Share

Pamit

Bab 5. Pamit

Alana mengangkat wajahnya dan berkata, "Aku baik-baik saja paman."

"Iya, Paman. Alana baik-baik saja. Jangan khawatirkan Alana." Zain melanjutkan ucapan Alana.

Paman Handoko tersenyum dan berkata, "Nak Zain, aku titip ponakan paman padamu. Aku percaya padamu."

Alana rasa ingin menumpahkan perasaannya mendengar hal tersebut. Namun, Alana tak kuasa. Alana memilih diam seribu bahasa dengan hati yang hancur, terluka.

"Iya paman." Jawab Zain menatap Alana sebagai kode agar Alana segera pamit. Sejujurnya, Zain sedari tadi gelisah untuk segera pulang dan berangkat meninggalkan kota A menuju kota J. Zain sudah sangat merindukan pujaan hatinya.

Alana menoleh dan kembali Zain memberi kode. Alana menoleh kearah paman Handoko juga pada Tante Berlin, lalu pamit.

"Paman, Tante, Alana pamit. Hari ini Mas Zain akan membawa Alana pindah kota. Alana dan Mas Zain akan tinggal di sana.

"Wah, bagus itu!" Sahut Tante Berlin spontan.

Paman Handoko menoleh kearah istrinya. Tante Berlin langsung kembali menyahut, "maksudku bukankah seorang istri memang harus ikut suaminya? Iya, kan?"

Paman Handoko melihat Alana. "Alana, kamu baik-baik di sana. Tunduklah pada suamimu."

Alana mengangguk dan membatin. 'Aku akan ikhlas dan sabar paman. Aku akan berjuang semampuku dan sebisaku. Walau pahit, aku akan terus berjuang.' batin Alana juga belum mengerti mengapa hatinya mengharapkan Zain.

"Baiklah paman, kami pamit." Alana meraih tangan Paman Handoko, lalu beralih pada Tante Berlin.

"Alana, tunduk pada suamimu. Apa pun yang terjadi, jangan pernah berfikir untuk berpisah dari nya. Ingat pamanmu," bisik Tante Berlin.

Alana tidak menyahut lagi. Alana lebih memilih aman untuk sementara. Terlihat jelas di mata Alana bagaimana Tante Berlin begitu bahagia. Namun, Alana belum bisa memastikan maksud tatapan Tante Berlin.

***

Sepanjang perjalanan kembali dari rumah paman Handoko. Alana diam seribu bahasa dengan Zain menyetir tanpa satu kata pun yang terucap dari bibirnya yang membuat Alana mengibaratkan dirinya bagaikan benda mati.

Sesekali terlihat gelisah. Pikirannya melanglang buana memikirkan pujaan hati yang kini sedang menunggunya. Terdengar suara tarikan napas panjang, setelahnya menghembuskan dengan kasar.

"Nanti kalau sampai di rumah kita langsung siap berangkat. Siapkan semua barang-barang milikmu. Jangan membuatku lama menunggu. Kau mengerti, Alana!"

"Tanpa kau beritahu, aku sudah mengerti. Tenang saja. Barang yang aku bawah tidaklah seberapa. Jadi, tidak akan membuatmu menunggu.

"Baguslah biar kita cepat menuju kotaku. Aku tidak mau berlama-lama di sini," Ujar Zain yang kini mobilnya akan memasuki halaman rumah utama.

Terlihat pintu gerbang ruman besar itu terbuka setelah melihat mobil Zain tiba. Hingga pada akhirnya mobil mewah itu terparkir sempurna di halaman rumah.

"Jangan pasang wajah kusam. Kau harus bahagia. Aku tidak mau di salahkan dalam hal ini. Sebelumnya, aku sudah katakan padamu bahwa kau istri separuh masa untukku. Istri di depan keluargaku. Jadi, terlihatlah bahagia di hadapan mereka. Kau paham, kan!"

Alana menelan rasa pahit jika mengingat kata ISTRI SEPARUH MASA. Ada rasa kecewa, ada rasa sakit, ada rasa luka yang menyayat kalbu di sana.

"Kau tidak perlu mengajari aku berulang kali. Tanpa kau memberitahu dan mengajari aku sudah cukup tahu diri. Aku bukan perempuan bodoh yang harus kamu ajari," timpal Alana yang terlihat tenang walau hati hancur berkeping-keping menanamkan rasa sakit begitu dalam.

"Tunggu!" Cegah Zain ketika Alana akan membuka pintu mobil.

"Ada apa, sih?!" Alana menoleh ke arah Zain.

"Biarkan aku yang membukakan pintu mobil untukmu," Jawab Zain tiba-tiba raut wajahnya berubah layaknya suami seperti suami pada umumnya.

Zain pun turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Alana. Terlihat begitu romantis. Bahkan Zain membantu Alana turun dari mobil.

Begitu Alana keluar dari mobil, Pinggang ramping Alana dirangkul oleh Zain. Pada kenyataannya, Zain melakukan itu di sebabkan karena Tuan Danu dan Ibu Santi menyambut kehadiran mereka yang baru tiba dari rumah paman Handoko.

"Ayo, Nak. Kalian pasti lelah." Ibu Santi tersenyum melihat Zain memperlakukan Alana begitu romantis.

Zain pun melepaskan Alana setelah Ibu Santi meminta Alana masuk dalam rumah.

Tuan Danu menepuk bahu Zain. Tuan Danu begitu percaya pada Zain dan berkata, "Teruslah bahagiakan Alana. Dia istri yang baik untukmu. Jangan biarkan air matanya jatuh setetes pun. Deritanya cukup selama ini dirasakan olehnya. Ayah merasa bersalah jika putri dari sahabat ayah menderita. Berjanjilah pada ayahmu ini membahagiakan Alana.

Zain tersenyum dan berkata, " Tenang saja ayah."

Tuan Danu membalas senyum Zain. Tuan Danu berjalan mendahului Zain masuk ke dalam rumah dan Zain menyusul di belakang.

Entah apa dalam pikirannya. Namun, segera Zain sadar lagi bahwa pernikahannya dengan Alana adalah pernikahan palsu. Semua Zain lakukan demi keluarganya.

Sementara Alana sendiri, terus mengumbar senyum dihadapkan keluarga besar Zain. Seakan terlihat tidak terjadi apa-apa.

"Ibu, cukup. Nanti Alana gemukan jika ibu memberiku nasi sebanyak ini." ujar Alana.

"Biar saja Alana, biar kamu sehat, nak. Kenapa takut gemuk? Takut ya... Zain tidak suka jika istrinya gemukan?" Sahut nenek Zain, nenek Fatimah.

"Bukan seperti itu, nek, ibu." jawab Alana melirik Zain.

"Walau kau gemuk, kamu tetap cantik." ujar Zain cuek keadaan.

Alana diam dengan ucapan Zain. Berandai dalam hati. Andaikan pujian itu itu adalah nyata. Namun, semua hanyalah palsu.

"Nah, tuh... Dengar, kan, Zain tidak keberatan jika Alana gemukan. Istri memiliki tubuh yang indah, suami juga yang bahagia. Iya kan, Zain?" Nenek Fatimah menggoda cucunya.

"Nenek bisa saja menggodaku. Tenang saja nenek, Zain tidak akan pernah keberatan," Jawab Zain. "Alanaku cantik. Terimakasih, Sayang." Zain menoleh kearah Alana yang sedari tadi keduanya belum makan. "Kamu cantik, Sayang." Senyum Zain.

Keduanya saling menatap, Saling tukar pandangan, terlihat begitu romantis. Alana membalas senyum Zain dan berkata, "Terimakasih, Sayang."

"Hem!" Tuan Danu berdeham. "Ayo makan!"

Alana Pun segera membuang muka. Sebisa Alana menahan gejolak yang berkecamuk dalam jiwanya. SAKIT. Namun apa daya, Alana hanya bisa menutupi semua itu dengan kepura-puraan. Yaitu, tersenyum bahagia dihadapan keluarga Zain.

Selepas makan siang bersama keluarga Zain, Alana pamit masuk kamar. Ibu Santi pun mengiyakan. Terlihat Alana secepat mungkin melangkah meninggal keluarga Zian menuju kamar.

Alana masuk kamar dan menumpahkan semua kesedihannya. "Oh Tuhan, Bagaimana takdir ini mempermainkan aku! Apa salahku? Mengapa aku terjebak dalam pernikahan seperti ini. Jika tidak suka, mengapa tidak menceraikan aku saja!" Teriak Alana yang sudah tidak tahan dengan batin yang menyiksa.

"Sampai kapan?" Lirih Alana sambil mengusap air matanya yang tidak mau berhenti menetes.

"Aku benci!" Teriak Alana lagi.

Alana menoleh ketika suara sedang menegurnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status