Sari terlihat gembira ketika Bi Euis membawa pesanannya, seperti sebuah Al-Quran dan mukena berwarna putih. Gadis itu ingin melaksanakan kewajibannya di mana pun dirinya berada.
Sari tampak khusyuk menjalankan salat magrib setelah itu dilanjut membaca Al-Quran, sampai azan isya berkumandang.Tok ..! Tok ..!Terdengar suara ketukan pintu, tidak lama kemudian Bi Euis masuk sambil membawa makan malam untuk Sari. Wanita paruh baya itu tampak menunggu sesaat sampai Sari menyelesaikan salat isyanya.“Selamat malam, Nyonya,” ucap Bi Euis ketika melihat Sari membuka mukena.“Bi Euis,” sapa Sari dengan seulas senyum yang mengembang.“Saya membawakan makan malam,” ujar Bi Euis memberitahu, “Apakah ada barang yang Nyonya inginkan lagi?” tanya Bi Euis kemudian.Sambil menatap barang-barang di hadapannya, Sari pun menjawab, “Tidak ada Bi, ini sudah lebih dari cukup bagiku. Terima kasih sudah dibawakan makan, maaf kalau saya jadi merepotkan,” ucapnya dengan santun.“Tidak apa-apa, ini sudah kewajiban saya untuk melayani Nyonya,” jawab Bi Euis dengan ramah, “Oh ya, setiap jam 9 malam Nyonya harus ke kamar tuan tanpa disuruh,” ujarnya memberitahu.Sari tampak terdiam sesaat kemudian dan menjawab dengan pelan, “Iya Bi.”“Baiklah kalau begitu saya permisi dulu,” pamit Bi Euis sambil berlalu dari hadapan Sari yang tampak mengangguk.Malam baru saja merambat, Sari terlihat sudah bersiap dengan mengenakan sebuah gaun yang sangat terbuka. Kemudian ia membuka pintu dan berlalu untuk menuju ke kamar Tuan Adam. Sesekali wanita itu tampak menoleh, takut jika ada lelaki lain yang melihatnya auratnya.Namun, rumah itu terlihat sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam besar yang terpampang di ruang tengah. Sesampai di depan kamar suaminya, Sari kemudian mengetuk pintu. Tanpa menunggu jawaban ia pun segera masuk. Dengan perlahan wanita itu melangkah dalam temaram lampu, dengan sorot mata yang memancarkan ketakutan.“Kemarilah!” seru Tuan Adam dari atas ranjang.Sari tampak mendekat ke arah tempat tidur dengan jantung yang berdetak sangat cepat.“Naik!” seru Tuan Adam kembali sambil menatap tajam ke arah istrinya. Tanpa banyak bicara ia segera menarik tubuh Sari ke dalam pelukannya.Wanita itu terlihat pasrah ketika tangan kekar Tuan Adam menyentuh tubuhnya dengan kasar. Sari tampak menyeringai kesakitan karena bagian dada dan bibirnya masih bengkak.Tuan Adam seolah tidak peduli dengan keadaan istrinya yang sedang menahan sakit. Ia hanya memikirkan kepuasan hasratnya semata. Sehingga membuat malam itu terasa sangat berat dan panjang bagi Sari.“Berhentilah menangis!” seru Tuan Adam sambil membasuh peluhnya.Sambil terisak Sari memberanikan diri untuk meminta, “Bisakah Tuan melakukannya dengan sedikit lembut!”Tuan Adam tampak menyeringai dan berseru, “Layanilah aku dengan baik, jangan seperti batang pisang! Bikin gemas saja, kau boleh pergi!” lelaki itu merebahkan tubuhnya karena merasa lelah setelah beberapa kali mendaki.Tanpa membantah lagi, Sari kemudian menyibak selimut dan memakai bajunya kembali. Baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba pandangannya berputar dan tubuhnya pun ambruk ke lantai.***Mentari tampak menyingsing ke ufuk barat. Sinarnya mulai membentuk siluet lembayung yang cantik. Sari tampak menyaksikan semuanya dengan tatapan yang nanar. Ia merasa fenomena alam itu tidak seindah kisah hidupnya yang baru saja dimulai.Sebentar lagi malam akan tiba dan Sari sudah membayangkan apa yang akan terjadi. Harus bertahan dari rasa sakit lagi. Seperti dedaunan yang dibelai Sang Bayu, lalu terhempas di atas tanah seolah tidak ada harapan lagi untuk hidup. Sungguh ia tidak kuat untuk menjalani pernikahan seperti ini.“Ya Allah .., Yang Maha pengasih dan penyayang. Tolonglah hamba dengan kuasa-Mu yang begitu besar, Amin ...,” lirih Sari dalam doanya.Setelah azan magrib berkumandang, Sari terlihat malas melangkah ke kamar mandi untuk membasuh dirinya.“Selamat malam Nyonya,” ucap Bi Euis datang untuk mengantarkan makan malam seperti biasanya.“Malam Bi,” jawab Sari dengan sebuah senyum yang tersungging dari bibirnya yang membiru.“Tumben Nyonya tidak salat?” tanya Bi Euis dengan heran.“Lagi halangan Bi,” jawab Sari dengan jujur.Bi Euis tampak terkejut mendengar alasan Sari. Kemudian ia bertanya, “Apakah tidak salah? Bukankah Nyonya bilang haid setiap awal bulan dan sekarang baru tanggal 23?” Bi Euis menatap Sari dengan penuh curiga.“Saya juga tidak tahu Bi, kenapa bisa maju,” jawab Sari berusaha meyakinkan Bi Euis.Bi Euis tampak menghela nafas panjang dan berkata, “Asal Nyonya tahu, Tuan paling tidak suka dibohongi.”“Saya tidak bohong Bi,” jawab Sari tetap pada perkataannya.“Boleh saya lihat!” pinta Bi Euis tanpa ragu.Sari tampak kehabisan cara untuk meyakinkan Bi Euis. Tanpa sungkan ia segera menunjukkannya kepada wanita paruh baya itu.Bi Euis tertunduk malu melihatnya, ternyata Sari tidak berbohong dengan segera ia berucap, “ Maafkan bibi Nyonya, saya hanya menjalankan tugas.”Sari tampak mengangguk dan tidak marah. Ia sangat mengerti posisi Bi Euis. Dengan bahasa yang halus wanita itu pun bertanya, “Jadi nanti malam saya tetap ke kamar Tuan Bi?”“Tidak usah Nyonya, biar saya yang akan memberitahu Tuan, permisi,” ujar Bi Euis kemudian keluar dari kamar Sari.Sari tampak menghela nafas panjang karena merasa sangat lega dan senang sekali. Setidaknya untuk seminggu ke depan, Sari tidak merasakan sakit lagi. Tubuhnya yang bengkak bisa beristirahat dan sembuh.“Terima kasih ya Allah, aku yakin ini adalah pertolongan dari-Mu,” ucap Sari dengan penuh syukur.Sementara itu di ruang lain, Bi Euis terlihat sedang berbicara dengan Tuan Adam.“Bagaimana mungkin, Bi?” tanya Tuan Adan seakan tidak percaya mendengar laporan dari asisten rumah tangganya itu.“Sepertinya Sari mengalami perubahan hormon, Tuan,” jelas Bi Euis dengan sopan.“Apakah dia tidak berbohong?” tanya Tuan Adam kembali.“Tidak Tuan, saya sudah melihatnya sendiri,” jawab Bi Euis dengan jujur.“Baiklah, Bibi boleh pergi!” seru Tuan Adam dengan kecewa.“Permisi Tuan,” pamit Bi Euis sambil undur diri.Setelah Bi Euis pergi, Tuan Adam tampak menggerutu dengan kesal, “ Sial.”Lelaki itu kemudian mengacak rambut karena harus menahan hasratnya yang sudah menggebu. Terpaksa ular kobra piaraannya harus kehausan malam ini dan tertidur pulas selama seminggu. Lelaki itu kemudian terlihat menyibukkan dirinya di depan laptop sampai merasa mengantuk.BERSAMBUNG"Memakai hijab itu adalah salah satu kewajiban muslimah demi menjaga auratnya. Tapi mengenakan kerudung itu harus berdasarkan keimanan bukan karena sesuatu hal. Misalnya untuk menarik perhatian orang agar terlihat lebih baik," ujar Azza menjelaskan setelah mendengar keinginan Jelita yang mau memakai hijab. Jelita kemudian menegaskan,"Oh seperti itu, jadi kalau hati kita belum mantap sebaiknya jangan berhijab dulu?" "Boleh-boleh saja untuk belajar. Tapi amat disayangkan, kalau kita sudah memakai hijab karena alasan tertentu lalu melepasnya kembali, miris melihatnya," ujar Azza yang juga memberitahu bagaimana sikap seorang muslimah terutama dalam menjaga aurat dan pandangannya. "Ya sudah kalau begitu aku mau belajar sekarang," ujar Jelita dengan antusiasnya. Mendengar itu Azza tampak senang sekali dan mengajak, "Boleh, ayo sini aku ajarkan memakai hijab!" Azza kemudian memilah koleksi hijabnya dan mulai mengajarkan Jelita cara memakainya. "Masya Allah, kamu cantik sekal
"Jelita mana Tante?" tanya Fatih sambil mencari gadis itu dengan kedua mata elangnya. Dengan tetap tenang Tante Windi menjawab, "Ada di kamar sedang istirahat. Duduklah Fatih, sepertinya kita harus bicara!" Fatih segera duduk di sofa berhadapan dengan Tante Windi."Menurut Tante, kamu fokus saja urus perusahaan. Soal Jelita biar Tante yang tangani. Dia sudah dewasa Fatih, jadi sudah berani membangkang dan bisa melakukan perbuatan lebih nekat lagi, kalau terlalu dikekang!" ujar Tante Windi memberikan masukan ketika Fatih datang untuk menjemput Jelita.Fatih tampak berpikir sesaat dan menurut saran dari Tante Windi ada benarnya juga. Dengan tinggal di rumah ini, ia bisa bekerja dengan tenang dan tidak perlu khawatir lagi. "Baiklah, aku setuju Jelita tinggal bersama Tante. Tapi aku akan menambah beberapa orang keamanan lagi," ujar Fatih menyetujui."Oke, demi Jelita kamu boleh memperketat keamanan untuknya!" ujar Tante Windi sambil mengangguk kecil. "Sebelum pulang, aku mau bicara e
"Kamu harus pulang Nak, agar keluarga Jelita tidak cemas!" saran Sari setelah mendengar cerita Jelita.Jelita langsung terlihat sedih dan memohon, "Tolong Bu, izinkan aku menginap beberapa hari lagi!"Sari segera membelai kepala Jelita seraya berkata, "Maaf Nak, ibu dan abi bukan tidak suka kamu menginap di rumah kami. Tapi tanpa izin dari orang tua, kamu akan dianggap hilang. Jadi sebelum mereka lapor polisi sebaiknya kamu pulang dulu. Nanti boleh menginap lagi di sini kapan pun."Jelita tampak menghela napas panjang. Ia mana mungkin diizinkan menginap di rumah orang lain. Keluar dari pintu gerbang rumah saja dilarang. Gadis itu terus berpikir agar bisa tinggal lebih lama lagi di rumah ini. "Ya sudah, boleh aku pinjam telepon, untuk menghubungi mami di rumah?" pinta Jelita yang dijawab anggukan oleh Sari. Setelah dipinjami telepon, Jelita segera menjauh untuk menghubungi keluarganya. Jelita tentu tidak mau merepotkan Yusuf dan keluarganya yang begitu baik. Ia akan pulang dan kemba
Mentari tampak bersinar di ufuk timur. Bunga dan dedaunan terlihat segar dibalur sisa air hujan. Jelita sudah bangun dengan tubuh yang lebih bugar, meskipun kakinya masih terasa pegal akibat lari kemarin. Ia segera membasuh tubuhnya yang terasa lengket, meskipun air cukup dingin. Setelah itu segera memakai celana panjang dan sweater yang dibawakan Azza semalam. Setelah selesai, Azza datang lagi menemui Jelita. Tidak lama kemudian kedua gadis itu segera ke luar dari kamar dan menuju ke ruang makan. Di mana keluarga Tuan Adam terlihat sedang sarapan bersama. "Jelita kenalkan ini, Ibu, Abi dan Kang Yusuf," ujar Azza memperkenalkan keluarganya. Jelita segera menyalami Sari, sedangkan Tuan Adam dan Yusuf hanya mengatupkan tangan. "Nama yang cantik sesuai dengan orangnya. Bagaimana keadaan kamu Nak?" tanya Sari sambil tersenyum ramah. "Aku baik-baik saja Bu. Terima kasih, sudah memberikan izin untuk menginap di sini," ucap Jelita yang merasa disambut dengan hangat, padahal mereka baru
Hujan masih mengguyur kawasan puncak. Ketika sebuah mobil mewah tiba-tiba berhenti di jalan yang tampak macet. Seorang gadis cantik terlihat ke luar dari kendaraan itu dan berlari ke arah belakang. Tidak lama kemudian disusul oleh pria berbadan besar dan berpakaian rapi. "Tunggu, jangan pergi Non!" seru pria itu sambil mengejar.Gadis itu tampak ketakutan dan terus berlari sekencangnya. Sesekali ia berhenti di belakang kendaraan lain, sambil mengatur nafas dan berharap pria itu tidak mengejarnya lagi. Akan tetapi, doanya tidak terkabul. lelaki itu justru semakin dekat ke arahnya. Sehingga membuat gadis itu jadi kian panik."Pokoknya aku tidak mau kembali ke rumah," lirih gadis itu yang segera kembali berlari dengan nafas yang terengah. Namun, ketika di belakang mobil box Ia sudah tidak kuat lagi untuk melarikan diri. Kini dirinya hanya bisa pasrah akan apa yang terjadi. Alunan musik terdengar mengalun syahdu dari salah satu mobil sayur. Seorang pria bermata teduh tampak menikmati l
Lelaki sejati.Waktu terus bergulir, tidak terasa usiaku kian menua, raga ini juga mulai sakit-sakitan. Untung aku mempunyai seorang istri yang sangat perhatian sekali. Ia Seorang perempuan hebat yang Allah jodohkan dengan diriku ini yang jauh dari kata sempurna.Selama pernikahan kami tidak pernah sekalipun Sari mengeluh, ia selalu sabar dan ikhlas dalam mengurus dan merawatku anak-anak, dan ibuku. Sungguh aku sangat bersyukur karena semenjak kecelakaan 20 tahun yang lalu, seolah Allah memberikan aku kehidupan kedua untuk memperbaiki diri untuk menjadi lelaki sejati.Kini perkebunan sudah dipegang oleh Yusuf, sedangkan aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan hanya sesekali ke kebun jika Yusuf sedang keteter atau pergi. Aku menjalani sisa hidupku dengan banyak beribadah dan sering ke masjid.Alhamdulillah … aku di percaya menjadi salah satu pengurus. Rasanya begitu damai hati ini banyak melakukan kegiatan di rumah Allah. Sungguh aku tidak pernah merasa hati ini begitu bahagia