Share

Bab 2. Kontrak Perjanjian

“Menikahimu?” Firheith kaget sekali, matanya sampai melotot.

Seumur hidupnya, Firheith tak pernah berpikir untuk menikah. Baginya pernikahan itu kutukan dan merepotkan.

“Dengar Mutia, jangan gila! Aku tidak bisa menikahimu, semalam yang kita lakukan tidak sengaja! Sebutkan, berapapun nominal uang atau apapun yang kamu mau. Pasti aku berikan melebihi gajimu sebagai guru honorer yang hanya ratusan ribu!”

Bujukan Firheith seperti linggis yang ditancapkan ke jantung Mutia. Ternyata bukan hanya tak sudi menikahinya, namun hinaannya itu membuat air mata yang mengering kembali menetes.

Firheith tersenyum angkuh ketika Mutia mengambil uang yang ia sodorkan. ‘Uang berbicara’ pikirnya, Mutia sama saja dengan pelacur atau wanita gampangan yang rela menyerahkan kehormatannya demi uang.

Tapi Firheith salah, Mutia malah melempar uang sekitar belasan juta itu balik ke wajahnya.

“Kamu pikir aku pelacur yang tubuhnya dinilai dengan uang, huh?” Mutia menyalak dengan suara serak, seraya membuka pintu sedikit lebar.

Firheith panik, kelimpungan merapatkan kaki. Ia menutupi miliknya dengan tangan, matanya berkeliaran lalu menyambar selimut dililitkan ke pinggang.

“Bodoh. Apa yang kamu lakukan? Tutup pintunya!” maki Firheith seraya mendekatinya diam-diam.

Mutia melihat kelicikan di mata pria itu dan gerakan kakinya.

“Dasar bajingan! Kamu enak saja berbuat tak mau bertanggung jawab. Kalau aku hamil bagaimana? Pokoknya aku tidak mau tahu! Nikahi aku detik ini juga atau ...” Telunjuk Mutia bersiap menekan ikon 'Live' di layar ponsel.

‘Sialan! Ternyata Mutia nekat.’ Firheith menahan napas, begitu tombol live menyala ke arahnya. Wajahnya langsung ditutup tangan.

“Oke, aku mau menikahimu! Puas?”

Mutia membatalkan live itu, Firheith pun menjadi lega walau terpaksa.

***

“Aku setuju menikahimu, tapi kamu harus merahasiakan perjanjian nikah kontrak ini dari siapapun. Ingat! Perjanjiannya juga berakhir sampai kamu tidak terbukti hamil lalu kita bercerai!” tukas Firheith tanpa melihat Mutia.

Mutia yang baru selesai menandatangani berkas perjanjian itu pun menoleh bersama sang pengacara.

“Ya, dan kamu jangan lupa juga Tuan Crousant! Jika aku positif hamil. Kita akan menunda perceraian setelah bayi itu lahir. Kamu pun harus menanggung seluruh biaya hidup kami sampai anak itu mandiri!” balas Mutia mengingatkan dengan tajam.

“Aku tidak akan lupa!” sahut Firheith dengan kesal seraya menerima salinan perjanjian pranikah itu dari tangan pengacaranya. Sebab berkas yang asli dipegang oleh Mutia.

Keduanya tak saling bicara setelah pengacara pergi dari sana. Bahkan sampai perjalanan mengantar Mutia pulang ke rumahnya.

Firheith yang terduduk pasrah di ruang tamu, memegangi pipinya yang lebam dengan bibir sobek setelah dihajar Richard habis-habisan. Merasa beruntung kepalanya lolos dari tembakan, karena Alda berhasil menghalangi Richard.

Richard dan Alda, pasangan suami istri itu yang notabene sahabat mereka berdua. Kecewa pada Firheith yang tega menodai Mutia. Sementara Ida—ibunya Mutia terlihat syok dan sempat pingsan mendengar pengakuan Mutia kalau sudah dinodai Firheith.

Tapi kemudian, Ida menyadari dan mulai belajar menerima kondisi Mutia. Karena Firheith mau bertanggung jawab.

“Awas saja jika nanti kamu menyia-nyiakan Mutia. Kamu akan berhadapan langsung denganku!” peringat Richard seraya mengatur emosi.

Firheith seketika melayangkan lirikan tajamnya pada Mutia yang sedang memeluk Ida.

“Rich, kamu tidak usah khawatir. Fir tidak akan berani melakukan itu padaku. Ia sudah berjanji menikahiku besok,” jelas Mutia menenangkan semua.

Alda mengurut dada Richard yang masih menyimpan amarah pada Firheith, tak percaya karena Richard hafal bagaimana tabiat casanova itu yang anti menikah.

“Mutia benar, kamu jangan terlalu berlebihan Rich! Menghajarku tanpa bertanya lebih dulu. Padahal aku ini sahabatmu!” sahut Firheith tak gentar, meski setelah ini risikonya dipecat dari jabatannya sebagai: Direktur Utama di kelab malam milik Richard.

“Sudah, sudah! Jangan bertengkar lagi. Kasihan bibi Ida!” peringat Alda menengahi, sebelum perang dingin meluas antara suaminya dan Firheith.

Firheith dan Richard kompak mengarahkan tatapannya pada wanita tua itu yang lemah. Mutia lalu mengajak Ida ke kamar, tapi tertahan Firheith yang berpamitan pulang.

“Jaga ibumu dengan baik. Sampai bertemu besok di kantor catatan sipil,” kata Firheith datar pada Mutia. “Pengacaraku telah mengurus semua berkas pernikahan kita.”

Mutia hanya mengangguk tanpa melihat, sementara itu Firheith hanya berpamitan pada Alda dan mengacuhkan Richard yang terus mengawasinya seperti tersangka.

“Apa yang kamu rencanakan sebenarnya Fir?” desak Richard menyusulnya ke halaman, menahan pintu mobil Firheith yang akan masuk.

“Tidak ada.”

Jawaban Firheith dirasakan janggal oleh Richard yang melihat kebohongan di mata pria itu.

“Bohong!” Richard mencengkeram kerah kaos Firheith penuh emosi. “Mutia itu sudah kuanggap saudarinya Alda, jika kamu berani mempermainkannya—”

“Kamu mau memecatku dari kelabmu?” Firheith menarik sudut bibir seraya melepas tangan Richard dari kerahnya. “Silakan! Aku tidak butuh pekerjaan itu lagi!”

Brakk!

Richard tersentak mendengar Firheith membanting pintu mobilnya kasar sebelum benar-benar pergi. Ternyata Mutia telah menyaksikan itu semua dari jendela kamarnya yang menghadap ke luar halaman, Mutia mengusap air matanya. Ia tidak sanggup membayangkan hidup bersama Firheith.

***

“Selamat atas pernikahan kalian berdua,” ujar Alda lalu memeluk Mutia. Ia terlihat cantik meski dengan kebaya putih sederhana bekas milik sang ibu, saat menikah dulu dengan ayahnya.

Bukannya Firheith tidak membelikan, tetapi Mutia sendiri yang menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan.

“Terima kasih, Alda. Kamu selalu ada untukku,” kata Mutia serak, kerongkongannya tertahan air mata.

Sejak tadi pernikahannya berlangsung di kantor catatan sipil, netra Mutia berkaca-kaca. Harusnya pernikahannya ini disaksikan pula oleh ayahnya, Ekadanta. Tetapi, ayahnya telah meninggal.

“Bersandarlah di bahuku, Muti. Menangislah jika itu membuatmu tenang.” Alda tahu jika Mutia berusaha menguatkan diri demi Ida. “Kamu merindukan Paman Eka?”

“Iya, Al. Aku rindu ayah.”

Tidak terasa lelehan bening jatuh dari sudut mata Mutia, namun segera dihapus ketika Ida berjalan ke arahnya dengan wajah sumringah. Ida terharu karena putrinya telah dipersunting orang.

Mutia tidak ingin membuat Ida bersedih lagi di hari bahagianya. Selain pernikahannya yang mendadak ini tidak dihadiri keluarga Firheith, dengan alasan jarak Belgia yang terlalu jauh.

“Selamat atas pernikahanmu, brengsek!” Richard tersenyum kamuflase, seraya meremas tangan Firheith yang dijabat.

“Terima kasih, bangsat! Setelah ini, jangan ikut campur urusan rumah tanggaku dan Mutia,” bisik Firheith memperingatkan, berlagak seolah tidak terjadi apapun antara ia dan Richard.

Richard melepas jabatan tangannya lalu menatap Mutia. “Kita sudah seperti keluarga. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan menghubungiku atau Alda.”

“Iya.” Mutia mengangguk singkat di sebelah Firheith yang terlihat kaku.

Pria itu tersenyum seperlunya di depan Ida dan beberapa warga yang hadir. Lalu setelahnya berubah dingin.

“Terima kasih, kalian berdua menyempatkan ikut ke sini menjadi perwakilan keluarga kami,” kata Ida pada Richard dan Alda.

“Sama-sama, Bibi Ida. Kami memang harus datang di hari bahagia Mutia, bukan begitu sayang?” tanya Alda melirik Richard yang menggamit lengannya.

Richard tersenyum sebagai tanggapan.

“Oia, Bi. Maaf, ibuku tidak bisa datang. Batuknya semakin parah,” kata Alda terdengar sedih.

Ida tidak mempermasalahkan itu, malah ingin sekali menjenguk ibunya Alda yang sedang sakit.

“Sudah siang, kami pamit dulu sekalian mau menjemput Noah dari sekolah,” sambung Richard yang tak lekang melirik tajam pada Firheith.

“Bibi ikut kalian tidak apa, kan?” sela Ida, sengaja memberi ruang kebersamaan bagi anak dan menantunya.

“Tentu, Bibi Ida.” Alda justru sepakat, bahkan senang jika Ida peka. Ia lalu merangkul lengan Ida, dengan Richard berjalan di depan.

Meninggalkan pasangan pengantin baru itu, yang kemudian menyusul dengan menaiki mobil berbeda.

Di parkiran, Firheith menunda masuk ke dalam mobil ketika melihat Mutia justru duduk di bangku belakang.

“Kamu pikir aku ini sopir, huh? Dasar wanita tidak tahu diri!”

“Apa maksudmu Fir?” Mutia tak paham. Ia melihat rahang pria itu mengeras.

Detik berikutnya Mutia terperanjat. Firheith tiba-tiba menyeret tangannya keluar dengan kasar.

“Auw! Sakit, Fir. Lepas!”

Firheith menarik pinggang Mutia menempel dengan tubuhnya dan mencengkeramnya begitu kuat. “Gara-gara kamu! Persahabatanku dan Rich merenggang. Atau kamu sengaja, membuat namaku jelek di mata orang-orang!”

“Argh! Bukan begitu, Fir.” Mutia menggeleng dengan mata berembun.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Anis Eko
ah fir jgn ksr"donk nanti kepincut aja berabe kau......
goodnovel comment avatar
Raflesia
nyesek jadi mutia, tp akhienya seneng mereka nikah walau kepaksa
goodnovel comment avatar
Madinah Ayyara
Santet aja kak, huaaaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status