Share

Pindah Rumah

Bab 6. Pindah Rumah

"Alana?" Panggil nenek Fatimah melihat Alana tengah mengusap air matanya. "Kenapa Sayang?"

Alana terlihat gugup. Apakah nenek Fatimah mendengar keluhan sebelumnya?

"Alana baik-baik saja, Nak?" Kembali Nenek Fatimah bertanya dan duduk di samping Alana yang duduk di atas kasur empuk tersebut.

Alana tersenyum dan berkata, "Iya nenek. Alana hanya teringat sama almarhum ayah dan Ibu."

"Oh sayang, kami adalah org tuamu, Nak. Jangan bersedih. Semua akan baik saja. Seiring berjalannya waktu, kau dak Zain akan hidup bahagia," ucap Nenek Fatimah yang tujuannya datang memang ingin berbincang-bincang banyak dengan Alana juga untuk memberikan nasehat.

"Terimakasih, Nenek. Alana sayang Nenek." Alana terlihat bahagia.

Nenek Fatimah pun memeluk Alana. "Teruslah berbahagia, Nak. jika ada perlakuan Zain yang tidak berkenan di hatimu suatu hari nanti, jangan segan-segan memberitahu pada kami. Kamu sabar ya sayang. Zain itu orang sibuk, jadi jangan lupa selalu ingatkan dia."

'Nek, cucumu tidak hanya membenciku, akan tetapi, dia juga tidak menganggap aku sebagai istrinya.' Alana membatin dan menatap Nenek Fatimah yang sedang tersenyum ke arah Alana.

"Alana, Nenek yakin Zain akan menerima perjodohan ini dengan baik. Teruslah kalian saling mengenal. Biar benih-benih cinta diantara kalian berdua semakin tumbuh." Harapan Nenek Fatimah.

Alana kembali tersenyum, lalu meraih tangan Nenek Fatimah. "Nek tenang saja. Alana tahu, Nenek begitu menyayangi kami dan kami pun menyayangi Nenek."

"Baiklah Alana. Bersiap-siaplah. Nenek dengar, hari ini kalian pindah rumah. Zain sudah mengatur waktunya.

"Iya nek," jawab Alana.

***

Sepanjang dalam perjalanan menuju kota tidak ada percakapan. Zain fokus dengan pikirannya sendiri tanpa peduli dengan Alana sebagai istrinya yang kini juga memilih diam.

'Marina, Aku datang,' batin Zain yang melajukan mobilnya untuk segera tiba di kotanya.

Alana tidak berani berkomentar walau sejujurnya Alana begitu takut karena mobil yang dikemudikan Zain kecepatan begitu laju. Sadar akan perbuatannya, Zain menoleh.

"Kau takut?" kata Zain.

"Menurutmu. Jika kau ingin membunuhku tidak seperti ini caranya."

"Kenapa?" tanya Zain seakan meledek Alana.

"Tidak perlu melajukan mobilmu seperti ada kendaraan lain mengejarmu. Aku cukup mengerti apa yang membuatmu seperti ini. Tapi, tolong juga mengerti degan keadaanku. Aku tidak biasa naik mobil dengan kecepatan seperti ini," ujar Alana.

" Kenapa, kamu takut, kan?" ledek Zain.

"Aku tidak takut. Mati pun aku tidak takut." Alana menatap lurus ke depan.

"Setelah satu tahun kita boleh cerai," ungkap Alana dengan memejamkan matanya. Alana sadar, harusnya dia tidak mengatakan hal demikian.

Zain menoleh kearah Alana.

"Aku cukup mengerti dan paham. Aku yakin, keluarga akan paham keadaan kita," kata Alana yang seharusnya tidak mengatakan kata cerai.

"Kamu mau ayah marah padaku, Ha?" Zain sembari menatap Akan dan menepikan mobilnya secara mendadak.

"Aku jamin, ayah tidak akan marah. Aku yang akan bicara langsung degan beliau. Mereka akan mengerti jika cinta tidak bisa dipaksakan. Perjodohan inilah yang membawa kita dalam pernikahan tidak sehat." Alana menghembuskan napas panjang dengan tidak berni menoleh ke arah Zain.

Zain diam. Mencerna setiap ucapan Alana.

"Aku hanya istri separuh masa untukmu. Sampai kapan pernikahan seperti ini kita jalani. Aku tidak mau perusak dalam hubungan kamu dengan dia." Ada rasa sesak di dada Alana mengatakan demikian. Seakan Akan mengungkapkan isi hatinya jika sebenarnya ada harapan untuk di jadikan istri yang sesungguhnya. 'Menyakitkan berharap lebih,' batin Alana.

Rupanya, Zain sedikit menanggapi kalimat Alana. jika ternyata Alana juga merasa tersiksa dengan perjodohan itu.

"Namun, kau harus penuhi janjimu." lanjut Alana.

Zain kembali mematikan mesin mobilnya. dan bertanya. "Janji?" ulang Zain. "Apa itu?"

"Jangan pura-pura untuk melupakan janjimu. Apa aku harus mengulang kalimat itu. Tidak, kan?" ujar Alana.

"Aku akan penuhi janjiku. Tenang saja. Aku bukan orang yang mudah ingkar janji. Bahkan aku orang paling setia. Aku juga setia dalam sebuh hubungan. Akan tetapi, karena perjodohan ini, Aku seperti telah menghianati cintaku sendiri. Katakan padaku... Apa aku penghianat?" Zain menoleh ke arah Alana.

Alana tidak tahu harus ngomong apa. Apakah dirinya sepenuhnya bersalah?

"Kenapa kamu diam?" tanya Zain pada Alana.

"Aku tidak tahu harus bilang apa. Asal kamu tahu, aku juga tidak menginginkan perjodohan ini," ujar Alana.

Kini, Zain paham jika ternyata Alana juga tidak menginginkan perjodohan tersebut. Zain pun menyalakan kembali mesin mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Entah sudah berapa kali Zain tengok arloji mahalnya. Berharap cepat sampai di kota tujuan. Bayangan sang kekasih terus terbayang di benaknya tak sabar lagi tuk bersua.

***

Beberapa jam kemudian, tibalah di sebuah rumah minimalis dengan halaman yang cukup luas dan bersih. Tampaklah di depan pintu pagar dua orang berseragam yang menyambut kedatangan tuan rumah dengan sangat hormat.

Sementara di depan pintu utama, terlihat Seorang ibu yang sudah cukup berumur berdiri menunggu tuannya turun dari mobil. Alana bisa menebak jika itu adalah seorang asisten rumah tangga Zain. Alana tersenyum dalam hati. karena sebelumnya ia mengira tidak ada asisten rumah tangga dengan alasan dirinya akan sendiri di rumah minimalis tersebut dan tentunya akan sunyi.

Zain turun dari mobil tanpa menghiraukan Alana yang diam membisu. Ada rasa keinginan dalam diri Alana sebagai seorang perempuan memliki suami yang perhatian sepenuhnya terhadap dirinya seperti halnya pernikahan pada umumnya. Namun kenyataan, tak seperti apa yang ada di dalam benak. Sakit iya, kecewa apa lagi.

'Tuhan, kuatkan aku dalam hal ini,' batin Alana membuka pintu mobil.

Alana mencari sesuatu dan tidak menemukan barangnya. Apa lagi yang di cari olehnya kalau bukan koper miliknya. Melihat Alana sibuk. Seorang satpam pun bertanya.

"Nona mencari kopernya?" Tanya pak rahmat.

"Iya," jawab Alana bingung. "Apa saya lupa?" tanya Alana. "Perasaan koper milikku dikasi masuk." Kembali Alana berfikir.

"Koper nona sudah kami antar masuk. Kata Tuan, simpan di ruang tamu. Jadi, kami menyimpan koper nona hanya sampai di ruang tamu. Maaf nona, kami hanya menjalankan perintah," ujar pak Rahmat sedikit heran dengan sikap Tuannya.

"Ya sudah, pak. Tidak apa-apa. Terimakasih sebelumnya," ucap Alana dengan tulus. "Aku permisi."

Alana pun meninggalkan pak Rahmat yang siap memindahkan mobil milik tuannya di tempat biasanya.

Tiba di dalam rumah, Suara Zain pun terdengar. "Apa yang sedang kamu cari?"

Alana menoleh dan melihat Zain sudah selesai berpakaian rapi. Rasa kagum itu kembali muncul dibenak Alana.

"Aku tanya, Apa yang sedang kamu cari?"

Alana segera buyar dan kembali menepis perasaannya pada Zain. 'Hal itu tidak mungkin'. pikir alana.

"Aku... aku sedang mencari koper pakaianku," ujar Alana gugup dan terus menepis perasaannya pada Zain.

"Tuh!" Tunjuk Zain dengan pandangannya mengarah pada koper milik Alana.

"Jangan manja kalau di sini. Jangan repotkan para pekerja hanya untuk mengurus keperluanmu." ujar Zain meninggalkan Alana.

Langkah Zain terhenti dan menoleh ke arah, Alana yang masih berdiri mematung. "Aku akan pergi. Kamarmu di lantai atas samping kamar aku,' ujar Zain. "Jangan ikut campur dengan masalah pribadiku. Kau mengerti! ingat, kita hanya suami istri diatas kertas dan kau hanya istri...."

Ucapan Zain terpotong dengan perkataan yang terlontar dari Alana.

***

Hai kk.... berikan dukungannya ya... ini novel pertamaku di sini.... terimakasih... salam kenal dariku untuk para pembacaku yang budiman... hehehe...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status