Share

bab 3

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2025-08-16 07:48:14

Kamila, gadis cantik itu, ia merupakan office girl di hotel itu. Sudah beberapa bulan ini ia bekerja di sana.

Ia terkenal baik dan juga ramah, bahkan banyak staf dan juga beberapa atasannya suka pada Kamila.

Langit pagi di lantai 25 mulai berwarna kelabu. Lampu-lampu lorong hotel menyala redup, menambah kesan muram yang kini menyelimuti ruang itu.

Kamila terduduk di sudut kamar, lututnya terlipat rapat, kedua lengannya memeluk tubuhnya sendiri seakan mencoba menjaga sisa-sisa yang masih bisa ia lindungi. Nafasnya tersengal, sesekali tersedak oleh tangis yang tak mampu ia bendung.

Tubuhnya terasa lemas, seolah semua tenaga telah direnggut paksa. Lengan dan bahunya nyeri, bekas cengkeraman keras masih terasa menusuk di kulit. Lehernya panas dan perih, diiringi sensasi dingin dari keringat yang membasahi tengkuknya.

Kepalanya berdenyut, bukan hanya karena fisik yang tertekan, tapi juga dari teror yang menancap di pikirannya. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan tatapan dingin pria itu muncul lagi—mata asing yang penuh nafsu dan kekerasan. Kamila meremas rambutnya sendiri, mencoba mengusir ingatan itu, namun justru semakin jelas ia mendengarnya kembali… suara pintu yang terkunci, langkah mendekat, nafas yang terlalu dekat di telinganya.

Air mata kembali mengalir, deras, tak terbendung. “Ya Tuhan… kenapa ini harus terjadi sama aku…” suaranya nyaris tak terdengar, serak karena terlalu banyak menangis.

Lidahnya terasa pahit, mulutnya kering. Ia menatap tangannya yang bergetar hebat—bukan karena dingin semata, tapi karena syok yang menelannya bulat-bulat. Setiap detik terasa panjang, setiap bunyi kecil dari luar membuatnya terperanjat. Bahkan suara lift di ujung lorong terdengar seperti ancaman.

Ia merasa kotor. Tidak peduli seberapa keras nanti ia mandi, rasa ini seakan akan terus melekat. Seakan udara pun menolak menyentuhnya dengan lembut.

Perlahan ia mencoba berdiri, tapi lututnya goyah. Pandangannya berkunang-kunang, memaksa ia bersandar ke dinding. Dunia di sekitarnya terasa seperti berputar, tapi ia tahu ia harus pergi dari sini.

Namun, bayangan yang menakutkan kembali menyergapnya, bagaimana jika pria itu masih di sini? Bagaimana jika ia menutup pintu lagi? Bagaimana jika tak ada seorang pun yang percaya padanya? Pertanyaan-pertanyaan itu menumpuk, menghantam pikirannya tanpa henti, membuat napasnya semakin memburu.

Kamila memejamkan mata, menahan isak. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Ia ingin lari, tapi tubuhnya seperti menolak bergerak. Yang tersisa hanya rasa hancur, rasa kehilangan, dan rasa takut yang menggerogoti pikirannya sedikit demi sedikit.

Di luar pintu, dunia berjalan seperti biasa—orang-orang mungkin sedang bercakap, tertawa, atau menikmati sore—tanpa tahu bahwa di balik dinding ini, seorang gadis sedang mencoba mengumpulkan pecahan dirinya yang berserakan.

Kamila masih duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding kamar hotel itu. Matanya bengkak, sembab karena tangis. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu besar yang menindih dadanya. Ia memeluk lututnya erat, seakan itu satu-satunya hal yang mampu melindunginya sekarang.

Di hadapannya, Arsen berdiri tegak. Pria itu tidak menunjukkan sedikit pun penyesalan di wajahnya. Sorot matanya datar, rahangnya mengeras, dan nada suaranya dingin saat ia akhirnya berbicara.

“Saya akan bertanggung jawab.”

Kata-kata itu menggantung di udara, tapi bukannya membawa kelegaan, justru membuat Kamila semakin tersentak. Ia menoleh dengan mata membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Tanggung jawab?” suaranya serak, diiringi tawa kecil yang hambar. “Kamu pikir ini cuma masalah… tanggung jawab?!”

Arsen tidak bergeming. “Saya tahu saya salah. Saya… akan menikahimu, tapi dengan satu syarat, jangan sampai ada orang lain yang tau, termasuk keluarga saya!”

Kamila menggeleng cepat, tubuhnya menegang. Bahkan kekehan nyaris keluar dari bibirnya . “Menikahiku? Setelah semua ini? Setelah kamu—” suaranya pecah, ia tidak sanggup melanjutkan kalimat itu. Tenggorokannya tercekat oleh rasa sakit yang membakar dari dalam.

Ia berdiri dengan langkah goyah, mencoba menjaga jarak. “Kamu pikir dengan menikah, semua rasa sakit ini bakal hilang? Semua mimpi buruk bakal berhenti?” Napasnya memburu. “Aku bahkan… bahkan gak tahu siapa kamu sebenarnya!”

Arsen berjalan mendekat, tapi Kamila mundur beberapa langkah hingga punggungnya menabrak dinding. “Jangan dekat-dekat!” serunya.

Arsen berhenti, menatapnya dalam. “Nama saya Arsenio. Saya—” ia terdiam sejenak, seolah menimbang kata-kata, lalu melanjutkan, “Saya bukan orang biasa. Saya bisa memastikan hidupmu aman setelah ini.”

Kamila terkekeh getir. Ia jelas tau siapa pria di depannya ini. Bos, atau atasannya itu, pemilik hotel ini. Walaupun Arsen jarang datang ke kota ini, tapi Kamila sudah dengar dan tau pria itu sejak lama.

“Aman? Setelah kamu hancurin hidupku, kamu ngomongin soal aman?” Air matanya kembali mengalir. “Aku bahkan gak tahu gimana aku bisa lihat diriku sendiri di cermin setelah ini…”

Keheningan membungkus ruangan beberapa saat. Suara AC yang berdengung pelan menjadi satu-satunya pengisi ruang di antara mereka.

Kamila memalingkan wajahnya. “Lepaskan aku. Aku mau pulang.”

Arsen merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kartu nama, dan meletakkannya di meja. “Kalau kamu berubah pikiran, hubungi aku. Nomorku ada di situ.”

Kamila tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, mencoba mengatur napasnya yang kacau. Tangannya bergetar ketika ia meraih kain pel yang tadi ia tinggalkan di dekat pintu.

Saat Arsen membuka pintu, ia berhenti sebentar dan berkata pelan, “Aku tahu ini sulit. Tapi aku akan membuktikan kalau aku bisa memperbaikinya.” Lalu ia keluar, meninggalkan Kamila dalam ruang yang terasa semakin mencekik.

Kamila menunggu beberapa menit setelah suara langkah Arsen menghilang. Baru kemudian ia berani keluar, memastikan lorong benar-benar sepi. Setiap langkahnya menuju lift terasa seperti perjuangan, karena lututnya masih lemas.

Saat lift terbuka, ia masuk dan berdiri di pojok, menunduk dalam. Kepalanya dipenuhi pertanyaan—bagaimana ia bisa pulang? Apa yang akan ia katakan pada orang-orang? Bagaimana kalau cerita ini menyebar?

Sampai di lobi, ia berjalan cepat melewati resepsionis. Tapi langkahnya terhenti saat seorang staf hotel, pria berusia sekitar 30-an, menyapanya. “Mbak Kamila, tadi saya dengar ada suara ribut di lantai atas. Mbak gak apa-apa?”

Kamila menelan ludah. “Gak… gak apa-apa. Cuma… ada tamu yang terjebak di kamar.” Ia memaksa tersenyum, tapi suaranya bergetar.

Pria itu menatapnya ragu, tapi tidak bertanya lebih jauh. Kamila segera berlalu, menuju pintu keluar.

Udara Bandung sore itu terasa menusuk, bukan karena dingin, tapi karena hati Kamila yang sudah membeku. Ia berjalan di trotoar, tanpa tujuan jelas, hanya ingin menjauh dari tempat itu. Setiap suara langkah di belakangnya membuatnya waspada, setiap orang yang menatapnya terasa seperti menilai, menghakimi.

Di sebuah halte, ia duduk. Tangan mungilnya memegang erat tas kecil yang selalu ia bawa. Dalam tas itu ada dompet, ponsel, dan seragam kerjanya yang kini terasa seperti kain yang tak lagi suci.

Ia menatap ponselnya. Ada pesan dari Sinta, teman sesama pekerja hotel:

“Mil, nanti kalau udah selesai di lantai 25, jangan lupa kita pulang bareng, ya. Aku tunggu di kantin.”

Kamila menggigit bibirnya. Ia ingin membalas, tapi jemarinya kaku. Bagaimana ia bisa menjelaskan apa yang terjadi? Apa Sinta akan percaya? Atau justru menuduhnya mencari perhatian?

Bayangan wajah Arsen kembali muncul. Nada suaranya dingin, tapi ada sedikit ketegasan yang sulit diabaikan ketika ia berkata akan bertanggung jawab. Kamila membenci kenyataan bahwa bagian kecil dari dirinya—yang lelah, bingung, dan ketakutan—hampir ingin percaya pada kata-kata itu.

Tidak! Ia menggeleng keras. Arsen adalah alasan semua ini terjadi. Tidak ada tanggung jawab yang bisa menghapus apa yang telah ia rasakan di kamar itu.

Malam itu, Kamila pulang ke kosnya. Kamar sempit berukuran 3x3 meter itu biasanya terasa hangat dan aman, tapi kini seperti penjara lain. Ia duduk di kasur, melepas sepatu, dan menatap kosong dinding yang mulai mengelupas catnya.

Jam dinding menunjukkan pukul 22.30. Kamila belum makan apa pun sejak siang, tapi rasa lapar itu hilang, digantikan oleh gumpalan di perutnya yang membuatnya ingin muntah.

Ia mandi lama, menggosok tubuhnya berkali-kali, mencoba menghapus rasa yang melekat di kulitnya. Tapi setiap tetes air yang jatuh, setiap sabun yang berbusa, hanya mengingatkannya lagi pada apa yang ingin ia lupakan.

Setelah mandi, ia memeluk gulingnya erat. Tapi tetap saja, tidur tak kunjung datang. Setiap kali matanya terpejam, ia kembali ke lantai 25—mendengar suara pintu diketuk, teriakan minta tolong, dan kemudian…

Ia terbangun dengan napas terengah, keringat dingin membasahi dahinya. Di luar, suara motor lewat di jalan, tapi bagi Kamila, itu terdengar seperti langkah kaki mendekat.

Keesokan paginya, Kamila memutuskan tidak masuk kerja. Ia mengirim pesan singkat pada supervisor, beralasan sakit. Ia tidak sanggup melihat lorong-lorong hotel itu lagi, apalagi lantai 25.

Di meja kecil kamarnya, ia menatap kartu nama yang semalam ia temukan di saku—mungkin Arsen menyelipkannya sebelum pergi. Di atas kertas putih tebal itu tercetak jelas.

Arsenio

Direktur Utama perusahaan terkenal dan juga pemilik hotel tempatnya bekerja.

+62 xxx-xxxx-xxxx

Kamila memutar kartu itu di tangannya. Nama itu asing, tapi jabatan yang tertera membuatnya mengerti mengapa pria itu terlihat begitu percaya diri. Orang dengan kekuasaan dan uang…

“Bertanggung jawab,” gumamnya lirih, mengulang kata-kata yang ia dengar semalam. Ia meremas kartu itu, lalu melemparkannya ke tempat sampah.

Tapi entah kenapa, beberapa detik kemudian ia berdiri, mengambil kembali kartu itu, dan meletakkannya di laci.

Ia benci dirinya karena tidak bisa benar-benar membuangnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 12

    Pagi itu, langit tampak pucat. Udara yang masuk melalui celah tirai kamar membawa hawa dingin lembap yang membuat tubuh Kamila menggigil. Ia terbangun dengan keringat dingin membasahi pelipis, tapi tubuhnya justru terasa panas luar biasa. Tenggorokannya kering, kepalanya berat, dan pandangan matanya berkunang.Ia mencoba bangun, tapi lututnya lemas. Tubuhnya seolah menolak semua perintah. Napasnya pendek-pendek. Dalam kebisuan kamar besar itu, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar jelas—pelan, teratur, tapi menegangkan.Kamila menunduk, menatap perutnya yang kini semakin besar. Bayi itu menendang pelan, seolah memberi tanda bahwa ia masih ada di sana, hidup, dan menunggu.“Tenang… Mama baik-baik saja…” bisiknya dengan suara serak. Tapi kalimat itu lebih terdengar seperti doa daripada keyakinan.Ia mencoba meraih segelas air di meja nakas, namun tangannya gemetar terlalu hebat. Gelas itu jatuh, pecah di lantai, airnya memercik ke kakinya yang dingin.Kamila menunduk, terengah

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 11

    Malam itu, hujan sudah berhenti. Langit tampak bersih, tetapi udara dingin yang merambat dari sela jendela tetap menggigit kulit. Kamila duduk di kursi panjang dekat jendela kamar, menggenggam secangkir teh hangat yang sejak tadi sudah tidak lagi mengepul. Matanya sayu, tubuhnya lelah. Sejak menikah paksa dengan Arsen, jam tidurnya berantakan—tidak karena bayi dalam perutnya yang rewel, tetapi karena rasa takut yang perlahan menjadi temannya setiap malam. Pintu kamar terdengar berderit pelan. Arsen masuk tanpa suara, seperti biasanya. Langkahnya ringan namun tegas. Pria itu mengenakan setelan rumah berwarna hitam, rambutnya rapi, wangi aftershave-nya memenuhi ruangan seperti aroma penguasa yang ingin menandai wilayahnya. “Kamila,” panggilnya pelan. Kamila tidak menjawab. Ia pura-pura fokus pada hujan sisa di luar sana, pada gemerlap lampu kota Jakarta yang redup. Arsen mendekat, berhenti tepat di belakang kursinya. Ia menatap punggung Kamila seperti seseorang menatap lukisan maha

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 10

    Malam itu, langit Jakarta tampak kelabu. Rintik hujan jatuh pelan seperti tirai tipis, meredam suara jalanan dan lampu-lampu kota. Di dalam gedung kecil dan tertutup rapat, di sebuah ruangan berisi hanya empat orang—dua saksi, seorang penghulu, dan dua insan yang berdiri berdampingan—pernikahan itu berlangsung. Tanpa bunga. Tanpa keluarga. Tanpa tawa bahagia. Hanya senyum dingin Arsen… dan wajah pucat Kamila. Dan Kamila sudah di bawa kembali ke kota Jakarta oleh Arsen. “Apakah saudari Kamila bersedia menjadi istri dari saudara Arsen…?” suara penghulu terdengar jelas, menggema di ruangan hening itu. Deg Jantung Kamila berdetak keras. Tangannya dingin, jemari gemetar. Paul, yang berdiri di sudut ruangan, menundukkan pandangannya—ia tidak sanggup menatapnya. Ia tahu ini bukan pernikahan. Ini pengurungan yang sah secara hukum. “…iya.” Suara itu keluar lirih dari bibir Kamila. Bukan karena kerelaan, tapi karena tak ada pilihan."Baik, kita akan memulai pernikahannya." Pak peng

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 9

    Ruangan itu terasa membeku.Hening, hanya terdengar detik jam di dinding yang seolah menertawakan semua yang terjadi.“...apa yang kamu katakan tadi?” suara Arsen akhirnya pecah. Datar, tapi mengandung tekanan yang membuat dokter muda itu menelan ludah gugup.“Pasien... kemungkinan besar sedang hamil, Pak.”Arsen terdiam. Tubuhnya tegak kaku, rahangnya mengeras, matanya kosong menatap lantai.Paul di belakangnya memandang hati-hati, mencoba membaca perubahan ekspresi itu — tapi tidak ada. Tak ada ledakan marah seperti biasanya, tak ada ancaman, tak ada amarah.Hanya diam. Menakutkan dalam caranya sendiri.Lalu pelan, sebuah senyum kecil muncul di wajah Arsen. Bukan senyum lembut. Bukan senyum bahagia.Senyum itu dingin, tajam, nyaris tak berperasaan.“Pergi,” katanya lirih tapi tegas. “Kamu boleh pergi, Dokter.”Dokter itu tak menunggu dua kali. Ia menunduk cepat dan melangkah keluar, diikuti tatapan khawatir Paul.Begitu dokter itu pergi, Arsen memutar tubuhnya menghadap kaca besar

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 8

    "Kamila, saya mohon... bangun." Suara Arsen serak, gemetar di antara napasnya yang berat. Tangannya terus menepuk pelan pipi pucat gadis itu—pipi yang dulu selalu memerah setiap kali ia tersenyum. Kini dingin, tanpa reaksi. “Kamila…” bisiknya lagi, kali ini lebih lirih, hampir seperti doa yang tenggelam di dalam ruang mobil yang sunyi. “Pak Arsen, tolong tenangkan diri bapak dulu,” kata Paul dari kursi kemudi. Suaranya berusaha tenang, meski ia sendiri bisa merasakan ketegangan yang merayap dari bangku belakang. “Saya yakin, nona Kamila baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan.” Arsen tak menjawab. Matanya merah, pandangannya liar penuh penyesalan dan marah pada dirinya sendiri. Ia menggenggam tangan Kamila erat—terlalu erat, seolah takut gadis itu akan benar-benar hilang jika dilepaskan. “Saya sudah bilang sama dia sebelumnya,” gumam Arsen lirih, “jangan pernah pergi. Saya tidak akan berbuat jahat padanya... Tapi dia tetap nekat. Sekarang lihat apa yang terjadi? Kita tidak ta

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 7

    "Beliau ingin pergi pak." Paul meletakkan sebuah bukti foto yang ia dapat barusan dari anak buahnya. Arsen mengambilnya, ia menatap foto itu lama, satu sudut bibirnya tertarik ke atas, "kita ke sana" Paul menganggukkan kepalanya patuh. * Kereta malam itu baru saja tiba di stasiun kecil di pinggiran kota. Lampu-lampu redup berkelap-kelip di antara uap dingin yang naik dari rel. Suara roda besi bergesekan dengan logam masih bergema, bercampur dengan suara pengumuman dari pengeras yang serak. Kamila menunduk dalam-dalam, berusaha menutupi wajah dengan masker dan topi hitam yang ia beli di kios dekat terminal sore tadi. Matanya sembab, rambutnya berantakan, dan tas kecil yang menempel di pundaknya tampak lusuh karena tergesa-gesa. Ia hanya ingin naik kereta, pergi sejauh mungkin — ke arah mana pun yang tak dikenal Arsen. Tapi saat ia hendak melangkah ke peron, tangan seseorang menarik pergelangannya dari belakang. Deg Sentuhan itu kuat, dingin. “Pak Arsen?” suaranya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status