Seorang pelayan datang membawa pesanan Arsen, membuat percakapan keduanya sempat terhenti. "Permisi, Tuan. Pesanannya." Pelayan itu hanya meletakkan segelas capuccino dan melenggang begitu saja. "Sebenarnya ada apa, Darl? apa yang ingin kamu tanyakan padaku?" berondong tanya dari Gemma. "Jika kamu bertanya, bagaimana perasaan aku padamu ... perasaan ini tidak akan berubah sampai kapan pun," tambahnya. Mendengar ucapan Gemma, kepala Arsen terasa sakit! "Bukan itu, Gemma. Apa kamu adalah dalang di balik berita hoax dan teror pada istriku?" tanya Arsen dengan mengintimidasi. Gemma terhenyak! "Em, Arsen! Aku pamit ke toilet dulu," ucapnya melenggang begitu saja. Tangan Arsen dengan sigap meraih lengan Gemma yang hendak pergi. "Jangan mencoba kabur dariku, Gemma Dassault!" tegas Arsen. Rahang laki-laki itu mengeras, ingin rasanya menerkam Gemma saat itu juga. "A-Arsen, aku hanya ke toilet. A-aku juga tidak berniat kabur darimu, sungguh!" ucapnya tergagap. "Aku katakan sekali l
"Apa kamu menyetujui permintaan, Gemma? dan ...," ucapan Airina terhenti. Telapak tangan Arsen membungkam mulut Airina begitu saja. Lelaki itu tersenyum tipis padanya. "Diam dulu, aku belum selesai berbicara." Arsen menarik telapak tangan Airina, menggenggamnya dengan erat. "Aku menampar Gemma saat itu juga, aku tidak suka dia mengatakan hal yang menjijikkan tentang kamu," jelasnya. "Sejauh ini, harusnya dia sadar atas apa yang sudah dia perbuat. Perlahan aku akan mengurangi suntikan dana untuk keluarga Dassault," tambahnya tegas. Airina terdiam sejenak mendengar penjelasan Arsen. Ia masih tidak bisa berkata-kata kali ini."Airina, kamu tidak apa-apa?" tanya Arsen panik. "Aku baik-baik saja, Arsen. Apa yang akan terjadi jika kamu mengurangi suntikan dana untuk keluarga Dassault?" tanya Airina dengan sedikit mendongak. "Perlahan mereka akan bangkrut," ucap Arsen dengan satu ulasan senyum. Airina menganga, akan banyak karyawan kehilangan pekerjaannya! pikirnya. "Kamu tidak perl
"Diam!" teriak Arsen. Beberapa karyawan yang baru saja saling berbisik itu terdiam. "Bulan ini bonus kalian ditambah!" ucap Arsen lantang. Airina menoleh secara tiba-tiba, suami kontraknya memang sangat aneh dan unik. "Bagaimana bisa semudah itu?" tanya Airina. "Doakan kami agar langgeng, kerja saja jangan bergosip!" peringatnya. "Kamu berlebihan, Arsen!" peringat Airina. Arsen hanya memberikan isyarat tangan, meminta Airina masuk ke mobil. **** Setibanya di restoran, Arsen memesan beberapa makanan. "Kamu tau, Airina?" tanya Arsen. "Tau apa?" Airina berbalik bertanya, dengan tatapan Arsen yang intens. Ia merasakan akan ada hal yang dibuat suami kontaknya. "Kamu sangat cantik, aku rasa masakan di restoran ini kalah dengan masakanmu. Jadi ... apa aku boleh meminta kamu untuk masak malam ini?" Dengan satu tangan menopang dagu, tatapan intens Arsen berhasil membuat Airina malu-malu. Pipinya merona begitu mendengar ucapan Arsen. "Tidak perlu basa-basi, bilang saja kamu mau m
"Deal!" tegasnya. "Baik, Nona. Kami akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya," ucap pria berperawakan besar itu. Gemma hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis. Kini ia merasa lebih lega karena rencananya berjalan sesuai harapan. "Jika aku tidak bisa kembali denganmu, aku tidak akan membiarkan wanita itu nyaman ada di sisimu!" gumam Gemma lirih. "Nona, saya rasa pertemuan ini cukup sampai di sini, kami pamit undur diri," pamitnya. "Ya, laksanakan tugas dengan baik, separuh dari imbalan yang kau minta sudah aku kirim!" titah Gemma tegas. Laki-laki itu hanya mengacungkan jempol dan melenggang pergi begitu saja. Hanya Gemma yang masih menikmati keberhasilannya, "Tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Arsen!" ucapnya. "Permisi, Nona. Tuan meminta Anda untuk segera pulang dan menemunya," ucap sopir pribadi Gemma. "Ya." Gemma melenggang pergi begitu saja. **** "Huh, aku sangat gugup!" gumam Airina lirih. Pagi-pagi buta ia sudah bersiap untuk pergi mengisi webinar. Ia masih
Tubuh Airina terasa ditarik paksa oleh seseorang tidak di kenal, matanya mendadak kabur dan ia sudah tidak sadarkan diri. "Kita bawa ke mobil sebelum banyak yang sadar!" seru seorang berperawakan gempal itu. Dengan gerakan cepat dan menghapus sekecil apa pun jejak, Airina berhasil dibawa pergi. Tidak lama dari itu, semua orang sudah bersiap untuk webinar. "Tuan Arsen, di mana Nona Airina? mengapa ia tidak segera kembali ke sini?" berondong tanya Madame Gala. "Sebentar, Madame. Tiwi, tolong cari Airina!" titahnya. Lima menit, sepuluh menit berlalu. Waktu yang tersisa hanya lima menit untuk bersiap. Namun, Airina tak kunjung di temukan. Dengan sayup-sayup Tiwi berlari menuju ruang tunggu, "Tuan, maaf sebelumnya. Nona Airina hilang!" bisiknya lirih. "Apa maksudmu?" tanya Arsen beranjak dari kursinya. "Saya dan Aron sudah mencari ke setiap sudut, tapi Nona Airina tidak ditemukan," jelas Tiwi. "Arghhh!" umpatnya. Dengan menahan diri ia memberanikan diri untuk mendekati Madame Ga
Drrttt [Tidak perlu dicari karena dia sudah mati!] Satu pesan yang masuk membuat mata Arsen membelalak lebar. "Sialan! siapa pengirim pesan ini!" umpatnya. Dilemparnya ponsel itu keras, tidak peduli apa yang akan terjadi. "Airina, aku bisa gila jika kamu tiba-tiba hilang seperti ini!" rintih Arsen keras. **** "Apakah Arsen akan menemukanku?" tanya Airina lirih. "Nona Gemma memang keras kepala, diminta untuk tidak mengganggu malah-" Gemma yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. "Malah apa? kau kira aku akan berhenti mengganggu hubungan kalian?" tanya Gemma keras. "Aku tidak akan membiarkan pernikahan kalian itu bahagia, hahaha. Jika aku tidak bisa memiliki Arsen, tidak boleh ada wanita yang memilikinya!" tandas Gemma tegas. Airina hanya bisa diam, ia tidak ingin satu tindakannya memperparah keadaannya. "Kenapa? kau tidak bisa berkutik ya," ledek Gemma. "Nona, lepaskan aku dari sini!" pinta Airina. "Jangan berharap, katakan padaku pernikahanmu dan Arsen hanya sebatas kontr
"Tunggu, Nona. Cukup menyiksa tubuhnya yang sudah rapuh ini, bagaimana kalau kita menyiksa dia?" Lelaki itu menunjukkan foto Amelia, ibu Airina. Mata Airina membelalak lebar, di ruangan gelap ini laki-laki itu tidak terlihat jelas. "Bajingan, siapa kau?" teriak Airina naik pitam. "Hahaha, jadi apa kau masih ingin bungkam, Nona?" tanyanya. Airina tetap diam, isi kepalanya terasa sangat rancu. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, semuanya akan berakhir sia-sia. Akan tetapi, jika ia diam keamanan ibunya terancam, sebenarnya siapa lelaki itu? "Aku sudah mengatakan yang sebenarnya, jika kalian masih tidak percaya aku bisa apa?" elak Airina. "Jalang, kau masih bisa mengelak! Lihatlah tubuhmu yang sudah tidak berupa, wajah cantikmu yang sekarang mirip gelandangan itu." Gemma mencengkram dagu Airina kuat-kuat, tangannya itu mirip seperti atlit tinju. "Emm emm!" Airina tergagap. "Apa? Kau memang gelandangan dari Kota Lyon yang dipungut oleh Arsen, kan?!" tanya Gemma dengan memaksa. "
"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya, Nona!" gerutu Airina. "Aku masih menunggu jawabanmu, besok aku akan datang bersama bangkai ibumu. Jika kau ingin ibumu selamat, katakan yang sejujurnya padaku ...." Gemma melenggang pergi. Ruangan itu kembali gelap, pikiran Airina melayang pada keselamatan ibunya. "Ibu, aku berharap engkau baik-baik saja. Maafkan aku yang-" Isak tangisnya tidak terhenti, mengingat keluarganya masih dalam keadaan tidak baik-baik saja. "Arsen, tolong aku!" teriaknya keras. Percuma! ruangan itu kedap suara, sekali pun Airina berteriak sampai tenggorokannya kering. Tidak ada orang yang bisa mendengarnya. **** "Airina, kenapa kamu hanya datang ke mimpi? Kenapa kau tidak mengatakan kamu di mana?" berondong tanya Arsen pada dirinya. Tok tok tok! "Tuan muda, hari ini Anda belum makan sama sekali," teriak Tiwi. Saat ini, Arsen hanya duduk di kursi kerja Airina. Tanpa ia sadari, ia terlelap dengan posisi duduk. "Ya, Tiwi. Aku masih menunggu Airina," teriaknya.