Share

3. Ketiga Kembar

Part 3 Ketiga Kembar

Lucius menutup berkas di hadapannya dengan kasar. Berkali-kali membacanya, tak ada satu pun yang berhasil masuk ke kepalanya. Otaknya benar-benar terasa buntu dan belum pernah ia menjadi tidak professional seperti ini.

Tangannya menggusur rambut di kepalanya dengan penuh kegusaran dan mengusap wajahnya dalam helaan yang keras. Sejak kembali dari hotel, pikirannya benar-benar kacau dan tak bisa berkonsentrasi dengan benar. Perasaannya amburadul dan uring-uringan. Tak ada satu pun berkas yang bisa diselesaikannya sejak tadi pagi.

Inilah dampak yang selalu diterimanya dengan kedatangan Calia di hidupnya. Tapi ia selalu tak punya alasan untuk menolak wanita itu. Dorongan tubuhnya untuk menghancurkan hidup Calia sama besarnya dengan keinginannya untuk memiliki wanita itu.

Mengerang keras, ia melompat berdiri. Dan tepat ketika pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” jawabnya dengan kasar meski sungguh ia tak butuh gangguan sialan ini.

Pintu ruangannya terbuka dan sang adik, Lukas Cayson melangkah masuk. Dengan raut dinginnya. “Kau bertemu dengan Calia?”

Wajah Lucius seketika mengeras, tatapannya menajam tepat ke kedua mata Lukas. “Kenapa itu jadi urusanmu?”

“Kenapa dia datang padamu?”

“Apakah ada alasan dia harus datang padamu?”

Wajah Lukas mengeras, tak kalah geramnya dengan sang kakak. “Kau sengaja menyembunyikannya.”

“Aku menyembunyikannya atau tidak, itu sama sekali bukan urusanmu, Lukas. Keluar!”

Ketegangan membentang di antara keduanya, Lukas memilih berhenti dan keluar. Lucius mengerang keras dan mulai dikuasai kefrustrasian. Menyambar ponselnya di meja dan menghubungi Tom.

“Apa yang kau dapatkan?”

“…”

“Di mana mereka?”

Lucius mendengarkan. “Kirim ke emailku,” perintahnya mengakhiri pembicaraan dan menurunkan ponselnya. Kembali membanting tubuhnya di kursi kebesarannya. Tak lama ponselnya bergetar ringan dan ia membuka email baru yang dikirim oleh Tom. Semakin ia membaca ke bawah, seluruh tubuhnya semakin dibuat menegang.

***

Cayson’s Building, Calia menatap gedung tinggi dan megah di hadapannya. Setelah delapan tahun, ini adalah kedua kalinya ia menginjakkan kaki di gedung ini. Menghela napas, ia mengepalkan kedua tangannya. Menguatkan hatinya. Hanya Lucius satu-satunya harapan. Ia masih perlu melakukan usaha lainnya untuk meyakinkan pria itu. Tak peduli rasa malu dan harga dirinya yang sudah tercabik-cabik, ia tak mungkin tinggal diam dengan nyawa Zayn yang terancam melayang oleh penyakit tersebut.

“Lucius Cayson?”

“Apakah Anda sudah membuat janji temu dengan beliau?”

Calia mengangguk, tak peduli jika harus berbohong. “Beliau menyuruh saya menemui di ruangannya. Permintaan pribadi.”

Resepsionis tersebut tampak tak yakin ketika melihat penampilan Calia. Tapi kemudian Calia mengeluarkan kartu hitam yang diberikan Lucius kepadanya.

“Seseorang sepertiku tak mungkin memiliki benda seperti ini jika bukan Beliau yang memberikannya padaku secara langsung, kan?” Calia mempertahankan keberaniannya dan memastikan kedua matanya menatap lebih tajam pada resepsionis tersebut. “Beliau tak suka jika harus dibuat menunggu. Kalian pasti tahu itu, kan?”

Keraguan resepsionis tersebut segera lenyap, kemudian mengarahkan Calia area lift khusus direksi yang sudah Calia hafal letaknya. Meski penampilannya sederhana dan cukup menarik perhatian, tetap tak membuat terusik. Ia sudah terbiasa dipandang sebelah mata seperti itu. Dan semua tatapan itu tak akan membuatnya mundur demi keselamatan sang putra.

“Tuan Cayson baru saja keluar,” beritahu salah satu sekretaris Lucius yang menyambutnya. Lebih ramah dibandingkan tiga sekretaris lain yang menatapnya dengan pandangan merendahkan.

Calia tertegun, menatap dinding kaca yang memperlihatkan ruangan luas Lucius dan memang tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu. “Apakah beliau mengatakan kapan akan kembali?”

“Beliau mengatakan tidak akan kembali.”

Mata Calia terpejam, dengan helaan napas panjang yang rendah. Ia pun mengangguk dan berpamit pergi. Kembali masuk ke dalam lift. Sampai di lobi, pintu lift terbuka dan ia melangkah keluar ketika tiba-tiba suara familiar yang sudah begitu lama tak pernah didengarnya memanggil namanya.

“Calia?”

Langkah Calia terhenti, tubuhnya menegang merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Begitu ia merasakan satu langkah mendekat dari pria itu, Calia tak menunggu sedetik pun untuk melangkah lebih cepat.

“Tunggu, Calia!”

Calia semakin mempercepat langkahnya, berlari di antara orang-orang yang berlalu lalang, bahkan beberapa kali harus menabrak di antara mereka. Ia berhasil mencapai pintu keluar, berlari menuju jalanan dan mendapatkan taksi tepat ketika pria itu sampai di teras gedung.

Jantung Calia berdegup kencang. Napasnya terengah dengan kedua tangan yang bergetar hebat di pangkuannya ketika pandangan pria itu mengarah ke taksi yang ditumpanginya. Calia segera menyuruh sopir taksi bergegas meninggalkan tempat ini.

Cukup lama ia berhasil menenangkan degup jantungnya dan napasnya yang kembali normal. Ya, ia tahu kemungkinan ini akan terjadi saat memutuskan datang ke Cayson’s Building. Lukas Cayson, adik kandung Lucius yang menjadi mimpi terburuk di hidupnya. Hingga detik ini.

Setengah jam kemudian, taksi berhenti di depan rumah sakit. Ponselnya berdering dan nama sang kakak muncul di layar.

“Ya, Caleb?”

“…”

“Ya, aku baru saja sampai di rumah sakit. Ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan. Ada apa?”

“…”

“Mereka bersamamu?”

“…”

“Ya, baiklah. Aku akan menunggu. Berapa lama kalian akan sampai?”

“…”

“Sepuluh menit?”

“…”

“Hmm, aku akan menemui mereka sebelum menemui dokter Reno.”

“…”

“Ya, sampai jumpa.”

Calia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan menyeberangi lorong rumah sakit yang lebih ramai saat jam makan siang seperti ini. Naik lift menuju lantai 7, ruang perawatan khusus anak-anak.

Langkahnya terhenti melihat ruang perawatan Zayn yang setengah terbuka. Gegas ia menghampiri dan masuk ke dalam. Terkejut menemukan seseorang yang berdiri di samping ranjang pasien Zayn dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.

“L-lucius?” Perasaan Calia campur aduk menemukan pria itu ada di sini. Haruskah ia lega dengan keberadaan pria itu di sini?

Lucius tak langsung menoleh. Amarah dan kecewa memenuhi dadanya. Menatap replika dirinya yang tengah berbaring lemah di hadapannya. Pada Calia dan lebih banyak pada dirinya sendiri.

“Jadi dia memang anakku?” Kepala Lucius berputar dengan perlahan, menatap tajam pada Calia yang wajahnya sepucat mayat. Bibirnya menipis tajam, menahan luapan amarah yang sudah di ujung lidah. Siap diluapkan pada wanita di hadapannya. “Kita bicara di luar,” desisnya sambil melangkah keluar. Calia menyusul tak lama kemudian.

Keduanya saling membisu, cukup lama keheningan membentang di antara keduanya.

“Aku sudah memutuskan.” Lucius memecah kesenyapan tersebut. “Aku akan menyelamatkannya. Hanya dengan satu syarat.”

Calia menunggu dengan napas tertahan. Syarat. Ia tahu syarat itu tak akan baik, tapi … rasanya ia pun tak punya pilihan.

“Aku akan membawanya kembali.”

Calia tersentak keras, “A-apa?”

“Dengan atau tanpamu.”

“A-aku … aku tak mungkin kembali ke hidupmu, Lucius.”

“Kalau begitu, bersiaplah kehilangan dia.”

Calia menggelengkan kepalanya.

“Kau benar-benar wanita yang serakah, Calia. Berapa banyak lagi yang kau inginkan dariku, hah?”

“Kau sudah membuang kami. Kau tak menginginkannya. Kau bahkan menolak kami tadi pagi.”

“Kau tak memberiku pilihan. Kau tak pernah memberiku pilihan.”

Calia seketika terdiam, menatap Lucius dengan penuh permohonan.

Hening yang lama.

“Mama?!” Suara polos yang memanggil dari arah belakang Lucius seketika membekukan seluruh tubuh Calia. Menghancurkan keheningan di antara mereka.

Wajah Calia tak bisa lebih pucat lagi, ketika wajah Lucius yang menegang perlahan berputar ke belakang.

Seolah belum cukup kejutan yang diberikan Calia di hidup Lucius dengan keberadaan anaknya yang bernama Zayn. Sekarang Lucius dibuat tercengang dengan keras, melihat bocah perempuan dan laki-laki yang mengenakan seragam sekolah sedang berlari ke arah Calia. Menghambur dalam pelukan wanita itu. Dan di belakang kedua bocah itu, berjalan sesosok pria yang terkejut dengan keberadaannya. Dan hanya sepersekian detik keterkejutan tersebut berubah menjadi kemarahan dan kebencian yang berkobar di kedua mata Caleb.

Lucius mengabaikan pria itu, kembali pada dua sosok mungil yang berhasil mengalihkan seluruh perhatiannya. Kedua matanya mengamati dengan seksama dua bocah yang berada dalam pelukan Calia, yang kini menatap ke arahnya. Tak butuh lebih lama baginya untuk mengamati kedua bocah itu adalah saudara kembar identik Zayn.

“Berapa banyak lagi yang kau sembunyikan dariku, Calia?” desis Lucius tajam mengunci tatapan Calia yang gelagapan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status