Share

bab 4

Penulis: Mariahlia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-16 08:29:27

Tiga hari telah berlalu sejak kejadian itu, tetapi waktu seakan tak bergerak bagi Kamila.

Kosnya yang biasanya menjadi tempat istirahat kini berubah menjadi sangkar dingin yang mengurungnya dalam pikiran-pikiran kelam. Setiap kali ia memejamkan mata, potongan-potongan kejadian di lantai 25 muncul dengan tajam—suara pintu yang terkunci, langkah berat mendekat, tatapan yang menusuk.

Jam dinding di kamarnya seperti sengaja bergerak lambat. Tengah malam, pukul dua, pukul empat—tidak ada tidur nyenyak yang datang. Yang ada hanya tidur singkat yang diselingi terbangun mendadak, napas terengah, dan tubuh yang dibasahi keringat dingin.

Di meja kecil di sudut kamar, secangkir teh yang ia seduh sore kemarin masih utuh, sudah dingin, belum tersentuh. Perutnya jarang merasa lapar. Lidahnya pahit, dan setiap makanan yang ia coba telan terasa hambar.

Rasa takut menutupi semua inderanya.

Kadang, suara motor di jalan membuatnya terlonjak, seolah ada seseorang yang mengikuti. Tetesan air dari kran bocor di kamar mandi membuatnya gelisah, seperti dentingan waktu yang menghitung mundur sesuatu yang buruk. Ia mulai memeriksa pintu dan jendela berkali-kali sebelum tidur, memastikan gembok terkunci.

Namun rasa aman itu tetap tak pernah datang.

Kamila sengaja mematikan ponselnya hampir sepanjang hari. Pesan-pesan dari Sinta dan rekan kerja lain dibiarkannya menumpuk tanpa balasan. Ada rasa bersalah yang menggerogoti, tapi lebih kuat dari itu adalah rasa takut akan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin datang.

Hari kedua, supervisor mengirim pesan,

"Mil, kamu sakit? Kalau perlu izin beberapa hari gak apa-apa. Tapi kasih kabar ya."

Kamila hanya menatap layar ponselnya beberapa menit sebelum akhirnya meletakkannya lagi. Ia tak punya energi untuk menjelaskan.

Ia takut kalau kata-katanya keluar, ceritanya akan terdengar seperti kebohongan atau drama berlebihan.

Lebih buruk lagi, bagaimana jika mereka percaya… tapi malah menyalahkan?

Tiga hari penuh ia habiskan di kosan. Tirai jendela tetap tertutup. Dunia di luar terasa terlalu terang, terlalu ramai. Bahkan untuk berjalan ke warung dekat kos pun ia memilih mengenakan masker dan topi lebar, seolah semua orang bisa membaca rahasianya dari wajahnya.

Namun, di dalam keheningan itu, pikirannya terus mengulang-ulang kejadian di lantai 25. Dan setiap kali ia mengingat, wajah Arsen muncul—datar, tenang, namun entah kenapa seperti penuh kendali.

Kata-katanya terus terngiang, “Aku akan bertanggung jawab.”

Kalimat itu seperti racun yang bekerja lambat; sebagian dirinya marah, sebagian lagi… membenci karena pernah hampir percaya.

Hari keempat, uang di dompetnya mulai menipis. Kamila tahu, jika ia terus absen, gajinya akan dipotong. Lebih parah lagi, ia bisa kehilangan pekerjaan—dan itu berarti ia kehilangan satu-satunya sumber penghasilan untuk membayar kos dan makan.

Pagi itu, ia duduk di tepi kasur, menatap seragam hotel yang tergantung di belakang pintu. Warna krem pucatnya kini terasa berbeda, seperti kain yang membawa ingatan buruk. Jemarinya ragu saat menyentuhnya.

“Kalau aku kembali… bisa nggak aku kuat lihat lorong itu lagi?” pikirnya.

Ia memutuskan sesuatu: ia akan kembali bekerja, tapi ia akan menghindari lantai 25 sebisa mungkin. Ia akan meminta jadwal di lantai lain, bahkan jika harus memberi alasan teknis pada supervisor.

Mandi pagi itu terasa berat. Setiap kali air menyentuh kulit, ia merasa seperti sedang membersihkan sesuatu yang tak terlihat, namun tak pernah benar-benar hilang. Ia mengenakan seragam dengan perlahan, menghindari menatap cermin terlalu lama karena matanya yang masih bengkak.

Bus kota yang ia tumpangi terasa terlalu penuh. Bau parfum penumpang lain bercampur dengan aroma bensin membuatnya mual. Kamila duduk di dekat jendela, menatap keluar, menghitung lampu lalu lintas yang ia lewati—semacam cara untuk mengalihkan pikiran.

Saat hotel mulai terlihat di kejauhan, jantungnya berdetak lebih cepat. Bangunan tinggi itu yang dulu hanya berarti tempat kerja, kini terlihat seperti monumen dari trauma yang ia bawa.

Pintu putar di lobi berkilau terkena cahaya matahari, tapi bagi Kamila, kilauan itu dingin.

Begitu melangkah masuk, aroma khas hotel—campuran wangi pembersih dan karpet baru—langsung memicu kilas balik. Tangannya secara refleks mengepal, kukunya menekan telapak tangan.

Sinta yang sedang berdiri di meja resepsionis melihatnya lebih dulu. Wajahnya langsung berubah lega. “Mil! Akhirnya kamu datang juga. Aku kirain kamu sakit parah atau gimana…”

Kamila memaksakan senyum. “Iya, cuma masuk angin,” jawabnya singkat.

Ia berharap alasan itu cukup untuk menghentikan pertanyaan, tapi Sinta menatapnya lama, seolah ingin memastikan.

Supervisor kemudian memanggilnya ke ruang staf. “Kamila, saya senang kamu kembali. Tapi tiga hari absen itu banyak. Kamu yakin sudah fit?”

Kamila mengangguk cepat. “Sudah, Bu. Saya siap kerja.”

Supervisor membuka jadwal kerja di layar tablet. “Kebetulan lantai 25 butuh tambahan hari ini…”

Kamila langsung merasakan darahnya dingin. “Bu, kalau boleh… saya minta di lantai lain saja. Lagi agak nggak enak badan, takut nggak sanggup di atas,” katanya cepat.

Supervisor menatapnya ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baik. Lantai 18 saja hari ini.”

Meski lantai 18 jauh dari lantai 25, rasa tegang tak hilang. Setiap suara lift terbuka membuatnya refleks menoleh. Setiap tamu pria yang lewat membuatnya mundur setengah langkah.

Kamila membersihkan kamar satu per satu, tapi pikirannya setengah di masa kini, setengah di masa lalu. Sentuhan pada sprei, suara gesekan trolley, bahkan kunci kamar—semuanya memancing ingatan.

Saat siang menjelang, ia berhenti di pantry untuk minum. Sinta masuk sambil membawa nampan piring kotor. “Kamu kelihatan pucat, Mil. Beneran nggak apa-apa?”

Kamila hanya mengangguk, meneguk air mineral. Kata-kata sulit keluar; ia takut jika ia mulai bicara, tangis akan pecah.

Sekitar pukul tiga sore, saat Kamila mendorong trolley melewati lorong, lift di ujung terbuka. Dari sana keluar seorang pria berjas hitam, langkahnya tegap, sorot matanya menguasai ruang. Kamila tak perlu melihat lama untuk mengenalinya.

Arsen.

Jantungnya seperti diperas. Nafasnya tercekat. Ia buru-buru memalingkan wajah, menunduk, pura-pura fokus merapikan handuk di trolley. Tapi dari sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan itu—dingin, menembus.

Arsen berjalan melewatinya tanpa kata, hanya menoleh sekilas sebelum melanjutkan. Namun tatapan itu cukup untuk menghidupkan kembali semua sensasi yang berusaha ia kubur. Kamila merasa lututnya lemas, tangannya gemetar.

Ia berhasil menyelesaikan sisa pekerjaannya hari itu, tapi setiap menit terasa seperti jam. Saat waktu pulang tiba, ia berjalan cepat menuju pintu keluar, berharap tidak berpapasan lagi dengan siapa pun.

Di luar hotel, udara sore Bandung menyambutnya. Namun rasa lega itu hanya sedikit, karena ia tahu—selama ia bekerja di sini, bayangan Arsen bisa muncul kapan saja, di lorong mana saja.

Di dalam hatinya, Kamila tahu, ini baru awal dari perjuangannya. Bukan hanya untuk mempertahankan pekerjaannya, tapi untuk bertahan dari bayang-bayang yang terus memburu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 45

    Lorong rumah sakit itu sunyi, namun bukan sunyi yang tenang.Ini sunyi yang kental—seperti udara yang menahan napas.Jam dinding di ujung koridor berdetak terlalu keras, jarum detiknya bergeser perlahan, memantul pada lantai mengilap yang sudah dipel oleh cleaning service pagi itu.Di balik dinding kaca, ruang-ruang perawatan berbaris rapi. Bau obat antiseptik samar-samar menusuk. Cahaya matahari menyelinap dari jendela, memantul pada kursi tunggu besi dingin yang sepi.Kamila duduk di salah satu kursi itu.Rambutnya diikat seadanya, wajahnya tampak pucat, tak memakai make-up sedikit pun. Kaos abu-abu yang kebesaran dan cardigan tipis yang ia kenakan membuatnya terlihat lebih kecil dari biasanya—seolah ia bisa menghilang jika seseorang meniupnya.Ia menatap lantai, menatap lututnya, menatap tangannya yang saling menggenggam terlalu erat.Tidak ada kata-kata.Tidak ada suara dari bibirnya.Sejak tadi ia hanya diam.Nares berdiri tidak jauh darinya, bersandar pada dinding, kedua tangann

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 44

    Ruang tamu villa itu terasa seperti sebuah ruang waktu yang membeku. Udara di dalamnya dingin, terlalu dingin untuk jam sepuluh pagi di kawasan perbukitan. Bukan dingin yang berasal dari udara luar atau AC yang lupa dimatikan. Ini dingin yang lahir dari tubuh seseorang—dari pikiran yang tak tidur dan jiwa yang remuk pelan-pelan.Arsen duduk bersandar pada dinding, kaki tertekuk, tangan menggenggam rambutnya sendiri. Ia tampak seperti seseorang yang sudah kehilangan orientasi, seseorang yang bahkan tidak sadar bahwa matanya yang merah sekarang menatap kosong ke arah lantai, bukan lagi ke dunia nyata.Mami Laudya berhenti beberapa langkah di depannya. Napasnya tersengal kecil saat matanya menyapu kekacauan ruangan.Dulu villa ini selalu bersih. Rapi. Beraroma mahal. Lantai mengkilap karena setiap jam ada staf yang mengepel. Vas bunga segar di meja. Piring makan mahal tersusun tanpa cela di dapur.Sekarang semuanya berantakan. Seperti rumah itu ikut jatuh sakit.“Arsen…” suaranya melembu

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 43

    Pagi itu rumah Mami Nares dipenuhi aroma jahe hangat dan roti panggang. Cahaya matahari masuk dari jendela besar, mengenai wajah Kamila yang tampak lebih segar dibanding dua hari sebelumnya—meski kantung matanya masih terlihat jelas jika diperhatikan.Mami Nares sibuk di ruang tamu, mengemasi beberapa berkas. Rambutnya disanggul, wajahnya dihiasi riasan tipis yang menandakan hari ini ia tidak bisa menunda pekerjaan.Kamila berdiri di dekat meja makan, memegang segelas air hangat.“Kamila,” panggil Mami lembut.Kamila menoleh. “Iya, Bu?”Mami menatapnya penuh perhitungan. Ada kekhawatiran, tapi juga keyakinan bahwa gadis muda itu mulai menemukan ritme napasnya kembali.“Kamu ada jadwal periksa kandungan hari ini, ‘kan?”Tangan Kamila mengejang di sekitar gelas. Ia hampir lupa, atau mungkin sengaja menyingkirkan itu dari kepalanya.“I—Iya, Bu. Jam sepuluh. Tapi–”Mami mengangguk, merapikan blazer-nya.“Kamu harus tetap periksa. Dokter yang Mami telpon juga udah saranin kamu harus rutin

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 42

    Malam berganti pagi, tapi bagi Arsen, waktu berhenti memiliki bentuk.Hari-hari berikutnya bukan lagi rangkaian jam yang bisa dihitung. Semuanya berbaur menjadi satu kabut tebal yang memeluk kepalanya—kabut yang tak pernah benar-benar hilang, bahkan ketika matahari tinggi di langit atau ketika lampu kantor menyala terang.Dan Kamila… tetap tidak ada di mana pun.Di KantorPukul sembilan pagi, gedung kantor Arsen biasanya penuh ritme, langkah cepat para staf, suara keyboard, telepon yang tak berhenti berdering. Tapi hari ini, semuanya terasa menahan napas saat Arsen datang.Ia masuk lewat pintu kaca besar, langkahnya lambat, bahunya sedikit merosot. Setelan rapihnya tidak menolong apa pun—kerahnya tampak tidak tersentuh tangan rapi, rambutnya acak sedikit.Paul, asistennya, langsung mendekat.“Pak… meeting sama tim legal lima menit lagi.”Arsen tidak menjawab. Tidak mengangguk. Tidak menoleh.Ia berjalan langsung melewati Paul, menuju ruangannya. Pintu kaca besar itu terbuka—kemudian d

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 41

    Malam itu menua dalam diam, tapi bagi Arsen, waktu bukan lagi aliran lembut yang berjalan pelan… melainkan pisau tumpul yang menggores dadanya sedikit demi sedikit.Hujan berhenti, tapi aroma udara yang lembap masih menempel di sepanjang jalan besar tempat ia berdiri. Lampu-lampu trotoar temaram memantulkan cahaya lembut di wajahnya yang pucat. Napasnya kabur saat ia mengembuskan udara, seolah dunia juga sedang menggigil bersama keresahannya.Arsen menyapu pandangannya sekali lagi. Tidak ada mobil. Tidak ada perempuan kecil dengan perut membesar yang memanggil namanya sambil menangis. Tidak ada jejak Kamila.Detik itu juga, sesuatu di dalam dirinya runtuh.Ia bersandar pada kap mobilnya, menunduk. Jemarinya yang biasanya tegas menandatangani kontrak bernilai miliaran kini bergetar hebat. Ia menutup wajahnya. Entah sudah berapa kali ia melakukan itu malam ini.“Pak Arsen…,” suara salah satu pengawalnya terdengar hati-hati. “Mungkin… kita cari ke arah—”“Tidak.” Suara Arsen pecah, renda

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 40

    Malam semakin menua, seperti kain hitam yang makin lama makin pekat. Lampu-lampu jalan di kawasan kumuh Jakarta itu berpendar kuning, memantul pada genangan air sisa hujan dan membentuk kilau yang seolah bergetar setiap kali angin dingin melintas. Suara raungan motor Nares memecah kesunyian, membawa Kamila menjauh dari gang sempit yang nyaris menelannya barusan.Kamila memeluk tas kecilnya di dada, tubuhnya kaku, namun matanya tak lepas dari jalanan yang terus berubah. Setiap tikungan terasa asing, setiap lampu jalan seperti mata yang memperhatikannya. Ia menelan ludah, berusaha tidak terlalu terpaku pada ketakutan yang tadi hampir membuatnya kehilangan nyawa dan anak dalam kandungannya.Nares melirik lewat spion, suaranya terdengar pelan karena tertutup helm."Mbak Kamila nggak apa-apa? Kalau mau pegangan, pegang aja ya. Biar nggak jatuh."Kamila mengangguk, walau Nares jelas tidak bisa melihatnya."Iya… aku nggak apa-apa."Tentu saja ia tidak benar-benar baik-baik saja. Punggungnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status