"Andaru anak gue."
Tak hanya Pram yang terkejut mendengar pernyataan Adnan yang baru saja muncul dari lift, Suri juga menunjukkan reaksi yang sama. Namun, keterkejutan Suri tak berlangsung lama karena melihat senyum menenangkan yang disuguhkan Adnan untuknya. Hanya sekilas, hingga Suri nyaris mengira dirinya salah lihat.
Detik selanjutnya, Suri segera sadar kalau Adnan sedang mencoba menyelamatkan dirinya dari Pram.
"Anak lo... sama Suri?"
Setelah bisa menguasai diri, Pram mengalihkan pandangannya kepada Andaru yang sedang melonjak-lonjak senang karena kedatangan Adnan—dengan mudah melupakan keberadaannya. Lalu tatapan tajamnya berpindah kepada Suri. "Ri... apa itu benar?"
Tenggorokan Suri terasa perih karena ditodong pertanyaan itu. Ia mengalami dilema yang datang di saat yang tidak tepat. Dan sekali lagi, Adnan dengan tanggap menarik dirinya dari krisis. Pria itu mengambil alih dengan menjawab, "Ya. Andaru adalah buah cinta kami berdua."
'Buah cin...ta?'
Astaga!
Jantung Suri berdesir mendengar kebohongan besar itu. Adnan selalu tanpa sengaja membuat Suri diserang rasa bersalah karena sampai hari ini masih belum bisa membuka hatinya untuk pria itu.
Ekspresinya saat ini sangat berbanding terbalik dengan Pram yang langsung menyipitkan mata dan mengetatkan rahangnya.
Situasi tegang di antara mereka tidak membuat Adnan terintimidasi. Pria itu dengan santai berjongkok dan membelai kening Andaru yang basah oleh keringat.
"Anak Papa belajar apa saja di daycare hari ini?" Adnan membopong Andaru dengan mudah menggunakan satu tangan dan mengajak bocah itu mengobrol santai seperti biasa.
"Aru belajar berhitung dari satu sampai seratus sama Mama!" pekik Andaru lalu menceritakan kegiatannya sepanjang siang bersama Suri dengan semangat. "Aru juga udah bisa nulis nama Mama sama Papa Adnan!"
"Wah, hebat sekali, Anak Papa! Papa boleh lihat nanti di rumah?"
Andaru mengangguk antusias. "Boleh, dong!"
Tatapan hangat dan memuja Adnan kepada si bocah yang berada dalam gendongannya tak luput dari perhatian Suri. Ia sudah sering melihat interaksi anaknya dengan pria itu, yang jauh lebih akrab dari hubungan ayah-anak kebanyakan. Dan hari ini tak terkecuali.
Jika orang-orang melihat, Suri yakin mereka akan langsung menyimpulkan kalau Adnan adalah ayah kandung Andaru yang sangat penyayang.
"Jangan main-main sama gue, Adnan!" Pram mendecih sengit. Menyudahi percakapan singkat Adnan dengan Andaru dan menyadarkan Suri dari lamunan. "Skenario apa yang sebenarnya sedang kalian mainkan?!"
Bulu kuduk di tengkuk Suri berdiri saat melihat Pram menyeringai menatap Andaru. Pram seolah bisa dengan mudah menemukan kemiripan antara dirinya dengan anak itu. Pundak Suri kembali menegang karena ternyata mantan suaminya tidak semudah itu dibodohi. Kebohongan dangkal yang tadi Suri pikir bisa menyelamatkannya, dengan cepat berbalik menjadi bumerang.
Meski Adnan sudah sering absen dari kegiatan dan acara penting Danuarta Group sejak pindah ke Surabaya delapan tahun lalu, untuk hal-hal penting seperti acara pernikahan sepupu dan perayaan anniversary kedua orang tuanya, Adnan selalu mengusahakan untuk datang.
Pada momen-momen itu, keluarga besarnya akan mengulik kehidupan pribadi Adnan setelah pria itu memutuskan untuk membangun perusahaannya sendiri di kota yang jauh dari ibukota tanpa embel-embel Danuarta. Tidak akan ada yang percaya jika Adnan mengaku punya anak berumur lima tahun di depan keluarga besarnya!
'Dasar bodoh! Seharusnya aku langsung kabur saja tadi--'
"Kenapa gue harus susah-susah bikin skenario, sementara kenyataannya memang begitu?" Adnan bertanya retoris, menghentikan kepanikan Suri di dalam hati.
"Bangsat!"
Pram telat bereaksi karena butuh waktu selama beberapa saat untuk mencerna balasan Adnan.
"Kalian... kalian berdua selingkuh di belakang gue?!" hardik pria itu kesetanan. Jika bukan karena ada bocah kecil digendongan Adnan, kepalan tangan pria itu mungkin sudah melayang di wajah sepupunya yang masih bisa bersikap sangat tenang.
Senyum kecut mewarnai wajah Suri yang sudah sangat lelah dan kuyu. Setelah apa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu, bukankah mantan suaminya itu tidak berhak melemparkan tuduhan yang tak berdasar kepadanya?
Kemarahan dan kekecewaan kepada Pram yang ia kira sudah lenyap dimakan waktu, pun meluap tak tertahankan.
"Jangan sembarangan menuduh, Mas!" Untuk pertama kalinya setelah bermenit-menit bungkam, Suri buka suara dengan nada sengit. "Dan jaga bicaramu di depan anak kami!"
Pram kembali dibuat terkejut karena ucapan Suri. Ekspresi di wajahnya menunjukkan sakit hati, tetapi dengan cepat tergantikan oleh tatapan sinis.
"Kalau bukan selingkuh lalu apa namanya, Ri?! Kamu istriku! Tapi kamu malah diam-diam kabur dan tidur dengan sepupuku sampai menghasilkan anak!"
Tersinggung?
Tidak.
Suri mengingat perangai Pram dulu yang punya kecenderungan posesif. Sehingga ia tidak terlalu kaget melihat reaksi mantan suaminya yang meledak-ledak itu. Jika Suri yang berada di posisi Pram, kemungkinan besar ia juga akan bereaksi demikian. Namun, hal itu sekaligus menyadarkan Suri kalau kebohongan yang ia dan Adnan ciptakan hanya akan menimbulkan drama baru. Tidak hanya dengan Pram, tetapi juga dengan keluarga besar Danuarta.
Wanita itu mengepalkan tangan kuat-kuat. Itulah sebabnya dulu ia pernah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak berurusan lagi dengan orang-orang dengan nama belakang Danuarta saat meninggalkan Jakarta. Ia tidak ingin terlibat dalam masalah yang akan kembali mengusik ketenangan hidupnya.
Hanya saja, takdir malah membawanya bertemu Adnan. Dan kebersamaannya dengan Adnan selama bertahun-tahun belakangan membawanya pada hari ini.
"Lo nggak usah berlagak menjadi superhero buat istri gue, Nan," geram Pram yang menarik Suri dari lamunan singkatnya. "Dia milik gue." Pram menunjuk Suri dengan penuh emosi hingga urat-urat bertonjolan di lehernya. Namun, tatapannya sendiri tidak lepas dari Adnan. "Selamanya, cuma gue yang berhak memiliki dia."
Suri mengernyit karena tidak tahu apa yang dikatakan Adnan sebelumnya hingga membuat Pram mengucapkan kalimat itu.
"Lalu bagaimana dengan Melisa?" cetus Adnan seraya mengelus punggung Andaru. Bocah kecil itu memeluk leher Adnan erat sejak mendengar Pram bicara dengan volume keras. "Kamu mau menduakannya?"
Pram seketika mematung kala mendengar nama istrinya disebut. Sorot matanya berubah, menunjukkan kepanikan yang gagal disembunyikan.
Memperhatikan setiap gesture tak nyaman yang ditunjukkan sang mantan suami membuat Suri hanya bisa tersenyum pahit. Teringat bahwa Pram masih pribadi yang sama dengan sosok yang ia kenal dulu.
Bertahun-tahun lamanya mereka berpisah, Pram belum berubah. Hidup pria itu masih berada di bawah kendali orang lain meski saat ini telah menjabat menjadi CEO Danuarta Group--yang mulai melebarkan bisnisnya di negara-negara Asia.
"Mas Pram!"
Panggilan nyaring nan merdu itu sukses mencuri perhatian. Ketiga orang dewasa yang bersitegang itu menoleh bersamaan ke sumber suara.
Suri terpegun. Ia tak bisa mengalihkan tatapan dari sesosok wanita cantik berambut panjang dengan balutan midi dress mewah berwarna merah marun yang berjalan mendekat dengan langkah anggun.
"Katanya mau cari Adnan, tapi aku susul kamu ke ruangannya udah nggak ada siapa--Eh, Adnan!"
Melisa Tanureja, istri kedua Pram yang baru saja datang itu mengernyit setelah melepaskan kacamata hitam yang menutupi mata indahnya. Beberapa detik kemudian, matanya berkilat begitu menyadari ada dua orang asing di sana. Wanita itu kembali menatap Adnan yang masih setia mengelus punggung bocah kecil di pelukannya. Kernyitan di keningnya bertambah banyak.
"Adnan, sejak kapan selera kamu berubah dari menyukai wanita single menjadi menyukai janda?"
Nongol-nongol langsung bikin emosi aja nih Mbak Melisa. Omongannya pedes banget😠
"Waktunya makan malam." Suri mendongak sekilas dari laptop yang ada di hadapannya--ia sedang merapikan agenda untuk esok hari. Menatap sesosok pria beriris hitam legam yang muncul di pintu kamarnya, wanita itu menjawab, "Sebentar lagi aku turun." Adnan mengangguk kecil dan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Suri menghela napas. Hubungannya dengan sang suami belum membaik sejak pindah ke rumah Prabu seminggu yang lalu. Ia masih marah karena dipaksa pindah. Sementara Adnan menyimpan kecewa karena dirinya meminta pisah kamar. Menyusul Adnan tak lama kemudian, Suri menemukan tiga sosok laki-laki berbeda generasi yang telah duduk menempati meja makan besar. Di kepala meja, duduk sang tuan rumah. Diapit oleh Adnan di sisi kanan dan Andaru di sisi kiri. Suri masih bisa menangkap obrolan sang tuan rumah dengan Andaru tentang acara ulang tahun sekolahnya yang akan diadakan akhir minggu ini. Terdengar suara Adnan yang menimpali. "Mama!" Selalu, hanya Andaru yang akan menyapanya dengan ri
Sudah lebih dari dua jam sejak Adnan membawa Andaru pergi. Tidak ada kabar apa pun setelahnya. Karena Suri tidak berusaha menanyakannya lewat telepon meskipun ia ingin sekali. Dan tampaknya Adnan juga tidak terpikir untuk mengabarkan apa-apa tentang pertemuan pertama Andaru dengan Prabu Danuarta tanpa dirinya itu.'Ya Tuhan, kenapa mereka lama sekali?' batin Suri yang ke sekian kali.Dengan hati yang gelisah, diremas-remasnya ujung baju yang ia kenakan hingga kusut. Suri menyesali pilihannya untuk tidak ikut serta dan sekarang hanya bisa menunggu kepulangan anak dan suaminya dalam harap-harap cemas.Ketika kesabaran tinggal seujung kuku dan yang ditunggu masih tak kunjung datang, Suri membulatkan tekad untuk menyusul mereka sebentar lagi.Suara samar dari pintu yang dibuka membuat Suri yang sejak tadi mondar-mandir di ruang tamu bergegas menyongsong ke arah pintu.Wanita itu mengernyitkan kening. Kebingungan melihat Adnan datang sendirian. Padahal, tadi berangkat bertiga dengan Andaru
Membawa Andaru bertemu Prabu sebenarnya belum ada dalam agenda Adnan dalam waktu dekat. Awalnya, Adnan ingin lebih dulu mengantongi restu sebelum memperkenalkan Andaru--cicit pertama di keluarga Danuarta --kepada sang Kakek.Tetapi Suri malah mengacaukan semuanya. Tindakan Suri tempo hari membuat Adnan terlampau kecewa. Biasanya, tanpa kata maaf pun kekesalannya mudah mereda. Tetapi kali ini lain. Rasanya terlalu menyakitkan mendengar dengan telinganya sendiri ketika Suri bicara di depan Kakek, berniat mencampakkan dirinya demi menyelamatkan diri. Adnan mungkin sebenarnya sudah tahu kalau selama ini Suri belum benar-benar memberikan hatinya. Kapan saja Duri bisa berubah pikiran dan meninggalkan dirinya. Adnan hanya tidak mengira kalau waktu itu datang begitu cepat. Semakin ia merasa terkhianati karena Suri telah sempat berjanji tentang berjuang bersama menghadapi Prabu Danuarta."Andaru.. anak itu benar darah dagingmu?" tanya Prabu."Kakek juga butuh bukti tes DNA atau bagaimana?" A
Suri tidak begitu kaget mengetahui Adnan marah padanya sampai berhari-hari setelah apa yang terjadi di rumah Prabu Danuarta. Saat dalam keadaan terpojok kemarin, pikiran negatif mengambil alih akal sehatnya hingga berpikir bahwa meninggalkan Adnan adalah pilihan paling tepat. Itu sama saja dengan mengulangi siklus yang sama ketika ia dihadapkan pada situasi sulit dulu.Bedanya, ketika bersama Pram, ia benar-benar tidak yakin bisa menggantungkan harapannya. Sedangkan bersama Adnan, ada harapan-harapan yang menunggu diwujudkan. Sebab, mereka sudah berjanji untuk saling memperjuangkan."Suri, hari ini saya mau makan siang dengan Adnan. Tolong reservasi tempat di restoran biasa, ya," pinta Farah yang menghubungi lewat telepon di meja kerja."Maaf, Bu, apa saya juga perlu menghubungi Pak Adnan terlebih dahulu untuk--""Oh, nggak perlu. Saya udah ngabarin Adnan, kok."Suri hampir mendesah kecewa. Tadinya, ia mau memanfaatkan kesempatan untuk bicara dengan Adnan setelah beberapa hari terakhi
"Ri, kamu keluar dulu," ucap Adnan dengan suara bergetar menahan amarah. "Biar aku yang bicara--" "Enggak, kamu yang keluar, Nan." "Ri...." "Tolong, Nan. Sebentar saja. Biar aku yang bicara sama kakek kamu," tukas Suri tegas. "Janji sama aku, kamu nggak akan masuk dulu sampai aku keluar dari ruangan ini." Ia melepas genggaman tangan Adnan dan bergeser lebih maju. Mengabaikan kekagetan yang tergambar di wajah suaminya. "Berapa banyak yang Adnan tawarkan padamu? Saya bisa kasih yang jauh lebih banyak kalau kamu meninggalkan anak bodoh itu," ucap Prabu Danuarta dingin. Keangkuhannya membuat Suri bergidik. "Adnan tidak menawarkan apa pun selain kehidupan rumah tangga yang--" "Jangan membual tentang hal-hal seperti cinta dan kebahagiaan di depan muka saya," decih Prabu Danuarta. "Sebut saja nominal yang kamu mau, saya bisa langsung mengirimkannya detik ini juga." "Anda mungkin sulit untuk percaya, tapi saya menikah dengan Adnan bukan karena melihat harta yang keluarganya miliki," b
"Kalau sedang marah, Kakek memang kadang agak merepotkan," ujar Adnan ketika menyadari ada kekagetan yang tergambar di wajah istrinya. 'Agak, katanya?' Di mata Suri, ini sudah di luar nalar. Banyak pecahan beling yang berasal dari guci-guci yang dibanting, bertebaran di mana-mana ketika mereka memasuki rumah megah Prabu Danuarta. Suasana di rumah itu terasa mencekam. Rasanya seperti memasuki TKP setelah ada sebuah kejadian yang mengerikan. Keduanya sudah tiba di ruangan lain yang tidak jauh berbeda dengan keadaan di ruang tamu tadi. Masih tidak ada siapa-siapa di sana. "Siapa yang menghuni rumah ini selain Kakek, Nan?" "Asisten rumah tangga." Suri menoleh dengan cepat. "Maksudmu... selama ini Kakek sendirian?" Membayangkan seseorang yang sudah sepuh tinggal di sebuah rumah megah tanpa keluarganya membuat perasaan Suri campur aduk. Pria tua itu pasti sangat kesepian. Adnan tersenyum tipis. "Itu yang sebenarnya mau aku bahas sama kamu juga. Aku masih harus tinggal di sini sampa