Brak
Brak Brak "To--tolong!!" Suara teriakan seseorang membuat seorang gadis cantik yang sedang mengepel lantai itu langsung terkesiap. Mata bulat cantiknya yang indah itu, langsung menatap sekelilingnya yang terasa sangat sepi tidak ada orang sama sekali, hanya ia sendirian di lantai 25 ini. "Ya Tuhan... Apa jangan-jangan hantu ya?" Bulu kuduk gadis bertubuh mungil itu sudah merinding, membayangkan wajah-wajah hantu yang pastinya sangat menyeramkan yang pernah ia tonton di televisi. Tangannya bahkan sudah memegang tengkuk lehernya, bibir mungilnya sudah gemetar hebat. Sungguh ini pengalaman horor untuk yang pertama kali ia dapatkan setelah ia bekerja menjadi seorang office girl di hotel terkenal di kota Bandung ini. "Ih, apa jangan-jangan yang di bilang sama Sinta itu bener ya? Katanya kan, baru aja di temui mayat di lantai sepuluh?" Gadis cantik itu bahkan sudah menduga-duga, namun ia langsung menggelengkan kepalanya. "Astaga, Mila... Ini lantai 25, bukan lantai 10." Pekik Kamila nyaring, ia bahkan memukul jidatnya. "Kenapa bego banget sih elu" Kamila memasang wajah seriusnya, ia kembali menatap sekelilingnya yang memang benar-benar sangat sepi. Ia menarik nafasnya perlahan, lalu membuangnya kasar. "Ya Tuhan, lindungi gue, Mila mau kerja, mau cari duit buat makan besok, jadi wahai setan tak berperikemanusiaan jangan di gangguin gue ya!!" Ucap Kamila menelangkupkan kedua telapak tangannya berdoa. Gadis cantik bernama lengkap Kamila Jeslyn itu kembali melanjutkan aktivitasnya lagi, mengambil kain pel yang tadi sempat di letakkan olehnya, dan ia kembali menyapukannya pada lantai itu. Baru beberapa kali gerakan tangannya mengepel lantai, Kamila kembali mendengar suara seseorang lagi.. Brak brak brak brak "Tolong, siapa saja yang ada di luar, to--tolong buka pintunya!" Teriak seseorang yang ada di dalam kamar itu, membuat Kamila semakin tersentak. Mata Kamila langsung terbelalak mendengarnya, jantungnya berderu sangat kencang, suara itu terdengar lagi, dan kali ini Kamila bisa mendengarnya lebih jelas lagi. Tangannya meremas dengan kencang pegangan pada pel itu. Brak Brak Brak Ada suara yang meminta pertolongan, dan itu bukan hantu atau sejenisnya. Bahkan, suaranya terdengar sangat jelas sekali, sesekali terdengar suara pintu yang dipukul dengan kencang. Brak Brak Brak "Siapa ya?" Tanya Kamila pelan, sambil menggigit bibirnya dengan kencang, gadis cantik itu berjalan mendekat ke arah sebuah pintu kamar hotel yang ada di lorong itu, suaranya terdengar dari arah kamar tersebut. Sebelumnya, ia meletakkan pel-nya di ember yang di bawa olehnya tadi. "Tolong saya! Saya minta to--tolong, saya minta bantuan kepada siapa pun, to--tolong keluarkan saya dari sini!!" Brak Brak Brak Kamila berjalan perlahan, ia langsung menatap pintu yang ada di depannya itu. Matanya menelisik pintu itu, dan saat itu ia melihat sebuah kunci yang menggantung di sana. Langsung saja, tangan mungil itu memegang kunci dan memutarnya. Ceklek .. Pintu kamar itu terbuka, dan langsung menampilkan sosok pria berbadan tinggi tegap mengenakan kemeja berwarna biru muda dan berdiri di hadapan Kamila. Ya, Arsen memang sudah mengenakan pakaiannya kembali, ia bahkan sudah frustasi sekali, ingin segera pergi dari tempat ini. Sekuat mungkin ia ingin menghancurkan pintu itu, namun siapa sangka, ada seorang wanita yang membuka pintu kamar hotel tersebut. Bagus, Arsen bisa keluar dari sana dengan selamat. Namun, tunggu... Saat ia ingin keluar, matanya malah tertuju pada sebuah pemandangan yang ada di hadapannya, ia melihat dengan jelas betapa indahnya pemandangan itu. Sepasang gundukan itu jelas tampak dari luarnya, sungguh sangat menantang bagi Arsen. Seeet "To--tolong saya." Lirih Arsen dengan suara beratnya, bahkan ia tidak dapat menahan rasa yang ada di dalam dirinya lagi saat berdekatan dengan wanita itu. Sialan! Kamila mengerjapkan kedua bola matanya, matanya menoleh ke arah tangannya yang di pegang oleh pria asing itu, agak terkejut sih, karena ia belum pernah di sentuh sebelumnya oleh lawan jenisnya, tapi ia mencoba tetap tenang, mungkin saja pria itu tidak sengaja. Kepala Kamila lalu mengangguk pelan. "Baik, mari saya antar anda ke bawa." Ucap Kamila yang bingung juga harus menolong bagaimana orang yang ada di hadapannya saat sekarang ini. Satu-satunya mengantar pria itu ke bawa dan menemui resepsionis. Mereka yang bisa membantu pria asing itu. Arsen mendesis merasakan pening yang sangat luar biasa hebat mendera dirinya kembali. Seeet Arsen malah menarik tangan gadis itu hingga masuk ke dalam kamar hotel itu. Membuat Kamila tersentak, ceklek Apalagi saat pria itu menutup kembali pintu kamar hotel itu, membuat jantung Kamila berdebar sangat kencang. Kamila terkejut, meronta-ronta minta di lepaskan oleh pria yang tidak di kenal olehnya itu, namun sayang tenaga nya tidak sebanding dengan pria itu. "Leepas!!" Teriak Kamila, saat tubuhnya sudah di kukung oleh tubuh besar itu. Bahkan deru nafas pria itu terasa hangat membelai lehernya. Jarak keduanya sangat dekat, membuat tubuh Kamila menegang hebat. Jantung Kamila berpacu cepat, Kamila memejamkan kedua bola matanya, merasakan sesak di dalam dadanya sana. Air matanya bahkan sudah menetes mendapati aksi menjijikkan yang di lakukan oleh pria asing itu. Sungguh, pria sialan, pria itu bahkan menjilati leher putihnya, membuat tubuh Kamila menegang hebat. "Lepas!!!!" Teriak Kamila lagi, namun Arsen seakan tak mengindahkan perkataan gadis itu, dirinya sungguh butuh pelampiasan saat sekarang ini juga. Ia bahkan tuli tak peduli dengan rontaan gadis itu. "Maaf, tapi saya harus melakukannya" bisik Arsen tepat di telinga gadis itu, lalu menggigitnya perlahan membuat Kamila memekik. Kamila menggeleng, berusaha mendorongnya tubuh yang menghimpitnya itu. Tapi sayang tenaganya tidak sebanding dengan tenaga pria itu. Kamila bahkan memukul-mukul pria itu dengan kencang, namun tangannya di tarik di atas, lalu di satukan dengan tangan sebelah milik Arsen, sedangkan tubuhnya sudah di tindih. "Saya mohon lepas" Kamila menangis histeris, Arsen tidak peduli, ia terus melancarkan aksinya, ia bahkan tidak peduli dengan tangisan dari gadis di bawahnya itu. Hingga... Sreeet Arsen melepaskan pakaian milik gadis itu, merobeknya dengan asal dan membuangnya ke sembarangan arah. Hingga kejadian yang tidak di inginkan pun terjadi... Arsenio mengambil sesuatu yang paling berharga yang di miliki oleh gadis itu. Yang di jaganya selama ini, dan yang hanya di peruntukan untuk suaminya kelak. Nyatanya sudah hilang dan yang mengambilnya orang yang sama sekali tidak di kenalnya. Beberapa saat kemudian "Hiks hiks, jahat" lirih Kamila sambil terus menangis, bahkan tubuhnya sudah remuk redam akibat perbuatan pria itu... "Dasar pria brengsek! Bajingan!!" Kamila terus menangis hebat, sungguh ia sudah hancur sekarang, sudah tidak ada yang tersisa di dalam hidupnya. "Mila udah hina, Mi... Mila harus bagaimana sekarang, hiks hiks." Tangis Kamila begitu pilu dan menyayat hati.Pagi itu, langit tampak pucat. Udara yang masuk melalui celah tirai kamar membawa hawa dingin lembap yang membuat tubuh Kamila menggigil. Ia terbangun dengan keringat dingin membasahi pelipis, tapi tubuhnya justru terasa panas luar biasa. Tenggorokannya kering, kepalanya berat, dan pandangan matanya berkunang.Ia mencoba bangun, tapi lututnya lemas. Tubuhnya seolah menolak semua perintah. Napasnya pendek-pendek. Dalam kebisuan kamar besar itu, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar jelas—pelan, teratur, tapi menegangkan.Kamila menunduk, menatap perutnya yang kini semakin besar. Bayi itu menendang pelan, seolah memberi tanda bahwa ia masih ada di sana, hidup, dan menunggu.“Tenang… Mama baik-baik saja…” bisiknya dengan suara serak. Tapi kalimat itu lebih terdengar seperti doa daripada keyakinan.Ia mencoba meraih segelas air di meja nakas, namun tangannya gemetar terlalu hebat. Gelas itu jatuh, pecah di lantai, airnya memercik ke kakinya yang dingin.Kamila menunduk, terengah
Malam itu, hujan sudah berhenti. Langit tampak bersih, tetapi udara dingin yang merambat dari sela jendela tetap menggigit kulit. Kamila duduk di kursi panjang dekat jendela kamar, menggenggam secangkir teh hangat yang sejak tadi sudah tidak lagi mengepul. Matanya sayu, tubuhnya lelah. Sejak menikah paksa dengan Arsen, jam tidurnya berantakan—tidak karena bayi dalam perutnya yang rewel, tetapi karena rasa takut yang perlahan menjadi temannya setiap malam. Pintu kamar terdengar berderit pelan. Arsen masuk tanpa suara, seperti biasanya. Langkahnya ringan namun tegas. Pria itu mengenakan setelan rumah berwarna hitam, rambutnya rapi, wangi aftershave-nya memenuhi ruangan seperti aroma penguasa yang ingin menandai wilayahnya. “Kamila,” panggilnya pelan. Kamila tidak menjawab. Ia pura-pura fokus pada hujan sisa di luar sana, pada gemerlap lampu kota Jakarta yang redup. Arsen mendekat, berhenti tepat di belakang kursinya. Ia menatap punggung Kamila seperti seseorang menatap lukisan maha
Malam itu, langit Jakarta tampak kelabu. Rintik hujan jatuh pelan seperti tirai tipis, meredam suara jalanan dan lampu-lampu kota. Di dalam gedung kecil dan tertutup rapat, di sebuah ruangan berisi hanya empat orang—dua saksi, seorang penghulu, dan dua insan yang berdiri berdampingan—pernikahan itu berlangsung. Tanpa bunga. Tanpa keluarga. Tanpa tawa bahagia. Hanya senyum dingin Arsen… dan wajah pucat Kamila. Dan Kamila sudah di bawa kembali ke kota Jakarta oleh Arsen. “Apakah saudari Kamila bersedia menjadi istri dari saudara Arsen…?” suara penghulu terdengar jelas, menggema di ruangan hening itu. Deg Jantung Kamila berdetak keras. Tangannya dingin, jemari gemetar. Paul, yang berdiri di sudut ruangan, menundukkan pandangannya—ia tidak sanggup menatapnya. Ia tahu ini bukan pernikahan. Ini pengurungan yang sah secara hukum. “…iya.” Suara itu keluar lirih dari bibir Kamila. Bukan karena kerelaan, tapi karena tak ada pilihan."Baik, kita akan memulai pernikahannya." Pak peng
Ruangan itu terasa membeku.Hening, hanya terdengar detik jam di dinding yang seolah menertawakan semua yang terjadi.“...apa yang kamu katakan tadi?” suara Arsen akhirnya pecah. Datar, tapi mengandung tekanan yang membuat dokter muda itu menelan ludah gugup.“Pasien... kemungkinan besar sedang hamil, Pak.”Arsen terdiam. Tubuhnya tegak kaku, rahangnya mengeras, matanya kosong menatap lantai.Paul di belakangnya memandang hati-hati, mencoba membaca perubahan ekspresi itu — tapi tidak ada. Tak ada ledakan marah seperti biasanya, tak ada ancaman, tak ada amarah.Hanya diam. Menakutkan dalam caranya sendiri.Lalu pelan, sebuah senyum kecil muncul di wajah Arsen. Bukan senyum lembut. Bukan senyum bahagia.Senyum itu dingin, tajam, nyaris tak berperasaan.“Pergi,” katanya lirih tapi tegas. “Kamu boleh pergi, Dokter.”Dokter itu tak menunggu dua kali. Ia menunduk cepat dan melangkah keluar, diikuti tatapan khawatir Paul.Begitu dokter itu pergi, Arsen memutar tubuhnya menghadap kaca besar
"Kamila, saya mohon... bangun." Suara Arsen serak, gemetar di antara napasnya yang berat. Tangannya terus menepuk pelan pipi pucat gadis itu—pipi yang dulu selalu memerah setiap kali ia tersenyum. Kini dingin, tanpa reaksi. “Kamila…” bisiknya lagi, kali ini lebih lirih, hampir seperti doa yang tenggelam di dalam ruang mobil yang sunyi. “Pak Arsen, tolong tenangkan diri bapak dulu,” kata Paul dari kursi kemudi. Suaranya berusaha tenang, meski ia sendiri bisa merasakan ketegangan yang merayap dari bangku belakang. “Saya yakin, nona Kamila baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan.” Arsen tak menjawab. Matanya merah, pandangannya liar penuh penyesalan dan marah pada dirinya sendiri. Ia menggenggam tangan Kamila erat—terlalu erat, seolah takut gadis itu akan benar-benar hilang jika dilepaskan. “Saya sudah bilang sama dia sebelumnya,” gumam Arsen lirih, “jangan pernah pergi. Saya tidak akan berbuat jahat padanya... Tapi dia tetap nekat. Sekarang lihat apa yang terjadi? Kita tidak ta
"Beliau ingin pergi pak." Paul meletakkan sebuah bukti foto yang ia dapat barusan dari anak buahnya. Arsen mengambilnya, ia menatap foto itu lama, satu sudut bibirnya tertarik ke atas, "kita ke sana" Paul menganggukkan kepalanya patuh. * Kereta malam itu baru saja tiba di stasiun kecil di pinggiran kota. Lampu-lampu redup berkelap-kelip di antara uap dingin yang naik dari rel. Suara roda besi bergesekan dengan logam masih bergema, bercampur dengan suara pengumuman dari pengeras yang serak. Kamila menunduk dalam-dalam, berusaha menutupi wajah dengan masker dan topi hitam yang ia beli di kios dekat terminal sore tadi. Matanya sembab, rambutnya berantakan, dan tas kecil yang menempel di pundaknya tampak lusuh karena tergesa-gesa. Ia hanya ingin naik kereta, pergi sejauh mungkin — ke arah mana pun yang tak dikenal Arsen. Tapi saat ia hendak melangkah ke peron, tangan seseorang menarik pergelangannya dari belakang. Deg Sentuhan itu kuat, dingin. “Pak Arsen?” suaranya