Kamila pulang dari hotel dengan langkah cepat, seolah udara sore bisa menelan dirinya sebelum tatapan itu menyusul. Ia tidak ingat banyak dari perjalanan pulang—hanya suara mesin bus yang monoton, wajah-wajah penumpang yang kabur, dan rasa sesak yang tak mau hilang. Begitu sampai di kos, ia langsung mengunci pintu. Sandalnya ditinggalkan di depan, seragam hotel langsung dilepas dan dilempar ke kursi. Ia duduk di lantai, punggung bersandar ke dinding, memeluk lutut. Di matanya, wajah Arsen muncul lagi, tatapannya singkat tapi cukup menusuk. "Kenapa dia nggak bilang apa-apa? Kenapa cuma lewat? Apa itu ancaman? Atau peringatan?" pikirnya. Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa henti, membuatnya sulit bernapas. Ia mencoba menyalakan TV untuk mengusir suara di kepalanya, tapi justru merasa semua suara terlalu keras. Remote ia letakkan lagi, layar tetap gelap. Tiga hari berikutnya, meski Kamila tetap berangkat kerja, hidupnya seperti terjebak dalam pola yang membeku. Ia datang, men
Terakhir Diperbarui : 2025-08-16 Baca selengkapnya