sanggup melihat lorong-lorong hotel itu lagi, apalagi lantai 25. Di meja kecil kamarnya, ia menatap kartu nama yang semalam ia temukan di saku—mungkin Arsen menyelipkannya sebelum pergi. Di atas kertas putih tebal itu tercetak jelas. Arsenio Direktur Utama perusahaan terkenal dan juga pemilik hotel tempatnya bekerja. +62 xxx-xxxx-xxxx Kamila memutar kartu itu di tangannya. Nama itu asing, tapi jabatan yang tertera membuatnya mengerti mengapa pria itu terlihat begitu percaya diri. Orang dengan kekuasaan dan uang… “Bertanggung jawab,” gumamnya lirih, mengulang kata-kata yang ia dengar semalam. Ia meremas kartu itu, lalu melemparkannya ke tempat sampah. Tapi entah kenapa, beberapa detik kemudian ia berdiri, mengambil kembali kartu itu, dan meletakkannya di laci. Ia benci dirinya karena tidak bisa benar-benar membuangnya.Lorong rumah sakit itu sunyi, namun bukan sunyi yang tenang.Ini sunyi yang kental—seperti udara yang menahan napas.Jam dinding di ujung koridor berdetak terlalu keras, jarum detiknya bergeser perlahan, memantul pada lantai mengilap yang sudah dipel oleh cleaning service pagi itu.Di balik dinding kaca, ruang-ruang perawatan berbaris rapi. Bau obat antiseptik samar-samar menusuk. Cahaya matahari menyelinap dari jendela, memantul pada kursi tunggu besi dingin yang sepi.Kamila duduk di salah satu kursi itu.Rambutnya diikat seadanya, wajahnya tampak pucat, tak memakai make-up sedikit pun. Kaos abu-abu yang kebesaran dan cardigan tipis yang ia kenakan membuatnya terlihat lebih kecil dari biasanya—seolah ia bisa menghilang jika seseorang meniupnya.Ia menatap lantai, menatap lututnya, menatap tangannya yang saling menggenggam terlalu erat.Tidak ada kata-kata.Tidak ada suara dari bibirnya.Sejak tadi ia hanya diam.Nares berdiri tidak jauh darinya, bersandar pada dinding, kedua tangann
Ruang tamu villa itu terasa seperti sebuah ruang waktu yang membeku. Udara di dalamnya dingin, terlalu dingin untuk jam sepuluh pagi di kawasan perbukitan. Bukan dingin yang berasal dari udara luar atau AC yang lupa dimatikan. Ini dingin yang lahir dari tubuh seseorang—dari pikiran yang tak tidur dan jiwa yang remuk pelan-pelan.Arsen duduk bersandar pada dinding, kaki tertekuk, tangan menggenggam rambutnya sendiri. Ia tampak seperti seseorang yang sudah kehilangan orientasi, seseorang yang bahkan tidak sadar bahwa matanya yang merah sekarang menatap kosong ke arah lantai, bukan lagi ke dunia nyata.Mami Laudya berhenti beberapa langkah di depannya. Napasnya tersengal kecil saat matanya menyapu kekacauan ruangan.Dulu villa ini selalu bersih. Rapi. Beraroma mahal. Lantai mengkilap karena setiap jam ada staf yang mengepel. Vas bunga segar di meja. Piring makan mahal tersusun tanpa cela di dapur.Sekarang semuanya berantakan. Seperti rumah itu ikut jatuh sakit.“Arsen…” suaranya melembu
Pagi itu rumah Mami Nares dipenuhi aroma jahe hangat dan roti panggang. Cahaya matahari masuk dari jendela besar, mengenai wajah Kamila yang tampak lebih segar dibanding dua hari sebelumnya—meski kantung matanya masih terlihat jelas jika diperhatikan.Mami Nares sibuk di ruang tamu, mengemasi beberapa berkas. Rambutnya disanggul, wajahnya dihiasi riasan tipis yang menandakan hari ini ia tidak bisa menunda pekerjaan.Kamila berdiri di dekat meja makan, memegang segelas air hangat.“Kamila,” panggil Mami lembut.Kamila menoleh. “Iya, Bu?”Mami menatapnya penuh perhitungan. Ada kekhawatiran, tapi juga keyakinan bahwa gadis muda itu mulai menemukan ritme napasnya kembali.“Kamu ada jadwal periksa kandungan hari ini, ‘kan?”Tangan Kamila mengejang di sekitar gelas. Ia hampir lupa, atau mungkin sengaja menyingkirkan itu dari kepalanya.“I—Iya, Bu. Jam sepuluh. Tapi–”Mami mengangguk, merapikan blazer-nya.“Kamu harus tetap periksa. Dokter yang Mami telpon juga udah saranin kamu harus rutin
Malam berganti pagi, tapi bagi Arsen, waktu berhenti memiliki bentuk.Hari-hari berikutnya bukan lagi rangkaian jam yang bisa dihitung. Semuanya berbaur menjadi satu kabut tebal yang memeluk kepalanya—kabut yang tak pernah benar-benar hilang, bahkan ketika matahari tinggi di langit atau ketika lampu kantor menyala terang.Dan Kamila… tetap tidak ada di mana pun.Di KantorPukul sembilan pagi, gedung kantor Arsen biasanya penuh ritme, langkah cepat para staf, suara keyboard, telepon yang tak berhenti berdering. Tapi hari ini, semuanya terasa menahan napas saat Arsen datang.Ia masuk lewat pintu kaca besar, langkahnya lambat, bahunya sedikit merosot. Setelan rapihnya tidak menolong apa pun—kerahnya tampak tidak tersentuh tangan rapi, rambutnya acak sedikit.Paul, asistennya, langsung mendekat.“Pak… meeting sama tim legal lima menit lagi.”Arsen tidak menjawab. Tidak mengangguk. Tidak menoleh.Ia berjalan langsung melewati Paul, menuju ruangannya. Pintu kaca besar itu terbuka—kemudian d
Malam itu menua dalam diam, tapi bagi Arsen, waktu bukan lagi aliran lembut yang berjalan pelan… melainkan pisau tumpul yang menggores dadanya sedikit demi sedikit.Hujan berhenti, tapi aroma udara yang lembap masih menempel di sepanjang jalan besar tempat ia berdiri. Lampu-lampu trotoar temaram memantulkan cahaya lembut di wajahnya yang pucat. Napasnya kabur saat ia mengembuskan udara, seolah dunia juga sedang menggigil bersama keresahannya.Arsen menyapu pandangannya sekali lagi. Tidak ada mobil. Tidak ada perempuan kecil dengan perut membesar yang memanggil namanya sambil menangis. Tidak ada jejak Kamila.Detik itu juga, sesuatu di dalam dirinya runtuh.Ia bersandar pada kap mobilnya, menunduk. Jemarinya yang biasanya tegas menandatangani kontrak bernilai miliaran kini bergetar hebat. Ia menutup wajahnya. Entah sudah berapa kali ia melakukan itu malam ini.“Pak Arsen…,” suara salah satu pengawalnya terdengar hati-hati. “Mungkin… kita cari ke arah—”“Tidak.” Suara Arsen pecah, renda
Malam semakin menua, seperti kain hitam yang makin lama makin pekat. Lampu-lampu jalan di kawasan kumuh Jakarta itu berpendar kuning, memantul pada genangan air sisa hujan dan membentuk kilau yang seolah bergetar setiap kali angin dingin melintas. Suara raungan motor Nares memecah kesunyian, membawa Kamila menjauh dari gang sempit yang nyaris menelannya barusan.Kamila memeluk tas kecilnya di dada, tubuhnya kaku, namun matanya tak lepas dari jalanan yang terus berubah. Setiap tikungan terasa asing, setiap lampu jalan seperti mata yang memperhatikannya. Ia menelan ludah, berusaha tidak terlalu terpaku pada ketakutan yang tadi hampir membuatnya kehilangan nyawa dan anak dalam kandungannya.Nares melirik lewat spion, suaranya terdengar pelan karena tertutup helm."Mbak Kamila nggak apa-apa? Kalau mau pegangan, pegang aja ya. Biar nggak jatuh."Kamila mengangguk, walau Nares jelas tidak bisa melihatnya."Iya… aku nggak apa-apa."Tentu saja ia tidak benar-benar baik-baik saja. Punggungnya







