Syamil tengah berjalan di trotoar sambil menenteng nasi bungkus. Awalnya ia ingin makan di tempat, karena sudah tidak kebagian bangku duduk, Syamil memutuskan pulang saja. Perutnya masih tidak nyaman kalau memaksakan makan mie instan lagi. Waktu ia sakit, untunglah Hani memberikan makanan sehat untuknya sehingga ia lekas pulih.
"Eh, bungkusan apa itu?" Syamil berjalan lebih cepat untuk melihat bungkus makanan yang terjatuh, rupanya berisi buah jambu potongan. Kepalanya menoleh ke kanan dam ke kiri untuk mencari pemilik buah yang mungkin tanpa sadar sudah menjatuhkan bungkusan tersebut.Syamil mengangkat bungkusan itu dan seketika itu juga ia melihat sandal yang sangat ia kenali. Sandal Hani. Ditambah dengan bungkusan buah jambu, Syamil yakin pemilik buah ini adalah Hani."Mbak Hani! Mbak Hani!" Syamil berlarian ke sana-kemari mencari keberadaan Hani, tetapi ia tidak menemukan wanita hamil itu. Syamil semakin panik, ia mencoba menghubungi Joko, tetapi tidak diangkat.Suara berisik di balik tembok membuat Syamil memberanikan diri untuk masuk ke sana. Ada lorong panjang yang bisa terhubung dengan gang sebelah. Syamil juga memungut beberapa batu berukuran sedang di jalan, lalu dengan menguatkan kedua tungkai kaki agar tidak gemetar, Syamil terus berjalan mencari keberadaan Hani. Tidak lupa potongan buah jambu yang sudah ia pegang kuat."Woy! Ngapain lu?!"Puk! Puk!Syamil membabi buta melemparkan batu kerikil pada dua pria yang seperti sedang ingin menyakiti seseorang. Dua pria itu pun lari tanpa memperlihatkan wajahnya."Ya Allah, innalillahi, Mbak Hani!" Syamil menghampiri Hani yang sudah terduduk lemas dengan derai air mata. Sudut bibirnya nampak terluka dan juga pipi yang biru."Ya Allah, apa yang terjadi, kenapa mereka lakukan ini pada Mbak Hani?" Syamil yang bingung, terpaksa menggendong Hani, tetapi tidak mungkin melewati lorong yang tadi, karena sangat sempit. Tidak akan muat dilalui olehnya dan juga Hani. Maka Syamil memutuskan lewat gang yang bersebelahan dengan gang kosannya. Semua mata memandang Syamil dengan terheran. Pemuda itu berlari untuk membawa Hani pulang ke rumahnya."Kenapa Mbak Hani?" tanya ibu tetangga yang sedang membeli siomay yang kebetulan lewat di depan rumahnya."Ada yang ganggu, Bu. Tolong saya bukakan pintu rumah Mbak Hani, Bu. Kuncinya ada di gelang tangan Mbak Hani." Wanita setengah baya itu pun membantu membukakan pintu untuk Syamil dan Hani. Bahkan ia juga langsung ke dapur rumah Hani untuk membuatkan teh."Bang, siomaynya dua lagi!" Seru ibu itu pada pedagang siomay."Mbak, ayo minum!" Syamil mendekatkan bibir cangkir pada Hani. Wanita itu masih terisak ketakutan, tetapi ia mau menelan teh yang diberikan Syamil."Neng Hani, makanya kemarin Ibu bilangin, jangan keluar malam. Di sini walau banyak mahasiswa, tetap saja rawan begal atau copet. Udah, jangan sedih, yang penting sekarang Mbak Hani aman." Ibu itu mengusap rambut Hani dengan lembut penuh keibuan."Ini makan dulu somaynya, Ibu tahu, Mbak Hani pasti belum makan kan?" Hani mengangguk.Gadis itu masih bungkam saat Syamil dengan sabar ikut menyuapi Hani. Pemuda itu belum berani bertanya siapa yang tadi telah membuat Hani terluka. Hingga somay dalam piring tandas, Hani masih saja bungkam."Syamil, buah jambu aku tadi kenapa kamu pakai buat lemparin perampok itu? Sekarang aku jadi gak punya jambu, padahal aku pengen banget! Aku minta tolong kamu tadi siang, sampai sore kamu gak balik-balik. Bikin aku sedih dan bingung. Aku mau makan jambu air, hua.... " Syamil dan Bu Retno saling pandang. Tanpa menunda lagi, Syamil berlari keluar untuk segera membelikan Hani buah jambu yang seperti ia lemparkan pada perampok tadi.Hari yang sungguh melelahkan. Setelah mendapatkan buah jambu sesuai keinginan Hani, wanita itu malah sudah tertidur. Syamil menggaruk kasar rambutnya menahan kesal. Tadi pingin jambu, udah dibeliin sampai keringetan lari, sampai di rumah dia malah tidur. Dasar wanita hamil, memang selalu labil!Bu Retno tertawa melihat ekspresi Syamil yang kesal."Taruh saja di meja. Nanti kalau Hani terbangun, pasti dimakan. Kasihan wanita ini. Dia korban dari kesalahan orang tua dan keluarga, sehingga terpaksa mau dinikahi untuk menjadi istri kedua. Setelah ia hamil, istri tua dan suaminya yang dosen itu malah membuangnya kemari. Kamu baik-baik dengan Hani ya, Syamil. Hani terlihat pecicilan dan gak bisa diam, hanya untuk menutupi kesedihannya. Oh, iya, peristiwa malam ini, besok akan saya laporkan pada Pak RT. Jika nanti kamu dimintai keterangan, bisakan?"Pemuda itu mengangguk kaku. Ternyata Hani yang dilihat dengan mata secara langsung, sangat berbeda dengan aslinya yang penuh dengan ujian hidup. Untunglah wanita ini tidak depresi dan pantas saja calon kakak iparnya memintanya mengawasi Hani, karena memang wanita ini sangat butuh ditolong dan diperhatikan.Syamil pun pamit undur diri. Nasi bungkus yang ia beli tadi sudah tidak tahu di mana ia lemparkan tadi. Untunglah Bu Retno mentraktirnya siomay, sehingga rasa laparnya terobati.Begitu sampai di kamar kos, Syamil mandi karena badannya begitu lengket karena keringat. Setelah segar, Syamil menyempatkan memantau rumah Hani dengan teropong miliknya. Rumah sudah dalam keadaan gelap dan juga pintu sudah tertutup rapat. Tandanya Bu Retno sudah pulang dan Hani tinggal sendirian. Semoga saja wanita itu tidak apa-apa setelah menjadi korban perampokan. Batin Syamil.Kring! Kring!Ponselnya berdering. Syamil menurunkan teropongnya, lalu masuk ke dalam kamar. Ada nama Om Didin muncul di layar."Halo, Om, assalamu'alaikum.""Halo, Sya, wa'alaykumussalam. Gimana kabar kamu dan gimana kabar Hani?""Kabar saya buruk, Om, karena wifi habis."Terdengar suara tawa di seberang sana."Oke, nanti saya kirim uang untuk kamu bayar wifi ya. Terus, Hani gimana? Apa masih pakai baju seksi?""Kemarin udah pakai gamis, Om, tetapi dia buka lagi, gak betah, katanya gerah.""Oh, iya Mbak Hani baru saja kecopetan Om di dekat kosan. Untunglah saya datang tepat waktu. Sehingga gak ada yang hilang, cuma bibirnya terluka sedikit." Syamil pun menceritakan kronologi kejadian Hani sampai dengan masalah jambu air."Sya, wanita hamil memang seperti itu. Cerewet dan banyak maunya. Kamu harus sabar dan belajar jadi suami siaga. Siapa tahu Hani nanti jadi janda, malah jodohnya sama kamu.""Om, saya pipis aja masih suka zigzag airnya, mana mungkin udah mikirin nikah. Apalagi sama janda yang pake bajunya gak pernah cukup bahan. Udah, ah, saya mau tidur dulu.""Tunggu, Syamil, saya mau minta tolong. Kalau ceritanya seperti yang kamu sampaikan tadi, saya rasa ini bukan perampokan biasa. Mungkin memang ada yang ingin melukai Hani dan bayinya. Saya titip dulu ya. Lusa saya mungkin ke Bandung. Usahakan Hani jangan keluar malam atau siang-siang sendirian.""Baik, Om Didin."Pria yang bernama Didin sudah tiba di Bandung. Hari ini ia memang sedang ingin membawa bus tujuan Bandung untuk menemui Syamil, sekaligus melihat dari kejauhan sosok Hani. Hani adalah anak dari wanita yang hampir membunuh putranya. Ia tidak dendam dengan gadis itu, justru ia iba dengan Hani. Dalam satu keluarga, hanya Hani yang benar, tetapi ia terjebak dengan pernikahan kontrak bersama dosennya. Untuk itu ia meminta Syamil untuk mengawasi Hani memastikan gadis itu baik-baik saja, meskipun di dalam hati dan pikiran gadis itu terluka. "Om!" Teriakan Syamil membuat Didin menoleh. Syamil melambaikan tangan, lalu berlari menghampiri Didin dengan senyuman. Pemusat itu mencium punggung tangan calon kakak ipar yang sampai saat ini belum bisa ia panggil dengan sebutan Mas' , tetapi 'Om. Mereka berada cafe yang letaknya tidak jauh dari kampus Syamil. Didin memang sengaja yang menjumpai Syamil agar ia bisa melihat juga keadaan Hani. "Gimana, Hani?" tanya Didin pada Syamil. "Masih begitu, O
"Abah sudah telepon Syamil lagi? Firasat Ummi gak enak, Bah. Ummi khawatir kalau Syamil memang dekat sama wanita di sana." Bu Umi mengadu pada suaminya, setelah mereka baru saja selesai makan malam. Abah Haji hanya tersenyum samar. "Belum, anak bujang jangan terlalu sering ditelepon. Pasti dia bisa jaga diri, Mi. Lagian yang kemarin itu cuma tetangga yang kebetulan ada di sana pas Syamil sakit. Udah ibu-ibu juga, Mi.""Tuh, apa lagi ibu-ibu, Bah. Justru ibu-ibu itu yang perlu diwaspadai. Soalnya Abah dulu juga pernah dekat ibu-ibu kan? Untung Ummi langsung nyamber, kalau nggak, ya Abah nikahnya sama ibu-ibu itu. Tetangga Abah yang suaminya gak pulang-pulang itu." Bu Umi mengoceh dengan wajahnya yang masam. Wanita itu tidak mau kejadian masa muda suaminya, malah diwariskan pada Syamil. "Jangan suudzon, Mi, nanti malah kejadian, he he he .... " Laila; teteh dari Syamil ikut menghampiri abah dan umminya yang sedang berada di ruang makan. Bu Umi semakin cemberut. Di dalam hatinya mengup
Syamil tidak bisa berhenti tertawa, bahkan setelah ia masuk ke dalam kamar kosnya. Pemuda itu berhenti sejenak saat mengucapkan salam, setelah itu kembali terbahak. Ya ampun, habis ketemu bini orang, Syamil jadi gak waras. Batin Didin yang memperhatikan pemuda itu tanpa berkedip. "Ada apa, Sya? Pulang-pulang malah ngakak. Istighfar, Sya. Kamu kenapa?" tanya Didin saat Syamil tak kunjung berhenti tertawa saat ia sudah duduk di kasur. "Sya!" Didin semakin panik dengan mengguncang tubuh Syamil yang tidak beraksi saat ia tegur. "Audzubillahi minassyaitonirrojiim. Bismillahirrahmanirrahim. Cuih! Cuih!""Jiah, kenapa disembur, Om? Ih, jijay!" Syamil mengambil dua lembar tisu untuk membasuh wajahnya yang terkena air liur Didin yang muncrat. Merasa tidak puas dan sangat mengerikan dengan baunya, Syamil berlari keluar kamar untuk mencuci muka. Kali ini Didin yang tertawa terpingkal-pingkal. Ia sudah salah sangka dengan mengira Syamil kerasukan jin istri tetangga, rupanya bukan. Syamil ma
"Oh, jadi kamu mau pulang ke Jakarta?" tanya Hani pada Syamil yang tengah sibuk di depan laptopnya. Pemuda itu mengangguk, tanpa melepas pandangan dari layar laptop. Sore ini Hani membuat kolak pisang dan ia mengantarkan ke kamar kos Syamil. Pintu kamar terbuka dan Hani duduk di depan sambil menemani Syamil mengerjakan tugas. "Lama gak?" tanya Hani lagi. "Nggak, saya kan kuliah, Mbak. Paling hari senin pagi saya pulang. Besok dari kampus saya langsung ke terminal, gak balik ke kosan lagi," jawab Syamil sambil tersenyum. "Wah, berarti aku gak bisa lihat kamu pergi dong! Apa mau aku antar?" Syamil tidak langsung menjawab, melainkan tawa yang menggelegar membuat teman kos yang kebetulan lewat di depan kamarnya ikut menoleh. "Makasih, Mbak, Hani, tapi saya udah besar, bukan anak TK lagi, jadi gak usah diantar. Lagian Mbak Hani lagi hamil, gak boleh pergi jauh-jauh." Hani diam sejenak, kemudian wajahnya berubah cemberut. "Tapi aku mau antar," kata Hani sedih. Syamil menggelengkan kep
Syamil tiba di Jakarta sebelum azan magrib. Pemuda itu sempat melaksanakan salat berjamaah di masjid besar yang ada di lingkungan pesantren milik orang tuanya. Tentu saja abahnya yang mengimami. Saudara dari kampung juga nampak di masjid, melaksanakan salat bersama. "Bah," sapa Syamil pada abahnya setelah pria dewasa itu selesai memimpin zikir dan doa. Syamil mencium punggung tangan Abah Haji Sulaiman dengan penuh takjub. "Kamu sendirian?" tanya Abah Haji pada putranya. "Nggak, Bah, rame gini gimana dibilang sendiri? Ini saya sama Abah." Syamil mendadak bingung, sembari menunjuk jamaah yang lain, sedangkan Abah Haji malah tertawa. Sejak kapan anaknya bisa kocak seperti sekarang? "Maksudnya kamu dari Bandung sendirian?" tanya Abah Haji lagi saat mereka berdua hendak keluar masjid. "Ya kalau sendirian, sopirnya gak mau bawa Syamil, Bah. Pasti ada penumpang lain di bus. Jadi saya rame-rame dari Bandung." Jawaban Syamil membuat Abah Haji tidak kuasa untuk tidak terbahak. Bahkan pria
"Wajah adik Teteh ceria sekali. Sepertinya jauh dari ummi, tapi dekat sama ibu-ibu jadi segar ya?" goda Laila yang sudah mendengar kabar dari Didin. Syamil mendatanginya saat wanita itu sedang dipakaikan hyna di punggung tangannya. "Ibu-ibu siapa?" tanya Syamil belum menyadari arah pembicaraan Laila."Tetangga sebelah yang seksi itu.""Oh, Mbak Hani, dah itu mah bukan ibu-ibu normal, tapi up normal. Teteh mah kalau ketemu dia, pasti bisa masuk rumah sakit jiwa. Untung saja Syamil anak baik dan tahan baday, kalau tidak, Syamil bisa ke IGD mulu setiap hari. Kadang capek, Teh, istighfar mulu kalau lihat Mbak Hani, ya ampun, gitu deh. Udah ah, jangan gibahin dia, nanti dia malah batuk-batuk di sana." Laila tertawa. Sekarang ia yakin betul, adiknya hanya sekedar teman saja dengan gadis muda bernama Hani yah tengah hamil enam bulan itu. Aura wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan rona merah orang sedang jatuh cinta, tetapi raut wajah orang kesal. "Tapi kamu jangan galak-galak juga sam
Saya terima nikah dan kawinnya Laila binti Sulaiman dengan mas kawin logam mulia seberat dua puluh lima gram dibayar tunai. "Bagaimana saksi? Sah?""Sah." Semua orang yang hadir di dalam masjid besar pesantren turut mengucap syukur dengan wajah bahagia. Apalagi kedua orang tua Laila yang sampai meneteskan air mata haru karena akhirnya penantian jodoh putri mereka sampai juga pada seorang Didin. Laila diantar oleh Syamil menuju kursi akad yang sudah disiapkan. Wajah Laila pun semringah, meskipun matanya tetap berkaca-kaca. Ini pernikahannya yang kedua kali bersama orang yang sama. Jika awal menikah karena terpaksa, maka yang kedua ini ia sangat ikhlas menerima Didin yang berusia empat puluh enam tahun sebagai suaminya. "MasyaAllah, ini toh istrinya? Wah, selamat Pak Didin mendapatkan istri cantik yang masih muda. Awas encok ya. Ingat umur." Ledekan pembawa acara mengundang gelak-tawa keluarga dan tamu undangan yang ada di sana. Didin tersenyum begitu manisnya saat Laila pun kini m
Syamil memperhatikan ponselnya, tepatnya mengecek satu per satu kontak di WA dalam pembaruan status. Ia tidak menemukan status Hani hari ini. Padahal biasanya potong kuku saja dijadikan status. Jemur cucian bikin status. Ngobati cantengan di jempol kakinya juga dibikin status. Namun, hari ini wanita hamil itu tidak ada status. Tumben! Pikir Syamil. Di luar suasana masih ramai, meskipun sudah jam sebelas malam. Kakak iparnya masih ditahan oleh keluarga besarnya untuk tidak buru-buru masuk ke kamar. Sungguh kasihan sekali. Sudah tua, sudah larut, tapi gak boleh buru-buru masuk kamar. Nanti kalau aku jadi pengantin, habis nikah aku mau nginep di hotel. Biar gak ada yang ganggu. Batin Syamil, sembari melongokan kepalanya dari balik pintu. "Kaya kagak pernah muda aja itu kakek-kakek di ruang keluarga," batin Syamil kesal. Bukannya ia cemburu, tetapi ia tidak bisa tidur karena suara tawa para pria di luar sana mengganggunya. Mau berbalas pesan dengan Hanum, gadis itu sudah tidur. Mau ber