Ku parkirkan mobil di pinggir jalan, tepat di sebrang jalan rumah lamaku, yang sekarang ditempati oleh mantan istri dan kedua anakku.
Enam bulan kutinggalkan, rumahku tak banyak berubah, hanya bagian garasi beralih fungsi menjadi toko kelontong. Ada tumpukan tabung gas, galon air mineral berjejeran di sana.
Kulihat ada beberapa pembeli yang datang, nampak Frida mantan istriku, sedang melayani mereka. Laris juga tokonya, gumamku dalam hati.
"TOKO BAROKAH"
SEDIA GAS, AIR MINERAL, SEMBAKO, DAN KEBUTUHAN RUMAH TANGGA LAINNYA. JUAL PULSA ALL OPERATOR DAN TOKEN LISTRIK.
Begitu yang tertulis di baner depan toko Frida. Dia memang patut kuacungi jempol, pekerja keras dan pantang menyerah. Dia juga yang sudah setia mendampingiku dari nol hingga sesukses sekarang.
Tapi sayang, pernikahan kami dihantam badai perceraian. Aku dan Frida berpisah enam bulan yang lalu.
"Assalamu'alaikum .... " sapaku ramah.
Setelah toko sepi pembeli, aku mengumpulkan segenap keberanian untuk menemui Frida. Tak mudah memang, karena aku pergi meninggalkan luka yang dalam.
"Waalaikum salam ..., eh ada Bang Farhan," ucap Frida salah tingkah.
"Boleh Abang duduk, Da?" ucapku pelan.
"Oh iya, Bang. Saya ambilkan kursi dulu," ucap Frida, lalu masuk ke dalam, kemudian keluar membawa kursi plastik.
"Maaf duduknya di sini aja ya, Bang. Kita sudah bukan mahram, nggak enak dilihat tetangga nanti jadi fitnah, kan saya sendirian di rumah," ucap Frida sambil meletakkan kursi di depan etalase.
Sekarang aku duduk di depan etalase, sementara Frida berdiri di belakang etalase, kami ngobrol di batasi oleh lemari kaca itu.Benar-benar Frida menjaga kehormatannya, tidak sepertiku yang suka menuruti hawa nafsu.
Kuperhatikan Frida terlihat lebih cantik dan segar, badannya lebih berisi sekarang, tidak seperti dulu, kurus kering.
"Kamu gemukan sekarang," ucapku basa-basi, tapi sebenarnya berkata jujur.
"Iya Bang, sekarang aku makan nasi nggak makan hati lagi," ucap Frida santai, tapi membuatku merasa ditampar.
Sejak Frida tahu perselingkuhanku dengan Freya mantan pacarku, yang sudah menjanda. Frida menjadi pemurung, pendiam, dan sering menangis sendiri, hingga badannya kurus tak terurus.
Tapi kini dia terlihat lebih menarik, wajahnya terlihat cerah, mungkin karena dia sudah bahagia.
Mendengar jawaban Frida, aku pun hanya bisa diam, apa yang dia ucapkan memang benar, aku sudah membuatnya makan hati.
"Tokomu ramai ya, Da?" ucapku lagi, mengalihkan pembicaraan.
"Iya Bang, alhamdulillah .... cukup untuk memberi makan dua anak yatim," sindirnya.
"Kok kami ngomong begitu, Da? Kan aku masih hidup? Masak kau bilang anak kita yatim?" sanggahku, tak terima dengan ucapan Frida barusan."Hidup juga percuma, Bang. Orang Abang nggak pernah perduli sama anak-anak. Gak pernah kasih nafkah, kan lebih baik jadi yatim, Bang. Banyak yang menyantuni."
Frida kok berubah gini, kata-katanya pedas, sepedas cabai rawit setan. Omongannya seperti sengaja menyerangku.
"Ya nggak gitu juga, Da. Aku bukan nggak perduli, atau nggak mau menafkahi anak-anak, aku sedang banyak kebutuhan," ucapku beralasan.
"Iya Bang, aku ngerti. Kebutuhan Abang memang banyak, Istri cantik perawatannya mahal, masih harus membiayai anaknya pula. Miris ya Bang? Anak sendiri dilantarkan, anak orang disayang-sayang," ucap Frida pelan, tapi terasa bagai tusukan pedang, menyakitkan.
Aku hanya langsung diam tanpa membalas ucapan Frida. Lebih baik aku mencari kata yang tepat untuk menyampaikan maksud dan tujuanku sini, agar Frida tidak lagi menyerangku dengan sindiran pedas.
Baru basa-basi, belum kusampaikan maksud dan tujuanku datang kesini, tapi aku sudah diserang sedemikian rupa. Bagaimana kalau aku mengatakan yang sebenarnya?
"Abang ke sini pengen ketemu anak-anak, ya?" tanya Farida memecah keheningan, di antara kami. "Sayangnya anak-anak belum pulang, Bang. Ferina pulangnya jam dua belas, kalau Firni, jam dua, dia kan kelas enam, sudah mau ujian, jadi ada tambahan pelajaran," terang Frida tanpa kutanya.
Padahal kedatanganku bukan untuk menemui anak-anakku, melainkan menjalankan misi dari Freya, istri baruku. Entah mengapa aku merasa tidak kangen pada mereka, padahal sudah enam bulan tidak berjumpa.
Mungkin karena selama ini aku tidak perduli pada mereka, aku lebih suka bersenang-senang dengan Freya, apalagi setelah menikahi mantan pacarku itu, aku makin tidak perduli, toh ada anak-anak Freya, dan Freya sekarang juga sedang mengandung anakku, buah cinta terlarang kami.
"Nggak pa-pa, yang penting aku bisa ketemu kamu, ada hal penting yang ingin Ku bicarakan," balasku kemudian.
"Oh, hal penting apa ya Bang?" tanya Frida penasaran.
"Aku ingin menjual rumah ini," ucapku pelan, dengan kepala tertunduk.
Jujur aku takut mendapat murka dari Frida, tapi semua terpaksa aku lakukan. Ini semua permintaan Freya, yang tidak terima rumah ini ditempati Frida dan anak-anakku.
"Apa kamu bilang, Bang? Ingin menjual rumah ini? Lalu anak-anakmu mau tinggal di mana, Bang? Kolong jembatan?" ucap Frida tajam, membuat nyaliku surut seketika.
"Aku butuh uang untuk biaya renovasi rumah, Da," lirihku.
"Bang, kamu masih punya otak kan? Coba pikir Bang! Apa yang sudah kamu berikan untuk kami setelah kita bercerai?" Aku yang tak berani menatap Frida, justru semakin menundukkan kepala.
"Sejak kau selingkuh dengan mantan pacarmu itu, apa pernah kasih nafkah ke aku?" Lagi-lagi aku hanya diam.
Hasil kerjaku sejak berselingkuh, kuhabiskan untuk menyenangkan Freya, yang punya selera tinggi itu.
"Mobil kau bawa, warung kau kuasai! Tabungan yang sedianya untuk kita naik haji sekeluarga, dan beli rumah yang lebih besar, Kau habiskan untuk menyenangkan selingkuhanmu itu. Sekarang rumah yang luasnya tak seberapa ini, kau minta juga?"
Aku dan Frida punya warung soto dengan tiga cabang, semuanya dalam penguasaanku sekarang. Uang tabungan yang Frida bicarakan, sudah kugunakan untuk membelikan rumah Freya, yang lebih besar dan lebih mewah dari rumah yang Frida tempati.
"Ta--- tapi, Freya menginginkan rumah ini juga, Da. Dia memintaku untuk menjualnya," ucapku terbata.
"Serakah sekali istrimu itu, Bang. Setelah dia merebut kebahagiaan kami, sekarang dia ingin merebut satu-satunya milik kamu yang tersisa? Dan kau hanya nurut saja, kayak kebo yang dicucuk hidungnya?
Baiklah kalau begitu, kalau kau minta hitung-hitungan, mari kita buat perhitungan," ucap Frida lembut dengan tatapan menusuk. Tak ada lagi Frida istriku yang lemah lembut, dan selalu mengalah padaku. "Perhitungan, Da?"
"Iya! Dan aku yakin, kamu bakal menyesal karena menuntut lebih dariku, Bang," ucap Frida dengan tatapan dingin.
"Maksudmu apa, Da?"
"Tadinya aku tidak mau mengusik hidupmu, Bang. Tapi setelah kupikir-pikir, aku tidak mau menderita sendiri, Bang. Aku juga ingin Abang dan Freya, istri tersayang Abang itu, merasakan apa yang kami rasakan."
Kira-kira si Frida mau bikin perhitungan apa ya, Mak?
Bersambung dulu ya Mak....
"Tadinya aku tidak mau mengusik hidupmu, Bang. Tapi setelah kupikir-pikir, aku tidak mau menderita sendiri, Bang. Aku juga ingin Abang dan Freya, istri tersayang Abang itu, merasakan apa yang kami rasakan."Frida menatapku tajam, seperti singa lapar, yang siap menerkam mangsanya. Dia menyorongkan sedikit kepalanya ke arahku, dan berkata "istrimu itu rupanya minta diberi pelajaran, Bang." Aku sampai bergidik ngeri mendengar ucapan Frida, apalagi melihat dia menyeringai begitu. Macam bukan Frida mantan istriku. "Ma--- maksudmu apa, Da? Kamu mau mencelakai Freya? Jangan buat aku takut gitu, Da," ucapku sambil susah payah menelan ludah. "Kau tidak usah ketakutan begitu Bang. Aku hanya memberi Freya pelajaran berhitung. Aku rasa dia waktu sekolah itu nilai matematikanya jeblok, pantas saja nggak bisa itung-itungan," ejek Frida dengan senyum sinisnya. "Maksudmu, Da?" Aku benar-benar tidak mengerti maksud Frida. Dia bukan guru, mana mungkin memberi pelajaran matematika pada Freya? "Hah!
Pov Frida Usai menunaikan sholat zuhur, aku segera bergegas ke luar, menemui Bang Farhan, tapi sayang, rupanya mantan suamiku itu sudah pergi. Aku terbiasa sholat awal waktu, begitu azan berkumandang, segera ku tunaikan kewajibanku itu. Aku tidak mau menunda-nunda sholat, bikin hati was-was, takutnya ada pembeli datang, sholat pun bablas. Tadi memang aku sempat mendengar suara panggilan dari Bang Farhan, tapi aku sedang sholat. Panggilan itu pun aku abaikan, dan dia pergi begitu saja tanpa pamit. Farhan Habibi, nama lelaki yang menikahi aku empat belas tahun yang lalu itu. Kami tetangga sekampung, berlatar belakang dari keluarga pas-pasan, tak tapi menyurutkan langkahnya untuk meminangku, si kembang desa. Dia tidak tampan, tidak pula mapan. Tapi entah mengapa aku bisa jatuh cinta padanya, mungkin karena tutur katanya yang santun, dan sikapnya yang selalu sopan pada siapapun.Kalau mengingat semua itu, seperti membuka luka lama yang sudah mulai mengering, dan kini harus berdarah l
"Papa! Ngapain sih, di sana lama-lama? Papa main mata sama mantan istrimu yang kampungan itu, ya!" todong Freya, menuduhku yang tidak-tidak. Baru saja masuk rumah, aku sudah disambut dengan suara cempreng Freya. Padahal dulu sebelum menikah denganku, suara Freya begitu merdu merayu, bak bulu perindu. Kenapa sekarang berubah menjadi suara Mak Lampir? Tinggi melengking. Kemana Freyaku yang manja dan menggoda?Kalau boleh meminta, aku ingin waktu diputar kembali. Agar aku bisa memilih tidak menanggapi rayuan Freya waktu itu. Atau aku tidak pernah bertemu dengan Freya, selain matrealistis, dia sangat serakah. Semua ingin dia kuasai, bukan hanya harta, bahkan hidupku juga. Kemana-mana dicurigai. Salah sedikit segala sumpah serapah dan kutukan keluar dari mulutnya. Aku benar-benar tersiksa. "Kan ke warung dulu, Ma. Mengontrol pekerjaan anak-anak, menjelang zuhur baru sampai rumah Frida. Itu pun tidak lama, dia sibuk pekerjaannya banyak" ucapku beralasan, memang kenyataannya begitu, kan?
Pov Frida "Kalau sudah dingin langsung dibungkus aja, Mbak! Hati-hati ya, jangan sampai mesesnya berantakan," titahku pada kedua putrimu Firni dan Ferina, yang sedang membungkus donat orderan pelanggan. Beginilah kegiatan kami sehari-hari, membuat aneka kue dan cake, pesanan tetangga sekitar. Selain membuka toko, aku juga membuka usaha katering, walau kecil-kecilan. Kalau ada pesanan banyak, aku panggil tetangga sebelah untuk bantu-bantu. Kalau sedikit seperti sekarang, cukuplah kedua putriku yang membantu. Aku bersyukur, kedua anakku ini menurut, dan tak banyak menuntut. Mengerti kesulitan orang tua, mau membantuku mengerjakan semuanya, termasuk beres-beres rumah dan jualan. Tak mudah menjadi single parent, berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus. Tapi Allah maha baik, aku dikaruniai dua putri sholehah. Meski awalnya kami mengalami kesulitan ekonomi, karena Bang Farhan tak ambil peduli dengan anak-anaknya, akhirnya kami bisa bangkit, meski pelan-pelan. Aku jual semua perhiasan
"Papaaaa!" Terdengar suara lengkingan Freya, entah habis kesambet apa dia? Siang bolong gini sudah ngamuk nggak jelas. "Apaan sih, Ma. Teriak-teriak kayak di tengah hutan, ngomong baik-baik kenapa? Malu didengar orang, tuh pembeli lagi ramai," ucapku lembut, berharap bisa menurunkan nada suara Freya, yang selalu meletup-letup seperti cabai digoreng. "Huh! Benci aku sama mantan istrimu itu! Lagaknya itu sombong banget, sok intelek, padahal miskin," ucap Freya emosi. "Mama dari sana tadi? Mau minta rumah itu? Dan gagal?" tanyaku beruntun. "Iya, kok Papa tahu? Jangan-jangan Papa menjalin komunikasi dengan Frida, di belakangku ya?" tanya Frida penuh selidik. Selalu begitu dia, hatinya penuh prasangka, cemburu, dan iri dengki. Entah mengapa dulu aku bisa tergila-gila padanya? Dia memang cantik, gadis tercantik yang pernah kutemui, tapi setelah tahu sifat aslinya, aku hanya bisa menyesal, seandainya aku kuat iman waktu itu. "Farhan? Farhan Habib, kan? Anak RT 09 dekat mushola?" sapa F
"Plak!" Flatshoes Freya mendarat sejenak di kepalaku, sebelum akhirnya jatuh ke lantai. "Auw!" Aku yang terkejut hanya bisa mengelus kepalaku, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mau marah? Itu hanya akan memicu pertengkaran. Lihatlah! Bukannya merasa bersalah, Freya malah memelototkan matanya kepadaku. "Istri durhaka!" makiku dalam hati. Iya dalam hati saja. Sekurang ajar apa pun Freya padaku, aku tak pernah bisa marah. Dia yang salah dia yang marah, aku hanya bisa menerima saja. Entah lah, punya ilmu apa dia, hingga membuatku tak berdaya"Mama, kenapa sih? Nggak sopan banget, pakai lempar sepatu ke kepala, Papa!" hardikku pelan, gak terima Freya berlaku seenaknya padaku. "Salah Papa sendiri! Pakai bilang mau kembali pada Frida segala! Coba berani ngomong sekali lagi? Aku lempar kepalamu pakai tabung gas," ketus Freya. Tuh, kan. Padahal aku ngomongnya pelan, tapi Freya justru ngegas. Gimana kalau mencak-mencak tak terima? Bisa langsung dimutilasi aku. Sadis amat ya?Freya tidak akan mera
Sejak menjadi istriku, Freya selalu mengaturku dalam segala hal, termasuk urusan warung. Padahal dulu kupikir dia lebih suka menerima duit, dari pada ikut pusing mikir jualan. "Mas, harga sotomu terlalu murah. Masak sepuluh ribu porsinya banyak gitu? Padahal Soto di Pak Gendut aja dua belas ribu, porsinya kecil," protes Freya. "Itulah kenapa warung soto kita ramai, Ma. Porsinya besar, yang makan langsung kenyang. Kalau Pak Gendut harganya segitu ya biarin aja, setiap penjual punya strateginya masing-masing. Mungkin memang rejekinya Pak Gendut, jualannya mahal tapi tetap laku. Sementara kita memang rejekinya seperti ini. Kalau kita naikan harga takut pembelinya pada lari. Setiap penjual punya pembelinya sendiri," ucapku berusaha bersikap bijak. "Tapi keuntungan kan kita jadi sedikit, kalau nggak menaikkan harga. Cobalah porsinya dikurangi, kalau tomau menaikkan harga. Emang kamu nggak pengen untung besar, apa?""Bukan begitu. Kalau porsinya dikurangi, nanti pembelinya pada lari baga
#Istri_Serakah 10Kepalaku berdenyut nyeri, mendengar penolakan dari Ibu. Wanita yang melahirkan aku tiga puluh lima tahun yang lalu itu, tidak terima waktu kuminta untuk mengurus Freya dan bayinya. "Kamu memang anak kurang ajar ya, Han! Masak orang tua sendiri kau jadikan babu, kau minta mengurus istrimu yang super manja itu," ketus Ibu. "Bukan begitu, Bu. Kalau pekerjaan lain sudah ada yang mengerjakan, hanya mengurus anak kami. Freya masih takut pegang bayi, Bu," sanggahku. "Gayanya kayak istri Sultan saja, si Freya itu. Padahal sudah beranak berkali-kali sok-sok an takut pegang bayi! Kayak yang baru melahirkan saja," ucap Ibu makin ketus. "Lagian, kenapa nggak kamu bayar orang saja untuk mengurus anak dan istrimu?" lanjut Ibu. "Duitku habis buat bayar biaya operasi, Bu," lirihku. "Ooh ... jadi kamu sudah bangkrut sekarang?" ejek Ibu. "Bukan bangkrut, Bu. Hanya saja akhir-akhir ini warung agak sepi," kilahku. "Itu namanya kamu kena azab, Han. Zolim sama anak istri, malah me