Share

4. Jatak Ketiga Kembar

Part 4 Jatah Ketiga Kembar

"Apa yang kau lakukan di sini, Lucius?" desis Caleb begitu berhenti di samping Lucius yang masih mengamati kedua keponakannya dengan seksama.

Lucius memutar kepalanya, pandangannya turun pada dua kepalan tangan Caleb yang siap melayang ke arahnya. Jelas pria itu bisa mengendalikan amarahnya meski cukup sulit. Yang Lucius duga karena si kembar dalam pelukan Calia.

'Merindukan putraku?" Salah satu alis Lucius terangkat dengan cemooh yang begitu jelas. "Ah, anak-anakku."

Wajah Caleb lebih merah padam lagi. "Jangan konyol kau. Kau sudah membuang mereka. Dengan cara yang buruk. Ingat?" desisnya lirih agar tak sampai terdengar oleh kedua keponakannya.

"Mama?" Salah satu dari si kembar yang perempuan menarik-narik tangan Calia. "Siapa om ini?" tanyanya dengan polos.

Calia menggigit bibir bagian dalamnya. Menatap sang kakak untuk meminta bantuan.

"Om?" Lucius jelas tak akan melewatkan kesempatan tersebut untuk memperkenalkan diri. "Kalian bisa memanggilku papa."

Kedua mata Calia dan Caleb melebar.

"Apa yang kau lakukan, Lucius?" delik Caleb masih mempertahankan suaranya serendah mungkin di hadapan kedua keponakannya.

Lucius tak menggubris peringatan Caleb. Kembali menatap kedua anaknya dan bahkan melangkah maju dengan peringatan yang jelas ditujukan untuk Calia.

"Papa?" Kedua bocah kembar tersebut mengulang kata tersebut dengan begitu asing meski kedua pasang mata mereka berbinar ceria.

Lucius berjongkok di hadapan mereka. Menatap kedua replika dirinya dengan tatapan haru. "Ya, ini papa, sayang. Kemarilah." Kedua lengan Lucius terbuka ke arah keduanya.

"Jadi benar kalau kami memang punya papa?" tanya yang perempuan pada Lucius. Sedangkan yang laki-laki menatap Calia penuh dan bertanya, "Mama, apa yang dikatakan om ini benar?"

Calia menatap putranya, tetapi jawaban itu tak pernah lepas dari bibirnya. Kembali menatap Caleb tapi sang kakak menggeleng. Calia tak punya pilihan

"Wajahmu mirip dengannya, Zaiden. Juga Zayn," celetuk yang perempuan lagi. Mengamati Lucius dan wajah saudaranya. "Ah, matanya sama dengan Zayn."

Mata Caleb terpejam, mengusap wajahnya dengan gusar. Begitu pun dengan Calia yang masih berusaha merapatkan kedua tubuh mungil anaknya pada dirinya. Perdebatan mirip siapa memang seringkali terjadi di antara dirinya dan ketiga kembar. Dan mereka semua serempak menolak setiap kali Caleb menjawab ketiganya mirip dengannya dan Calia. Kecuali mata Zaiden dan Zsazsa yang sama dengan sang adik.

Zaiden tampak meragu, mengamati wajah Lucius dengan seksama. "Lalu kenapa papa tak pernah datang pada kami?" tanya bocah itu pada Lucius. "Ke mana saja papa selama ini?"

Lucius menyeringai. "Mama kalian akan menjelaskannya. Benar, kan?" tatapan Lucius beralih pada Calia. Begitu pun kedua kembar. "Dan sebelumnya, kemarilah. Papa ingin memeluk kalian berdua."

Kedua bocah itu menatap Lucius dan Calia bergantian, lebih lama pada Calia. Begitu Calia memberikan satu anggukan dan melonggarkan pelukannya, kedua bocah itu menghambur ke arah Lucius. Membiarkan pria itu mencium wajah keduanya bergantian dengan penuh kerinduan.

Caleb dan Calia saling pandang, sang adik jelas di bawah tekanan. Kemudian pria itu menarik tangan Calia dan membawanya menjauh untuk bicara.

"Jadi kau menemuinya?" tandas Caleb pada Calia yang duduk dengan kepala tertunduk di kursi panjang. "Tadi pagi aku ke lantai tiga untuk memeriksa semua biaya administrasi dan hendak mencicilnya. Tapi rupanya semua tagihannya sudah dilunasi. Bahkan kau sudah berkonsultasi dengan dokter Reno tentanh operasi Zayn. Jangan bilang semua itu kau lunasi dengan uang darinya, Calia?"

Calia tak mengatakan apa pun. Bahkan wanita itu tak berani mengangkat wajah untuk bertatapan dengan sang kakak.

"Kau masih ingat apa yang dilakukannya padamu, kan?"

"Tapi hanya dia satu-satunya harapan yang Zayn miliki, Caleb. Bagaimana mungkin aku masih bersikap egois dengan perasaanku?" Calia menoleh ke samping. Seketika tertampak dengan kenyataan. Ikatan batin antara anak dan ayah yang tak pernah berbohong ketika melihat kedua kembarnya yang tertawa riang bersama Lucius.

Caleb mengikuti arah pandangan Calia, ikut kehilangan kata-kata. Lucius memang pernah menjadi suami yang berengsek, tapi ketiga keponakannya memang tak berhenti merindukan pria itu. Satu-satunya hal yang paling ia sesalkan di dunia ini.

***

‘Seberapa yakin kau kalau anak itu adalah darah dagingku?’

Calia tak menjawab, rautnya dipenuhi keraguan.

‘Lihat. Bahkan kau juga meragukan dirimu sendiri.’

Calia masih bergeming, wajahnya tertunduk dan kedua lengannya memeluk perutnya yang masih rata.

‘Siang ini sopir akan membawamu ke rumah sakit. Aku akan langsung ke sana, keputusanku sudah bulat untuk menyingkirkan apa yang ada di perutmu.’

Calia tentu saja masih mengingat kata-kata tanpa hati yang diucapkan Lucius kala itu.

“Kau tak menjawab pertanyaanku, Calia,” ucap Lucius lagi. “Kenapa kau menyembunyikan mereka selama ini?”

“Kau meragukanku, Lucius. Bahkan hingga detik ini. Kenapa sekarang kau tiba-tiba menerima mereka sebagai anakmu?”

“Bukan hanya aku.”

Calia terdiam. Ya, saat itu ia ragu anak dalam kandungannya adalah milik Lucius. Tetapi begitu ketiganya lahir, keraguan itu segera sirna. Ketiga kembarnya sepenuhnya replika Lucius.

“Sejak kapan kau mengetahuinya? Setelah sekian lama dan kau datang padaku kemarin? Untuk meminta sumsum tulang belakangku?” sengit Lucius. “Apakah kalau keadaan Zayn tidak segenting ini, kau tak akan pernah datang padaku dan menyembunyikan rahasia besar ini seumur hidupku?”

Calia terdiam. “Hubungan kita sudah berakhir, Lucius.”

“Kau yakin benar-benar sudah berakhir?”

Calia kembali dibuat terbungkam. Sekali lagi menangkap cincin yang terselip di jari manis Lucius.

Lucius mendesah dengan gusar. Hening sejenak. “Aku akan membawa mereka.”

Mata Calia seketika melebar.

“Lihatlah apa yang kau lakukan pada mereka? Kupikir uang yang kuberikan padamu selama ini lebih dari cukup untuk membayar semua biaya Zayn dan kalian hidup layak. Tapi lihatlah, pakaian saja kau tak becus membelikan untuk mereka. Apakah bahkan mereka makan dengan layak juga?”

Calia menatap Lucius tak mengerti. “Apa yang kau katakan, Lucius?”

“Ke mana uang yang kukirimkan padamu setiap bulannya, hah?”

Calia semakin tak memahami apa yang dikatakan oleh Lucius. Uang? Setiap bulan. “Aku tak membawa apa pun ketika meninggalkan rumahmu, Lucius. Bahkan sepeser pun. Harga diriku dan kepercayaanku sudah kalian hancurkan, kau pikir aku juga akan merendahkan diriku sendiri dengan mengambil uang pemberianmu?”

Eskpresi Lucius seketika memucat, matanya mengerjap dan ia tahu Calia mengatakan kejujuran. Jadi ke mana jatah uang yang ia kirimkan pada Calia? Setiap bulan dan tak pernah terlambat karena sudah masuk dalam daftar transfer otomatis. Seketika satu-satunya orang yang melintas di pikirannya adalah sang mama. Matanya terpejam, mengumpat dirinya sendiri.

“Kita bahas itu nanti. Sekarang, aku akan mengurus kepindahan Zayn. Ke rumah sakit yang lebih besar dan akan ditangani oleh dokter yang lebih ahli. Aku juga akan memeriksakan diri untuk memastikan sumsum tulangku cocok atau tidak dengannya, juga tes DNA. Hanya dengan satu syarat.” Lucius menekan kalimat terakhirnya dengan tegas. “Kau tahu itu apa.”

Napas Calia seketika tertahan. Ya, tentu saja ia tahu. Satu syarat yang akan menjadi mimpi terburuknya.

“Aku akan membawa mereka, dengan atau tanpamu. Sebagai ganti nyawa Zayn.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fa Fah
aaah paling benci baca novel kek gini walaupun penasaran,tpi suka bikin naik tensi ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status