Share

Menepis Rasa

Bab 7. Menepis rasa

Tidak ada hak aku untuk ikut campur dalam urusan kami di luar sana, Tuan Zain. Aku cukup tahu diri posisi aku di mana." Air mata itu seakan tertahan dengan kepedihan begitu dalam. Hati Alana menjerit. Apa lagi ketika Alana menyadari akan perasaannya pada Zain yang masih berharap.

Alana merutuki takdirnya yang tidak pernah berhenti datang menerpa. Saat masih bersama Paman dan bibinya, Dirinya pun harus mengorbankan perasaannya, memilih mengalah untuk tidak berdebat dengan tante Berlin yang tidak pernah suka akan kehadiran dirinya di rumah pamannya.

Tiba sekarang, kembali rasa sakit, kecewa atas perlakuan seorang suami yang tidak bersyukur menerima keberadaan dirinya. Alana terus merutuki dirinya yang medapat perlakuan terabaikan. Berharap menjadi istri yang diterima oleh Zain sangat jauh hal itu akan terjadi.

'Kuatkan aku, Tuhan.' batin Alana yang bukan berarti dirinya begitu bodoh untuk bertahan sebagai istri tak dianggap. Namun, beberapa alasan membuat dirinya bertahan hingga tiba waktu akan menyerah.

Alana melangkah kedepan Zain dengan wajah yang cukup dekat dan kembali berkata, "Tenang saja, Tuan Zain yang terhormat. Aku tidak akan pernah mencari tahu urusan tuan dengan gadis pujaan tuan. Sangat mendukung bila tuan bahagia."

Zan diam terpaku kata demi kata yang keluar dari bibir Alana.

Alana berbalik mengambil kopernya. Sebelum meninggalkan Zain menuju kamar yang dimaksud, Alana kembali menoleh sambil berkata, "Perhatikan res celana tuan sebelum pergi." Alana berlalu.

Begitu malunya Zain medapat res celana yang dikenakan olehnya belum terpasang baik.

"Akh!" Zain merutuki dirinya menjadi peria bodoh dan sudah mempermalukan dirinya sendiri di hadapan istri separuh masanya.

Zain terus mengikuti pandangan ke arah Alana hingga Alan tidak teliht lagi olehnya. Mengingat Alana, Zain tidak bisa fungkiri, jika Alana memang cantik. Walau tubuhnya tertutupi dengan busana yang tidak menampakkan auratnya.

"Akh, bagaimana bisa aku membayangkan tubuh wanita itu. Itu tidak mungkin. Aku tidak akan pernah menyentuhnya sedikit pun. Ya ... selamanya akan sepeti ini. Aku sudah berjanji pada Marina untuk tidak tidur bersama apa lagi meyentuhnya. Ya... selamanya."

Hal itu Zain lakukan tidak lain sebagai pembuktian kesungguhannya pada Marina yang sudah mau bersabar terhadap dirinya selama ini. Ada begitu banyak kenangan indah saat bersama dengan pujaan hatinya.

lagi pula, Alana tidaklah lain hanya wanita yang kebetulan saja hadir dalam kehidupannya. Jika bukan saja karena sang ayah, Zain mana mau berjodoh dengan Alana. Zain menghembuskan napas panjang memikirkan semua yang telah terjadi.

Ponsel Zain berdering dan itu dari Marina yang sudah menunggu dirinya tak sabar. "Sayang."

Panggilan Sayang itu terdengar oleh Alana yang kebetulan turun dari lantai atas dan masih menemukan Zain di ruang keluarga sedang bercakap asik lewat telepon.

"Iya, Sayang, Aku akan singgah di toko kue itu untuk membelikan kue. kesukaanmu." ucap Zain di ujung telpon tanpa sadar dengan keberadaan Alana yang tidak sengaja lewat di belakangnya menuju dapur.

Kembali Alana menepis perasaannya. Menyakitkan memiliki perasaan tak terbalaskan. Hingga Alana memilih menuju dapur di mana Bibi Sumi melihat istri tuannya sedari tadi tampak seprti membisu. Entah kapan habis air di tangannya di minum olehnya.

"Nona, Nona baik-naik saja?" tanya Bibi Sumi yang sejatinya kasihan melihat istri separu masa tuannya.

"Bibi?" sapa Alana.

"Saya Bibi Sumi. Jika nona ada perlu, kami selalu siap, Nona," ujar Bibi Sumi tidak mengerti kondisi pernikahan tuannya. Bibi Sumi memperhatikan Alana. 'Jika dilihat, istri tuan sangat cantik.' batin Bibi Sumi memperhatikan Alana tiada bosan.

"Bibi, kenapa lihat aku seperti itu, bibi. Apa ada yang salah denganku?" Alana tersenyum.

"Tidak, nona. Nona sangat cantik." Bibi Sumi keceplosan hingga Bibi Sumi memukul bibirnya sendiri.

Akan kembali tersenyum. "Bibi saja. Itu menurut bibi saja."

Ada rasa ingin bertanya banyak tentang Alana, Namun sebagai asisten rumah tangga, Bibi Sumi cukup tahu diri.

"Ya sudah, Bibi... Aku istirahat dulu. permisi, Bibi," pamit Alana beranjak dari tempat duduknya.

***

di lain tempat, Zain tiba di sebuah tempat dengan kue kesukaan Marina yang di pesan Marina sebelumnya dan duduk menunggu seseorang. Sekitar setengah jam kemudian, sosok wanita yang ditunggu olehnya tiba. Dengan kacamata yang bertengger di atas kepalanya serta rambut lurus yang terurai. Zain yang sedang menelpon menoleh tidak percaya.

"Marina?" Zain terpesona melihat tubuh molek Marina makin menarik hatinya.

Marina langsung memeluk Zain. Zain pun membalas pelukan sang pujaan yang sudah lama ia rindukan. Cukup lama keduanya saling melepas kerinduan yang sudah lama mereka nantikan. Tidak menghiraukan Ada banyak sepasang mata menyaksikan keduanya.

"Kenapa lama, sih Sayang. hampir tiga minggu kamu meninggalkan aku. Jangan-jangan kamu jatuh cinta pada istrimu?" Marina duduk di kursi yang ada.

"Mana mungkin aku mencintai wanita itu. Kamu tahu sendiri, kami menikah karena ayah. Aku tidak mencintai wanita itu, Sayang."

"Tapi, kalian sudah pernah satu kamar. Mustahil jika kamu tidak tergoda degannya. Aku kenal siapa kamu, Sayang," Marina memasang wajah manjanya.

Zain ikut duduk di samping Marina. Lalu, meraih tangan Marina dan berkata, "Bukankah aku sudah berjanji padamu, aku tidak akan menyentuhnya. Aku tidak mencintain, Sayang," jelas Zain meyakinkan Marina.

"Benarkah?" Marina menatap kedua bola mata Zain.

"Benar, Sayang. Aku hanya mencintai dirimu. Setelah satu tahun kami akan bercerai, setelah itu kita akan menikah. Percayalah."

"Kau yakin akan berpisah dengannya?" Tanya Marina.

"Tentu. Kami sudah sepakat. Kami akan berpisah setelah Satun tahun. Tapi, aku punya perjanjian dengannya. Dia ingin kuliah," ujar Zain.

"Baiklah. Aku percaya." Marina tersenyum.

"Zain mengecup tangan Marina. Hingga mata keduanya kembali bertemu.

"Aku tidak bawah mobil. Aku ingin kau mengantar aku pulang. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu," ujar Marina.

"Tentu. Aku akan mengantarmu pulang." Zain kembali mengecup tangan Marina. "Akan tetapi, maafkan aku, Sauang. Aku masih ada urusan."

"Kau tidak bermalam? Pasti tidak, kan?" Marina berharap Zain mau menemaninya.

"Nanti kita bahas," ujar Zain.

Hingga mereka pun menghabiskan waktu bersama siang itu. Setelahnya, Zain pun mengantar Marina pulang. Sepanjang perjalanan, keduanya terlihat bahagia. Zain seakan lupa jika dirinya sudah menikah. Namun, bagi Zain tetap saja pernikahannya dengan Alana bukanlah pernikahan.

"Sayang, kau tidak bermalam di rumah? Aku masih merindukanmu."

"Untuk saat ini aku belum bisa, Sayang. Ayah masih terus memantauku. Aku takut, ayah mengetahui jika kita masih berhubungan. Bila sampai ayah tahu, aku bisa saja dikeluarakan dari daftar keluaraga," jelas Zain. "Kamu pasti tidak mau, kan? Kau tahu sendiri ayah bagaiamana."

Marian terlihat kecewa. Spenjang perjalanan, Marina terus teringat nama Alana. Ada rasa cemburu dengan wanita tersebut. Ia tidak sanggup jika sampai Zain jatuh dalam pelukan istri separuh masanya.

"Tidakkah bisa kau menemaniku hingga sore?" Rengek Marina.

"Sayang, Hari ini aku harus langsung masuk kekantor.

Marina diam, Melihat Marina diam, Zain pun kembali menyahut.

***

Terus berikan dukungannya buat Author ya... salam kenal darikuu...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status