Share

Akan Pindah Rumah

Bab 4. Akan Pindah Rumah

Pagi tiba, Alana ikut kembali bergabung dengan keluarga besar Zain. Zain menggandeng tangan Alana dengan mesra menuju meja makan bahkan memperlakukan Alana seakan mereka seperti pengantin baru pada umumnya.

'Jangan memperlakukan aku seperti ini, Mas. Aku akan semakin tersakiti,' batin Alana melihat tangan zain.

'Jangan baper Alana. Tahu diri. Kamu hanya istri separuh masa. Ingat itu.' batin Alana lagi. Alana hanya mampu berperan dengan batinnya.

"Ayo, Sayang," Pinta Zain meminta Alana untuk duduk.

"Iya," Jawab Alana menatap Zain. "Terimakasih." Alana duduk di kursi depan meja makan yang Zain siapkan.

"Nah, gitu dong," ucap Ibu Sinta terlihat bahagia melihat Zain dan Alana bahagia di depan mata mereka.

"Zain, teruslah bahagiakan istrimu. Jangan sia-siakan Alana," Ujar Tuan Danu pada putranya. "Alana istri yang tepat untukmu."

Zain menggenggam tangan Alana dan berkata, "Pasti ayah." lalu, Zain mengecup tangan Alana di depan kedua orang tua Zain.

Alana makin tersakiti dengan sikap Zain begitu lembut dalam kepura-puraan. Alana sebisa mungkin mengumbar senyum. Alana melihat tangannya yang tengah digenggaman oleh Zain. 'Andai ini benar aku pasti sangat bahagia,' batin Alana dan melepaskan tangan Zain dengan pelan.

"Mau makan apa? Biar aku ambilkan," ujar Zain Semakin memperlihatkan kepura-puraan pernikahan mereka di depan keluarga.

"Tidak perlu, Mas. Aku bisa sendiri," Kata Alana menolak Zain terlalu berlebihan yang membuat Alana semakin sakit.

"Yasudah," Ujar Zain.

"Bibi Ainun, gelas minum aku mana?" Tanya Zain karna cuma Alana dan lainnya yang punya air minum didekatnya, sementara dirinya tidak ada.

Bibi Ainun pun menyahut. "kata Ibu, gelas air minum itu berdua dengan Nona Alana.

"Apa?!" Zain tidak terima jika harus berdua satu gelas dengan Alana. 'Sama dengan ciuman dong,'' Batin Zain.

Begitu juga dengan Alana. Dia sangat terkejut mendengar hal itu dan menatap Zain terlihat tidak suka.

"Kenapa kalian, kok seperti tidak terima satu gelas?" Ibu santi heran dengan keduanya. "Ibu sengaja, biar kalian makin romantis. Saling mengenallah kalian untuk bisa menumbuhkan cinta itu lebih romantis lagi." Senyum Ibu Santi.

"Ibu?" Protes Zain. "Saya.... "

"Biar aku ambilkan gelas kosong," Kata Alana.

Zain memegang lengan Alana dan menghentikan Alana. "duduk." ujar Zain sambil berbisik. "Jangan berlebihan, Alana. Ingat statusmu." Bisik Zain lagi. "Kita turuti saja apa mau ibu. Jangan baper dengan hal ini."

Kata-kata itu mampu kembali mengorek hati dan perasaan Alana. Sebisa Alana menjadi kuat untuk tidak meneteskan air mata.

"Hem." Ibu Sinta berdeham melihat Zain dan Alana berbisik. "Ada apa, sih kalian? Minum satu gelas saja kok di ributkan."

"Iya, Ibu. Bukan apa-apa," Timpal Zain.

"Yasudah, makan. Tidak usah berdebat," ujar Ibu Sinta lagi.

Usai makan, Alana sedikit ragu untuk meminum sisa Zain. Hingga suara Zain keluar. "Minum!"

"I... Iya," Alana mengangguk.

"Tuh, minumlah!" Bisik Zain.

"Iya," Jawab Alana. Alana pun meminum sisa Zain.

Usai sarapan pagi, Tuan Danu dan Zain serta Alana ikut menuju ruang keluarga membahas kepindahan Zain dan Alana.

"Apa! Alana harus ikut sekarang?" Tanya Zain heran.

"lho, Alana kan istri kamu, Zain. Jadi, wajar kan dia ikut kemana pun kamu pergi. Ada yang salah?" Tuan Danu merasakan tidak cocok pendapat Zain.

"Iya aku tahu, tapi bukannya dia lebih baik dulu disini. Setelah semua selesai aku akan menjemputnya." Zain menatap Alana.

"Aku tidak mengapa, ayah. Aku akan menunggunya di sini." Alana menyahut merespon kode dari Zain.

"Tidak, Zain! Alana tetap ikut denganmu. Tidak ada ceritanya setelah menikah istri ditinggal pergi saat suami bekerja. Kan ada rumah di sana. Bagaimana kamu ini Zain. Pokoknya Alana ikut denganmu! Jangan membantah ayah! Paham!" Tuan Danu tidak terima alasan Zain.

Zain diam. Rencana untuk Bertemu Marina sepertinya akan sangat rumit. Zain begitu merindukan wanita itu. Zain sudah berjanji pada Marina akan menemui secepatnya. Tentu Zain berfikir keras.

"Apa lagi yang kamu sedang pikirkan, Zain?" Tanya Tuan Danu.

"Zain, apa yang dikatakan ayah Itu benar. Bawa Alana bersamamu, kan bagus tuh, pulang kerja ada yang sambut kamu, ada urus kamu. Di mana-mana suami itu butuh perhatian istri. Dan kamu tahu, Zain. Istri itu obat saat suami lelah, Nak," Jelas Ibu Santi panjang lebar pada putranya, Zain.

Zain dan Alana diam. Sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Alana begitu memendam kesedihan yang orang tidak pernah tahu sebesar apa goresan rasa sakit dalam dirinya yang kini ia rasakan. Luka begitu dalam. Namun, hatinya juga sangat berharap, Zain membuka hati untuknya. Segera kembali Alana menepis rasa itu

'Tidak mungkin,' batin Alana.

Alana kembali fokus sambil mendengar Tuan Danu terus menceramahi Zain.

Ibu mertua yang melihat Alana diam segera menghampiri. "Semua akan baik-baik saja. Pergilah bersiap."

Alana mengangguk dan melihat ke arah Zain yang terlihat tidak setuju dengan pendapat Tuan Danu. Hingga pada akhirnya, Zain hanya bisa berada dalam titik kepasrahan. Zain sebenarnya sudah sangat merindukan wanita pujaan hatinya. Namun, kehadiran Alana justru menjadi penghalang untuknya.

Melihat Alana menuju kamar, Zain pun menyusul. Zain masuk kamar dan melihat Alana bersiap.

"Kamu setuju saja begitu ... dengan pendapat ayahku?" Tanya Zain.

"Kenapa? Kamu keberatan aku ikut denganmu? Tenang saja, aku tidak akan pernah ikut campur dengan urusanmu. Kita bisa buat perjanjian di atas materi." Alana menyampaikan apa yang dia pendam.

"Aku cukup tahu diri makna pernikahan ini. Aku hanya istri separuh masa untukmu. Ok. Aku terima. Namun, kau harus juga mengerti kondisiku sekarang. Aku akan kuliah kembali dan kamu harus mau membiayai kuliah saya hingga selesai. Bagaimana?"

"Kau mau memerasku?" Tanya Zain menuduh Alana.

"Terserah apa pendapatmu! Aku istrimu di depan mereka. Kita buat perjanjian. Kamu bebas mau ngapain nantinya. Terserah! Akan tetapi, kau harus penuhi permintaanku. Kamu harus biayai kuliah aku hingga S2 dan sampai aku selesai. Dan aku juga tidak akan ikut campur urusan pribadimu." Lanjut Alana.

"Sebelum pergi bersamamu bawah aku ke rumah paman Handoko untuk pamit." Lanjut Alana.

"kau mengaturku?" protes Zain.

"Aku tidak mengaturmu. Bukankah kita memang harus ke sana? Apa kamu mau ayah tahu hubungan tidak sehat ini. Tidak, kan? Dan begitu pun aku. Aku tidak mau paman Handoko tahu hubungan tidak sehat ini, Mas Zain!" jelas Alana geram.

Zain diam dan mempertimbangkan semua ucapan Alana dan berfikir ada benarnya pendapat Alana.

***

Tiba di rumah paman Handoko, Alana dan Zain disambut hangat terutama Tante Berlin. Apalagi Zain membeli buah tangan untuk mereka.

"Ayo masuk," Ajak Tante Berlin begitu Rama pada Zain.

'Rama karena ada maunya,' batin Zain melihat Tante Berlin.

"Bagaimana kabar kalian?" Tangan paman Handoko pada keduanya.

"Kami sangat baik, Paman. Ucap Zain yang kembali bermain drama. Zain menggenggam tangan Alana.

Terlihat meyakinkan keharmonisan itu bukan kepura-puraan di mata Paman Handoko dan Tante Berlin.

Semerawut wajah Alana sebisa mungkin untuk tidak memperlihatkan hatinya yang hancur dan kekecewaannya di depan Paman Handoko yang sudah Alana Anggap orangtuanya sendiri.

"Alana, Apa kamu baik-baik saja?" tanya paman Handoko.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status